Apakah Amerika Serikat Sedang Resesi?

Konten Media Partner
21 September 2022 14:00 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Michelle Fleury, Koresponden Bisnis Amerika Utara, New York
Apakah Amerika Serikat Sedang Resesi?
zoom-in-whitePerbesar
Tiga dari lima orang warga Amerika berkata negara mereka sedang mengalami resesi, menurut survei terbaru dari Economist/YouGov. Lalu mengapa resesi belum ditetapkan secara resmi?
Inflasi melambung tinggi - yang tertinggi sejak tahun 1980-an - telah membuat kecut banyak orang.
Sejumlah warga Amerika mengaku membatasi bepergian dengan mobil untuk mengurangi konsumsi bensin, memilih tak membeli produk-produk organik, dan mencari diskonan untuk menghemat beberapa dolar.
Dan ada lebih banyak kabar buruk. Pasar perumahan yang dulu pernah berjaya mulai melambat, membuat ekuitas yang terkunci di sektor properti menjadi tak pasti.
S&P 500 juga terpukul. Indeks tahun ini turun 19%, yang berarti menghilangnya triliunan modal - membuat semua orang, dari pengusaha muda hingga pensiunan, gugup.
Tapi mungkin resesi ini hanyalah perasaan saja, karena badan pemerintah yang punya kuasa untuk mengumumkan keadaan ini masih membisu.

Apa itu resesi?

Dalam keadaan ekonomi yang tumbuh, warga suatu negara menjadi sedikit lebih kaya secara rata-rata, karena nilai barang dan jasa yang mereka hasilkan - atau Produk Domestik Bruto (PDB) mereka - meningkat.
Namun terkadang, nilai PDB turun, dan resesi biasanya didefinisikan ketika penurunan ini terjadi selama dua kali tiga bulan - atau kuartal - berturut-turut.
Umumnya ini adalah pertanda bahwa perekonomian sedang buruk dan bisa berarti, dalam jangka pendek, akan ada banyak bisnis yang melakukan PHK.

Jadi, apakah Amerika sedang resesi?

PDB Amerika turun berturut-turut selama dua kuartal - 1,6% pada kuartal pertama 2022, dan 0,6% di kuartal berikutnya. Untuk beberapa negara, itu berarti resesi. Tapi tidak di AS.
Secara resmi, keadaan resesi diumumkan oleh Bussiness Cycle Dating Committee - badan kurang dikenal yang terdiri dari delapan ahli ekonomi yang dipilih oleh Biro Nasional Riset Ekonomi, sebuah organisasi non-profit. 
Dan sejauh ini, komite ini masih belum mengumumkan keadaan resesi di AS.

Bagaimana tingkat suku bunga yang lebih tinggi memengaruhi ekonomi AS?

Untuk menurunkan harga-harga, bank sentral AS - Federal Reserve atau The Fed - menaikkan suku bunga. Harapannya, dengan membuat semakin mahal untuk meminjam uang, orang-orang akan menghabiskan lebih sedikit uang dan menabung lebih banyak.
Menurunnya permintaan konsumen akan membuat harga-harga barang dan jasa yang melambung tinggi menjadi turun - tapi ini butuh waktu. 
Meskipun harga bahan bakar baru-baru ini turun, biaya makan dan sewa properti terus naik. Ini membuat bank sentral AS jadi sorotan.
The Fed diharapkan menaikkan tingkat suku bunga jangka pendeknya sebanyak tiga per empat poin untuk ketiga kalinya secara berturut-turut pada pertemuan terakhirnya, dengan harapan dapat mempercepat penurunan harga-harga.
Kenaikan besar seperti ini akan mendorong tingkat suku bunga acuannya - dari kisaran 3% hingga 3,25%, level yang tertinggi dalam 14 tahun.
Bahaya di baliknya, jika langkah ini terlalu jauh, maka pertumbuhan ekonomi justru terhambat dan tingkat pengangguran akan memuncak - risiko yang saat ini menjadi dasar ketakutan soal resesi.

Jalan panjang dan berliku?

Resesi atau tidak, pertanyaan pentingnya adalah, apa yang akan terjadi selanjutnya? Sejumlah kalangan meyakini hal-hal buruk tak dapat dihindari.
“Belum pernah terjadi di mana kita mengalami inflasi di atas 4% dan tingkat pengangguran di bawah 4%, dan kita tidak mengalami resesi selama dua tahun,” kata mantan Menteri Keuangan AS Larry Summers, baru-baru ini.
Ekonom Nouriel Roubini - yang pernah meramalkan kehancuran ekonomi pada 2018 - sepakat.
Dia meyakini jalan “panjang dan berliku” menuju resesi yang bisa bertahan hingga 2023.

Kesempatan untuk ‘soft landing’

Sebanyak 315.000 pekerjaan dibuka di AS pada Agustus.
Meskipun sejumlah peringatan di atas telah membuat banyak orang khawatir, masih banyak yang meyakini “soft landing” - atau perlambatan perekonomian yang moderat, alih-alih resesi penuh - masih mungkin terjadi.
Dengan skenario ini, kita akan melihat pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat tanpa gejolak yang bisa mengakibatkan penurunan drastis.
Optimisme ini diperkuat dengan pasar kerja Amerika saat ini. Pelaku bisnis menerima 315.000 angkatan kerja pada Agustus lalu. Ini bukanlah tanda-tanda ekonomi yang terpuruk, menurut Gubernur The Fed, Christopher Waller.
Dalam pidatonya baru-baru ini di Wina, dia menepis kekhawatiran resesi.
“Pasar tenaga kerja AS yang kuat memberi kita fleksibilitas untuk menjadi agresif dalam memerangi inflasi,” kata dia.
Fed juga menekankan, tidak akan ragu menjaga tingkat suku bunga tinggi, selama hal tersebut dapat menurunkan inflasi.
Dengan bank sentral AS yang tampak bertekad bulat dalam usaha mereka menurunkan harga-harga, proses ini kemungkinan tidak akan selalu mulus. Jika tingkat suku bunga naik terlalu tinggi, resesi akan terjadi. Tapi jika naik terlalu sedikit, inflasi akan terus meninggi.
Presiden Federal Reserve Bank of Atlanta Raphael Bostic mengakui proses ini sangat rumit dan baru-baru ini mengatakan bahwa soft landing “sangat sulit dilakukan.”