Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.1
Konten Media Partner
China Bersiap Pindahkan Pabrik-Pabrik ke Asia Tenggara demi Hindari Tarif AS, Indonesia Jadi Tujuan?
6 Februari 2025 19:45 WIB
China Bersiap Pindahkan Pabrik-Pabrik ke Asia Tenggara demi Hindari Tarif AS, Indonesia Jadi Tujuan?
Desisan dan semburan udara bertekanan membentuk kulit halus, menghidupkan sepasang sepatu bot koboi khas Amerika di sebuah pabrik di pesisir timur China.
Suara yang sama terdengar lagi saat lini produksi berjalan. Bunyi mesin jahit, gunting, dan solderan menggema di ruangan pabrik yang luas.
"Kami dulu bisa menjual hingga sekitar satu juta pasang sepatu bot per tahunnya," kata Peng, manajer penjualan berusia 45 tahun, yang tidak mau nama lengkapnya disebut.
Itu sebelum Donald Trump terpilih sebagai Presiden AS.
Kebijakan tarif AS selama periode pertama pemerintahan Trump memicu perang dagang antara dua negara ekonomi raksasa dunia.
Enam tahun kemudian, pengusaha-pengusaha di China sekarang bersiap-siap menghadapi kebijakan tarif jilid dua setelah Trump kembali terpilih.
"Bagaimana nasib kami nanti?" ujar Peng yang mengkhawatirkan dampak kebijakan Trump bagi dirinya, rekan-rekannya, dan China.
Potensi perang dagang
Perdagangan menjadi alat tawar-menawar yang ampuh bagi Barat yang kian waswas akan ambisi Beijing.
Perekonomian China yang sedang lesu membuat negara Asia Timur itu sangat bergantung pada ekspor.
Untuk periode keduanya, Trump telah berjanji akan mengenakan mengenakan tarif tinggi terhadap barang-barang buatan China.
BBC News Indonesia hadir di WhatsApp .
Jadilah yang pertama mendapatkan berita, investigasi dan liputan mendalam dari BBC News Indonesia, langsung di WhatsApp Anda.
Baru-baru ini, Trump mengumumkan kenaikan tarif 10%—di luar sanksi yang sudah ada.
Trump juga memerintahkan peninjauan ulang perdagangan AS-China. Langkah ini memberi ruang negosiasi antara Beijing dan Washington.
Untuk saat ini, retorika yang lebih keras—dan tarif yang lebih tinggi—sepertinya ditujukan AS kepada sekutunya seperti Kanada dan Meksiko alih-alih China.
Namun, banyak yang meyakini perang dagang AS-China tetap akan terjadi meski saat ini Trump terkesan menundanya.
Sulit untuk memastikan tepatnya berapa banyak bisnis yang hengkang dari China. Akan tetapi, perusahaan besar seperti Nike, Adidas, dan Puma sudah pindah ke Vietnam.
Perusahaan-perusahaan China juga banyak yang pindah dan mengubah rantai pasokan, meskipun Beijing tetap menjadi pemain kunci.
Peng mengatakan pemilik pabrik alias bosnya telah mempertimbangkan untuk memindahkan produksi ke Asia Tenggara seperti kebanyakan pesaing mereka.
Meskipun langkah ini bisa menyelamatkan perusahaan, tetapi banyak tenaga kerja yang akan kehilangan mata pencaharian.
Sebagian besar staf berasal dari kota Nantong yang terletak dekat dengan pabrik.
Mereka sudah bekerja di pabrik itu selama lebih dari 20 tahun.
Bagi Peng, yang istrinya meninggal dunia ketika putra mereka masih kecil pabrik itu sudah seperti keluarganya,
"Bos kami bertekad untuk tidak menelantarkan para karyawannya," tutur Peng.
Baca juga:
Peng sadar betul akan dinamika geopolitik yang sedang berlangsung. Dia mengatakan dirinya dan rekan-rekannya sesama pekerja hanya berusaha mencari nafkah.
Mereka masih merasakan dampak dari apa yang terjadi pada 2019, ketika tarif putaran keempat Trump sebesar 15% menghantam barang-barang buatan China seperti pakaian dan sepatu.
Sejak itu, pesanan menurun dan jumlah staf yang dulunya lebih dari 500 orang kini hanya sekitar 200 orang.
Ketika Peng mengajak BBC News berkeliling pabrik, banyak stasiun kerja yang kosong.
Karyawan-karyawan yang dikomandoi Peng memotong kulit menjadi bentuk yang tepat untuk diserahkan kepada operator mesin.
Potongannya harus tepat agar tidak merusak bahan kulit mahal yang sebagian besar diimpor dari AS.
Pabrik berusaha menekan biaya karena ancaman tarif dan beberapa pelanggan mereka di AS sudah mempertimbangkan untuk mengalihkan bisnis dari China.
Di sisi lain, hal ini berarti pabrik kehilangan pekerja terampil.
Sebagai gambaran, dibutuhkan waktu sampai seminggu untuk membuat satu pasang sepatu bot.
Mulai dari meratakan kulit hingga memberikan polesan akhir di sepatu bot yang sudah jadi sebelum mengemasnya untuk ekspor.
Hal ini yang membuat China menjadi produsen nomor satu dunia. Produksi padat karya yang juga murah jika ditingkatkan dan didukung oleh rantai pasokan yang tak tertandingi.
Butuh waktu bertahun-tahun bagi China untuk sampai di titik ini.
"Pekerjaan saya dulu setiap harinya adalah memeriksa barang dan mengirimkannya. Rasanya puas sekali," kata Peng yang sudah bekerja di pabrik ini sejak tahun 2015.
"Tapi sekarang pesanan berkurang drastis. Saya jadi bingung dan khawatir."
Sepatu bot koboi ini dulu dibuat untuk menaklukkan wilayah barat Amerika alias Wild West.
Sekarang, sepatu bot koboi diproduksi di pabrik tempat Peng bekerja selama lebih dari sepuluh tahun.
Bukan hanya sepatu bot: kawasan industri strategis di sepanjang Sungai Yangtze di Jiangsu selatan ini memproduksi hampir segala macam barang mulai dari tekstil sampai kendaraan listrik.
Baca juga:
Produk-produk ini hanya sebagian dari total ratusan miliar dolar nilai ekspor China ke AS setiap tahunnya.
Jumlah ini terus meningkat pesat seiring Washington menjadi mitra dagang terbesar Beijing.
Status itu menurun di bawah kepemimpinan Trump dan tidak memulih di bawah penerusnya, Presiden Joe Biden.
Biden mempertahankan sebagian besar tarif pada masa Trump karena hubungan dengan Beijing memburuk.
Bahkan Uni Eropa pun memberlakukan tarif untuk impor kendaraan listrik. Lembaga regional itu menuduh China memproduksi terlalu banyak kendaran listrik yang seringkali mendapat subsidi negara.
Donald Trump menyuarakan sentimen yang sama: bahwa praktik perdagangan China yang "tidak adil" merugikan pesaing asing.
Beijing memandang retorika semacam itu sebagai upaya Barat untuk menghambat pertumbuhan ekonomi China. Beijing pun berulang kali memperingatkan Washington bahwa tidak akan yang menang dalam perang dagang.
Di sisi lain, China juga mengatakan siap untuk berdiskusi dan "menangani perbedaan dengan cara yang tepat".
Trump, yang menggambarkan tarif sebagai "kekuatan besar" yang dimilikinya atas China, tentu saja ingin berbicara dengan Beijing. Namun, masih belum jelas apa yang kira-kira diinginkan Trump sebagai imbalan.
Selama periode bulan madu antara Trump dan China selama masa jabatan pertamanya, dia datang ke Beijing untuk meminta bantuan Presiden Xi Jinping dalam pertemuan dengan pemimpin Korea Utara, Kim Jong uN.
Pada periode keduanya, banyak yang meyakini Trump membutuhkan bantuan Xi Jinping untuk membuat kesepakatan dengan Presiden Rusia, Vladimir Putin, untuk mengakhiri perang di Ukraina.
Baru-baru ini, Trump mengatakan China memiliki "kekuatan besar atas situasi itu".
Baca juga:
Ancaman tarif 10% didorong oleh keyakinan bahwa China "mengirim fentanyl ke Meksiko dan Kanada". Trump dapat mendesak China untuk berbuat lebih banyak untuk menghentikan aliran itu.
Atau, mengingat Trump menyambut baik perang penawaran atas TikTok, dia mungkin ingin menegosiasikan kepemilikannya atas TikTok—atau teknologi berharga yang mendukung aplikasi tersebut.
Penjualan seperti itu memerlukan persetujuan Beijing.
Kesepakatan apa pun dapat memperbaiki hubungan AS-China.
Akan tetapi, apabila tidak ada kesepakatan yang dicapai, maka peluang bulan madu kedua bisa berakhir tiba-tiba. Hubungan antara Trump dan Xi Jinping pun akan jauh lebih konfrontatif.
Dunia bisnis sudah mulai waswas.
Survei tahunan oleh Kamar Dagang Amerika di China menunjukkan lebih dari separuh anggotanya khawatir hubungan AS-China akan lebih memburuk lagi.
Sikap Trump yang terkesan lebih lembut terhadap China memberikan sedikit kelegaan. Namun, Trump tetap berharap ancaman tarif dapatmengalihkan pembeli dari China dan mengembalikan manufaktur ke AS.
Beberapa bisnis China memang berpindah, tetapi tidak ke AS.
Bedol pabrik
Salah satu pebisnis yang melebarkan sayapnya ke luar China adalah Huang Zhaodong.
Pengusaha itu membangun pabrik baru sekitar satu jam dari ibu kota Kamboja, Phnom Penh, untuk memenuhi banjir pesanan dari raksasa AS, Walmart dan Costco.
Ini adalah pabrik kedua Huang Zhaodong di Kamboja.
Kedua pabriknya memproduksi setengah juta pakaian sebulan, mulai dari kemeja hingga pakaian dalam.
Setiap kali ada calon pelanggan asal AS yang bertanya ke Huang tentang lokasi pabriknya, dia sudah punya jawaban yang tepat: Bukan di China.
Huang bahkan sudah menduga hal ini menjadi pertanyaan pertama calon pelanggan.
"Sejumlah perusahaan China sudah mendapat pemberitahuan dari pelanggan mereka: kalau produksi tidak dipindahkan ke luar negeri, pesanan dibatalkan," ujar Huang.
Kenaikan tarif, menurut Huang, mempersulit baik pemasok maupun pengecer. Permasalahannya adalah tidak selalu jelas siapa pihak yang menanggung beban biaya tersebut.
Huang mengatakan kadang-kadang justru konsumen yang menjadi terbebani.
"Ambil saja Walmart sebagai contoh. Saya menjual pakaian kepada mereka seharga $5 (Rp82.000), tetapi mereka biasanya menaikkan harganya 3,5 kali lipat," ungkap Huang.
Baca juga:
"Apabila biaya produksi meningkat karena tarif lebih tinggi, harga yang saya jual kepada mereka mungkin naik menjadi US$6 (setara Rp98.000). Kalau mereka menaikkannya 3,5 kali lipat, harga eceran akan meningkat."
Akan tetapi, Huang mengakui biasanya kenaikan tarif akan menjadi beban pemasok.
Apabila lini produksi Huang masih di China, dia memperkirakan tarif tambahan 10% dapat mengambil tambahan US$800.000 (sekitar Rp13,1 miliar) dari pendapatannya.
"Itu melebihi keuntungan yang saya hasilkan. Jumlahnya sangat besar dan kami tidak mampu menanggungnya. Jika Anda membuat pakaian di China dalam kondisi tarif seperti itu, bisnis niscaya tidak berkelanjutan," katanya.
Tarif AS saat ini untuk barang-barang China bervariasi dari 100% untuk kendaraan listrik hingga 25% untuk baja dan aluminium. Sampai sekarang, beberapa produk terlaris telah dibebaskan dari tarif, termasuk barang elektronik, seperti TV dan iPhone.
Namun, tarif umum 10% yang diusulkan Trump dapat memengaruhi harga semua barang yang dibuat di China dan diekspor ke AS.
Mulai dari dari mainan, cangkir teh, hingga laptop.
Huang mengatakan ini akan mendorong lebih banyak pabrik untuk pindah negara lain.
Di sekitar pabrik Huang, mulai bermunculan beberapa pabrik kecil.
Perusahaan-perusahaan China dari pusat produksi tekstil seperti Shandong, Zhejiang, Jiangsu, dan Guangdong berpindah ke daerah itu dan memproduksi jaket musim dingin dan pakaian wol.
Menurut laporan dari lembaga analisis Research and Markets, sekitar 90% pabrik pakaian di Kamboja sekarang dijalankan atau dimiliki China.
Setengah dari aliran investasi asing negara itu berasal dari China. Tujuh puluh persen jalan dan jembatan dibangun menggunakan pinjaman yang diberikan Beijing, menurut media pemerintah China.
Banyak rambu di restoran dan plang toko menggunakan bahasa Mandarin dan Khmer, bahasa lokal. Bahkan ada jalan lingkar bernama Boulevard Xi Jinping untuk menghormati presiden China.
Kamboja bukanlah satu-satunya penerima investasi.
China juga berinvestasi besar-besaran di berbagai belahan dunia melalui Belt and Road Initiative (BRI). Proyek besutan Xi Jinping adalah proyek perdagangan dan infrastruktur yang juga meningkatkan pengaruh Beijing.
Ini artinya China punya banyak pilihan.
Media pemerintah China mengeklaim bahwa lebih dari separuh impor dan ekspor China saat ini berasal dari negara-negara BRI yang sebagian besar di Asia Tenggara.
Hal ini tidak terjadi dalam semalam, ujar Kenny Yao dari AlixPartners, yang menjadi konsultan perusahaan-perusahaan China untuk menghadapi tarif.
Kepada BBC, Yao mengatakan banyak perusahaan China meragukan ancaman tarif Trump ketika dia pertama kali menjabat.
Sekarang, mereka bertanya-tanya apakah Trump akan mengikuti rantai pasokan dan mengenakan tarif kepada negara-negara lain.
Untuk berjaga-jaga, Yao menyarankan bisnis-bisnis China untuk bergerak lebih jauh lagi.
"Misalnya ke Afrika atau Amerika Latin. Ini bisa jadi lebih sulit, tetapi ada baiknya untuk menjelajahi wilayah baru," ujarnya.
Ketika AS bersumpah untuk mengutamakan dirinya sendiri, Beijing melakukan yang terbaik untuk tampil sebagai mitra bisnis yang stabil.
Dalam beberapa hal, hal ini terbukti berhasil.
China sudah menggeser posisi AS sebagai pilihan utama bagi negara-negara di Asia Tenggara, menurut survei lembaga pemikir Iseas Yusof-Ishak di Singapura.
Walau produksi pindah ke luar negeri, uang masih mengalir ke China. Setidaknya 60% bahan baku pakaian di pabrik milik Huang di Phnom Penh berasal dari China.
Ekspor pun berkembang pesat seiring Beijing berinvestasi lebih besar di sektor manufaktur kelas atas, mulai dari panel surya hingga kecerdasan buatan.
Surplus perdagangan tahun lalu dengan dunia—di belakang lonjakan hampir 6% dari tahun ke tahun dalam ekspor—mencapai rekor US$992 miliar (Rp16,281 triliun).
Meskipun begitu, bisnis-bisnis China baik di Jiangsu maupun Phnom Penh tetap mempersiapkan diri untuk masa yang tidak pasti atau mungkin bergejolak.
Peng berharap AS dan China dapat melakukan diskusi "bersahabat dan tenang" untuk menjaga tarif "dalam kisaran yang wajar" dan menghindari perang dagang.
"Orang Amerika masih perlu membeli produk ini," katanya, sebelum pergi menemui pelanggan baru.