Konten Media Partner

Bagaimana Pengaruh Paus Fransiskus dan Gereja Katolik di Dunia?

22 April 2025 7:40 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical

Bagaimana Pengaruh Paus Fransiskus dan Gereja Katolik di Dunia?

Umat Katolik yang mengenakan pakaian tradisional Jawa mempersiapkan prosesi Misa Natal.
zoom-in-whitePerbesar
Umat Katolik yang mengenakan pakaian tradisional Jawa mempersiapkan prosesi Misa Natal.
Lebih dari 1,4 miliar orang di seluruh dunia adalah pemeluk Katolik, menurut data terbaru dari Vatikan. Jumlah ini sekitar 17% dari populasi bumi.
Tidak heran jika Paus Fransiskus menarik banyak orang dalam turnya di Asia pada 2024 silam.
Di Timor-Leste, hampir setengah dari seluruh populasi negeri itu menghadiri misa yang dipimpin Paus Fransiskus di tempat terbuka.
Banyak umat yang khusus datang ke Jakarta demi mengikuti misa, namun tidak sedikit yang gagal mendapatkan tiket untuk mengikuti misa dari dalam stadion.
Setahun sebelumnya, lebih dari satu juta orang menerjang teriknya matahari untuk menghadiri misa di bandara Kinshasa, Republik Demokratik Kongo, sebagai bagian dari turnya di dua negara Afrika.
Misa Akbar di GBK, Jakarta.
Tetapi kemampuan untuk menarik jumlah seperti itu—dan semangat—hanyalah salah satu indikasi dari pengaruh Paus dan Gereja Katolik di seluruh dunia.
Paus tidak hanya memimpin umat Katolik, tetapi juga negara kota Vatikan, dan badan pemerintahannya—Takhta Suci.
Takhta Suci dianggap sebagai entitas berdaulat di bawah hukum internasional.
Dengan kata lain, Vatikan adalah anggota resmi dalam urusan internasional, dengan hubungan diplomatik penuh terhadap 184 negara dan juga Uni Eropa.
Posisi Paus sebagai kepala negara dan pemerintahan, serta pemimpin lebih dari satu miliar umat Katolik, menjadikannya salah satu pemimpin spiritual paling berpengaruh di dunia.
Laki-laki asli Papua memegang foto Paus Fransiskus di depan Kedutaan Besar Vatikan di Jakarta pada Rabu (04/09).
Takhta Suci memiliki status sebagai Pengamat Permanen di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Ia memperoleh tempat duduk di salah satu meja yang paling kuat di dunia.
Meskipun tidak memiliki hak suara penuh, Takhta Suci dapat menghadiri pertemuan dan memanfaatkan pengaruhnya mengarahkan diskusi.
Sebagai contoh, menjelang kesepakatan perjanjian iklim Paris pada 2015, Paus Fransiskus mengkritik apa yang ia sebut sebagai "ketidakpedulian yang sombong" dari pihak-pihak yang telah mengedepankan kepentingan bisnis di atas upaya-upaya menyelamatkan bumi.
Paus Fransiskus setelah memimpin Misa terbuka di Timor Leste pada 2024.
Intervensi di waktu dan penggunaan kata-kata yang tepat dipandang sangat membantu negara-negara dari Global South.
Pada 2024, Takhta Suci memblokir diskusi tentang hak-hak perempuan di KTT Iklim PBB, menyusul perselisihan tentang isu-isu gay dan transgender.
Persoalannya, kesepakatan yang dimaksud akan memberikan bantuan keuangan bagi perempuan yang berada di garis depan dalam menghadapi perubahan iklim.
Vatikan, Arab Saudi, Rusia, Iran, dan Mesir khawatir kesepakatan apa pun dapat mencakup perempuan transgender, dan mereka ingin agar referensi kelompok ini dihapus dari teks.
Baca Juga:
Meskipun Gereja dikritik habis-habisan atas langkah tersebut, hal ini memperlihatkan kekuatannya dalam membentuk kesepakatan yang memengaruhi kehidupan orang-orang di seluruh dunia.
Kesepakatan menormalkan hubungan AS dan Kuba pada 2014 adalah contoh lain dari diplomasi Paus yang efektif.
Presiden Barack Obama dan Raúl Castro secara terbuka berterima kasih kepada Paus Fransiskus karena membantu menengahi pemulihan hubungan tersebut.
Fransiskus menulis surat kepada keduanya dan mengadakan pertemuan rahasia di Vatikan untuk memfasilitasi terobosan tersebut—meskipun AS telah membatalkan perjanjian ini di bawah Presiden Donald Trump.
Paus Fransiskus menyapa Presiden AS saat itu, Barack Obama, saat kunjungan ke Washington 2015.
Namun, kontribusi dan pencapaian terbesar Gereja Katolik selama 25 tahun terakhir adalah pengaruhnya terhadap demokrasi, menurut Prof Daved Hollenbach dari Berkley Center for Religion, Peace and World Affairs di Amerika Serikat.
Konsili Vatikan II pada 1960-an merupakan momentum Gereja secara kritis menilai ajaran-ajaran utamanya dan arahnya.
Mulai titik ini, Gereja berkomitmen membela hak asasi manusia dan kebebasan beragama, sesuatu yang menurut Profesor Hollenbach "merupakan terobosan besar".
Hollenbach menunjuk pada karya seorang ilmuwan politik, Samuel Huntington, yang menemukan bahwa: "Selama kepausan Yohanes Paulus II, hingga awal kepausan Fransiskus, dari negara-negara yang bertransisi dari otoritarianisme ke demokrasi, tiga perempatnya merupakan negara dengan pengaruh Katolik yang kuat."

Baca juga:

"Dimulai dengan Spanyol dan Portugal yang menjauh dari [kediktatoran] Franco dan Salazar, dan kemudian menyebar ke Amerika Latin."
"Kemudian menyebar dari Amerika Latin ke negara-negara seperti Filipina dan Korea Selatan, yang memiliki kehadiran Katolik yang kuat," kata Prof Hollenbach mengutip Huntington.
Karya Paus Yohanes Paulus II membantu mengantarkan demokrasi di negara asalnya, Polandia, kata Prof Hollenbach.
"Pada akhirnya mengarah pada runtuhnya Uni Soviet dan penyebaran demokrasi di banyak bagian bekas Kekaisaran Soviet," kata dia.
Upacara penutupan Konsili Vatikan II di Roma pada 1965.
Bagaimanapun, Vatikan tidak selalu mampu memengaruhi para pemimpin dunia.
Misalnya, saat Wakil Presiden AS, JD Vance—yang juga seorang Katolik—menggunakan teologi untuk membenarkan tindakan keras pemerintahnya terhadap imigrasi.
Paus menulis surat yang sangat keras dengan menyatakan bahwa Yesus sendiri adalah seorang pengungsi.
Pejabat imigrasi veteran AS, Tom Homan—yang juga seorang Katolik—menanggapinya dengan: "Paus seharusnya memperbaiki Gereja Katolik."

Baca juga:

Dan pada 2020, mantan presiden Brasil, Jair Bolsonaro, juga mengecam Paus Fransiskus.
Saat itu, Paus mengatakan pada dunia agar memberi perlindungan terhadap hutan Amazon dan masyarakat adatnya.
"Paus mungkin orang Argentina, tetapi Tuhan adalah orang Brasil," kata Bolsonaro.
Di Eropa, pengaruh sosial Gereja Katolik mulai luntur karena sikap konservatifnya terhadap isu-isu sosial seperti hak-hak LGBT+, kontrasepsi dan aborsi yang sudah tidak sesuai lagi dengan abad ke-21.
Sorotan juga terjadi terhadap penolakan Paus Fransiskus untuk mengizinkan perempuan menduduki posisi kepemimpinan tertentu, seperti menjadi imam atau diakon.
Paus John Paul II bertemu dengan mantan Presiden Soviet, Mikhail Gorbachev di Vatikan pada 1990.
Meskipun Gereja Katolik masih menjadi pengaruh utama di seluruh Amerika Latin, tapi ada titik daya itu telah melemah.
Gereja pernah membentuk dan mempromosikan undang-undang aborsi yang ketat di seluruh wilayah tersebut.
Tetapi selama 20 tahun terakhir, Uruguay, Meksiko, Argentina, dan Kolombia telah membuat aborsi lebih mudah diakses, yang bertentangan dengan ajaran Katolik.
Kekristenan Evangelis juga merambah jumlah dan kekuatan politik di wilayah tersebut.
Di Brasil, negara dengan jumlah penganut Katolik terbesar di dunia, beberapa analis memperkirakan dalam waktu lima tahun ke depan, agama ini tidak lagi menjadi mayoritas.
Dan pengungkapan pelecehan seksual yang terus berlanjut oleh para klerus, serta peran Gereja dalam menyembunyikannya, telah mengikis posisinya secara global.
Namun, siapa pun yang menjadi kepala gereja Katolik akan memiliki pengaruh yang tidak dimiliki pemimpin lain.
Hal ini sebagian berasal dari posisi Paus yang berada di puncak cabang agama Kristen terbesar, dan sebagai kepala negara. Entah itu mencium kaki pihak-pihak yang bertikai di Sudan Selatan, atau menghibur para migran di sebuah kamp pengungsi di Yunani, tindakan Paus, dan posisi Gereja Katolik, akan terus membentuk percakapan global.