Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Dampak Konsumsi Antibiotik Berlebihan: Rusak Bakteri Baik hingga Sistem Imun
10 September 2023 16:00 WIB
·
waktu baca 7 menitAntibiotik adalah bahan pokok dalam pengobatan modern yang telah menyelamatkan jutaan nyawa setiap tahun. Di sisi lain, obat ini juga bisa merusak sistem bakteri normal yang memengaruhi kesehatan manusia.
Tubuh kita adalah rumah bagi triliunan bakteri dengan kepadatan tertinggi berada di usus. Manusia tidak dapat hidup tanpanya.
Namun, apakah kita secara permanen merusak bagian penting tubuh ini setiap kali kita mengonsumsi antibiotik?
“Mikrobioma usus adalah jaringan kompleks bentuk kehidupan mikrobiotik dan semua hal yang mereka butuhkan untuk mempertahankan diri di dalam tubuh,” kata James Kinross, konsultan ahli bedah kolorektal di Imperial College London.
Mikrobioma usus berperan besar dalam menjaga kesehatan kita, termasuk mengatur sistem kekebalan tubuh dan membantu pencernaan.
Para ahli berpendapat antibiotik adalah salah satu ancaman terbesar terhadap mikrobioma usus.
Antibiotik, yang biasa diresepkan untuk mengobati dan mencegah infeksi bakteri, merupakan landasan pengobatan modern.
Namun, dalam proses membunuh bakteri penyebab infeksi di tubuh, antibiotik juga secara tidak sengaja dapat memusnahkan bakteri lain di tubuh kita.
Ada kekhawatiran yang semakin besar di kalangan ilmuwan mengenai dampak kesehatan dari meningkatnya ketergantungan kita pada antibiotik; antara tahun 2000 hingga 2015, resep antibiotik global meningkat sebesar 65%.
Masalah yang muncul dengan meningkatnya penggunaan antibiotik ini ada dua: kerusakan yang terjadi pada mikrobioma usus dan meningkatnya resistensi bakteri terhadap antibiotik.
“Antibiotik mengganggu ekosistem rumit mikrobioma usus kita, dan dengan demikian menempatkan bakteri yang masih hidup pada risiko lebih besar untuk menyumbangkan gen resisten mereka kepada patogen,” kata Gautam Dantas, profesor laboratorium dan kedokteran genom di Fakultas Kedokteran Universitas Washington, AS.
Kita tahu bahwa semakin beragam jumlah bakteri dalam usus kita maka akan semakin baik.
Namun setiap antibiotik mengganggu populasi ini karena dia tidak cukup tepat sasaran membunuh bakteri patogen penyebab infeksi. Sebaliknya, mereka memburu semua bakteri di usus kita.
“Ada dampak tambahannya,” kata Dantas. “Bayangkan sebuah hutan di mana kita mencoba membasmi satu infeksi gulma, cara kita menggunakan antibiotik adalah dengan mengebom hutan, membunuh yang baik dan yang jahat.”
Ketika para ilmuwan melihat secara retrospektif mikrobioma orang yang pernah mengalami infeksi dan kemudian diberi antibiotik, mereka menemukan sebagian besar keragaman mikrobioma pulih dalam beberapa bulan, kata Dantas.
Namun, pada beberapa orang, beberapa bakteri baik tidak pernah muncul lagi, tambahnya.
Dantas dan tim penelitinya telah mempelajari sampel feses yang dikumpulkan dari anak-anak yang dirawat di rumah sakit yang terhubung dengan laboratoriumnya.
Sampel ini dikumpulkan secara rutin, sebelum adanya infeksi dan pemberian antibiotik, sehingga memungkinkan timnya untuk melihat perubahan pada anak-anak yang terkena infeksi dan diberi antibiotik di kemudian hari.
Dantas menggunakan sampel ini untuk membandingkan perubahan mikrobioma usus setelah pemberian antibiotik pada dua kelompok bayi.
Kelompok pertama adalah bayi prematur, yang lahir sebelum usia 36 minggu, dan yang kedua adalah bayi cukup bulan, yang lahir setelah usia 36 minggu.
“Apa yang kita ketahui terjadi pada orang dewasa setelah penggunaan antibiotik terjadi lebih dramatis pada bayi: keragaman mikrobioma yang lebih rendah dan lonjakan besar dalam gen yang resistan terhadap obat,” ujarnya.
Meskipun efeknya berbeda-beda pada setiap orang, dan bergantung pada usia kita, konsensus di antara para ilmuwan adalah efek dari satu jenis antibiotik bisa bersifat permanen.
“Beberapa orang sangat rentan terhadap kerusakan mikrobioma [mereka] akibat antibiotik, dan ekologi mikrobioma mereka akan berubah secara dramatis dan tidak akan pernah kembali seperti sebelum dosis antibiotik diberikan,” kata Kinross.
“Kita kehilangan keragaman dalam usus kita dan mikroba penting yang telah menghidupi kita selama ratusan ribu tahun [hilang] dalam skala waktu yang belum pernah terjadi sebelumnya.”
Namun, para ilmuwan masih mencoba mencari tahu dampak kesehatan jangka panjang dari penggunaan antibiotik terhadap mikrobioma usus kita.
“Kita tahu bahwa antibiotik mempunyai kapasitas untuk memengaruhi setiap domain fungsi mikrobioma.” kata Kinross.
“Hal ini tidak hanya menyebabkan berkurangnya jumlah bakteri, tetapi juga memengaruhi fungsi mikroba dengan cara yang kompleks dan bersifat individu, yang belum kita pahami dengan baik.”
Kinross menambahkan, bukan hanya dampak terhadap bakteri usus yang menimbulkan kekhawatiran, melainkan juga konsekuensi sekunder terhadap perkembangan sistem kekebalan tubuh.
Studi menunjukkan mengonsumsi antibiotik dengan dosis berulang memiliki efek kumulatif, dan dampaknya juga jauh lebih besar jika Anda mengonsumsi dengan jumlah yang besar dan beragam. Hal ini sering disebut sebagai "multiple hit hypothesis".
“Peristiwa perluasan acak tersebut, sesekali, akan menimbulkan masalah kritis,” kata Dantas.
“Ini adalah eksperimen evolusi aneh yang kita lakukan pada diri kita sendiri setiap kali mengonsumsi antibiotik.”
Konsekuensi lain dari penggunaan antibiotik jangka panjang adalah risiko resistensi.
Ketika suatu populasi bakteri terpapar antibiotik, bakteri yang tidak memiliki gen resistensi antibiotik cenderung mati.
Namun, organisme yang memilikinya – baik gen yang mereka ambil dari lingkungan, atau mutasi yang muncul secara spontan – akan bertahan.
Dengan cara ini, obat-obatan secara aktif menyeleksi bakteri yang resisten terhadap antibiotik. Masalah terjadi ketika bakteri patogen mendapat manfaat dari adaptasi ini.
“Setiap kali kita menggunakan antibiotik, hal ini meningkatkan risiko mikrobioma usus yang diperkaya dengan gen yang resistan terhadap obat, sehingga ketika patogen muncul lagi, ia mungkin dapat mengambil beberapa gen yang resistan terhadap obat dari usus. " kata Dantas.
Proses ini tidak hanya terjadi pada usus kita, kata Craig MacLean, profesor evolusi dan mikrobiologi di Universitas Oxford.
“Bakteri yang resistan dapat berpindah dari usus ke area lain, jadi apa yang terjadi di usus berdampak pada seluruh tubuh kita,” katanya.
Dampak antibiotik yang berbahaya dan menyelamatkan nyawa adalah salah satu teka-teki terbesar yang meresahkan para ilmuwan di seluruh dunia.
Meskipun tidak ada solusi tunggal, ada beberapa pendekatan yang dapat mengurangi dampak berbahaya antibiotik terhadap kesehatan kita.
“Antibiotik adalah obat luar biasa yang telah menyelamatkan jutaan nyawa. Antibiotik adalah sumber daya yang sangat berharga dan harus digunakan, tetapi kita perlu memahami cara menargetkannya dengan tepat,” kata Kinross.
Para ilmuwan kini mencari antibiotik yang lebih ditargetkan pada bagian tubuh, serta antibiotik yang menargetkan bakteri tertentu, kata MacLean, dengan gagasan hanya menghilangkan bakteri yang ingin Anda singkirkan, dan meninggalkan bakteri menguntungkan di dalamnya.
Namun, alat terbesar yang kita miliki saat ini, kata Anthony Buckley, profesor mikrobiologi usus di Universitas Leeds, adalah pola makan kita.
“Nutrisi adalah salah satu pendorong terbesar di balik pembentukan mikrobioma manusia,” katanya.
Kelompok penelitian infeksi yang berasosiasi dengan layanan kesehatan di Universitas Leeds telah menguji efek antibiotik pada mikrobioma selama dua dekade terakhir.
Variasi makanan terbanyak yang kita konsumsi biasanya dikaitkan dengan variasi mikroba yang lebih tinggi di usus, dan serat khususnya tampaknya memiliki dampak yang sangat positif,” kata Ines Moura, peneliti di fakultas kedokteran dan kesehatan Universitas Leeds.
Saat ini dia sedang menguji efek berbagai nutrisi pada mikrobioma usus dan bagaimana nutrisi tersebut dapat mengurangi efek negatif antibiotik.
Serat makanan sangat penting karena mikroba dalam tubuh kita mencernanya dan menghasilkan asam lemak rantai pendek, yang memberikan energi pada sel-sel yang melapisi usus besar, kata Buckley.
“Saat Anda mengonsumsi antibiotik, mikroba yang menghasilkan asam lemak rantai pendek akan terkuras dan membutuhkan waktu untuk pulih. Teori kami adalah, dengan mengonsumsi serat makanan, mereka menyediakan substrat bagi mikroba tersebut untuk tumbuh dan menghasilkan asam lemak rantai pendek dan semoga kembali seimbang,” katanya.
Ironi yang mendasari penggunaan antibiotik adalah setiap kali mengonsumsinya, kita berpotensi menurunkan kemampuan tubuh untuk melawan infeksi, dan oleh karena itu, meningkatkan ketergantungan kita pada antibiotik.
“Jauh lebih baik jika kita tidak bergantung pada antibiotik,” kata Kinross.
“Dan sebaliknya fokus pada ketahanan hayati ekologi internal kita dengan mengonsumsi makanan sehat, khususnya pada masa awal kehidupan seseorang, karena pada masa inilah antibiotik menyebabkan kerusakan paling besar."
---
Tulisan versi bahasa Inggris berjudul Do antibiotics really wipe out your gut bacteria? dapat anda simak di BBC Future .