Konten Media Partner

Bisnis Menggiurkan di Balik Karier Influencer yang Kerap Diremehkan

14 Oktober 2023 10:15 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Bisnis Menggiurkan di Balik Karier Influencer yang Kerap Diremehkan
zoom-in-whitePerbesar
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Para pembuat konten menghasilkan banyak uang dan menjalankan bisnis mereka sebagai influencer alias pemengaruh. Inilah saatnya mengakui apa yang mereka lakukan sebagai pekerjaan yang nyata.
Chloe Homan menjalani jadwal kerja yang padat hampir setiap hari.
Perempuan berusia 32 tahun asal Wisconsin, AS, ini biasanya memulai pekannya dengan membuat perencanaan bersama timnya. Sedangkan hari Selasa selalu diisi dengan rapat. Kemudian Rabu dan Kamis didedikasikan untuk mengeksekusi pekerjaan. Jumat dihabiskan untuk menyelesaikan masalah sebelum akhir pekan tiba.
Homan mengatakan terkadang dia bisa menghabiskan waktu 80 hingga 90 jam per minggu untuk bekerja.
Namun terlepas dari jam kerjanya yang panjang dan jadwal kerjanya yang padat, banyak orang belum menganggap apa yang dia lakukan sebagai “pekerjaan nyata”.
Homan adalah seorang pemengaruh profesional, dan pernah diremehkan oleh banyak orang terhadap karirnya.
“Saya pernah memberi tahu teman-teman dan keluarga soal apa yang akan saya lakukan, dan tidak satu orang pun tahu apa yang saya maksud,” kata Homan, mengenang masa awal karirnya sebagai pembuat konten sekitar lima tahun yang lalu.
“Orang-orang mengira saya hanya mengambil foto dan mengunggahnya, dan tidak ada uang yang dihasilkan dari situ. Saya ingat ibu saya khawatir kalau saya mempertaruhkan seluruh hidup saya di dunia maya.”
Tapi sekarang, semuanya berubah. Homan dapat bekerja penuh waktu sebagai pemengaruh pada tahun 2019, setelah dia menemukan ceruknya, yakni berbagi tips dan tutorial merawat rambut keriting kepada para pengikutnya.
Dia kini menjalankan platform media sosialnya sebagai sebuah bisnis, dibantu oleh enam orang staf. Dia bahkan juga meluncurkan produk aksesori rambut.
Dia mengatakan bukan Cuma kemampuannya mencari nafkah sebagai pembuat konten saja yang berubah.
“Sekarang saya punya teman yang berprofesi sebagai guru dan bercerita bahwa anak-anak mereka ingin menjadi TikToker atau Youtuber ketika dewasa nanti,” katanya.
“Kamu bisa mendapatkan penghasilan yang sangat bagus di industry ini.”
Selama bertahun-tahun, banyak orang menganggap bekerja sebagai pemengaruh sebagai sesuatu yang dilakukan oleh perempuan perempuan muda untuk memanjakan diri sendiri, sehingga kerap dianggap tidak menarik hingga penipu. Namun seni dan bisnis di bidang ini telah berubah.
Menjadi pemengaruh media sosial kini bisa menjadi karier yang menguntungkan. Perusahaan bergantung pada orang-orang yang memiliki banyak pengikut di media sosial untuk menjajakan produk dan layanan mereka.
Banyak pemengaruh telah membuktikan bahwa mereka adalah pengusaha cerdas yang mampu membangun sebuah jenama.

Pekerjaan ‘nyata’?

Sebagai pendiri agensi pemengaruh Village Marketing yang berbasis di New York, Vickie Segar melihat adanya perubahan dalam bisnis ini.
“Influencer telah didiskreditkan selama satu dekade,” kata Segar.
“Dulu orang percaya bahwa influencer bisa dibayar untuk mendukung dan mempromosikan mere kapa pun, namun sekarang orang-orang semakin memahami bahwa pembuat konten lah yang memegang kendali.”
Segar mengatakan bahwa dia melihat kepercayaan konsumen terhadap pemengaruh telah meningkat. Oleh sebab itu, kepercayaan dari merek-merek pun meningkat untuk mengeluarkan banyak uang untuk bermitra.
Influencer Marketing Hub memperkirakan bahwa industri pemengaruh kini bernilai US$21,1 miliar (Rp326,5 triliun).
“Sebagian besar konsumen, terutama generasi muda, skeptis terhadap pemasaran di media cetak dan media massa,” kata dosen pemasaran Universitas Strathclyde Inggris, Anna Stella.
“Namun influencer menghadirkan pemasaran yang otentik, sehingga meningkatkan kepercayaan terhadap merek.”
Berdasarkan survei Influencer Marketing Hub 2022 terhadap 3.500 agensi dan merek (38% di antaranya berada di bidang pemasaran), 82% responden akan mendedikasikan sebagian besar anggaran mereka untuk pemasaran melalui pemengaruh media sosial pada 2023.
Namun terlepas dari dampak yang dihasilkan oleh para pembuat konten ini, Segar mengatakan banyak orang –terutama dari generasi tua—masih tidak menganggap serius pekerjaan ini.
“Influencer adalah direktur kreatif, produser, editor, pencari lokasi, manajer komunitas, kurator produk, dan tim penjualan, semuanya dalam satu kesatuan,” kata Segar.
"Mereka mereplikasi agensi kreatif dan industri media yang memiliki banyak pekerja untuk menghasilkan apa yang mereka lakukan dan mempertahankan relasi dengan audiens serta media. Siapa pun yang bisa mempertahankan perhatian orang-orang harus dihargai atas itu.”

Tertahan oleh bias

Langkah-langkah ini mengisyaratkan jalur karier bagi para pemengaruh yang lebih formal di masa depan.
CEO Slice mengatakan kepada Business Insider pada Juli, bahwa langkah itu didorong oleh fakta bahwa pengguna media sosial tidak menyukai “iklan yang diglorifikasi”. Perusahaan memandang bahwa karyawan influencer adalah solusi untuk menciptakan konten yang berpengaruh, namun terlihat lebih organik.
Namun bagi banyak pemengaruh, persepsi terhadap industri ini masih membuat mereka frustasi.
Seger percaya bahwa alas an penting mengapa banyak orang masih enggan berkarier sebagai pemengaruh media sosial adalah karena bias usia dan gender yang masih ada.
Ini adalah industri yang menurutnya didominasi oleh perempuan muda.
“Perempuan telah didiskreditkan dalam bisnis sejak lama,” yakin Segar.
“Jika pemasaran influencer awalnya didominasi oleh laki-laki dan bukan perempuan, ini akan menjadi bisnis sangat berbeda.”
Stella menunjukkan faktor lain yang berkontribusi terhadap sentimen negatif terhadap pekerjaan ini.
“Persoalan pengikut palsu merajalela di dunia digital,” katanya.
“Perilaku tidak bermoral ini berkontribusi pada keyakinan bahwa menjadi pemengaruh bukanlah pekerjaan nyata.”
Meskipun ada peningkatan permintaan terhadap konten pemasaran otentik, dia menambahkan, banyak pemengaruh kini membuat konten yang dipentaskan untuk mempromosikan merek atau produk. Cara ini tidak disukai oleh pengguna media sosial yang cerdas.
“Para pengikut bisa mengetahui kalau suatu konten itu tidak nyata,” kata dia.
“Konten yang mudah ditebak dan palsu kemungkinan besar akan menjauhkan konsumen.”
Stella meyakini bahwa menjamurnya pengikut palsu dan konten-konten yang tidak otentik menjadi alasan utama mengapa pemengaruh masih belum dianggap serius sebagai karier.

'Bisnis yang sangat menguntungkan'

Kebangkitan industri pembuat konten saat ini terasa seperti sebuah kekuatan yang tidak dapat dihentikan.
Banyak anak muda menghasilkan banyak uang dari platform sosial, dan para ahli memperkirakan pengeluaran untuk sektor influencer akan mencapai $143 miliar (Rp2.212 triliun) pada tahun 2030.
Dengan menjamurnya para pemengaruh yang menganggap serius bidang ini sebagai karier, kita mungkin akan menyadari batasan yang kabur antara sosok ternama di media sosial dengan bisnis di belakang mereka.
Tren yang terus berganti, serta perubahan operasional aplikasi, atau menurunnya performa platform membuat para pembuat konten kini merambah bisnis luring, memanfaatkan platform mereka sebagai titik awal. Sebelumnya, kematian Vine pada 2017 telah menjadi pengingat bagi para pemengaruh karena beberapa sosok yang ternama di platform tersebut ikut surut.
Grace Beverley, yang mulanya merupakan seorang pemengaruh kebugaran dan gaya hidup di Instagram, telah memanfaatkan ketenarannya di media sosial untuk membangun merek pakaian ramah lingkungan. Dia menghasilkan lebih dari £6,2 juta (Rp117,5 miliar) pada tahun pertama merek itu diluncurkan.
Mantan Youtuber Zoe Sugg yang memiliki banyak pengikut, telah menerbitkan novel dan meluncurkan produk kecantikan serta peralatan rumah tangga.
“Influencer telah mengubah pengaruhnya menjadi bisnis yang sangat menguntungkan, namun kini mereka mungkin memisahkan diri dari bisnis mereka sendiri, atau berinvestasi di perusahaan,” jelas Segar.
“Mereka telah menciptakan aliran pendapatan yang beragam dengan cara yang belum mampu dilakukan oleh beberapa pengusaha terbaik.”
Bagi Hofman, memperlakukan kontennya sebagai bisnis dengan berbagai sumber pendapatan –kerja sama dengan merek, produk, dan kursus digital—sangat penting untuk ditanggapi lebih serius.
Cara itu telah memberi ruang aman bagi masa depan profesional dan keuangannya.
“Tujuan saya adalah menjadi lebih bertanggung jawab atas apa yang saya buat, tanpa harus bergantung pada merek luar hanya ketika mereka memiliki anggaran dan kampanye,” katanya.
"Saya berupaya menjadikan perusahaan saya merek bernilai tujuh digit. Ada banyak hal yang harus dikerjakan, dan setiap hari terasa seperti petualangan”.
--
Artikel versi Bahasa Inggris berjudul Influencing can be a high-earning career. Why don't we take it seriously? dapat Anda simak di BBC Worklife.