Konten Media Partner

Cerita Bidan Mama Sina Berjibaku Sendirian Melayani Kesehatan di Pedalaman Asmat Papua - 'Kami Butuh Puskesmas di Kampung Ini'

6 Agustus 2024 6:50 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical

Cerita Bidan Mama Sina Berjibaku Sendirian Melayani Kesehatan di Pedalaman Asmat Papua - 'Kami Butuh Puskesmas di Kampung Ini'

Cerita seorang bidan perempuan yang berjibaku sendirian melayani kesehatan masyarakat di sebuah kampung terisolasi di pedalaman Asmat, Papua Selatan. Sebuah potret kecil permasalahan pelayanan kesehatan ibu dan anak Orang Asli Papua di tengah tingginya prevalensi gizi buruk dan stunting di sana.
“Karena masyarakat tidak kasih [pinjam perahu] motor, sampai pasien itu meninggal di tempat,” tutur Mama Sina, bidan satu-satunya di Kampung As dan Atat, Distrik Pulau Tiga, Asmat, Papua Selatan, Kamis, 26 Oktober 2023 lalu.
Intonasi suaranya makin tinggi. “Saya minta ke orang yang punya armada, sama-sekali mereka tidak kasih.”
Armada adalah sebutan masyarakat Asmat untuk perahu motor berbahan serat kaca dan plastik. Alat transportasi ini, mirip angkot di kota-kota di Pulau Jawa, amat vital bagi warga di wilayah itu yang sangat tergantung kepada sungai.
Tanpa ada perahu, Mama Sina – nama lengkapnya Fransina Wogan – tak bisa merujuk pasiennya ke puskesmas atau rumah sakit terdekat.
Wajah Fransina lalu mengeras. “Sampai terakhir, saya minta tolong ke dokter, ‘tolong pasien yang sakit parah ini’,” ungkapnya kepada saya seraya menunjukkan foto kondisi terakhir sang pasien yang didiagnosa kanker hati.
Foto itulah yang dia kirim ke dokter di puskesmas di Kampung Nakai, pusat dari Distrik Pulau Tiga, September tahun lalu.
“Mau dirujuk tidak bisa, akhirnya meninggal di rumah,” suara Mama Sina terdengar pelan. Dia mengaku masalah seperti ini sering berulang.
“Bukankah Anda diberi fasilitas perahu motor dari puskesmas,” sahut saya. “Kenapa tak menggunakan perahu yang Anda miliki untuk merujuk pasien Anda?” tanya saya lagi.
Mama Sina, kelahiran 1969, menyimak, wajahnya kembali mengeras, dan matanya tak henti menatap saya.
Lalu dia menggeleng seraya tangannya menunjuk ‘dua armadanya’ – pemberian Dinas Kesehatan setempat – yang tergeletak rusak di bibir sungai.
“Baru dokter kasih, tapi fiber [perahu motor] itu tipis,” ujar perempuan berusia 55 tahun ini.
Beberapa kali digunakan mengantar pasien ke puskesmas terdekat, perahu itu tersangkut dahan pohon dan pecah.
Sempat diberi lem, lalu pecah lagi, ungkapnya. “Kita belum ada uang untuk perbaiki itu.”
Sampai Kamis, 26 Oktober 2023 lalu, Fransina Wogan – nama lengkap Mama Sina – mengaku belum menerima bantuan perahu motor yang baru. Dia masih menyandarkan kepada kebaikan hati warga yang mau meminjamkan armadanya.
Baca juga:
Keluhan Mama Sina ini kemudian kami sampaikan kepada seorang pejabat di Kantor Dinas Kesehatan Kabupaten Asmat. Namanya Steven Langi, jabatannya Kepala Bidang dan Kesejahteraan Masyarakat.
Wawancara berlangsung akhir Oktober 2023 di Kota Agats, ibu kota Kabupaten Asmat, usai kami melakukan liputan di Kampung As dan Atat.
“Apakah dia sudah melaporkannya ke dinas kesehatan? Apakah dia sudah melaporkan ke puskesmas? Apakah itu sudah masuk usulan?” Steven Langi justru membeberkan pertanyaan-pertanyaan itu kepada kami.
Jika itu sudah dilakukan, ujarnya, maka pihaknya sudah memasukkannya dalam rencana perbaikan.
“Kalau dia misalnya mau membuat laporan resmi, kita pasti akan tanggapi,” katanya seraya menambahkan pihaknya juga memiliki skala prioritas mana yang lebih didahulukan dan mana yang tidak.
Dia lalu mengeklaim ada sejumlah bidan di pedalaman Asmat yang disebutnya menghadapi masalah yang sama, tetapi bisa diselesaikan sendiri oleh yang bersangkutan.
Kalau laporan dari Sina sudah diterima, pihaknya akan memastikan dulu apa penyebab kerusakan perahu motornya: apakah bocor lantaran digunakan mengantar pasien atau untuk kepentingan pribadi sang bidan.
Jika dipastikan rusak karena terkait penugasannya, maka akan menjadi tanggungjawab Dinkes Asmat, kata Steven.
Saat bertemu Fransina, saya juga melayangkan pertanyaan apakah dirinya sudah melaporkan kerusakan perahu motornya dan persoalan lainnya kepada pimpinan puskesmas di Kampung Nakai atau ke Distrik Sawa Erma.
Apa jawaban sang bidan? “Dokter [dari puskesmas di Nakai] belum datang, jadi saya belum lapor ke dokter,” akunya.
Namun menurutnya, tanpa dia melapor, semestinya atasannya sudah mengetahui masalah-masalah yang dialaminya.
“Kemarin ada teman-teman [tenaga kesehatan atau dokter dari puskesmas di Distrik Pulau Tiga yang datang ke tempatnya], pasti tahu ada perahu sudah terbalik, yang berarti bocor,” jelasnya.
Mama Sina juga berulangkali meyakinkan saya bahwa perahu itu rusak lantaran dipakai untuk merujuk pasien ke distrik terdekat.
Begitulah Mama Sina, sosok yang terbiasa blak-blakan. Di hadapan kami, dia kemudian mengungkapkan apa yang disebutnya berbagai persoalan yang dialaminya sebagai bidan di kampung itu.
Mulai soal perahu motor yang bocor; jatah bahan bakar minyak (BBM) yang tidak cukup; kurangnya obat-obatan; keinginannya agar didirikan puskesmas di kampung itu; hingga betapa tidak gampangnya mengubah pola pikir warga di sana terkait hidup sehat.
Semua kegelisahannya itu dia juga suarakan di media sosial Facebook.
“Sekarang, puji Tuhan ada wifi, saya bisa minta tolong dokter, cepat datang, bantuan obat-obatan, karena dulu tidak ada komunikasi,” ungkap Mama Sina, kali ini dengan muka berseri.
Mama Sina juga menunjukkan toilet di ruangan kerjanya yang rusak serta tempat tidur pasien yang tanpa kasur. Dia juga memperlihatkan ruangan tempat penyimpanan obat yang pernah dibobol maling.
“Puji Tuhan, saya bersyukur bisa bertemu bapak, biar suara saya bisa didengar, tidak apa-apa,” katanya ketika saya bertanya apakah dirinya bersedia untuk saya kutip namanya secara lengkap. Dia menolak namanya disamarkan.
Saat kami bertemu akhir Oktober lalu, dia mengenakan kaos putih bergambar Yesus Kristus dengan bertuliskan I love you more than you could ever know.
Sebagai bidan satu-satunya di dua kampung itu, Mama Sina semestinya hanya bertugas melayani persalinan.
Tapi seringkali dia menjalankan peran sebagai tenaga kesehatan guna mengobati orang-orang yang sakit.
“Saya seorang diri melayani di kampung ini.” Dia sudah meminta agar ditempatkan tenaga kesehatan tambahan, tapi belum disetujui.
Itulah sebabnya, jika berada dalam tekanan, dia mengaku stres sehingga sesekali ke Agats untuk “mengisi kekosongan” atau “jalan-jalan”.
Menurut Markus Situr, masyarakat dua kampung itu mengetahui beban yang ada di pundak Mama Sina. Mereka pun menyadari perlu ada tenaga kesehatan lainnya untuk membantu sang bidan, ujar eks kepala kampung Atat itu.
Markus sendiri tak memasalahkan kalau Mama Sina sesekali meninggalkan kampung menuju Agats atau Distrik Sawa Erma untuk berjualan demi memenuhi kebutuhan ekonominya - Mama Sina adalah orang tua tunggal.
“Bukan dia yang salah,” kata Markus kepada kami, Kamis, 26 Oktober 2023 lalu.
Bagi Markus, titik persoalannya adalah pada jumlah tenaga kesehatan yang cuma satu orang di dua kampung itu, yaitu Mama Sina.
Dulu pernah ada beberapa tenaga kesehatan yang ditempatkan di kampungnya, namun ada yang tidak betah dan ada pula yang disayangi warga tetapi memilih pindah.
“Kami sudah minta tenaga baru,” kata Markus.
Pak Theus – begitu saya menyapanya – guru sekaligus kepala sekolah Sekolah Dasar (SD) YPPK Santa Petrus Paulus di Kampung As, juga mengharapkan hal yang sama.
Minimal satu mantri dan satu bidan untuk ditempatkan di Kampung As dan Atat, katanya. Kampung itu paling luas wilayahnya dibandingkan 10 kampung lainnya di Distrik Pulau Tiga.
Kehadiran dua tenaga kesehatan membuat mereka dapat berbagi tugas.
”Bidan itu khusus melayani melahirkan anak dan merawat anak, sedangkan mantri untuk pasien yang sakit,” ungkap pak Theus.
Dia sudah mengusulkannya dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrembang) di Agats. Namun faktanya sampai Oktober tahun lalu, hanya Mama Sina yang berjibaku sendirian di sana.
Dan pagi itu di ruangan kerjanya yang merangkap sebagai tempat tinggalnya, Mama Sina baru saja menerima tiga orang pasien.
Pertama, pasien Eva yang sakit mag; Paulina yang anggota badannya terluka; serta David yang tangannya tergores sabetan parang.
Sebagai bidan yang merangkap tenaga kesehatan, Mama Sina terkadang menerima warga yang sakit pada malam hari. Ini terjadi lantaran di siang hari mereka ke hutan untuk pangkur sagu atau berburu.
Mama Sina juga kadang-kadang mendatangi rumah warga, utamanya bagi yang mau melahirkan.
Jika ini terjadi di malam hari, dia harus berhati-hati melangkah di kampung yang penerangan listriknya belum merata.
“Karena jembatan [kayu] lapuk, kadang saya merayap di [rawa-rawa] lumpur-lumpur,” ungkapnya.
Kembali lagi ke Steven Langi. Saya lantas bertanya: “Apabila bidan Fransina sudah melapor ke atasannya, seharusnya masalah terkait tugas dan perannya itu dapat diselesaikan ya?”
“Bisa diselesaikan, hanya saja ada prioritas,” jawab Steven.
Lagipula pihaknya juga menerima laporan serupa dari distrik dan kampung lain, bahkan lebih parah. Ini ditekankannya karena terkait anggaran di bidang kesehatan yang terbatas.
Steven mengakui anggaran kesehatan di Kabupaten Asmat itu “tidak ideal”.
“Kalau mau blak-blakan, kalau ada uang, semua bisa. Mau beli apa saja, bisa,” ujarnya.
Pada APBD Kabupaten Asmat tahun 2023, bidang kesehatan diguyur dana antara delapan miliar hingga sembilan miliar rupiah. Ini jelas kurang, Steven menekankan.
Idealnya, menurutnya, “paling kurang kita butuh Rp10,5 triliun. Daerah mau mengambil uang dari mana sebesar itu?”
Dari kenyataan itulah, prioritas saat ini adalah mendekatkan pelayanan kesehatan kepada masyarakat Asmat di pedalaman.
Saat ini pihaknya terus menggenjot membangun infrastruktur kesehatan, seperti puskemas. Setelahnya barulah membicarakan tenaga kesehatannya.
Sebelum wabah campak dan gizi buruk menyerang Asmat pada akhir 2017 dan awal 2018 lalu, hanya ada 17 puskesmas di wilayah itu.
Kini bertambah menjadi 22 puskesmas dan diharapkan akan terus bertambah.
“Kita ingin lebih mencoba mendekatkan masyarakat ke pelayanan kesehatan,” katanya. Lima puskesmas baru itu kebanyakan di distrik-distrik baru hasil pemekaran.
Rencana lainnya?
“Idealnya, setiap kampung punya polindes (pondok bersalin desa), karena itu sangat membantu. Ini artinya setiap kampung punya tenaga kesehatan,” katanya sambil mengatakan bahwa di wilayah Asmat ada 224 kampung.
Ini artinya butuh biaya dan tenaga kesehatan yang harus disediakan pihaknya.
“Ini perkara besar,” tandas Steven Langi.
Perkara besar yang disebut Steven Langi itu, bagi warga di Kampung As dan Atat, barangkali tidak bisa dijadikan alasan.
Suara-suara yang meminta agar dibangun puskesmas atau polindes di dua kampung itu sudah terdengar sejak kami baru tiba di sana.
Selain disuarakan langsung oleh Mama Sina, harapan itu juga kami dengar dari guru, pastor, dan bekas kepala kampung.
Trauma kepedihan setelah kematian belasan anak-anak akibat wabah campak dan gizi buruk 2017-2018 adalah alasan utamanya.
“Karena anak-anak mati banyak. Terlambat antar ke rumah sakit,” kata Markus Situr, mantan kepala kampung Atat kepada kami.
Markus mengaku sudah sering menyuarakan keinginan warga agar dibangun layanan kesehatan yang mumpuni di sana. Namun itu belum terwujud.
Jadi, apa yang bisa bapak katakan sekarang? Tanya kami.
“Marah.”
Sudah bapak sampaikan kemarahan itu kepada pemerintah? Kami bertanya lagi.
“Belum kami sampaikan. Masyarakat marah dalam hati.”
Kami tak melanjutkan pertanyaan. Apa yang disuarakan Markus Situr ini gaungnya masih terasa di benak saya ketika liputan kami berakhir dan harus kembali ke Jakarta.

'Masih ada gizi buruk di Kampung As-Atat, tapi tidak sebanyak dulu'

Kampung As dan Atat di Distrik Pulau Tiga di pedalaman Asmat, Papua Selatan, yang diselimuti rawa-rawa, masih menyimpan trauma tentang keterisolasian, layanan kesehatan yang buruk, hingga stigma keterbelakangan.
Kenyataan seperti itulah yang menjadi latar di balik kasus wabah campak dan gizi buruk di pedalaman Asmat yang mematikan pada akhir 2017 dan awal 2018 silam.
Gemanya masih terasa ketika kami tiba di sana akhir Oktober 2023 lalu, walau ada klaim sudah ada perbaikan berbagai faktor penyebab meledaknya kasus tujuh tahun silam itu.
Siang itu, tak jauh dari batas Kampung As dan Atat, Distrik Pulau Tiga, Asmat, Papua Selatan, perahu motor yang kami tumpangi baru saja ditambatkan di dermaga kayu sederhana di pinggir sungai kecil.
Kami baru saja melakukan perjalanan lebih dari dua jam dalam jarak sekitar 140 kilometer menyusuri sungai-sungai dari Agats, ibu kota Kabupaten Asmat.
Dipayungi langit bercorak alumunium dan tempaan sinar matahari yang mulai terik, kami disambut tiga tiang salib terbuat dari kayu dan kerumunan ibu dan anak-anak bertelanjang kaki di kejauhan.
Mereka duduk bersila di bawah atap dari daun pohon sagu atau nipah di samping bangunan gereja. Terdengar percakapan dan celoteh anak-anak, tetapi tak kami pahami bahasanya.
Lalu muncul anak muda berkaos gelap dan berkacamata. Dia bukan asli kampung itu. Pria kelahiran 1989 yang berasal dari Nusa Tenggara Timur (NTT) menyalami saya dan videografer Dwiki Marta.
Namanya Pius Apriyanto Bria, pastor dari Keuskupan Agats.
Dia ditempatkan di kampung itu dua tahun setelah wabah campak dan gizi buruk pada akhir 2017 dan awal 2018 yang menewaskan setidaknya 31 anak-anak di sana.
“Ini kegiatan rutin, pemberian makanan tambahan untuk anak-anak balita,” Pastor Yanto menjawab pertanyaan saya tentang tujuan kehadiran puluhan ibu dan anak-anak di sana.
Siang itu, mereka disuguhi sepiring kacang hijau, telor dan susu, juga permen.
“Semua itu demi menunjang kehidupan gizi anak-anak di sini,” jelasnya.
Acara yang digelar empat kali dalam sebulan ini dilakukan secara mandiri oleh Keuskupan Agats.
Bagi Pastor Yanto, program pemberian makanan bergizi secara gratis ini sedikit-banyak berdampak bagi tumbuh-kembang anak-anak di kampung itu.
“Bapak tadi lihat kan ada satu anak yang tujuh tahun lalu terpapar gizi buruk, kini tumbuh sehat,” katanya.
Satu-satunya bidan di Kampung As dan Atat, Fransina Wogan – Mama Sina, begitu nama panggilannya – tak memungkiri bahwa “masih ada [kasus gizi buruk], tapi tidak sebanyak dulu.”
“Satu-dua kasus cepat ditangani, lapor ke puskesmas, orang [tim kesehatan] datang memberikan pelayanan, cepat sembuh,” ungkapnya.
Dalam satu bulan rata-rata ada berapa kasus gizi buruk di kampung ini? Tanya saya. “Tidak menentu sekarang. Sebulan ada satu-dua [kasus gizi buruk]. Tidak lebih dari itu.”
Seorang mantan Kepala Kampung As, Markus Situr juga mengeklaim kasus gizi buruk di sana sudah berkurang setidaknya jika dibanding pada 2017 dan 2018 lalu.
Usai melakukan liputan selama dua hari di Kampung As dan Atat, kami mendatangi Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Agats.
Ini adalah bangunan baru (diresmikan Maret 2023) menggantikan rumah sakit lama yang pernah dijuluki Menteri Kesehatan Nila Moeloek – ketika wilayah itu diserang wabah campak dan gizi buruk awal 2018– mirip bangunan ”warteg“.
Di sanalah, kami bertemu dokter Helen Mayasari. Dia adalah dokter spesialis anak. Kami bertanya kepadanya, bagaimana perkembangan kasus gizi buruk yang dilaporkan di RSUD Agats, mulai Januari 2023 sampai Oktober 2023 lalu.
”Mulai naik lagi,” ungkap dokter Helen.
”Dari Januari 2023 sampai Oktober 2023, sudah 178 anak dengan gizi buruk dengan berbagai penyakit penyerta.”
Pada 2022 ada kasus gizi buruk antara 111-115 kasus dan 10 meninggal dunia.
Dalam kasus pada 2023, jika dirata-rata, maka ada 10 sampai 15 kasus gizi buruk setiap bulannya, tambahnya.
Dari 178 anak dengan gizi buruk itu, lanjutnya, ada 11 anak yang meninggal dunia. ”Mereka meninggal bukan karena gizi buruknya, tapi karena penyakit utama yang membuat pasien dibawah ke RSUD.”
Sebagian besar pasien meninggal karena infeksi berat akibat diare, ungkap Helen. Mereka dirujuk dan dilarikan ke RSUD Agats sudah dalam kondisi parah sehingga pihaknya sulit menanganinya. “Dan diperparah oleh gizi buruk.”
Dalam banyak kasus, pasien itu dibawah dari befak (rumah singgah warga di hutan selama mereka melakukan panggur sagu atau berburu), lalu dilarikan ke puskesmas. Barulah kemudian dibawa ke RSUD Agats.
“Sampai di sini kita menangani hanya emergency saja. Tapi biasanya sudah tak tertangani,” papar dokter Helen.
Steven Langi, Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat Dinas Kesehatan Kabupaten Asmat, tidak memungkiri saat ini masih ditemukan kasus gizi buruk di Asmat.
“Namun itu bukan pertama kali terjadi. Itu sudah berulang-ulang seperti sebelum-sebelumnya,” kata Steven saat kami temui di Kota Agats akhir Oktober 2023 lalu.
“Kita tidak pernah bilang itu tidak ada. Kalau tidak ada [kasus gizi buruk], orang bilang dinas kesehatan akan tidur nyenyak,” ujarnya lalu terkekeh.
Hanya saja, bedanya dengan KLB gizi buruk 2018, saat ini setiap laporan tentang penemuan kasus gizi buruk yang masuk dari puskesmas pembantu (pustu) atau puskesmas, akan cepat ditindaklanjuti, ujar Steven.
“Catat nama [pasien] dan difoto, kemudian ditindaklanjuti. Jadi kita memiliki bukti anak ini sudah ditemukan dan sudah kita tindaklanjuti,” jelasnya.
Persoalannya kemudian adalah ketika pasien yang sedang dirawat itu dipaksa oleh orang tuanya meninggalkan RSUD. Tujuannya diajak kembali ke hutan untuk pangkur sagu.
“Itu yang jadi masalah,” katanya.
Steven lantas mencontohkan satu kasus ketika KLB 2018. Saat itu ada seorang bocah yang sudah dirawat sebanyak tiga kali di RSUD Agats. Keluarganya ngotot agar sang anak dibawa pulang.
“Dia difoto wartawan saat masuk ketiga kalinya ke rumah sakit,” ungkapnya.
Pada bulan yang sama si anak kembali dirawat ke RSUD Agats untuk keempat kalinya.
“Saya lihat dia lebih kurus,” katanya.
Kasus-kasus pasien dipaksa meninggalkan rumah sakit oleh orang tuanya untuk kembali ke hutan menurutnya sering terjadi di wilayah itu.
Jika selama anak itu berada di hutan mendapat asupan makanan, berarti ancaman dia terkena gizi buruk akan berkurang. Sebaliknya, apabila dia tak mendapat makanan secukupnya, “itu masalahnya,” kata Steven.
Demikian pula saat proses penimbangan oleh tim kesehatan puskesmas di kampung yang digelar tiap bulang, si anak hadir, maka “aman-aman saja”.
“Nah kalau dia datang dalam keadaan malnutrisi, kita pasti tahu, ada yang salah,” katanya.
Terlepas dari kebiasaan sebagian orang tua di pedalaman Asmat yang membawa anak-anaknya ke hutan, demikian klaim Steven Langi, pemberian makanan tambahan secara rutin disebutnya berdampak kepada gizi anak.
Inilah yang ditempuh Dinkes Asmat dengan program 1000 Hari Pertama Kehidupan yang dimulai 2016 lalu. Setiap sebulan, selain melakukan imunisasi, mereka memberikan makanan tambahan kepada anak-anak dan ibunya.
“Dari segi berat badannya saja, sudah berbeda jauh. Itu sampai kita cek ulang ya,” kata Steven Langi.
Problemnya, yaitu tadi, saat pemberian makanan tambahan dan imunisasi, sebagian warga tidak berada di tempat. Mereka melakukan pangkur sagu atau berburu di hutan sambil membawa anak-anaknya.
“Kita bisa tracing, kenapa berat badannya tidak naik. Ternyata dia bolak-balik masuk hutan,” katanya.
Persoalan lain yang disebut Steven masih menjadi ganjalan: dana yang kurang. Dari perhitungan kasar, misalnya, idealnya dibutuhkan antara Rp150 miliar dan Rp200 miliar untuk 10 ribu anak.
Dinas Kesehatan Asmat menerima dana dari pemerintah pusat antara delapan dan sembilan miliar rupiah.
“Kita terkendala anggaran,” akunya.
Dana itu berasal dari pemerintah pusat baik Dana Alokasi Umum (DAU) atau Dana Otonomi Khusus.
“Kalau kita mau makan [gratis] tiga kali sehari untuk 10,000 anak dengan ibu hamil, maka paling tidak kita butuh Rp10,5 triliun. Daerah mau mengambil uang sebesar itu dari mana?” ujarnya.

Asmat lumbung sagu, tetapi mengapa ada kasus gizi buruk?

Sebelum berangkat liputan ke pedalaman Asmat, kami diberi nasihat oleh Aloysius Murwito, Uskup di Keuskupan Agats.
Dia mengharap saya dan videografer Dwiki Marta membeli beberapa kilogram beras dan pangan lainnya untuk diberikan kepada warga ke Kampung As dan Atat di pedalaman Asmat, Papua Selatan.
“Buat warga di sana, mereka membutuhkannya,” ujar Uskup Murwito akhir Oktober 2023 lalu.
Pagi itu kami juga membawa gula putih beberapa kilo, kopi bubuk hingga minyak goreng. Semuanya kami beli di pasar kota Agats, ibu kota Kabupaten Asmat, sebelum meninggalkan dermaga kecil di Agats.
Tiba di tempat tujuan, bahan pangan itu kami titipkan kepada Pastor Pius Apriyanto Bria, perwakilan Keuskupan Agats di dua kampung itu. Sang pastor tinggal di rumah kayu sederhana tak jauh dari dermaga.
Nyaris setiap hari bangunan rumah milik Keuskupan Agat itu didatangi warga setempat. Ada yang meminta makan, pinjaman uang, obat-obatan, atau nasihat kepada Pastor Yanto - panggilannya.
Di sanalah sambil beristirahat, kami disuguhi dua atau empat kerat sagu kering berbentuk bujur sangkar.
“Silakan dicoba, makanan sagu paling banyak dikonsumsi warga sini,” kata Pastor Yanto. Tidak ada rasanya, kataku dalam hati, usai mengunyahnya seiris.
Potongan sagu itu kemudian kami lupakan. Sejumlah warga kampung kemudian membantu memasak beras dan lauk lainnya.
Mereka menyajikannya di meja di ruangan tengah. Kami lantas makan bersama tapi tanpa sajian penganan yang berbasis sagu.
Sajian menu makan siang di atas meja makan itu belakangan mengingatkan saya tentang isu pangan lokal dan kasus gizi buruk di Asmat pada 2018.
Seperti diketahui, sagu adalah pangan utama masyarakat Papua, namun secara perlahan sebagian mereka mulai meninggalkannya dan bergeser mengonsumsi beras.
Ini agak ironi karena Papua adalah hutan sagu terluas di dunia.
Sekitar 2.000 hektare lahan sagu di pedalaman Asmat, misalnya, telah dipanen lebih dari 10.000 ton pada 2020 lalu.
Ini belum bicara potensi lahan sagu di Asmat yang disebut mencapai 1,4 juta hektare. Dan tidak kalah dengan beras, sagu mengandung banyak nutrisi tetapi minim gluten.
Lantas mengapa Asmat yang merupakan lumbung sagu – selain ikan yang berlimpah di sungai-sungainya – masih ditemukan kasus-kasus gizi buruk?
Ada banyak teori dan asumsi berbeda di baliknya. Ada yang beranggapan pangan lokal – misalnya sagu – dapat meningkatkan ketahanan pangan di wilayah tertentu. Namun ini tidak berjalan karena rendahnya kemampuan produksi pangan lokal.
Tapi ada pula anggapan masih ditemukannya kasus gizi tidak terlepas dari pemahaman masyarakat yang rendah tentang makanan bergizi. Ini setidaknya yang diutarakan Sarni Rante Allo Bela, pakar gizi dari Universitas Cenderawasih.
“Kita mengatakan bahwa pangan itu tersedia [di Papua]. Di Papua, apa yang tidak tersedia? Semua tersedia,” kata Sarni kepada kami awal November 2023 lalu.
Kami bertemu dan mewawancarai Sarni di kampusnya di Sentani, Kabupaten Jayapura, setelah melakukan liputan ke pedalaman Asmat.
Bagi Sarni, masalahnya terletak pada sejauh mana pengetahuan masyarakat tentang aspek gizi dalam mengkonsumsi makanan.
Dia menaruh curiga sebagian masyarakat Asmat – utamanya di pedalaman – hanya asal kenyang. Mereka tak memahami aspek higienitas dari makanan yang dikonsumsinya tiap hari, ujarnya.
Idealnya, sambungnya, masyarakat di pedalaman Asmat itu mau dan mampu memenuhi kebutuhan pangan yang “bervariasi”. Cara mereka mengelola pangannya juga harus tepat, tambahnya.
Tidak sagu semata atau melulu ikan, tapi menambahkan sayur atau buah, misalnya. Ini yang disebut Sarni sebagai makanan yang bervariasi.
“Tinggal tambahkan sayur atau buah yang ada di kebun atau mereka membelinya,” kata Sarni.
Tentu saja ada faktor lain, misalnya kebersihan, yang disebut Sarni ikut berkontribusi di balik kasus-kasus gizi buruk dan penyakit infeksi.
Kembali kepada kebutuhan makanan bervariasi itu tadi.
Di sinilah masalahnya: lanskap Asmat yang berawa-rawa sulit untuk ditanami sayuran. Faktor lainnya adalah kemiskinan dan masih kentalnya budaya meramu-berburu.
Tapi ini bukan berarti semuanya berakhir buntu. Ada jalan keluar yang ditawarkan di tengah keterbatasan-keterbatasan itu. Keuskupan Agats dan Yayasan Wahana Visi Indonesia (WVI), sebutlah, memiliki program kebun gizi.
Yang disebut pertama, mengajak masyarakat di pedalaman Asmat membuat bedeng-bedeng di pinggir hutan atau di pekarangan rumahnya.
Adapun yang disebut terakhir merangkul masyarakat membuat kebun gizi apung di dekat rumahnya.
“Ini memang program jangka panjang. Mengajak masyarakat [di kampung As dan Atat] untuk membuka lahan-lahan baru yang produktif,” kata Uskup Aloysius Murwito.
Di sanalah, warga diajak menanam sayur untuk nantinya dikonsumsi sendiri.
Adapun WVI yang fokus di sejumlah kampung di Distrik Jetsy dan Distrik Siret. Di sana, menurut area program manager WVI di Asmat, Bethsaida Sinaga, mereka menemani dan melibatkan masyarakat untuk membangun kebun gizi apung di halaman rumahnya.
Baik Uskup Aloysius maupun Bethsaida mengakui upaya pelibatan masyarakat dalam membuat kebun sayur itu tidaklah gampang.
“Kita tidak segampang itu untuk masuk ke mereka,” aku Ibeth – panggilannya. (Kisah lengkap pendampingan Keuskupan Agats dan WVI kepada masyarakat di pedalaman Papua dapat dibaca di liputan seri empat).
Ibeth tidak memungkiri kendala utama dalam upaya pihaknya memasyarakatkan aktivitas berkebun secara berkelanjutan di masyarakat Asmat di pedalaman terletak kepada kebiasaan.
Warga di pedalaman di wilayah Selatan Papua itu sudah akrab dengan kegiatan meramu dan berburu di hutan.
Ibeth dkk tak bermaksud mengubah kebiasaan lama mereka dalam berburu dan meramu. Tidak sama sekali, katanya.
“Dengan cara apapun itu terserah mereka,” katanya.
Mereka melibatkan masyarakat untuk berkebun agar mereka mendapat asupan bergizi dengan mengkonsumsi sayuran.
Dan mereka tak perlu mengeluarkan biaya lantaran sayuran itu tersedia di halaman rumahnya sendiri, ungkapnya.
“Yang praktis saja, yaitu mendekatkan sumber makanan itu kepada mereka dengan membangun kebun-kebun apung itu tadi,” jelas Ibeth.
Apabila kelak masyarakat tak lagi tertarik melanjutkan program kebun gizi apung, tidak masalah.
Yang lebih penting bagaimana merawat kesadaran warga di pedalaman Asmat bahwa tujuan akhirnya adalah kesehatan ibu dan anak.
“Agar tak lagi alami gizi buruk,” katanya.
“Terserah mereka mau adopsi yang mana nantinya,” Ibeth menekankan kembali hal ini saat ditanya tentang kekhawatiran bahwa intervensi budaya cocok tanam ini akan membuat masyarakat tercerabut akarnya dari hubungan dekatnya dengan hutan.
“Yang penting mereka sudah dapat prinsipnya ‘oh ya anak harus sehat, ibu juga harus sehat’,” ujarnya. “Perubahan perilaku agar hidup sehat, sih.”
Ibeth memahami adanya keterikatan masyarakat di pedalaman Asmat yang sudah menyatu dengan kehidupan di hutan.
Dari kenyataan inilah, Ibeth mengaku pihaknya pun sudah memiliki rencana berupa “penanaman pohon sagu di dekat kampung”, tetapi belum terealisasi karena berbagai alasan.
”Kalau memang itu salah satu tujuan mereka ke hutan untuk mencari sagu, kenapa enggak kita dekatkan saja,” kata Ibeth.
Selaras dengan keinginan Ibeth dkk untuk melakukan penanaman pohon sagu di dekat kampung, Keuskupan Agats juga memiliki kepedulian terhadap pangan lokal sagu sebagai solusi gizi seimbang – tak melulu tergantung kepada beras dan gandum.
Romo Anton R. Tjokroatmodjo, Sekjen Keuskupan Agats, memiliki ide agar masyarakat di pedalaman Asmat ke depannya dapat diajak untuk mengadakan pembibitan sagu.
“Memang sagu pada dasarnya di hutan tumbuh alamiah, tapi kalau setiap hari ditebang kan bisa habis, maka harus ada pembibitan,” kata Romo Tjokro - panggilannya.
Alasan mendasarnya makanan pokok masyarakat Asmat adalah sagu dan bukan beras atau singkong.
Walaupun masih berupa usulan di atas kertas, apa yang dibayangkan Ibeth dan Romo Tjokro sesuai seruan para pegiat pangan.
Mereka terus menyuarakan pentingnya kebijakan lokalisasi pangan dan desentralasi pangan.
Dua tahun lalu, sejumlah ahli di multi-bidang – pangan, budaya, sosio-antropologi, dan kesehatan – menegaskan peran penting nutrisi yang bersumber dari makanan tradisional untuk mencegah permasalahan gizi.
Ini diperkuat hasil penelitian dan kajian di sejumlah daerah yang menunjukkan betapa pangan lokal dapat menjadi faktor penanggulangan masalah gizi.
Seruan para ahli itu tidak berangkat dari halaman kosong. Ahli gizi dari Universitas Cenderawasih di Jayapura, Sarni Rante Allo Bela tidak memungkiri saat ini “ada peralihan konsumsi pangan dari sagu ke beras” di Papua.
“Sehingga pengeluaran pangan mereka akan lebih habis ke beras,” kata Sarni kepada kami awal November 2023 lalu.
“Padahal sekarang ini kita memberdayakan bagaimana masyarakat bisa mengonsumsi pangan lokal agar supaya tidak tergantung dengan beras,” jelas lulusan S2 di Fakultas Kesehatan Masyarakat UGM ini.
Di matanya, masyarakat di pedalaman Asmat semestinya lebih dimudahkan untuk mengakses makanan lokal sagu ketimbang membeli beras.
Secara tradisional mereka juga mengandalkan hutan, rawa-rawa dan sungai sebagai sumber kehidupannya – tanpa merogoh kocek.
Tinggal bagaimana mereka memadunya dengan makanan lain yang kaya nutrisi dan bergizi seperti ikan, buah, hingga sayur-sayuran, kata Sarni.
Apa yang diutarakan Sarni, Romo Tjokro dan Ibeth itu tadi barulah sebuah harapan.
Ini adalah tulisan kedua dari empat tulisan dalam liputan khusus 'Asmat setelah tujuh tahun wabah campak dan gizi buruk'.
Seri ketiga dari liputan ini, Demi biayai infrastruktur PON Papua 'berstandar internasional', bantuan perbaikan gizi 'Anak Asli Papua' dihapus, akan terbit di situs BBC News Indonesia pada Rabu, 7 Agustus 2024.