Cerita Kaum Muda Myanmar Berupaya Kabur dari Paksaan Junta Ikut Wajib Militer

Konten Media Partner
4 Maret 2024 9:00 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical

Cerita Kaum Muda Myanmar Berupaya Kabur dari Paksaan Junta Ikut Wajib Militer

Pada 1 Februari 2024, Myanmar memasuki tahun keempat semenjak kudeta.
zoom-in-whitePerbesar
Pada 1 Februari 2024, Myanmar memasuki tahun keempat semenjak kudeta.
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kelly Ng
BBC News, Singapura
Baru-baru ini terjadi desak-desakan di luar kantor imigrasi Myanmar yang merenggut dua nyawa. Ada pula antrean tak berujung di luar sejumlah kedutaan asing. Ini cuma beberapa contoh insiden yang terjadi di Myanmar sejak pengumuman wajib militer.
Pemerintahan militer Myanmar sedang menghadapi perlawanan yang semakin efektif dari kelompok-kelompok oposisi bersenjata. Bahkan, kelompok-kelompok itu sudah berhasil merebut sebagian besar wilayah negara.
Guna menyerang balik berbagai kelompok bersenjata itu, junta militer Myanmar berupaya merekrut para pemuda dengan memberlakukan wajib militer.
Sebagai latar belakang, militer merebut kekuasaan dalam kudeta pada 1 Februari 2021. Mereka memenjarakan para pemimpin yang dipilih rakyat dan membuat Myanmar terjerumus ke dalam perang saudara penuh darah hingga kini.
Ribuan orang meninggal dunia dan PBB memperkirakan sekitar 2,6 juta orang menjadi pengungsi.
Sejak awal kudeta, banyak dari kaum muda Myanmar mengambil peranan penting dalam memprotes dan melawan junta militer. Sekarang mereka malah diminta untuk berperang membela rezim.
Sebagian besar orang meyakini ini adalah buntut dari kemunduran militer dalam beberapa bulan belakangan. Berbagai kelompok anti-pemerintahan bersatu dan mengalahkan militer di sejumlah area kunci.
“Sungguh omong kosong untuk mengabdi ke militer pada saat ini. Kita tidak sedang melawan penjajah asing. Kita saling bertarung. Kalau kami bergabung ke militer, kami akan ambil bagian dalam kejahatan mereka,” Robert, seorang aktivis berusia 24 tahun, mengatakan kepada BBC.
Kebanyakan pemuda kini berupaya untuk meninggalkan Myanmar.
“Saya tiba pukul 03:30 [20:30 GMT] dan sekitar 40 orang sudah antre untuk ambil token buat mengajukan visa,” tutur seorang remaja putri yang menjadi bagian dari kerumunan orang di Kedubes Thailand di Yangon awal Februari.
Menurut dia, dalam waktu satu jam saja jumlah orang bertambah dari sekitar 40 menjadi lebih dari 300 orang.
“Saya takut kalau menunggu lebih lama lagi, kedutaan akan menangguhkan pemrosesan visa karena situasi kacau,” tambah remaja putri itu kepada BBC. Dia mengklaim beberapa orang harus menunggu tiga hari sebelum memperoleh nomor antrean.
Kota Mandalay menjadi saksi kematian dua orang di depan kantor imigrasi. BBC mendapat laporan bahwa orang-orang juga mengalami luka serius – salah satunya menderita patah kaki setelah jatuh ke gorong-gorong sementara satu korban giginya patah. Enam orang lain mengaku kesulitan bernapas.
Orang-orang berkumpul di depan Kedubes Thailand di Yangon
Justine Chambers, peneliti isu Myanmar dari Danish Institute for International Studies, menyebut wajib militer adalah satu cara untuk menyingkirkan warga sipil muda yang memimpin revolusi.
“Kita bisa menganalisa bagaimana wajib militer merupakan pertanda lemahnya militer Myanmar, tetapi tujuan utamanya adalah untuk menghancurkan kehidupan… Sebagian orang bakal bisa kabur, tapi lebih banyak lagi yang menjadi tameng hidup melawan rekan senegaranya,” ujar Justine.
Walaupun undang-undang yang mengatur wajib militer Myanmar pertama kali disahkan tahun 2010, pelaksanaannya baru dilakukan tanggal 10 Februari ketika junta menyatakan akan mewajibkan setidaknya dua tahun wajib militer untuk semua laki-laki berumur antara 18 dan 35 tahun dan perempuan berusia 18-27 tahun.
Mayjen Zaw Min Tun, juru bicara pemerintahan militer, menyatakan seperempat dari total populasi negara 56 juta orang memenuhi syarat untuk wajib militer di bawah undang-undang.
Rezim kemudian mengatakan tidak ada rencananya untuk melibatkan perempuan ke dalam wajib militer “untuk saat ini” tanpa penjelasan lebih lanjut.
Juru bicara pemerintahan mengatakan kepada BBC Burmese bahwa panggilan wajib militer akan setelah festival Thingyan yang menandai Tahun Baru Burma pada pertengahan April. Angkatan pertama akan merekrut 5.000 orang.
Pengumuman rezim ini lagi-lagi menjadi pukulan bagi generasi muda Myanmar.
Banyak dari mereka yang pendidikannya terhenti akibat kudeta dan ditutupnya sekolah-sekolah karena pandemi Covid-19.
Pada 2021, junta militer memberhentikan 145.000 guru dan staf universitas lantaran mereka mendukung oposisi. Data ini datang dari Federasi Guru Myanmar.
Beberapa sekolah di area-area yang dikuasai oposisi juga hancur akibat serangan udara.
Tidak sedikit warga akhirnya melarikan diri via perbatasan demi mencari suaka, sebagian dari mereka adalah anak-anak muda yang mencari pekerjaan dan menjadi tulang punggung keluarga.
Pengumuman wajib militer mendapat reaksi dari akun-akun sosial media yang mengaku berencana untuk menjadi biksu atau menikah dini untuk menghindari panggilan militer.
Junta militer sudah mengatakan bahwa pengecualian penuh akan diberikan kepada anggota ordo keagamaan, para istri, orang-orang dengan disabilitas, siapa pun yang dinilai tidak cocok untuk mengabdi ke militer, dan “mereka yang dikecualikan oleh dewan wajib militer”.
Selain kelompok-kelompok ini, melarikan diri dari wajib militer dapat diganjar dengan hukum 3 sampai 5 tahun penjara berikut denda.
Robert meragukan rezim akan benar-benar mengikuti aturan pengecualian ini.
“Junta dapat menangkap dan menculik siapa pun. Tidak ada aturan hukum bahwa mereka harus bertanggung jawab kepada siapa pun,” ujarnya.
Keluarga-keluarga yang lebih berada tengah menimbang-menimbang untuk pergi ke luar negeri – Thailand dan Singapura adalah pilihan yang populer, tetapi ada juga yang bahkan ingin pergi sejauh mungkin seperti ke Islandia – dengan harapan anak-anak mereka bisa memperoleh izin tinggal permanen atau kewarganegaraan begitu cukup umur untuk wajib militer.
Warga Myanmar menginjak foto-foto pemimpin junta militer Jenderal Min Aung Hlaing dalam peringatan tiga tahun kudeta.
Aung Sett, Federasi Himpunan Mahasiswa Myanmar (ABFSU), mengatakan banyak dari mereka yang akhirnya bergabung ke kelompok perlawananan. ABFSU sudah lama menentang kekuasaan militer.
“Waktu saya mendengar kabar bahwa harus wajib militer, saya merasa sangat kecewa Pada saat yang sama hati ini hancur untuk para warga terutama yang masih muda-muda seperti saya. Banyak orang muda sekarang mendaftar untuk melawan junta,” ujar pria berusia 23 tahun itu kepada BBC dari pengasingan.
Beberapa pengamat mengatakan pelaksanaan UU wajib militer menunjukkan melemahnya kekuasaan junta atas negara.
Pada Oktober silam, rezim menderita kemunduran paling besar semenjak kudeta.
Aliansi pemberontak etnis menyerbu puluhan pos militer di sepanjang perbatasan dengan India dan China. Junta juga kehilangan wilayah yang luas setelah kemenangan pemberontak di sepanjang perbatasan Bangladesh dan India.
Pemerintahan Persatuan Nasional – mereka menamai diri sebagai pemerintah Myanmar dalam pengasingan – menyatakan lebih dari 60% wilayah Myanmar sekarang berada di bawah kendali pasukan perlawanan.
"Dengan mengumumkan wajib militer secara paksa setelah serangkaian kekalahan besar nan memalukan dari kelompok perlawanan, militer secara terbuka menunjukkan betapa putus asanya mereka," kata Jason Tower, direktur program Burma di United States' Institute of Peace.
Tower memperkirakan wajib militer ini akan gagal karena meningkatnya kebencian terhadap junta.
“Banyak kaum muda yang ingin menghindari wajib militer tidak akan punya pilihan lain selain kabur ke negara tetangga. Ini akan memperparah krisis kemanusiaan dan pengungsi. Ini bisa menumbuhkan rasa frustrasi di Thailand, India, China, dan Bangladesh, dan semua ini bisa menghapus sisa-sisa dukungan terhadap junta,” ujar Tower.
Tower menambahkan bahwa sekalipun militer mampu menambah anggota militer, ini tidak akan membantu krisis semangat juang yang ada. Selain itu, butuh waktu bulanan untuk menggembleng pasukan baru.
Ye Myo Hein, peneliti global di Woodrow Wilson International Center for Scholars, menyebut junta punya sejarah panjang “perekrutan paksa” bahkan sebelum UU itu disahkan.
“Jadi UU itu hanya sekadar pencitraan padahal sebenarnya anggota baru dipaksa wajib militer. Dengan sangat minimnya anggota yang ada, tidak ada lagi waktu untuk menunggu proses perekrutan tentara baru yang panjang dan bertahap. Ini mendorong [pejabat] untuk memanfaatkan hukum guna memaksa orang ikut militer dengan cepat,” ujarnya.
Banyak dari mereka yang berhasil kabur pun akan tetap menderita luka-luka dan kesakitan batin sepanjang sisa hidup mereka.
“Hidup sudah sangat sulit bagi anak muda di Myanmar, baik secara fisik maupun mental. Kami kehilangan impian kami, harapan-harapan kami, dan masa muda kami. Situasinya tidak akan lagi sama,” ujar Aung Sett.
“Tiga tahun hilang sia-sia. Kami kehilangan teman-teman dan rekan-rekan dalam peperangan melawan junta dan banyak keluarga kehilangan buah hati. Rasanya negara ini mengalami mimpi buruk. Setiap hari kami menyaksikan kekejaman junta. Saya tidak bisa menggambarkannya dengan kata-kata.”

Berita terkait: