Konten Media Partner

Cara Rumah Sakit di Nepal Mengubah Limbah Medis Berbahaya Menjadi Bahan Bakar untuk Memasak

30 November 2024 15:30 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical

Cara Rumah Sakit di Nepal Mengubah Limbah Medis Berbahaya Menjadi Bahan Bakar untuk Memasak

Sebuah rumah sakit di Nepal mengubah limbah medis yang sebelumnya dibakar dan menimbulkan masalah bagi kesehatan dan lingkungan menjadi bahan bakar gas untuk memasak.
Staf rumah sakit yang berada di dekat insinerator mengeluhkan batuk yang tak berkesudahan. Dia juga kesulitan bernapas, sakit kepala, matanya terasa perih, dan terdapat ruam di kulitnya.
Asap hitam yang menyembul keluar dari cerobong asap masuk melalui jendela Rumah Sakit Pendidikan Universitas Tribhuvan (TUTH) di ibu kota Nepal, Kathmandu.
Perawat yang berada di ruang inap dengan berat hati menutupnya untuk melindungi pasien yang rentan, seperti anak-anak dan bayi baru lahir yang berada dalam perawatan intensif, serta orang dewasa yang mengidap penyakit pernapasan.
"Menutup jendela menyebabkan ruangan menjadi terlalu panas dan menambah ketidaknyamanan," kenang Deepak Mahara, mantan direktur eksekutif TUTH yang kini telah pensiun.
"Saat insinerator beroperasi, asap sering kali mengepul ke area sensitif ini, menyebabkan gangguan yang signifikan. Bau busuk membuat lingkungan rumah sakit jadi tidak nyaman."
Meski demikian, tidak seorang pun menyadari gejala yang mereka alami terkait dengan emisi insinerator hingga 2014, ketika sebuah lembaga nirlaba setempat, Health Environment and Climate Action Foundation (HECAF360), menghubungi manajer rumah sakit untuk menyarankan penggantian tungku yang mengganggu dengan biodigester bawah tanah.
Staf rumah sakit tidak hanya menghadapi masalah kesehatan jangka panjang jika mereka terus terpapar udara beracun, tetapi rumah sakit juga membahayakan kesehatan masyarakat dan lingkungan di sekitarnya, kata HECAF360 memperingatkan.
Insinerasi limbah medis berkualitas rendah melepaskan dioksin dan furan ke atmosfer – bahan kimia yang keduanya diklasifikasikan sebagai karsinogen alias zat yang dapat menyebabkan penyakit kanker. Sementara limbah medis yang dibuang di luar area rumah sakit menimbulkan risiko bagi siapa saja yang mungkin bersentuhan dengannya, seperti pemulung di tempat pembuangan sampah.
"Kami awalnya tidak menyadari dampak negatif dari salah urus limbah medis," kata Mahara. Menyadari masalah ini serius, ia setuju untuk mengambil tindakan. "Hal ini perlu segera ditangani untuk mematuhi misi rumah sakit untuk 'tidak membahayakan'," katanya.
BBC News Indonesia hadir di WhatsApp.
Jadilah yang pertama mendapatkan berita, investigasi dan liputan mendalam dari BBC News Indonesia, langsung di WhatsApp Anda.
Situasi di rumah sakit di Kathmandu umum terjadi. Rumah sakit di seluruh dunia menggunakan insinerator untuk mereduksi sampah. Ini adalah metode yang paling umum digunakan di negara-negara berkembang untuk membuang limbah infeksius, menurut laporan Dewan Hak Asasi Manusia PBB.
Laporan tersebut menyoroti bahwa jika fasilitas medis memiliki insinerator skala kecil, atau mengelolanya dengan tidak benar, hal ini dapat menyebabkan emisi dioksin yang 40.000 kali lebih tinggi daripada batas emisi yang ditetapkan dalam Konvensi Stockholm tentang Polutan Organik Persisten.
Di Nepal, rumah sakit dan pusat layanan kesehatan menghasilkan antara 1 dan 1,7 kilogram limbah medis per ranjang pasien setiap hari, menurut Health Care Without Harm (HCWH), lembaga nirlaba global yang berupaya mengurangi dampak negatif layanan kesehatan terhadap lingkungan dan manusia.
Sebuah studi memperkirakan negara-negara berpendapatan rendah menghasilkan hingga 6 kilogram limbah berbahaya per ranjang pasien per hari, yang meningkat menjadi 11 kilogram di negara-negara berpendapatan tinggi.
Pendekatan yang aman untuk pengelolaan limbah medis adalah dengan memisahkan dan menangani limbah secara terpilah. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), 15% limbah medis adalah bahan berbahaya yang mungkin bersifat infeksius, beracun, atau radioaktif.
Semua limbah harus dipisahkan sebelum dibuang, tetapi hanya sepertiga fasilitas medis yang melakukannya. Hal ini berdampak buruk pada manusia dan planet ini. Sekitar 5,2 juta orang, termasuk empat juta anak-anak, meninggal setiap tahun akibat penyakit terkait limbah di seluruh dunia.
Limbah patologis, seperti jaringan manusia, organ, atau bagian tubuh yang diamputasi, juga membawa risiko karena mungkin mengandung patogen, seperti virus dan bakteri penyebab penyakit.
Teknologi tanpa pembakaran tersedia untuk mengolah limbah yang berpotensi berbahaya secara biologis, seperti autoklaf dan pengolahan gelombang mikro sebelum dibuang.
Namun pada tahun 2014, ketika proyek di TUTH dimulai, sebagian besar rumah sakit Nepal membuang limbah layanan kesehatan dengan cara menguburnya di lokasi, membakarnya di tempat terbuka, atau membakarnya dengan "sedikit atau tanpa pengendalian polusi udara", menurut laporan tahun 2019 tentang proyek tersebut oleh koordinator sains dan kebijakan internasional HCWH Ruth Stringer.
Mahesh Nakarmi, direktur eksekutif dan pendiri HECAF360 di Nepal, memiliki misi untuk mengubah pengelolaan limbah layanan kesehatan di Nepal.
Ketika insinyur sipil yang berkualifikasi tiba di rumah sakit Tribhuvan yang memiliki 700 ranjang pasien pada 2014 – rumah sakit terbesar di Nepal – ia telah mencoba dan menguji solusi untuk mengganti insinerator.
"Semua orang mengira pembakaran adalah solusinya, tetapi ini menimbulkan banyak dampak bagi lingkungan," kata Nakarmi. "Ketika saya memulai pekerjaan ini, saya ingin menemukan solusi yang berbeda untuk berbagai jenis limbah."
Seperti di rumah sakit lain tempat ia bekerja, Nakarmi memulai dengan penilaian penuh terhadap semua proses penanganan limbah di TUTH.
Pada tahun 2017, rumah sakit tersebut telah menandatangani kontrak dengan HECAF360 untuk menerapkan perubahan di seluruh layanan.
Perubahan tersebut meliputi pendekatan pemilahan limbah baru, pemasangan autoklaf untuk mendisinfeksi semua limbah infeksius (kecuali patologis) pada suhu tinggi sebelum didaur ulang atau dibuang, dan pembangunan biodigester yang dirancang khusus untuk menggantikan insinerator.
Salah satu alasan insinerator menimbulkan begitu banyak masalah adalah karena jenis limbah yang diolah.
Setiap hari, seseorang akan membawa seember plasenta dari bangsal bersalin rumah sakit dan membuangnya ke dalam api. Organ sementara ini, yang tumbuh di tubuh perempuan selama kehamilan, merupakan bentuk umum limbah patologis.
Seorang petugas sedang memasukkan limbah medis berbahaya dalam mesin pemanas di Rumah Sakit Umum Kathmandu.
Membakar plasenta merupakan tantangan, karena plasenta sebagian besar terdiri dari air. Insinerator perlu mencapai suhu tinggi untuk memecah jaringan. WHO merekomendasikan rumah sakit menggunakan insinerator dua ruang untuk memenuhi suhu 850 derajat Celsius hingga 1.100 derajat Celcius guna mengurangi bahan organik.
Namun, insinerator di Tribhuvan adalah unit ruang tunggal berbahan bakar diesel tanpa pengendalian polusi.
Untuk mencapai suhu yang diperlukan, staf rumah sakit menambahkan bahan yang dapat didaur ulang seperti kertas dan plastik, yang melepaskan karbon dioksida (CO2).
Ketika mereka menambahkan peralatan yang terbuat dari PVC, seperti kantong darah, saluran intravena, dan masker oksigen – bahan-bahan ini melepaskan dioksin yang sangat beracun terhadap lingkungan. Dioksin menumpuk dalam rantai makanan dan dapat menyebabkan kerusakan sistem kekebalan tubuh, masalah reproduksi dan tumbuh kembang anak, bahkan kanker.
Selain mengganti insinerator, Nakarmi memperingatkan kebijakan rumah sakit untuk mengirim sampah makanan ke tempat pembuangan sampah kota.
Ketika itu, sisa makanan pasien dan sisa dapur berjumlah 189 kilogram sampah per hari. Membuang sampah yang dapat terurai secara alami di tempat pembuangan sampah tidak hanya menarik kecoak dan tikus, tetapi juga melepaskan metana, gas rumah kaca yang kuat sekitar 80 kali lebih kuat selama rentang waktu 20 tahun daripada CO2 yang menyebabkan satu juta kematian dini setiap tahun.
Solusi biodigester dimulai sebagai sarana pengelolaan limbah makanan. Pada tahun 2011, HECAF360 membangun biodigester bawah tanah dengan satu bilik di Rumah Sakit Bir, Kathmandu.
Menurut survei nasional, pengembangan biogas telah ada di Nepal selama lebih dari 40 tahun, yang menunjukkan bahwa 69% dari total penggunaan energi negara tersebut dipenuhi oleh energi biomassa.
Rumah dan peternakan membuang kotoran hewan mereka ke dalam biodigester kecil di lahan mereka, yang melepaskan gas metana untuk bahan bakar memasak.
Di rumah sakit Bir, metana yang dilepaskan oleh limbah makanan yang telah diolah, lalu disalurkan ke ruang minum teh staf. Namun, Nakarmi menghadapi tantangan baru di Kathmandu Medical College and Teaching Hospital, tempat ia memasang biodigester pada tahun 2016.
"Setelah Bir, rumah sakit tempat kami bekerja memiliki layanan bersalin yang menghasilkan plasenta serta limbah makanan," katanya.
"Kami memodifikasi biodigester agar sesuai untuk kedua jenis limbah tersebut." Nakarmi – bersama Stringer dan ilmuwan Belanda Marijn Zandee, penasihat teknis independen di bidang bioteknologi – mengembangkan model baru untuk mencerna makanan dan limbah patologis dengan aman.
Model ini bekerja dengan sangat baik sehingga tim melanjutkannya dengan memasang tiga model lagi di Rumah Sakit Grande City, Rumah Sakit Bersalin Paropakar, dan yang terbesar di TUTH.
Stringer menjelaskan, untuk membuang limbah patologis dengan aman adalah dengan menambahkan bilik kedua, dari yang sebeumnya hanya satu bilik dengan kapasitas 50 meter kubik.
Sebelum staf rumah sakit mulai memasukkan limbah medis, pekerja konstruksi memasukkan kotoran sapi sebagai dasar dari bilik tersebut. Kotoran sapi mengandung bakteri yang dibutuhkan untuk mengolah limbah rumah sakit dan menghasilkan metana.
Pekerja rumah sakit membuang limbah patologis dan sebagian limbah makanan ke ruang bawah tanah pertama melalui saluran masuk di permukaan. Sebagian besar limbah makanan rumah sakit masuk ke saluran masuk dan bilik kedua.
"Anda membuang plasenta dan sebagian sampah makanan untuk menyeimbangkan karbon dan nitrogen ke ruang pertama," kata Stringer. "Sampah makanan, jauh lebih banyak tetapi tidak memerlukan waktu tinggal yang lama dan tidak ada potensi infeksi – dimasukkan ke dalam digester kedua."
Tim melatih staf rumah sakit untuk memilah limbah dan memastikan mereka hanya memasukkan bahan organik yang sesuai ke dalam digester. Staf juga secara teratur menuangkan air ke dalam saluran masuk untuk menjaga campuran tetap cair. Gravitasi perlahan-lahan memindahkannya melalui sistem.
Hasil digestat mengakhiri perjalanannya dengan keluar dari bilik kedua ke saluran pembuangan, dari sana olahan sampah akan terhanyut dengan aman. Pada saat ini, semua patogen telah mati. "Kebanyakan virus dapat bertahan maksimal seminggu di luar tubuh," kata Stringer. "Tidak ada risiko."
Zandee menjelaskan bahwa kedua bilik itu diperlukan, karena makanan dan plasenta adalah "bahan mentah" dibandingkan dengan kotoran sapi, yang sebagian telah dicerna.
"Kami ingin memastikan bahwa limbah tersebut seaman mungkin," katanya. "Anda mencapainya dengan menyimpan bahan lebih lama di pabrik biogas daripada biasanya. Sekitar 70 hari dibandingkan 150-180 hari."
Biodigester harus cukup besar untuk menampung semua limbah yang dihasilkan oleh rumah sakit, sekaligus harus sesuai dengan bentuk dan ukuran lokasi yang tersedia, kata Zandee. Saat itu, jika Tribhuvan mencapai kapasitas penuh, akan menghasilkan 217 kilogram limbah makanan dan 11,5 kilogram limbah patologis per hari, yang berarti totalnya mencapai 83 ton per tahun.
Gas metana yang diproduksi oleh biodigester di TUTH disalurkan dari bilik-bilik itu ke ruang staf. Gas ini menjadi bahan bakar kompor yang digunakan untuk memasak, dan telah menggantikan sebagian gas minyak cair (LPG) yang biasa dibeli rumah sakit.
Biodigester di Tribhuvan menghasilkan 1,5 meter kubik gas metana per hari – setara dengan lima tabung gas LPG ukuran standar. Satu tabung cukup untuk keluarga beranggotakan lima orang untuk memasak dua kali sehari selama sebulan dan biayanya sekitar $20 (setara Rp317.000), menurut Nakarmi.
Mahara mengatakan, merupakan tantangan besar meyakinkan seluruh tenaga kerja rumah sakit untuk mengubah praktik mereka. Menurut penilaian tahun 2019, hanya 36% dari total limbah organik yang diproses oleh biodigester.
Hal ini terjadi karena tidak semua limbah medis dari sebagian bangsal dimasukkan ke dalam sistem, dan beberapa staf dapur ingin menjual limbah makanan untuk pakan ternak guna menambah penghasilan mereka.
Petugas penanganan limbah garis depan juga secara ilegal menjual bahan daur ulang ke vendor daur ulang, seperti jarum suntik, sarung tangan, dan tabung. "Mereka bergantung pada pendapatan ini," kata Mahara.
"Namun, mereka tidak menyadari risiko pekerjaan yang ditimbulkannya."
HECAF360 mengajarkan rumah sakit untuk mendaur ulang beberapa bentuk limbah medis, tetapi terlebih dahulu melakukan autoklaf – memanaskannya pada suhu tinggi – untuk mendisinfeksi limbah tersebut.
Namun, secara umum, kutipan staf dalam survei tersebut menunjukkan kepuasan dan manfaat yang lebih luas bagi masyarakat sebagai hasil dari perubahan tersebut.
Dalam penilaian tersebut, Dharma Laxmi Shrestha, koordinator pengelolaan limbah rumah sakit saat itu, mengatakan bahwa lingkungan rumah sakit dan sekitarnya terutama layanan kebersihan telah membaik, pasien serta staf juga menerapkan lebih banyak praktik kebersihan di rumah.
Dengan mengganti insinerator, 4,6 ton emisi CO2 berhasil dicegah pada 2019, serta semua emisi bahan bakar diesel dan gas metana, menurut perkiraan penilaian tersebut.
Kalidas Neupane, direktur pelaksana Pioneer Architect and Consulting Engineers di Kathmandu dan pakar biogas independen, mengatakan bahwa biodigester adalah cara yang baik untuk mengelola limbah rumah sakit.
Ia menyarankan agar ukurannya ditingkatkan agar dapat menangani limbah dalam jumlah yang lebih besar dan menerapkan proses yang disebut "higienisasi" – memanaskan campuran hingga setidaknya 70 derajat Celsius selama minimal satu jam – untuk memastikan patogen dihilangkan lebih cepat.
"Sistem ini dirancang untuk bekerja dalam kondisi mesofilik [suhu sedang], di mana waktu retensi yang dibutuhkan sangat lama – untuk beberapa patogen lebih dari 90 hari," katanya. Dengan peningkatan, solusinya dapat diperluas secara global, tambahnya.
Biodigester TUTH menghabiskan biaya 3,5 juta Rupee Nepal untuk membangunnya – hampir mencapai Rp419 juta. Biaya tersebut diperoleh melalui kombinasi anggaran rumah sakit dan pendanaan pemerintah Nepal, serta dukungan teknis dari HECAF360. Stringer memperkirakan struktur bangunan tersebut akan bertahan sekitar 20 tahun, atau lebih lama jika tidak retak.
Digester di Rumah Sakit Bir selamat dari gempa berkekuatan 7,3 skala Richter di Nepal tahun 2015, Akibat gempa, terdapat retakan di dinding bangunan, Namun, retakan dapat diperbaiki dengan aman, imbuh Stringer. Staf dapat berhenti menambahkan limbah patologis dan menunggu hingga patogen mati secara alami. "Akan sepenuhnya aman untuk membukanya," katanya.
Menurut Stringer, anggapan bahwa layanan yang ditujukan untuk menyembuhkan orang justru menimbulkan bahaya muncul karena sejumlah alasan. Meskipun biodigester telah terbukti bermanfaat di Nepal, kurangnya kesadaran, keahlian, pendanaan, dan kemauan politik mencegah perluasan lebih lanjut penggunaannya di lingkungan kesehatan secara global.
Di seluruh dunia, anggaran kesehatan sedang tertekan, kata Stringer. Pengembangan biodigester di Nepal menemukan titik terang dalam evolusi teknologi, katanya.
Memasang biodigester bermanfaat bagi kesehatan lingkungan dan manusia. Namun, sulit untuk membuat argumen finansial bagi rumah sakit untuk berinvestasi dalam teknologi tersebut, kata Zandee.
"Penting untuk tidak melebih-lebihkan jumlah gas metana yang dapat dikumpulkan," ia memperingatkan. "Anda tidak akan tiba-tiba membuat perubahan besar pada tagihan energi rumah sakit Anda."
Lebih jauh, "tidak ada data" untuk mendukung kemanjuran biodigester perawatan kesehatan, kata Stringer. Pekerja limbah cenderung tidak diikutsertakan dalam survei, jadi tidak mungkin untuk mengatakan bahwa kesehatan mereka telah membaik sebagai hasil dari penghentian pembakaran atau bahwa penularan virus atau bakteri telah berkurang bagi staf dan pasien rumah sakit.
HCWH telah mencoba memperluas pendekatan tersebut di negara-negara lain. Di India, hal ini terbukti tidak membuahkan hasil, karena hukum India mengatur bahwa semua plasenta harus dibakar, kata Stringer. Perwakilan HCWH di Brasil dan Meksiko mencoba membahas pendekatan tersebut dengan sektor perawatan kesehatan mereka tetapi tidak berhasil. Namun, pendekatan tersebut telah berhasil digunakan di beberapa negara Afrika.
Antara tahun 2016 dan 2020, HCWH bermitra dengan WHO dan Program Pembangunan PBB untuk memperkenalkan praktik perawatan kesehatan yang ramah lingkungan di Ghana, Madagaskar, Tanzania, dan Zambia. Konsultan biogas independen Christopher Kellner merancang lima biodigester rumah sakit di Zambia dan Tanzania.
Desainnya sedikit berbeda dengan yang ada di Nepal karena ia menghubungkan bilik-bilik tersebut ke pipa air limbah rumah sakit yang sudah ada. "Di Nepal, para pekerja harus menambahkan air," kata Kellner.
"Bagi saya, itu tidak mudah digunakan. Jika Anda dapat menambahkan plasenta ke aliran air limbah yang sudah ada [seperti menyiramnya ke toilet], itu adalah operasi tanpa menggunakan tangan."
Kellner juga memiliki solusi berbeda untuk air limbah yang dikeluarkan oleh biodigester. Alih-alih mengalir ke pipa pembuangan, di Rumah Sakit Misi St. Paul di Kashikishi, Zambia, ia membangun penyaring kerikil dan mendorong staf rumah sakit untuk menanam pohon pisang di atasnya.
"Airnya bersih tetapi masih mengandung nutrisi," katanya. "Pisang di sana sangat melimpah!"
Laporan tahun 2020 tentang biodigester yang dirancang Kellner menyimpulkan bahwa itu adalah "solusi praktis untuk membuang limbah patologis", tetapi menyarankan lebih banyak kesadaran perlu ditingkatkan tentang nilai teknologi tersebut, karena beberapa staf rumah sakit merasa tidak nyaman menggunakan gas yang dihasilkan dari plasenta untuk memasak.
HECAF360 terus mendorong penggunaan biodigester di Nepal. Mereka memiliki proyek lain yang disetujui di sebuah rumah sakit di Kathmandu tetapi saat ini terhenti karena pendanaan. "Pendanaan adalah masalah yang sangat besar karena tidak seorang pun memahami pentingnya pengelolaan limbah medis," kata Nakarmi.
Stringer berharap Kerangka Kerja Global WHO yang baru-baru ini diterbitkan untuk perbaikan fasilitas medis, termasuk limbah, akan mendorong pendekatan yang lebih berkelanjutan dalam pengelolaan limbah. Dia memuji pendekatan praktis dan penetapan target operasional untuk tahun 2030.
Namun, dia memperingatkan kemajuan akan lambat jika politisi atau pejabat yang bertanggung jawab untuk membuat keputusan tentang limbah medis "tidak memiliki akses ke para ahli atau tidak memiliki keyakinan untuk mempercayai saran mereka".
Saat ini staf dan administrator rumah sakit TUTH senang dengan dampak yang diberikan digester terhadap pengelolaan limbah dan keberlanjutan lingkungan, kata Mahara.
"Sejak insinerator dipindahkan, kondisi di rumah sakit telah membaik secara signifikan," katanya.
"Asap beracun tidak lagi memengaruhi pasien atau staf, yang menyebabkan berkurangnya masalah pernapasan secara nyata. Keluhan tentang bau busuk dan masalah terkait kesehatan juga telah mereda."
Insinerator yang buruk rupa telah hilang, dan biodigester, meskipun tidak lebih indah, tersembunyi di bawah tanah. Di atasnya, staf telah menanam rumput dan hamparan bunga, tempat mereka dapat bersantai selama istirahat sambil minum secangkir teh rebusan gas metana.
Versi bahasa Inggris dari artikel ini, Nepal's inventive use for waste placentas, dapat Anda baca di laman BBC Future.