Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten Media Partner
Apa yang Terjadi di Dalam Otak ketika Kita Meninggal Dunia?
3 Juli 2024 14:35 WIB
Apa yang Terjadi di Dalam Otak ketika Kita Meninggal Dunia?
Ahli saraf Jimo Borjigin terkejut ketika menyadari bahwa kita “hampir tidak tahu apa-apa” tentang apa yang terjadi di otak ketika kita meninggal dunia meskipun “kematian adalah bagian penting dari kehidupan”.
Momen Borjigin menyadari hal ini terjadi sekitar satu dekade yang lalu karena “kebetulan belaka”.
“Kami melakukan eksperimen pada tikus dan memantau sekresi neurokimia otak mereka setelah operasi,” paparnya kepada BBC News Mundo.
Tiba-tiba, dua di antara tikus-tikus itu mati.
Kejadian ini memungkinkan Borjigin untuk mengamati proses kematian otak kedua tikus itu.
“Salah satu tikus menunjukkan sekresi serotonin yang sangat besar. Apakah tikus itu sedang berhalusinasi?” dia bertanya-tanya.
“Serotonin terkait dengan halusinasi,” jelasnya.
Melihat ledakan serotonin pada tikus yang mati memicu rasa penasaran Borjigin. Sebab serotonin adalah bahan kimia pengatur suasana hati.
“Jadi saya mulai melakukan riset literatur pada akhir pekan. Saat itu saya berpikir pasti ada penjelasannya. Saya terkejut saat mengetahui bahwa kita hanya mengetahui sedikit sekali tentang proses kematian.”
Sejak itu, Dr Borjigin, yang merupakan profesor di bidang fisiologi integratif dan neurologi molekuler di Universitas Michigan, mendedikasikan dirinya untuk mempelajari apa yang terjadi di otak ketika manusia meninggal dunia.
Dan apa yang dia temukan, katanya, bertentangan dengan apa yang selama ini diasumsikan.
Definisi kematian
Menurutnya, selama ini seseorang dianggap meninggal secara klinis jika orang tersebut tidak memiliki denyut nadi setelah jantungnya berhenti berdetak.
Dalam proses ini, perhatian terfokus pada jantung: “Namanya henti jantung, tapi tidak disebut henti otak.
“Pemahaman ilmiahnya adalah otak sepertinya tidak berfungsi karena tidak ada respons: orang ini tidak bisa bicara, tidak bisa berdiri, tidak bisa duduk.”
Otak membutuhkan banyak oksigen untuk bisa berfungsi. Jika jantung tidak memompa darah, oksigen tidak mendapat pasokan darah.
“Jadi semua indikasi yang dangkal menunjukkan bahwa otak tidak lagi berfungsi, atau setidaknya otak hipoaktif, bukan hiperaktif,” jelasnya.
Namun, penelitian timnya menunjukkan hal berbeda.
Otak dalam keadaan hiperaktif
Dalam sebuah penelitian tahun 2013 yang dilakukan terhadap tikus, tim peneliti mengamati aktivitas intens pada beberapa neurotransmiter setelah jantung hewan tersebut berhenti berdetak.
“Serotonin meningkat 60 kali lipat, dan dopamin, bahan kimia yang membuat Anda merasa nyaman, meningkat pesat, sekitar 40 hingga 60 kali lipat.
“Dan norepinefrin, yang membuat Anda merasa sangat waspada, meningkat sekitar 100 kali lipat.”
Dia mengatakan bahwa mustahil level zat kimia setinggi itu ketika hewan tersebut masih hidup.
Pada tahun 2015, tim tersebut menerbitkan penelitian lain tentang otak tikus yang sekarat.
“Dalam kedua kasus tersebut, 100% hewan menunjukkan aktivasi otak fungsional yang sangat besar,” katanya.
“Otak berada dalam kondisi hiperdrive, berada dalam keadaan hiperaktif.”
Gelombang Gamma
Pada tahun 2023, mereka menerbitkan sebuah penelitian yang berfokus pada empat pasien dalam keadaan koma dan menggunakan alat bantu hidup, yang dilengkapi dengan elektroda elektroensefalografi guna memindai aktivitas otak.
Keempat orang itu sedang sekarat. Para dokter dan keluarga berkumpul dan “percaya bahwa mereka tidak dapat tertolong lagi, jadi mereka memutuskan untuk membiarkan pasien-pasien itu meninggal”.
Dengan izin dari kerabat, ventilator yang menjaga para pasien tetap hidup dimatikan.
Para peneliti kemudian menemukan bahwa otak dua pasien sangat aktif, yang merupakan indikasi fungsi kognitif.
Gelombang gamma – gelombang otak tercepat – juga terdeteksi. Gelombang gamma terlibat dalam pemrosesan informasi dan memori yang kompleks.
Salah satu pasien memiliki aktivitas tinggi pada lobus temporal di kedua sisi otak.
Dr Borjigin menunjukkan bahwa persimpangan temporoparietal yang tepat diketahui sangat penting untuk empati:
“Banyak pasien yang selamat dari serangan jantung [dan mengalami] pengalaman mendekati kematian mengatakan bahwa hal itu membuat mereka menjadi orang yang lebih baik, sehingga mereka mampu memiliki empati terhadap orang lain.”
Pengalaman hampir meninggal dunia
Beberapa orang yang pernah hampir meninggal dunia mengatakan bahwa mereka dapat melihat kehidupan mereka terlintas di depan mata mereka atau mengingat momen-momen penting.
Banyak yang mengeklaim melihat cahaya yang kuat. Ada pula yang mengaku punya pengalaman keluar dari raga dan mengamati pemandangan dari atas.
Bisakah otak hiperaktif yang diamati Dr Borjigin dalam penelitiannya menjelaskan mengapa beberapa orang mengalami pengalaman intens di ambang kematian?
“Ya, menurut saya memang begitu,” katanya.
“Setidaknya 20%-25% pasien serangan jantung melaporkan melihat cahaya putih, melihat sesuatu, sehingga menunjukkan bahwa korteks visual diaktifkan.”
Dalam kasus dua pasien yang aktivitas otaknya tinggi setelah ventilator dimatikan, peneliti mengatakan korteks visual mereka (yang mendukung penglihatan secara sadar) menunjukkan aktivasi intens “yang berpotensi punya hubungan dengan pengalaman visual ini”.
Pemahaman baru
Dr Borjigin mengakui bahwa penelitiannya pada manusia masih sangat sedikit dan diperlukan lebih banyak penelitian mengenai apa yang terjadi di otak ketika kita sekarat.
Namun, setelah lebih dari 10 tahun melakukan penelitian di bidang ini, ada satu hal yang jelas baginya: “Menurut saya, alih-alih hipoaktif, otak malah menjadi hiperaktif saat serangan jantung.”
Namun apa yang terjadi pada otak ketika otak menyadari bahwa ia tidak mendapatkan oksigen?
“Kami mencoba memahami hal itu. Jadi hanya ada sedikit literatur. Sungguh, tidak ada yang diketahui,” katanya.
Dia menyebutkan hibernasi dan memberi tahu saya bahwa dia punya hipotesis berikut: sebagai hewan, termasuk setidaknya tikus dan manusia, kita memiliki mekanisme endogen untuk mengatasi kekurangan oksigen.
“Sampai saat ini, otak dianggap sebagai pihak yang dikesampingkan dalam kejadian serangan jantung: ketika jantung berhenti, otak pun mati. Itulah pemikiran saat ini: otak tidak bisa menghadapi hal ini dan mati begitu saja.”
Tapi, dia menegaskan, kita tidak tahu apakah itu benar.
Dia yakin otak tidak mudah berhenti begitu saja.
Sama seperti ketika merespons krisis-krisis lainnya, otak terus berjuang:
“Hibernasi adalah salah satu contoh bagus yang saya yakini [menunjukkan] otak sebenarnya dilengkapi dengan mekanisme untuk bertahan dari cobaan berat atau kekurangan oksigen ini. Tapi itu masih harus diselidiki.”
Masih banyak yang perlu diungkap
Dr Borjigin menganggap bahwa apa yang dia dan timnya temukan dalam penelitian hanyalah puncak gunung es raksasa dan masih banyak hal yang perlu diungkap:
“Saya percaya bahwa otak memiliki mekanisme endogen untuk menghadapi hipoksia [ketika otak kekurangan oksigen] yang tidak kita pahami.
“Jadi secara dangkal kita tahu bahwa orang yang mengalami serangan jantung mempunyai pengalaman subjektif yang luar biasa ini, dan data kami menunjukkan bahwa pengalaman tersebut disebabkan oleh peningkatan aktivitas otak.
“Sekarang pertanyaannya adalah: mengapa otak manusia yang sekarat meningkatkan aktivitas otak?
“Kita perlu bersatu untuk memahami, mempelajari, meneliti, mencari tahu karena kita mungkin membuat diagnosis dini kematian jutaan orang karena kita tidak memahami mekanisme kematian.”