Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten Media Partner
Cerita WNI Korban Sindikat Perdagangan Orang di Myanmar 'Disekap, Disiksa dan Dimintai Tebusan Ratusan Juta Rupiah' - Mengapa Berulang dan Bagaimana Upaya Membebaskannya?
14 Agustus 2024 7:45 WIB
Cerita WNI Korban Sindikat Perdagangan Orang di Myanmar 'Disekap, Disiksa dan Dimintai Tebusan Ratusan Juta Rupiah' - Mengapa Berulang dan Bagaimana Upaya Membebaskannya?
Seorang WNI berinisial SA masih 'disekap, disiksa dan dimintai tebusan uang ratusan juta Rupiah' oleh sindikat penipuan di Myanmar. Dia diduga korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Kasus yang tengah ditindaklanjuti pemerintah Indonesia ini menambah ‘pekerjaan rumah’ penanganan korban sindikat penipuan online. Sampai sekarang, masih ada 44 WNI yang terjebak di wilayah konflik tersebut.
Yohana Apriliana, 35 tahun, mengeklaim sepupunya yang tinggal di Petukangan Utara, Jakarta Selatan itu pergi ke Thailand pada 11 Juli karena ditawarkan pekerjaan dengan gaji yang tinggi.
“US$10.000 kali, ya? Pokoknya kalau dirupiahin kurang lebih Rp150 juta per bulan,” ujar Yohana kepada wartawan Amahl Azwar yang melaporkan untuk BBC News Indonesia pada Selasa (13/08).
Selama tiga bulan terakhir, Yohana menyebut SA tidak bekerja. Teman SA mengajaknya bekerja ke luar negeri. Meski begitu, Yohana mengaku SA tidak pernah menceritakan detail pekerjaannya seperti apa.
Yohana menyebut SA diberitahu perusahaan yang mempekerjakannya terletak di Mae Sot, Thailand. Pada tanggal 14 Juli, SA menempuh perjalanan sekitar 12 jam dan ternyata SA “malah dibawa ke Myanmar”.
Mae Sot memang merupakan kota di Thailand yang berbatasan dengan Myanmar, tepatnya Myawaddy.
Sesampainya di sana, Yohana mengaku mendengar SA mengeluhkan kondisi “kantor” perusahaan yang diklaimnya “jorok, kotor, kumuh, seperti rumah susun”.
Beberapa hari kemudian, Yohana menyebut SA menelepon keluarganya. Tidak lama kemudian, seseorang yang mengaku berasal dari Malaysia mengaku bertindak sebagai penerjemah mengambil alih telepon SA
“Intinya dia minta uang tebusan sebesar US$30.000 [sekitar Rp 475 juta] ke keluarga dan kawan-kawan. Kalau tidak dipenuhi, [SA] akan disiksa,” ujar Yohana.
BBC News Indonesia telah mendengar rekaman suara percakapan yang dirujuk Yohana. Namun, BBC News Indonesia belum bisa memverifikasi keabsahan suara tersebut.
Yohana mengaku sejauh ini keluarganya baru dapat mengumpulkan uang sebesar Rp 4 juta untuk tebusan. Pihak keluarga SA, sambung dia. mendapatkan informasi bahwa pemerintah lamban dalam penanganan kasus pidana perdagangan orang di Myanmar.
“Makanya kita coba viralkan dulu, biar sampai ke telinga pemerintah,” ujar Yohana.
Di sisi lain, Yohana mengaku dirinya dan keluarga baru mengetahui tentang kasus TPPO seperti di Myanmar atau Kamboja setelah kasus ini menimpa saudaranya.
Menurut catatan Kemlu, terdapat 30 WNI yang kini berada di wilayah perbatasan Myanmar-Thailand. Mereka dipekerjakan secara paksa untuk menipu orang secara daring.
Myawaddy sekarang telah dikuasai oleh kelompok pemberontak Myanmar. Dari sisi Myanmar, posisi Myawaddy sebagai zona konflik sekaligus ‘surga’ bagi para sindikat penipuan daring telah menambah kompleksitas penanganan kasusnya.
Dari sisi dalam negeri, pengamat menyebut masih banyak warga Indonesia yang tertipu dan menjadi korban TPPO karena termakan iklan di jejaring media.
Sebetulnya mengapa kasus TPPO di Myanmar itu sebegitu peliknya?
‘Kita coba viralkan saja dulu, biar sampai ke telinga pemerintah’
Kasus SA ramai diberitakan di beberapa media nasional setelah Yohana, mewakili keluarga SA, melaporkan kasus tersebut ke Mabes Polri pada Senin (13/08).
Selain itu, Yohana menyebut mereka juga sudah mengajukan pengaduan ke Kementerian Luar Negeri.
Yohana mengaku awalnya pihak keluarga takut menyuarakan kasus SA ke publik. Mereka khawatir apabila kelompok yang menyekap SA mendengar kabar keluarga memviralkan kasus, maka akan semakin membahayakan nyawa SA.
“Makanya kita [kirim pesan] ke [keluarga] korban-korban yang sudah keluar. Jawabannya [mereka] gitu, di-viral-in aja. Karena [katanya] kalau kita minta bantuan pergerakan dari pemerintah dan kepolisian tuh agak lama,” ujar Yohana yang menyebut SA disekap bersama 15 WNI lainnya di Myawaddy.
Yohana mengeklaim salah satu keluarga korban yang sudah berhasil keluar dari Myanmar dihubungi melalui jejaring media sosial TikTok. Hingga berita ini diturunkan, BBC News Indonesia belum berhasil mendapat klarifikasi dari akun keluarga korban yang diklaim Yohana.
Di sisi lain, Yohana mengungkapkan pihak keluarganya benar-benar tidak tahu tentang kasus-kasus TPPO di Kamboja dan Myanmar sampai kasus ini menimpa SA.
“Semenjak kasus ini baru kita [cari] di internet. Ternyata ini sudah terjadi 2017-2019,” ujar Yohana.
Kemenlu mencatat sejak 2020 hingga Oktober 2023 ada 3.347 kasus WNI yang terjerat online scam di beberapa negara, termasuk 324 kasus Myanmar dan 1.699 di Kamboja.
Yohana mengaku para penyekap SA baru-baru ini memaksa pihak keluarga untuk mengirimkan Rp 18 juta – bukan untuk membebaskan SA melainkan sekadar “meringankan siksaan”.
“[Kita cuma mampu] kasihnya Rp 4 juta. Itu uangnya ngumpulin dari keluarga saja,” ujar Yohana.
Yohana mengeklaim para penyekap SA memberikan panduan transfer uang antar-negara yang bagi keluarga sulit dimengerti. Keluarga pun akhirnya mengirimkan uang senilai Rp 4 juta itu ke sebuah rekening atas nama SA.
Bagaimana Kementerian Luar Negeri menanggapi laporan kasus SA?
Dirjen Perlindungan WNI di Kementerian Luar Negeri Indonesia, Judha Nugraha, mengatakan kepada BBC News Indonesia bahwa pihaknya sudah menerima laporan kasus SA.
“Patut diduga yang bersangkutan ini adalah korban TPPO [tindak pidana perdagangan orang … Tentunya yang utama saat ini adalah kita bagaimana mengeluarkan SA dari sana,” ujar Judha kepada BBC News Indonesia pada Selasa (13/08).
Judha mengatakan pihaknya “masih terus lakukan verifikasi” untuk memastikan SA memang benar-benar terindikasi sebagai korban TPPO. Di sisi lain, Kementerian Luar Negeri telah berkoordinasi dengan KBRI Yangon.
“KBRI Yangon juga telah menindaklanjuti dengan mengirimkan nota diplomatik kepada pemerintah Myanmar untuk meminta agar melalui otoritas Myanmar dapat melakukan langkah-langkah penyelamatan terhadap SA,” ujar Judha.
“Komunikasi juga dengan berbagai macam pihak yang ada di Myawaddy secara informal juga kita lakukan. Dan kemudian kita juga menjalin koordinasi dengan negara-negara lain yang memiliki situasi yang sama.”
Judha mengatakan saat ini terdapat 44 WNI yang masih disekap di Myawaddy. Adapun jumlah WNI yang berhasil dipulangkan Kementerian Luar Negeri sejauh ini mencapai 20 orang.
Bagaimana perkembangan kasus-kasus TPPO Myanmar lainnya?
Nurmaya, 46 tahun, hingga kini masih menanti kepulangan suaminya yang menjadi korban sindikat penipuan di Myanmar sejak Juli 2022. Ketika BBC News Indonesia mewawancarai Nurmaya pada akhir Maret tahun lalu, dia mengaku merasa “tidak didengar” pemerintah.
Nurmaya kala itu menyebut suaminya menjadi korban penipuan dan dipaksa bekerja sebagai penipu daring. Nurmaya menyebut suaminya mengaku mendapat siksaan mulai dari setruman, cambukan, dan pemukulan apabila tidak mencapai target pendapatan yang diminta ‘perusahaan’.
BBC News Indonesia kembali menghubungi Nurmaya untuk menanyakan kemajuan kasusnya pada Selasa (13/08).
Perempuan yang tinggal di Bekasi, Jawa Barat itu mengeklaim dirinya dan rekan-rekan sesama keluarga korban yang tergabung dalam Jerat Kerja Paksa sudah “putus asa”.
“Apa sih kendalanya Indonesia sampai kita semua di titik hopeless [pasrah],” ujar Nurmaya yang mengaku terakhir bisa berkomunikasi dengan suaminya pada bulan lalu.
“Kita enggak tahu harus ke mana lagi.”
Nurmaya menyebut Jerat Kerja Paksa sudah sering membagikan informasi ke media massa dengan harapan dapat menekan pemerintah Indonesia dalam penanganan kasus ini.
Kendati demikian, Nurmaya mengeklaim sampai sekarang dirinya dan rekan-rekan tidak menerima informasi apa pun mengenai evakuasi para korban selain “diupayakan” dan Myanmar adalah “negara konflik”.
Baca juga:
Tidak semua korban TPPO mengalami penyiksaan.
Wulan, 35, warga Cimahi, Jawa Barat, mengaku adiknya, R, 30, tidak pernah mendapat pemukulan atau penganiayaan. Hukuman yang didapat adiknya lebih seperti berupa disetrap seperti berlari atau dijemur di bawah sinar matahari.
“Untuk penyiksaan buat sekarang [kata adik saya] ada. Cuma ada denda-denda yang tidak masuk akal. Kayak ngobrol sama teman [atau] telat satu menit, didenda 10.000 Baht,” ujar Wulan ketika dihubungi pada Selasa (13/08).
“Jadi gaji sebulan itu bisa habis. Kayaknya denda-denda itu cuma alasan perusahaan saja untuk enggak menggaji.”
R berpamitan kepada keluarganya untuk bekerja di Thailand pada 12 Juni. Kala itu, dia diiming-imingi bekerja di perusahaan cryptocurrency dengan gaji
Wulan mengaku penyekap adiknya terakhir meminta Rp50 juta sebagai “tebusan” kepulangan adiknya. Sampai kini, keluarga R belum menyanggupi karena tidak ada jaminan sama sekali uang itu akan memuluskan kepulangan adik merea.
“Saya mendapat informasi dari korban yang tahun kemarin. Takutnya sama seperti mereka, adik saya malah dijual ke perusahaan lain [setelah uang tebusan dikirim].”
Seberapa kompleksnya kasus TPPO Myanmar ini yang membuatnya terus berulang di mata Kemenlu?
Dirjen Perlindungan WNI di Kementerian Luar Negeri Indonesia, Judha Nugraha, menekankan Myawaddy dikuasai pihak pemberontak. Selain itu, otoritas Myanmar memiliki akses yang terbatas terhadap wilayah Miawadi.
Di sisi lain, dia menyoroti “pengulangan” kasus-kasus WNI menjadi korban penipuan daring.
“Kami perlu highlight di sini bahwa sejak tahun 2020 hingga 2024, lebih dari 3.700 kasus online scam sudah kita tangani. Kemudian kita fasilitasi kepulangannya ke Indonesia,” ujarnya.
“Namun kami mencatat, beberapa di antara mereka yang berangkat kembali ke luar negeri. Dan kemudian bekerja di jenis perusahaan yang sama. Ini kan berarti ada question mark di sini. Apakah mereka korban ataukah bukan?”
Judha menyebut pemerintah sudah berupaya melakukan penjangkauan dan edukasi publik terutama di beberapa daerah yang warganya rentan menjadi korban penipuan daring seperti di Sumatra Utara, Sulawesi Utara, Kalimantan Barat, dan Jawa Tengah.
“Kesadaran masyarakat ini perlu kita tingkatkan. Pertama, waspada terhadap tawaran bekerja keluar negeri yang dilakukan di berbagai macam platform sosial media,” ujarnya.
Judha menghimbau masyarakat untuk kritis apabila menemukan tawaran pekerjaan dengan gaji tinggi tetapi tidak meminta kualifikasi khusus. Apalagi, sambung dia, berangkat ke luar negeri untuk bekerja tanpa mendapatkan visa khusus bekerja.
“Seperti kasus SA ini. Dalam laporan yang kami terima ditawari gaji US$10.000. Ini kan fantastis?” ujarnya.
Di sisi lain, Judha mengakui Kemenlu melihat adanya “moral hazard” dalam kasus penipuan daring di mana ada pula ditemukan kasus yang mengaku sebagai korban TPPO padahal mereka sudah menyadari jenis pekerjaan yang mereka lakukan.
“Namun karena mereka memahami bahwa ketika mengaku sebagai korban TPPO, tentu sesuai dengan Undang-Undang 21 tahun 2007, kan beban penanganan ditanggung oleh negara,” ujar Judha.
“Nah ini kami melihat ada beberapa indikasi moral hazard di kalangan masyarakat yang playing victim sebagai korban TPPO, namun setelah didalami ternyata tidak memenuhi unsur-unsur korban TPPO.
Judha mengatakan Kementerian Luar Negeri memiliki panduan bagi teman-teman perwakilan diplomatik Indonesia untuk bisa mengidentifikasi mana yang korban dan mana yang bukan.
Apa saja tantangan dalam penanganan kasus TPPO Myanmar di mata para pengamat?
Pengamat hukum internasional dari Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, mengatakan salah satu tantangan KBRI Yangon dalam penanganan kasus perdagangan orang adalah keterbatasan staf di sana.
Posisi Myanmar sebagai negara konflik juga memperumit hal ini.
“KBRI tentu mencoba membantu tapi jumlahnya banyak sementara staf sangat terbatas. Jadi repot sekali,” ujarnya ketika dihubungi pada Selasa (13/08)
“Minta kerjasama dengan otoritas lokal juga sulit karena penegakan hukum lemah.”
Sementara itu, Annisa Dina Amalia, dosen hubungan internasional Universitas Tanjungpura di Pontianak dengan fokus studi migrasi dan tengah melakukan riset korban-korban TPPO dari Kalimantan Barat, mengatakan, banyak korban tertipu setelah termakan iklan di jejaring media sosial yang menawarkan pekerjaan di luar negeri.
“Kemudian ketika kerja di sana, ada juga yang tugasnya mengiklankan kembali untuk menjerat calon-calon korban lebih banyak lagi.”
Baca juga:
Dari hasil penelitiannya, kasus eksploitasi orang ini semakin mencuat setelah pandemi COVID-19 di mana banyak orang yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) dan menjadi “sasaran empuk”.
“Ini seiring juga dengan munculnya online scam centers atau pusat-pusat perjudian, yang tadinya berpusat di China, kemudian membuka pusat-pusat baru di negara-negara Asia Tenggara seperti Myanmar, Vietnam, Cambodia dan lain sebagainya seperti Laos juga,” ujar Annisa.
Di Kalimantan Barat, misalnya, Annisa melihat faktor-faktor yang saling berkelindan terutama faktor ekonomi yang membuat provinsi tersebut menjadi salah satu pusat transit pengirim Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang kemudian terjerat kasus penipuan daring.
Selain itu, Annisa juga menemukan bahwa tidak semua dari WNI yang bekerja di pusat-pusat penipuan atau judi online mengalami eksploitasi. Terdapat pula beberapa kasus di mana mereka bekerja secara normal melalui “proses pengiriman yang betul”.
‘Walaupun mereka tetap bekerja di fasilitas judi online tetapi mereka mendapatkan upah yang layak. Bahkan bisa mengirimkan sejumlah gajinya kepada keluarganya di Pontianak, di Kalimantan Barat. Dan jumlahnya itu cukup besar. Sehingga kemudian ketika mereka pulang, keluarganya menyuruh atau meminta mereka untuk kembali lagi bekerja,” ujar Annisa.
Sama seperti Hikmahanto, Annisa juga mengatakan ada ketegangan hubungan diplomatik mengingat Myanmar saat ini dikuasai pemerintahan militer yang membuat Kemenlu kesulitan untuk “masuk” ke wilayah tersebut.