China Protes soal Pengeboran Minyak di Laut Natuna: Indonesia Tidak Perlu Takut

Konten Media Partner
2 Desember 2021 20:01 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Laporan bahwa China meminta Indonesia menghentikan eksplorasi pengeboran minyak dan gas di Natuna, kawasan yang diklaim Beijing merupakan teritorinya di Laut China Selatan, perlu ditanggapi dengan serius, kata pengamat dan pakar hukum laut.
Indonesia juga perlu bersiap namun tak perlu takut menghadapi manuver pertama China ini karena aktivitas yang dilakukan berada dalam wilayah kedaulatan Indonesia berdasarkan hukum internasional.
Berdasarkan Konvensi Hukum Laut PBB, wilayah lepas pantai di Natuna utara tersebut merupakan wilayah berdaulat Indonesia yang memiliki kewenangan penuh untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam.
Protes China ini pertama dilaporkan kantor berita Reuters mengutip empat sumber terkait isu Laut China selatan ini.
Dalam surat protes itu disebutkan China meminta Indonesia menghentikan pengeboran minyak dan gas di Natuna karena Beijing mengklaim bahwa ekslporasi dilakukan di wilayah China.
Anggota Komisi 1 DPR dari Partai Nasdem, Muhammad Farhan, mengatakan Indonesia tak akan menghentikan pengeboran dan menyarankan agar Indonesia memperbanyak eksplorasi pengeboran maupun perikanan di Natuna.
Farhan juga mengatakan pihaknya mengetahui adanya nota diplomatik dari China ketika ada laporan dari Badan Keamanan Laut (Bakamla) mengenai "rasa terancamnya" para kru di lokasi pengeboran minyak dan gas di lepas pantai Natuna.
Pasalnya sejumlah kapal keamanan China termasuk kapal survei yang melakukan penelitian ilmiah di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia "sudah menyentuh landas kontingen Indonesia".
Komisi 1 DPR yang mengurusi pertahanan dan luar negeri, kata Farhan, mempertanyakan sikap pemerintah.
"Dalam pendalaman itu terungkaplah China pernah mengirim surat protes. Ada dua surat protes diplomatik yaitu latihan bersama Garuda Shield dan protes keberadaan drilling [pengeboran] itu," ujar Muhammad Farhan kepada Quin Pasaribu yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Kamis (2/12).
Farhan mengaku tidak mengetahui persis tanggal dua surat itu dikirim karena nota diplomatik hanya boleh dibuka dan dilihat oleh pihak yang memiliki kewenangan diplomatik.
Kawasan Laut China Selatan (foto arsip).
Tapi merujuk pada dua peristiwa yang disinggung China, dia memperkirakan surat protes tersebut dikirim dalam rentang antara Agusus hingga awal September.
Kementerian Luar Negeri, sambungnya, membalas nota diplomatik itu.
"Pemerintah mengirim surat balasan yang mengatakan bahwa protes itu tidak bisa kami terima karena kalau drilling [pengeboran] di wilayah landasan kontingen sesuai UNCLOS. Kalau latihan, karena kita tidak punya pakta pertahanan dengan siapapun."
"Karena [pemerintah] butuh dukungan politik, maka DPR perlu menyatakan dukungan atas sikap itu."
Farhan menilai surat protes itu sangat serius dan tidak bisa diabaikan begitu saja. Sebab untuk pertama kalinya, pemerintah China mempersoalkan klaim teritorial nine-dash line-nya kepada Indonesia.
Langkah itu, menurut Farhan, karena China "sedang berusaha menaikkan masalah sengketa Laut China Selatan menjadi isu diplomasi dua negara."
"Jadi bisa kita lihat bahwa nota diplomatik itu sebagai sebuah ancaman bahwa mereka [China] ingin meningkatkan isu ini menjadi sebuah isu yang serius."
Sengketa Laut China Selatan telah terjadi sejak tahun 1947. Dasar yang digunakan China untuk mengeklaim seluruh Kawasan Laut China Selatan adalah sembilan garis putus-putus yang meliputi sejumlah wilayah milik Filipina, Malaysia, Vietnam, Taiwan dan Brunei Darussalam.
Dalam sengketa Laut China Selatan, Indonesia dianggap menjadi penengah dan tidak pernah mengeklaim wilayah itu.
Di beberapa kali kesempatan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi meminta setiap negara menghargai hukum internasional yang tercantum dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) yang ditetapkan pada 1982.

China semakin menunjukkan sikap asertif

Pakar hukum laut internasional dari Universitas Indonesia, Arie Afriansyah, menilai nota diplomatik itu kian menunjukkan sikap asertif China atas klaim teritorial Laut China Selatan di Natuna.
Kendati demikian pemerintah Indonesia, katanya, tidak perlu bersiap reaktif apalagi bernegosiasi atau mengajukan persoalan sengketa ini ke pengadilan internasional.
China, Vietnam, Filipina, Taiwan, Malaysia, Taiwan dan Brunei mengklaim kawasan di Laut China Selatan.
Langkah reaktif, kata Arie, akan dianggap bahwa Indonesia mengakui klaim China.
"Indonesia tidak perlu takut, karena Indonesia sudah berpegang pada koridor hukum internasional yang diakui banyak negara. Jadi Indonesia sudah berada dalam jalur yang betul berdasarkan UNLCOS," jelas Arie.
Suara senada juga diutarakan pengamat hubungan internasional, Aisha Kusumasomantri. Baginya jika pemerintah Indonesia bernegosiasi dengan China justru hanya akan menaikkan eskalasi konflik.
Dan, meskipun China merupakan mitra dagang terbesar Indonesia dan sumber investasi, tapi menurut Aisha hal itu tidak akan membuat posisi Indonesia timpang.
Ia menilai secara diplomatik Indonesia dan China memiliki kemitraan strategis.
"Dalam perdagangan, China bisa saja mengekspor bauksit dari Afrika, tapi selama ini China pilih Indonesia karena pertimbangan Indonesia memiliki kekuatan di ASEAN. Makanya China berusaha tetap mempertahankan hubungan ekonominya."
"Indonesia pun sadar mengakui China merupakan great power yang sedang raising dan Indonesia bisa mendapat keuntungan ekonomi di bidang perdagangan."

Apa yang harus dilakukan Indonesia di Natuna?

Bagaimanapun ancaman serius di Laut Natuna Utara tak bisa diabaikan.
Menurut analisi Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) pada Agustus 2021, Indonesia menghadapi dua persoalan. Pertama adalah kehadiran kapal penangkap iklan ilegal dan juga adanya kapal survei milik China di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia.
IOJI mengungkapkan, kapal survei milik China di Laut Natuna Utara terdeteksi pada Agustus lalu. Kapal bernama Hai Yang Di Zhi Shi Hao tersebut diduga kuat melakukan aktivitas penelitian ilmiah di wilayah ZEE dengan dikawal kapal coast guard.
Kapal-kapal nelayan di Natuna.
Kapal itu beraktivitas sejak 31 Agustus hingga 16 September 2021.
Berdasarkan lintasan kapal survei itu, kapal membentuk pola lintasan cetakan sawah dengan rapi di Laut Natuna Utara. Padahal aktivitas penelitian ilmiah di ZEE Indonesia hanya boleh dilakukan atas persetujuan pemerintah.
Itu mengapa kata Arie dan Aisha, pemerintah Indonesia harus bersiap dengan kondisi tak terduga di Laut Natuna denganmengerahkan kekuatan keamanan laut.
"Kita harus menjaga kepentingan di lapangan saat pengeboran. Menjaga kru kita di sana."
"Bahwa kapal patroli China dipersenjatai dan nelayannya juga, ini harus dilihat adanya upaya tertentu dari pemerintah Indonesia untuk bisa menghalau patroli laut China di lepas pantai."
"Perlu ada penegakan hukum yang kuat."
Sementara Muhammad Farhan mendesak pemerintah agar memanfaatkan sebesar-besarnya Laut Natuna untuk kepentingan rakyat.
"Pekerjaan rumah itu yang belum terjawab tuntas. Bahwa ada upaya drilling secara serius, tapi jumlahnya harus banyak. Eksplorasi di perikanan juga penting," katanya.