Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Apakah Pembunuh Bisa Insaf atau Mereka Memang Terlahir sebagai Monster Keji?
21 Desember 2024 9:15 WIB
Apakah Pembunuh Bisa Insaf atau Mereka Memang Terlahir sebagai Monster Keji?
Seorang psikiater menceritakan pengalamannya menjadi terapis bagi pembunuh. Menurut dia, tidak ada orang yang terlahir jahat.
Peringatan: Artikel ini berisi detail yang mungkin dianggap mengganggu oleh sebagian pembaca.
Pada 20 Agustus 1989, Erik and Lyle Menendez memasuki ruang bersantai di kediaman mereka di Beverly Hills.
Malam itu, kedua orang tua mereka tengah menonton film berjudul The Spy Who Loved Me. Tiba-tiba saja Erik dan Lyle Menendez menghabisi sang ayah dan ibu dengan senapan laras pendek dalam jarak dekat.
Kakak beradik itu dijatuhi hukuman penjara seumur hidup tanpa jaminan. Bertahun-tahun kemudian, cerita mereka luntur seiring berjalannya waktu.
Kemudian, pada September tahun ini, mereka kembali menjadi perbincangan menyusul dirilisnya serial drama dan dokumenter Netflix tentang kejadian tersebut.
Kasus Erik dan Lyle Menendez juga ditinjau kembali karena ada bukti baru yang belum ditampilkan dalam persidangan terdahulu.
Pada Senin (28/11) lalu—28 tahun setelah persidangan terakhir mereka—mereka menghadap meja hijau melalui telekonferensi dari penjara.
Tante Erik dan Lyle Menendez memohon agar keduanya dibebaskan.
“Saya rasa sudah saatnya mereka berdua pulang,” ujar si tante dalam permohonannya.
Paman mereka punya pandangan lain: abang dan adik itu “berdarah dingin” dan mereka harus dipenjara selamanya.
Yang membuat saya tertegun dari semua ini adalah adanya dua pandangan bertolak belakang tentang Erik dan Lyle Menendez—bahkan dari sanak saudara mereka.
Apakah kakak beradik itu—meminjam judul Netflix—memang “monster”? Atau, seperti klaim tante mereka, mereka bisa berubah dan insaf?
Selama 30 tahun, saya bekerja sebagai psikiater forensik dan psikoterapis di banyak rumah sakit jiwa dan lembaga pemasyarakatan di Inggris.
Salah satunya adalah Broadmoor, rumah sakit jiwa dengan keamanan tinggi di Crowthorne, Berkshire.
Dari pengalaman ini, saya sudah berbicara dengan ratusan pelaku kejahatan yang melakukan perbuatan keji. Mereka semua berupaya bertanggung jawab.
Sebagian orang berpendapat ini adalah tugas yang mustahil.
“Apa benar orang-orang ini tertolong? Bukannya mereka memang terlahir demikian?”
Yang tersirat adalah mereka monster abnormal yang bisa menyakiti orang lain dengan cara yang mengerikan.
BBC News Indonesia hadir di WhatsApp .
Jadilah yang pertama mendapatkan berita, investigasi dan liputan mendalam dari BBC News Indonesia, langsung di WhatsApp Anda.
Atau bahwa para pembunuh, mulai dari Rose West hingga Harold Shipman, Lucy Letby hingga Peter Sutcliffe, bukanlah manusia.
Ketika pertama kali mulai bekerja di bidang ini, saya memang berasumsi bahwa pelaku kekerasan dan pembunuhan sangatlah berbeda dari kita semua.
Sekarang, saya tidak lagi berpikir seperti itu.
Penyebab sesungguhnya dari pikiran yang kejam—sebuah topik yang saya teliti dalam The Reith Lectures, yang disiarkan oleh BBC Radio 4 sebanyak empat episode.
Hal ini berbeda dengan apa yang digambarkan drama kejahatan nyata atau transkrip pengadilan.
Kenyataannya jauh lebih kompleks daripada sekadar memberi label ‘jahat’ kepada seseorang.
Si pembunuh berantai yang ‘rentan’
Saya mulai bekerja di Broadmoor sembari menyelesaikan pelatihan psikoterapi pada 1996. Tidak lama kemudian, saya menerima pasien bernama Tony. Dia telah membunuh tiga orang dan memenggal kepala salah satunya.
Pada titik itu, saya sudah membaca banyak laporan mengerikan tentang pembunuh berantai. Akan tetapi, tidak banyak petunjuk yang tersedia tentang bagaimana berbicara dengan mereka atau menawarkan terapi.
Saya sempat bertanya-tanya apakah ada gunanya terapi bagi mereka. Bagaimana kita bisa tahu apakah individu itu “sudah membaik”?
Ketika Tony menjadi pasien saya, dia sudah menjalani hukuman selama 10 tahun.
Sebelum kami mulai terapi, dia sempat ditusuk dengan sikat gigi yang diasah tajam oleh tiga tahanan lain.
Tony pun sempat mencoba bunuh diri setelah itu.
Baca juga:
Pada sesi pertama kami, terjadi keheningan. Tony melipat tangannya dan menghindari tatapan mata saya.
Ketika dia melihat ke atas, matanya sangat gelap sehingga tampak hampir hitam. Tony menderita depresi dan mengalami mimpi buruk.
“Saya rasa di sini damai,” ujar Tony akhirnya, memecah keheningan.
“Ada seorang pria di ruang tahanan sebelah saya yang terus berteriak di malam hari.”
Butuh berbulan-bulan bagi Tony untuk mulai terbuka tentang mimpi buruknya yang terus berulang.
Dalam mimpinya Tony mencekik seorang pemuda yang kemudian berubah bentuk menjadi ayahnya.
Kami kemudian membahas tindak kriminal Tony, keluarganya, dan bagaimana masa kecilnya diwarnai kekerasan fisik dari ayahnya.
Lama kelamaan, Tony mulai merundung orang lain.
Baca juga:
Belakangan, saya tahu bahwa pria “di ruang tahanan sebelah” Tony yang berteriak pada malam hari adalah dirinya sendiri.
Saya bilang ke Tony bahwa mungkin dia sedang meneriakkan hal-hal yang tidak bisa dia ungkapkan.
Wajah Tony jatuh ke kedua tangannya—suaranya teredam suaranya.
“Tidak... saya tidak mau,” akunya. “Saya tidak bisa selemah itu.”
Saya menjadi terapis untuk Tony selama 18 bulan. Pada akhirnya, perasaan belas kasih dan rasa hormat atas kejujuran Tony muncul dari diri saya.
Di sisi lain, saya masih mengingat jejak kehancuran mengerikan yang disebabkannya.
Fakta bahwa Tony sendiri yang meminta terapi juga merupakan tanda bahwa sebagian dirinya siap untuk menjadi rentan.
Pengalaman awal itu mengajarkan saya bahwa siapa saja dapat menemukan makna dari kekacauan, selama mereka bersikap penasaran atas pikiran mereka.
Tidak peduli sejarah mereka—termasuk pembunuh berantai sekalipun.
Orang jahat versus pikiran jahat
Para pembunuh berantai biasanya diasumsikan sebagai psikopat. Namun, saya tidak yakin itu berlaku untuk Tony.
Mengapa? Seorang psikopat tidak mungkin meminta bantuan. Para psikopat tidak ingin melakukan sesuatu yang mereka anggap rendah.
Dari situ saja, Tony tidak memenuhi kriteria karena dia meminta terapi.
Psikopat yang saya temui sepanjang karier saya tidaklah cerdas luar biasa atau mampu secara sosial. Mereka juga tidak sama sekali menawan seperti asumsi orang-orang.
Psikopat biasanya sangat minim empati sampai-sampai tidak mampu melihat dampak mereka terhadap orang lain.
Berbeda dengan kepercayaan umum, sangat sedikit pembunuh yang sebenarnya psikopat—terutama pelaku pembunuhan domestik seperti Erik dan Lyle Menendez.
Kisah Tony juga menggarisbawahi bagaimana kesulitan yang dihadapinya semasa kecil mempengaruhi tindak kekerasannya.
Kakak beradik Menendez mengeklaim sebagai korban kekerasan fisik dan seksual yang dilakukan ayah mereka.
Pembelaan ini ditentang di pengadilan sebelum Erik dan Lyle Menendez dijatuhi hukuman seumur hidup.
Akan tetapi, sebagian besar orang telah mengalami trauma masa kecil yang parah. Di Inggris, misalnya, sebanyak 10%-12% mengaku menjadi korban kekerasan saat masih anak-anak.
Namun, jumlah pelaku tindakan kekerasan kriminalnya jauh lebih kecil.
Lantas apa yang membuat sebagian orang merespons trauma masa kecil dengan kekerasan, sementara yang lainnya tidak?
Mungkinkah orang-orang itu disebut “monster”?
Atau, seperti yang dikatakan beberapa pasien saya terdahulu: “Saya telah melakukan hal-hal jahat, tetapi apakah itu membuat saya jahat?”
Tidak ada bukti ilmiah bahwa orang terlahir “jahat”.
Baca juga:
Dalam pengalaman saya, tidak ada yang namanya orang jahat. Alih-alih, yang ada adalah keadaan pikiran yang jahat.
Kepada pasien-pasien tadi, biasanya saya memulai jawaban dengan mengatakan bahwa siapa pun bisa masuk ke dalam keadaan pikiran yang jahat.
Pikiran yang jahat sendiri didominasi emosi biasa seperti kebencian, iri hati, keserakahan, dan kemarahan.
Sebagian besar dari kita sesungguhnya memiliki kapasitas untuk menjadi kejam. Namun, faktor-faktor risiko yang memicu sebagian orang melakukan tindak kekerasan ekstrem adalah spesifik.
Ibaratnya seperti ini: Bayangkan kunci koper yang membutuhkan kombinasi angka supaya bisa dibuka. Nah, beberapa faktor risiko biasanya harus muncul pada saat bersamaan sebelum kekerasan meletus.
Orang yang jahat atau pikiran yang jahat?
Dalam pengalaman saya, tidak ada yang namanya orang jahat. Alih-alih, yang ada adalah keadaan pikiran yang jahat.
Kepada pasien-pasien tadi, biasanya saya memulai jawaban dengan mengatakan bahwa siapa pun bisa masuk ke dalam keadaan pikiran yang jahat.
Pikiran yang jahat sendiri didominasi emosi biasa seperti kebencian, iri hati, keserakahan, dan kemarahan.
Sebagian besar dari kita sesungguhnya memiliki kapasitas untuk menjadi kejam. Namun, faktor-faktor risiko yang memicu sebagian orang melakukan tindak kekerasan ekstrem adalah spesifik.
Ibaratnya seperti ini: Bayangkan kunci koper yang membutuhkan kombinasi angka supaya bisa dibuka. Nah, beberapa faktor risiko biasanya harus muncul pada saat bersamaan sebelum kekerasan meletus.
Faktor risiko paling umum adalah laki-laki usia muda (dengan tingkat agresi dan impulsivitas yang lebih tinggi); kondisi mabuk narkoba dan alkohol; memiliki riwayat konflik keluarga dan perceraian; dan riwayat melanggar aturan kriminal.
Keadaan pikiran paranoid yang disebabkan kondisi kesehatan mental tertentu juga bisa menjadi faktor risiko—meskipun ini terhitung jarang.
Namun, faktor risiko paling utama dalam pembunuhan adalah sifat hubungan dengan korban, terutama apakah ada konflik dalam hubungan ini.
Seperti banyak diketahui, sering kali perempuan menjadi korban pembunuhan yang dilakukan pasangan atau anggota keluarga laki-laki,
Sebagian besar anak menjadi korban pembunuhan yang dilakukan orang tua atau ayah tiri mereka.
Pembunuhan orang asing jarang terjadi dan, dalam kasus seperti ini, pelakunya cenderung mengalami gangguan mental yang parah.
Apabila menggunakan analogi “kunci koper” tadi, maka “angka-angka pertama” bisa bersifat sosiopolitik. Sementara sisanya barangkali spesifik di masing-masing pelaku.
“Angka-angka terakhir” yang menyebabkan kunci koper terbuka bisa jadi merupakan sesuatu yang terjadi antara korban dan pelaku.
Misalnya, komentar sembarangan, tindakan yang dianggap sebagai ancaman, atau sesuatu yang terkesan sepele sederhana seperti hasil skor pertandingan sepak bola.
Sebagai catatan, kekerasan dalam rumah tangga meningkat sebesar 38% ketika tim Inggris kalah, menurut penelitian Universitas Lancaster.
Tatkala “kunci koper” terbuka, yang sering kali terjadi adalah gelombang emosi yang luar biasa yang mendistorsi bagaimana orang tersebut melihat segala sesuatu.
Kabar baiknya adalah selama 20 tahun terakhir, terjadi penurunan angka pembunuhan di Inggris dan negara-negara lainnya. Tren ini sebagian besar dipicu perubahan dalam beberapa faktor tadi.
“Penurunan angka pembunuhan sejak tahun 2004 di Inggris—yang juga terjadi di AS, Spanyol, Italia, dan Jerman—sebagian disebabkan perubahan gaya hidup seperti pengurangan minuman keras dan konsumsi ganja di kalangan remaja,” ujar Profesor Manuel Eisner, direktur Institut Kriminologi di Universitas Cambridge.
“[Ini juga] merupakan pengaruh perkembangan teknologi seperti ponsel dan kamera CCTV, yang memperkuat pengawasan dan memungkinkan orang-orang meminta pertolongan dalam situasi genting.”
Selain itu, Eisner mengaitkan penurunan tersebut dengan pergeseran-pergeseran yang lebih luas. Termasuk di antaranya penguatan norma-norma budaya yang menentang perundungan dan kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak.
Selalu akan ada sebagian kecil orang yang pikirannya tidak dapat diubah—sesuatu yang senantiasa menjadi risiko.
Akan tetapi, dengan memperhatikan narasi dalam sebagian besar kasus pembunuhan, kita bisa menemukan cara untuk mengubah pikiran-pikiran kekerasan tadi menjadi lebih baik.
Empati radikal sebagai pencegahan kekerasan
Pada 2004, saya bertemu dengan seorang pria bernama Jack yang membunuh ibunya ketika dia berusia 20-an tahun.
Jack didiagnosis menderita skizofrenia paranoid sehingga dia dikirim ke rumah sakit untuk perawatan.
Dia kemudian bergabung dengan kelompok terapi yang saya pimpin di Rumah Sakit Broadmoor.
Tiap-tiap sesi kelompok terapi ini kira-kira berlangsung satu jam. Mereka yang mengikuti sesi telah membunuh anggota keluarga saat mengalami gangguan mental.
Dalam beragam sesi, pasien-pasien berbicara tentang bagaimana mereka dapat menghindari kekerasan di masa depan.
Setelah satu tahun menjalani terapi, tepat setelah pasien lain berbicara tentang penyesalan masa lalu, Jack tiba-tiba angkat bicara.
“Saya berharap saya bisa meminta maaf kepada ibu saya atas apa yang telah saya lakukan,” katanya.
“Saya tahu saya sakit mental, tetapi saya berharap saya bisa mengatakan betapa menyesalnya diri ini dan dia bisa memaafkan saya. Saya harap dia mengerti betapa saya menyesalinya.”
Dengan melihat diri mereka sendiri pada pelaku lain, beberapa anggota kelompok dapat belajar bahwa pikiran dapat menipu diri mereka bahwa seseorang harus mati.
Mereka juga belajar bagaimana gelombang amarah, rasa malu, dan ketakutan dapat membuat mereka salah menafsirkan tindakan dan kata-kata.
Jack tampak lebih terlibat setelah sesi itu dan kesehatan mentalnya membaik. Dia kemudian dipindahkan ke rumah sakit lain untuk rehabilitasi lebih lanjut.
Baca juga:
Meskipun terapi kelompok membutuhkan waktu, tetapi banyak pria lain seperti Jack yang akhirnya dinilai cukup aman untuk pindah ke fasilitas perawatan dengan tingkat keamanan lebih rendah.
Ini merupakan tanda perbaikan dan hanya dilakukan jika kami dapat menentukan tingkat risiko mereka untuk mengulangi kejahatan tidaklah signifikan.
Yang paling penting, mereka juga belajar bertanggung jawab.
Jack membantu saya menyadari bahwa orang yang membunuh bukanlah monster tanpa pikiran yang terlahir demikian.
Dia adalah seorang pria biasa yang telah melakukan hal yang di luar kebiasaan, seperti banyak orang lainnya.
Ini semua bukanlah alasan untuk melakukan kekerasan. Setiap kejahatan kekerasan adalah tragedi bagi semua yang terlibat.
Akan tetapi, melabeli seseorang sebagai monster tidaklah membantu. Pelabelan itu hanya salah satu cara untuk menghadapi rasa amarah dan ketakutan.
Apabila kita mengabaikan semua orang yang telah membunuh atau melakukan kekerasan dengan cara seperti ini, maka kita kehilangan kesempatan untuk mengurangi dan mencegahnya.
Dibutuhkan empati radikal untuk duduk bersama pria yang memenggal pasangannya, atau perempuan yang menusuk temannya sendiri.
Demi memahami mereka dan mendapatkan wawasan baru tentang diri kita sendiri, kita harus menempatkan diri kita dalam posisi mereka.
Dan itulah yang pada akhirnya mengarah pada perubahan.