Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Boeing Mengaku Bersalah atas Tuduhan Penipuan, Keluarga Korban Kecelakaan Lion Air Ingin ‘Semua yang Terlibat Dipidana’
9 Juli 2024 11:25 WIB
Boeing Mengaku Bersalah atas Tuduhan Penipuan, Keluarga Korban Kecelakaan Lion Air Ingin ‘Semua yang Terlibat Dipidana’
Perusahaan Boeing mengaku bersalah atas tuduhan konspirasi penipuan pidana setelah Amerika Serikat menemukan bahwa Boeing melanggar kesepakatan yang bertujuan mereformasi produsen pesawat tersebut setelah dua kecelakaan fatal menewaskan 346 penumpang dan awak kabin.
Departemen Kehakiman AS mengatakan bahwa Boeing setuju membayar denda pidana sebesar US$243,6 juta (sekitar Rp3,97 triliun).
Namun, keluarga korban kecelakaan maskapai Lion Air dan Ethiopian Airlines mengkritik kesepakatan ini sebagai ‘kesepakatan manis’ yang memungkinkan Boeing menghindari tanggung jawab penuh atas dua insiden tersebut.
Boeing telah menghadapi krisis kepercayaan publik terkait catatan keselamatan mereka sejak dua kecelakaan yang melibatkan pesawat 737 Max pada tahun 2018 dan 2019. Kedua kecelakaan tersebut menyebabkan penghentian operasional global pesawat 737 Max selama lebih dari satu tahun.
Pesawat Boeing 737 Max yang dioperasikan oleh Lion Air jatuh di perairan Karawang, Jawa Barat, pada akhir Oktober 2018 tak lama setelah lepas landas, menewaskan semua 189 orang di dalamnya.
Beberapa bulan kemudian, pesawat Ethiopian Airlines jatuh, menewaskan semua 157 penumpang dan awak kabin.
Perwakilan keluarga korban kecelakaan Lion Air JT610: ‘Peristiwa tersebut masih membekas’
Anton Sahadi, perwakilan keluarga dari dua korban kecelakaan pesawat Lion Air JT610 bernama Ryan Aryandi dan Ravi Andrian mengatakan kepada BBC News Indonesia bahwa Boeing jelas mengakui kesalahan dan terlibat dalam dugaan pemalsuan data.
“[Pemalsuan data ini] untuk memuluskan rencana mereka sehingga jenis pesawat Boeing 737 Max8 berhasil mereka jual atau pasarkan,” jelasnya.
Departemen Kehakiman AS, menurut Anton, sudah memberi celah agar Boeing terbebaskan dari segala tuntutan sehingga perusahaan cukup minta maaf dan mengakui kesalahan.
“Seharusnya Boeing itu harus dikasih sanksi pidana karena ini adalah kejahatan serius yg mengakibatkan tewasnya 189 korban,” ujarnya.
“Saya merasa ini sangat tidak adil jika hanya sanksi bagi Boeing. Seharusnya semua yang terlibat dalam menyatakan bahwa pesawat itu layak untuk dijual seharusnya dikenakan sanksi pidana.”
Anton mengemukakan hingga saat ini peristiwa kecelakaan pesawat tahun 2018 tersebut masih membekas. Dia mengatakan bisa saja apabila peristiwa ini berulang maka Boeing akan melakukan hal yang serupa: cukup minta maaf dan bebas dari segala tuntutan pidana.
“Ini membuktikan bahwa Amerika sedang dalam ambang kehancuran karena mereka, baik itu Boeing dan pemerintah atau Departemen Kehakiman sudah melakukan atau mengabaikan nyawa banyak orang yg tewas dalam dua tragedi kecelakaan tersebut.”
Pada tahun 2021, jaksa penuntut menuduh Boeing melakukan konspirasi untuk menipu Federal Aviation Administration/Otoritas Penerbangan Federal AS (FAA) selaku regulator terkait sistem kontrol penerbangan MCAS yang diduga menjadi faktor dalam kedua kecelakaan tersebut.
Saat itu, disepakati bahwa Boeing tidak akan dituntut secara pidana jika mereka membayar denda dan berhasil menyelesaikan periode peningkatan pengawasan dan pelaporan selama tiga tahun.
Namun, pada bulan Januari, sesaat sebelum periode tersebut berakhir, panel pintu pada pesawat Boeing yang dioperasikan Alaska Airlines copot tak lama setelah lepas landas sehingga pesawat tersebut harus mendarat darurat.
Meskipun tidak ada yang terluka dalam insiden tersebut, hal ini semakin menyoroti kurangnya kemajuan yang dibuat Boeing dalam meningkatkan catatan keselamatan dan kualitas mereka.
'Kesepakatan manis yang tidak adil'
Pada bulan Mei, Departemen Kehakiman AS menyatakan bahwa Boeing telah melanggar persyaratan kesepakatan, sehingga membuka kemungkinan penuntutan pidana.
Keputusan Boeing untuk mengaku bersalah tetap menjadi catatan hitam yang signifikan bagi perusahaan tersebut karena ini berarti kontraktor militer terkemuka untuk pemerintah AS tersebut sekarang memiliki catatan kriminal. Boeing juga merupakan salah satu dari dua produsen pesawat jet komersial terbesar di dunia.
Belum jelas bagaimana catatan kriminal tersebut akan mempengaruhi bisnis kontrak Boeing. Pemerintah biasanya melarang atau menangguhkan perusahaan dengan catatan kriminal untuk mengikuti tender, tetapi bisa saja ada pengecualian.
Keluarga korban dari kecelakaan penerbangan 2018 dan 2019 pun mengecam kesepakatan ini sebagai ‘kesepakatan manis’ yang tidak adil.
Paul Cassell, seorang pengacara yang mewakili beberapa keluarga korban, mengatakan, “Kesepakatan ini gagal mengakui bahwa akibat dari konspirasi Boeing, 346 orang tewas. Melalui perjanjian hukum yang licik antara Boeing dan Departemen Kehakiman AS, konsekuensi mematikan dari kejahatan Boeing disembunyikan.”
Dia meminta hakim yang menilai kesepakatan tersebut untuk ‘menolak pembelaan yang tidak pantas ini dan langsung menetapkan persidangan terbuka, sehingga semua fakta seputar kasus ini akan diungkapkan di forum yang adil dan terbuka di hadapan juri.’
Dalam sebuah surat kepada pemerintah pada bulan Juni, Cassell mendesak Departemen Kehakiman AS untuk mendenda Boeing lebih dari US$24 miliar (Rp391,2 triliun).
Zipporah Kuria yang kehilangan ayahnya, Joseph, dalam salah satu kecelakaan fatal tersebut mengatakan bahwa pembelaan itu adalah "kekejian yang mengerikan."
"Kekeliruan keadilan adalah pernyataan yang meremehkan untuk menggambarkan hal ini,’ katanya. ‘Saya berharap, jika hal ini terjadi lagi, Departemen Kehakiman AS diingatkan bahwa mereka memiliki kesempatan untuk melakukan sesuatu yang berarti dan malah memilih untuk tidak melakukannya."
Ed Pierson, direktur eksekutif Foundation for Aviation Safety (Yayasan Keamanan Penerbangan) dan mantan manajer senior di Boeing, mengatakan pembelaan itu "sangat mengecewakan" dan "kesepakatan yang buruk untuk keadilan."
"Alih-alih meminta pertanggungjawaban individu, mereka pada dasarnya hanya memberi mereka jalan keluar gratis."
Dalam kesepakatan 2021 tersebut, Boeing juga setuju untuk membayar US$2,5 miliar (Rp40,7 triliun) untuk menyelesaikan masalah tersebut, termasuk denda pidana $243 juta (Rp3,9 triliun) dan US$500 juta (Rp8,1 triliun) untuk santunan korban.
Kesepakatan itu membuat marah anggota keluarga korban yang tidak diajak berkonsultasi mengenai persyaratannya dan telah meminta perusahaan untuk diadili.
Staf senior di Departemen Kehakiman AS merekomendasikan penuntutan, seperti yang dilaporkan CBS News, mitra berita AS BBC, pada akhir Juni.
Pada sidang di bulan Juni, Senator Richard Blumenthal mengatakan dia yakin ada "banyak bukti" bahwa penuntutan harus dilakukan.
Pengacara keluarga korban mengatakan Departemen Kehakiman AS khawatir mereka tidak memiliki kasus yang kuat terhadap perusahaan tersebut.
Mark Forkner, mantan pilot teknis Boeing yang merupakan satu-satunya orang yang menghadapi tuntutan pidana terkait insiden tersebut, dibebaskan oleh juri pada tahun 2022. Pengacaranya berpendapat bahwa dia dijadikan kambing hitam.
Baca juga:
Mark Cohen, profesor emeritus di Universitas Vanderbilt, yang telah mempelajari hukuman terhadap perusahaan, mengatakan jaksa penuntut sering kali lebih memilih kesepakatan pembelaan atau penundaan penuntutan, yang memungkinkan mereka untuk menghindari risiko persidangan dan dapat memberi pemerintah kekuasaan lebih besar atas perusahaan daripada hukuman biasa.
“Karena lebih mudah dibandingkan ke pengadilan. Ini meringankan beban jaksa penuntut. Namun, jaksa penuntut bisa jadi juga percaya ini sanksi yang lebih baik [karena] mereka mungkin dapat menerapkan persyaratan yang biasanya tidak ada dalam pedoman hukuman,” ujarnya.
Dia mengatakan tidak ada keraguan bahwa status Boeing sebagai kontraktor utama pemerintah AS berperan dalam menentukan bagaimana kelanjutan proses.
“Mereka harus memikirkan konsekuensi kolateral,” katanya. “Kasus seperti ini tidak bisa dianggap enteng.”
Masalah dengan MCAS bukan pertama kalinya Boeing berurusan dengan hukum.
Boeing juga telah membayar denda jutaan dolar kepada Federal Aviation Administration sejak 2015 untuk menyelesaikan serangkaian klaim tentang manufaktur yang tidak tepat dan masalah lainnya.
Boeing terus menghadapi penyelidikan dan tuntutan hukum yang dipicu oleh insiden pada penerbangan Alaska Airlines di bulan Januari.