Babak Baru Kasus Dugaan Pelecehan Seksual di IAIN Ambon Setelah Persma Ditutup

Konten Media Partner
19 Juli 2022 17:26 WIB
·
waktu baca 9 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Aksi solidaritas mahasiswa untuk LPM Lintas atas pembekuan lembaga ini.
zoom-in-whitePerbesar
Aksi solidaritas mahasiswa untuk LPM Lintas atas pembekuan lembaga ini.
Sejumlah mahasiswa IAIN Ambon yang pernah berkecimpung di Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Lintas mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negeri (PTUN) Ambon terkait pembekuan lembaga mereka.
Rektor IAIN Ambon melalui surat keputusannya "membekukan" kepengurusan LPM Lintas setelah organisasi mahasiswa ini menerbitkan liputan investigasi yang menguak dugaan kasus-kasus kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi Islam tersebut.
Pihak kampus menyebut investigasi yang dilakukan LPM Lintas sebagai "rekayasa" dan "dimainkan oleh orang tertentu".
Sebelumnya, sembilan mahasiswa yang menjadi tim investigasi LPM Lintas juga dilaporkan ke polisi oleh pihak kampus karena "melecehkan nama baik", dan kembali diancam dengan UU ITE.
Namun, langkah ini disebut LPM Lintas dan koalisi organisasi jurnalis sebagai "pemberedelan".
Langkah gugatan ini juga disebut menjadi pertaruhan agar tidak ada lagi korban kekerasan seksual berikutnya di kampus, yang menurut catatan Komnas Perempuan menjadi lokasi paling banyak dilaporkan kasusnya di lembaga pendidikan dalam tiga tahun tahun terakhir.
Baca juga:
IAIN Ambon salah satu perguruan tinggi keagamaan Islam juga dikenal sebagai kampus hijau.
Idris Boufakar, mahasiswa semester akhir jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam dari IAIN Ambon, baru saja keluar dari gedung PTUN Ambon. Ada rasa canggung karena baru pertama kali berurusan di pengadilan, kata dia.
"Tapi, dengan modal berani dan ingin memperjuangkan yang benar, maka itu semua akan hilang dengan sendirinya," kata Idris, Jumat (15/07) yang dimintai pengadilan untuk melengkapi berkas.
Gugatan ini dilayangkan 7 Juli 2022 lalu sebagai langkah menggugurkan SK Rektor yang membekukan LPM Lintas setelah organisasi mahasiswa ini menerbitkan liputan investigasi bertajuk IAIN Ambon Rawan Pelecehan.
Investigasi ini disebut dilakukan sejak 2017 dengan melibatkan 32 narasumber yang mengaku sebagai korban kekerasan seksual (25 perempuan dan tujuh laki-laki). Seluruh nama narasumber disamarkan dalam liputan ini. LPM Lintas juga menuduh pelakunya didominasi dosen dan pegawai kampus.
Laporan ini dicetak dalam bentuk majalah dan diedarkan 14 Maret 2022.
Beberapa hari setelah itu, Rektor IAIN Ambon mengeluarkan surat keputusan yang mengatakan masa kepengurusan LPM Lintas sudah berakhir, dan "sudah tidak sesuai dengan visi dan misi IAIN Ambon".
Pembekuan LPM Lintas berlaku "sampai dengan batas waktu yang tidak ditentukan," tulis SK Rektor.
"Kami melanggar apa? Ini kan produk jurnalistik. Yang kami lakukan adalah karya jurnalistik. Kami berhak berkarya, apalagi di kampus ini ada jurusan jurnalistik," Idris bertanya-tanya tentang alasan kampusnya membekukan LPM Lintas.
Hari-hari setelah penerbitan majalah edisi II LPM Lintas merupakan waktu yang cukup dramatis di IAIN Ambon. Selain surat pembekuan LPM Lintas, sejumlah mahasiswa yang kami ajak bicara menyebut ada beberapa pria tak dikenal mendatangi sekretariat dan melakukan kekerasan kepada sejumlah pengurus LPM Lintas.
Pihak kampus juga mengambil alih komputer, printer dan proyektor dari sekretariat LPM Lintas, kata mahasiswa.
"Nah, itu kan berarti mereka menghentikan aktivitas jurnalistik kami. Saya pikir, alasan kampus ini nggak rasional," kata Yolanda Agne, pemimpin redaksi LPM Lintas dalam majalah bertajuk "IAIN Ambon Rawan Pelecehan".
Tidak rasional, kata Yolanda, ini merujuk pada alasan pembekuan karena kepengurusan organisasi yang sudah masa habis waktunya.
"Kembali lagi ke AD/ART [Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga] Lintas, bahwa setiap kepengurusan selesai itu seharusnya ada regenerasi di mana kami melakukan musyawarah besar di internal lintas.
"Bukan dibekukan seperti ini. Pembekuan sama dengan pembredelan," tuduh Yolanda.

'Demi nama baik kampus'

Sejumlah mahasiswa di kampus IAIN Ambon sedang melakukan aktivitas akademis.
Tak sampai di situ, pihak kampus juga membawa kasus ini ke kepolisian. Sembilan mahasiswa pengurus LPM Lintas, termasuk Idris dan Yolanda, dituduh mencemarkan nama baik.
"Mereka itu kan melakukan tindakan yang sudah berlebihan," kata Wakil Rektor III IAIN Ambon, M. Faqih Seknun kepada wartawan Khairiyah Fitri yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Jumat (15/07).
"Melapor itu adalah hak kita penuh, karena mereka melakukan… Ya, kita dianggap mengganggu dan melecehkan nama baik kita. Maka kita laporkan nama baik," katanya, sambil menambahkan akan menggunakan UU ITE untuk tambahan laporan ke kepolisian.
Lebih lanjut, M Faqih Seknun juga mengatakan liputan kasus pelecehan seksual di IAIN Ambon oleh LPM Lintas sebagai "rekayasa".
"Itu rekayasa mereka kan, apa yang ada di sini. Di sini kan lembaga pendidikan yang mereka melakukan pendidikan dengan baik… Kalau memang korban, kenapa orang yang korban tidak lapor? Ya, sekarang maunya terbuka dong. Polisi ada, hukum ada," katanya.
"Itu ada skenario yang dimainkan oleh orang tertentu yang memang tidak, bisa saja tidak suka dengan pimpinan yang ada."
Pihak kampus juga menyatakan sejauh ini, sembilan mahasiswa yang sebelumnya masuk dalam tim investigasi LPM Lintas tidak mendapatkan layanan akademis sampai proses hukumnya selesai.
Surat panggilan "wawancara" dari Polda Maluku ditujukan kepada sembilan mahasiswa yang menjadi tim investigasi majalah "IAIN Ambon Rawan Pelecehan".
"Mereka harus berhubungan dengan hukum dulu. Kalau hukum ini sudah pertanggungjawaban ya maka ya silakan, itu hak mereka," kata M Faqih Seknun.
Di sisi lain, Direskrimum Polda Maluku, Kombes Pol Andri Iskandar mengatakan proses penyelidikan laporan pencemaran nama baik ini tak bisa ditentukan waktunya.
"Tidak bisa ditentukan lamanya waktu proses lidik dan sidik itu, karena pasti hal-hal yang di luar prediksi yang dapat menjadi kendala dari penyidik selama proses tersebut," katanya.
Selain itu, Andri Iskandar juga mengatakan "Penghentian penyelidikan dan penyidikan ada mekanismenya, tidak serta merta dihentikan," ketika menanggapi kasus ini semestinya bisa ditangani melalui Undang Undang Pers, di mana pihak yang keberatan bisa mengajukan sanggahan ke redaksi.
Sebelumnya, kasus ini juga telah mendapat penilaian dari Dewan Pers.
Dalam penilaiannya, Dewan Pers mengatakan produk yang dihasilkan oleh LPM Lintas "selayaknya patut diberikan apresiasi dan penghargaan karena mengangkat kepentingan publik yang bersifat mendesak mengingat jumlah korban kekerasan yang sangat banyak".
Dewan Pers juga menyerukan agar pihak kampus tidak membekukan LPM Lintas, "tetapi dioperasionalkan kembali sebagaimana sedia kala," tulis surat penilaian Dewan Pers yang dikeluarkan 13 Mei 2022.

Tekanan dari organisasi jurnalis

Aktivitas LPM Lintas sebelum adanya SK Rektor.
Polemik penerbitan liputan kekerasan seksual di IAIN Ambon juga mendapat perhatian dari sejumlah organisasi, yaitu LBH Pers Jakarta, Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), Ikatan Jurnalis Televisi (IJTI) Pengurus Daerah Maluku, AJI Kota Ambon, dan Persatuan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI).
Organisasi yang berkumpul dalam Koalisi Pembela LPM Lintas ini menyerukan agar PTUN Ambon membatalkan SK Rektor yang membekukan LPM Lintas dan mengusut kasus dugaan kekerasan seksual di IAIN Ambon.
Mona Ervita dari LBH Pers Jakarta mengatakan, pengungkapan dugaan kekerasan seksual di kampus yang berakhir dengan represi seperti ini, bukan pertama kali. Tahun ini, kata dia, lembaganya sudah menerima dua kasus serupa.
"Namun lagi-lagi karena nama baik kampus, yang di mana konten jurnalistik yang ditemukan teman-teman Lintas ini merupakan sebuah gangguan bagi akademisi di IAIN Ambon," kata Mona.
Mona yang juga merupakan advokat hak-hak perempuan mengatakan, gugatan ke PTUN Ambon yang dilayangkan LPM Lintas ini menjadi pertaruhan bagi pengungkapan dugaan kekerasan seksual di lingkungan pendidikan.
Sekretariat LPM Lintas setelah rektor IAIN Ambon mengambil langkah "membekukan".
Sejauh ini terdapat dua regulasi terkait dengan pencegahan dan penanganan kasus dugaan kekerasan seksual di perguruan tinggi, yaitu Permendikbud No. 30 Tahun 2021 dan SK Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama Nomor 5494 Tahun 2019.
"Sebagus apa pun peraturan kalau sulit diterapkan, atau susah diungkap, itu percuma saja," katanya.
BBC telah menghubungi Dirjen Pendidikan Tinggi, Profesor Nizam. Melalui pesan singkat ia berjanji akan menindaklanjuti persoalan ini. "Kita sampaikan ke rekan-rekan Kemenag [Kementerian Agama]," katanya.
Sementara, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas belum merespons permintaan wawancara BBC, termasuk staf khusus menteri agama, Ishfah Abidal Aziz.

Korban makin takut

Yolanda Agne menceritakan kepada BBC sejumlah penyintas kekerasan seksual yang pernah menjadi narasumber LPM Lintas "mulai pada takut karena melihat reaksi kampus yang begitu represif."
"Memang mereka pas wawancara sama kita itu terbuka, cuma semakin ke sini mereka semakin hampir sedikit berkomunikasi dengan kami, karena itu tadi. Mereka takut studi mereka bakal dipersulit," kata Yolanda.
Berdasarkan laporan Komnas Perempuan periode 2017 - 2021, perguruan tinggi menempati posisi teratas dalam catatan dugaan kekerasan seksual di lembaga pendidikan, yaitu 35 kasus. Kedua, ditempati oleh pesantren dengan 16 kasus dan sekolah menengah atas (SMA) sebanyak 15 kasus.
Sekretariat LPM Lintas menjadi ruang bagi mahasiswa yang berminat di bidang jurnalistik untuk menyalurkan bakatnya.
Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani mengatakan kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan terjadi karena adanya "relasi yang timpang" antara pendidik dan yang dididik.
"Di mana mahasiswa sangat tergantung kepada nilai yang diberikan oleh si dosen, sehingga menyebabkan dia juga agak kesulitan untuk menyatakan keberatannya, dan juga ketakutan untuk melaporkan kasusnya," kata Andy.
Dalam kasus LPM Lintas, menurutnya ini merupakan peringatan bagi perguruan tinggi untuk berbenah dalam upaya pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual.
"Melihat pemberitaan tentang kekerasan seksual itu sebagai peringatan bahwa besar kemungkinan, peristiwa-peristiwa kekerasan seksual itu justru tidak terlaporkan di dalam lingkungannya," lanjut Andy.

Untuk generasi penerus

Lingkungan di IAIN Ambon.
Pengungkapan kasus dugaan kekerasan seksual di lingkungan kampus yang dihadapi sejumlah mahasiswa yang terlibat dalam LPM Lintas di IAIN Ambon merupakan perjuangan berat bagi mereka.
Proses untuk memutuskan penerbitan hasil investigasi selama empat tahun ini kemudian sudah bulat. Segala reaksi dari kampus berupa pembredelan sampai terhambat secara akademis, sudah diprediksi.
Mereka pun harus membayar liputan ini dengan ketidakpastian kelulusan kuliah setelah pihak kampus menyatakan layanan akademik mereka dihentikan sampai proses hukum selesai.
"Ya, akhirnya keputusannya tetap menerbitkan majalah ini. Akibatnya ini, kita sudah memprediksi sebelumnya," kata Yolanda Agne.
Sejauh ini, tambah Yolanda, lima dari sembilan mahasiswa masih aktif kuliah, empat lainnya ada yang sudah wisuda dan ada juga yang tinggal mengambil ijazah.
Yolanda pun sempat menjanjikan untuk lulus Desember mendatang pada orang tuanya, akan tetapi dengan kekisruhan ini, "Ya mungkin bisa terlambat. Mau nggak mau, nanti saya jelaskan ke orang tua."
"Tugas LPM Lintas sebagai pers ya harus berani bicara tentang itu. Kenapa saya pribadi mau berani, karena saya lihat lingkungan saya sendiri, saya kayak prihatin," tutup Yolanda.
Sementara itu, Idris Boufakar ikut menimpali. "Dan hal ini baik sekali dan bermanfaat untuk, bukan saja hari ini, tapi generasi penerus," katanya.

Kronologi gugatan LPM Lintas