Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten Media Partner
Daun Kelor: Dari 'Superfood', Obat hingga Penangkal Ilmu Hitam
28 April 2022 14:39 WIB
·
waktu baca 7 menitSelama pandemi Covid-19, masyarakat di Bali kembali mengandalkan manfaat daun kelor, tanaman yang memiliki gizi tinggi, obat-obatan, sekaligus jimat.
"Lihatlah betapa gemulai daun-daun itu," kata Dika Nanta kepada saya, sambil menunjuk ke cabang-cabang sebatang pohon berduri yang melambai ditiup angin.
"Mereka begitu tipis sehingga pada pandangan pertama sulit untuk membayangkan mengapa orang Bali kadang-kadang menyebut pohon ini 'sapu para dewa'."
Pohon kelor (Moringa oleifera) yang kami lihat memang biasa-biasa saja. Namun demikian, daun kelor pernah diyakini memiliki sifat magis yang begitu kuat sehingga setangkai saja dari "sapu para dewa" ini bisa digunakan untuk mengusir roh-roh jahat dari tempat peristirahatan orang yang sudah meninggal.
Nanta, lulusan Universitas Udayana dengan gelar sarjana arsitektur lanskap, dibesarkan di sebuah desa dekat Ubud (dianggap sebagai jantung spiritual Bali). Ia ingat ketika kanak-kanak, ia makan daun kelor secara teratur, biasanya dalam bentuk sayur.
Baru-baru ini, dalam kapasitas resminya sebagai "Guru Botani" di Raffles Bali , ia terpesona oleh ilmu pengetahuan dan kepercayaan tradisional di balik tanaman yang ia sebut sebagai "pohon kehidupan Bali".
"Kelor secara tradisional merupakan bagian dari makanan sehari-hari orang Bali," katanya. "Namun daun ini sudah jarang dimakan jauh sebelum sains modern mengakui manfaat gizinya yang spektakuler, dan ia dikenal di Barat sebagai superfood ."
Menurut studi pada tahun 2013 tentang penggunaan tradisional Moringa oleifera yang diterbitkan dalam International Journal of Phytotherapy Research, daun kelor kering mengandung tujuh kali lipat Vitamin C daripada jeruk, sembilan kali lebih banyak protein daripada yoghurt, 10 kali lebih banyak Vitamin A daripada wortel dan 15 kali kalium daripada pisang.
Daun kelor juga diperkirakan mengandung kalsium 17 kali lebih banyak daripada susu dan zat besi 25 kali lebih banyak daripada bayam.
Menurut tradisi, kebanyakan rumah keluarga Bali dilindungi oleh pohon kelor. Ia adalah makanan bergizi, obat, sekaligus jimat.
Dalam puluhan tahun terakhir, daun kelor dianggap sekadar makanan orang miskin-serta bagian dari takhayul mistis zaman dahulu. Namun, selama pandemi Covid-19, ketika tenaga kerja dari industri pariwisata Bali yang kolaps kembali mencari penghidupan dari tanah, orang-orang mulai memanfaatkan lagi tanaman ajaib yang tumbuh seperti gulma ini.
Setelah mendengar tentang manfaat nutrisi daun kelor yang spektakuler, saya dan istri mulai memakannya setiap hari selama pandemi. Ia tumbuh dengan liar di desa tempat kami tinggal di Bali utara, dan kami segera menyadari bahwa daun kelor adalah bahan masakan yang sangat serbaguna.
Dimakan mentah, daun kelor rasanya seperti bayam yang agak pedas, namun juru masak di Bali biasanya merebusnya dan menambahkan berbagai bumbu dan rempah-rempah lokal. Kami mencampurkan daun kelor mentah ke dalam smoothies; memasaknya dalam omelet, sup, rebusan, dan kari; dan memotong-motongnya untuk dijadikan bumbu pedas untuk roti lapis telur mayones dan salad.
Saya menanam dua batang kelor setinggi hampir dua meter dan dalam satu setengah tahun mereka sudah lebih tinggi dari rumah dua lantai kami. Sebagian besar garis pagar kami menjadi pagar kelor yang hidup dan dapat dimakan.
Meskipun ini tersedia secara bebas hampir di mana saja di pulau itu, Anda jarang, kalau memang ada, melihatnya sebagai bahan makanan di warung-warung setempat, apalagi pada menu untuk turis. Namun, beberapa koki berniat menghidupkan kembali tradisi itu.
Daun kelor tampil dalam menu yang selalu berubah-ubah di tempat wisata yang sedang naik daun Rasta Café Medewi di kota pantai barat tempat selancar, Medewi, Bali.
"Saya mencoba memasak produk lokal apa pun yang sedang musim dan kelor hampir selalu saya gunakan karena tersedia sepanjang tahun," kata Nafisha Dewi, seorang koki di kafe tersebut, sambil menyiapkan sup yang dibuat dengan daun kelor, labu, jahe aromatik, bawang putih, bawang merah, kemiri, cabai, ketumbar, serai dan santan.
Meskipun Bali didominasi penganut Hindu, sisi barat pulau ini juga memiliki populasi Muslim yang besar. Dewi beragama Hindu sampai dia menikahi suaminya Rasta dan kemudian masuk Islam, tetapi keduanya ingat bahwa daun kelor pernah menjadi hidangan favorit keluarga selama masa kecil mereka.
"Kami menggunakannya tidak hanya sebagai makanan tetapi juga sebagai obat," Dewi menjelaskan. "Kalau kami memar, ibu kami mengobatinya dengan daun kelor yang dicampur dengan garam."
"Benar, kami masih juga menumbuk daun untuk mengobati luka," rasta menyela. Sebagai sopir sewaan, ia sering mengunjungi pulau-pulau lainnya di Indonesia. "Setahu saya, satu-satunya orang yang tidak makan kelor adalah orang Jawa Barat," imbuhnya.
"Mereka sangat percaya pada kekuatan magis kelor sehingga mereka menggunakannya untuk mencuci jenazah sebelum dimakamkan. Mereka pikir aneh sekali kalau kita orang Bali memakannya!"
Baik Dewi dan Rasta juga sepakat bahwa dukun dan tukang sihir—aspek kepercayaan Bali yang, bahkan hari ini, tetap sangat nyata—tidak bisa makan kelor.
"Siapa pun yang terlibat dalam ilmu hitam harus menghindari pohon itu dengan segala cara," kata Dewi. " Pohon ini begitu murni sehingga sedikit saja daun kecil ini dapat membatalkan efek ilmu hitam."
Meskipun berasal dari India utara, 13 spesies kelor ditemukan di seluruh dunia, dari Bangladesh sampai Burkina Faso sampai Brasil, tempat mereka digunakan sebagai obat tradisional untuk segala hal mulai dari konjungtivitis hingga gonore hingga malaria.
Pohon ini dikenal dalam bahasa Inggris sebagai "pohon stik drum" (karena bentuk polong bijinya) atau "pohon lobak" (karena rasa akarnya mirip lobak), tetapi fakta bahwa itu juga sering disebut sebagai "sahabat ibu" dan "pohon yang tak pernah mati" tampaknya menyiratkan bahwa manfaatnya tidak sepenuhnya asing bagi orang Inggris.
Jika ada satu kelemahan kelor, itu adalah kandungan nitrogen yang tinggi di daun. Meskipun ini menjadikan mereka pupuk yang sangat baik, daun segar dapat mudah rusak hanya dalam beberapa menit setelah dipetik, yang berarti bahwa distribusinya hanya dimungkinkan dalam bentuk kering.
Sementara tukang kebun di iklim utara baru-baru ini bereksperimen dengan menanam tanaman yang kuat ini, seringkali ia hanya tersedia dalam bentuk bubuk yang relatif mahal.
"Kami sangat beruntung mendapat akses yang mudah ke daun kelor segar di Bali," kata koki kelahiran Australia Dom Hammond. Sebagai koki penelitian dan pengembangan di kompleks Potato Head yang ikonik di pulau itu, ia telah banyak bereksperimen dengan bahan-bahan lokal dalam membuat santapan berbasis tanaman.
"Satu hal yang menakjubkan tentang kelor adalah bahwa ia tampaknya tidak kehilangan nutrisinya dalam proses pengeringan, sehingga bubuk kelor sama bergizi dengan daunnya. Sepertinya tanaman ini dapat menjadi solusi untuk masalah kekurangan makanan dan gizi di seluruh dunia."
Hammond berkata ia juga telah bereksperimen dengan bagian tanaman kelor yang lain, tidak hanya daun. "Setelah bunga [kelor] dikeringkan, Anda bisa menggorengnya sebagai alternatif yang lezat untuk jamur," ujarnya.
Nyatanya, orang Bali menggunakan setiap bagian dari pohon kelor. Sementara daun yang paling sering direbus untuk sup atau jamu, polong bijinya dapat ditumis atau digunakan dalam rebusan. Dikatakan bahwa akarnya beracun tetapi bagian kecil yang diseduh sebagai teh adalah obat untuk cacing usus.
Dan barangkali karena petani Bali memperhatikan bahwa pohon kelor tampaknya nyaris tak pernah dihinggapi oleh parasit dan serangga, kulit kayunya sering dicincang dan dicampur dengan beras mentah, jahe aromatik, dan air untuk membuat lulur tradisional.
"Ketika saya masih kecil, nenek saya biasa memotong kulit kelor menjadi potongan-potongan seukuran gigitan," kata Nanta kepada saya, "lalu dia akan mengunyahnya menjadi pasta dan menggosoknya ke kulit kami."
"Meskipun kami tumbuh dengan tanaman ini sebagai bagian dari makanan kami sehari-hari, saya tidak pernah menyadari itu sangat serbaguna," kata koki I Made Tantra Wijaya yang mengelola Fivelements Retreat bersama istrinya, Ni Putu Yuliastuty.
"Kadang-kadang dengan obat-obatan alami kita mengatakan, 'lebih pahit lebih baik'. Di zaman dahulu, perempuan Bali menyapih bayi mereka dengan mengolesi jus dari daun kelor di sekitar puting mereka. Waktu telah berubah. Dewasa ini mereka lebih sering menggunakan pasta gigi."
Tampaknya ada potensi kegunaan yang tak ada habisnya untuk kelor dan, sementara orang Bali terus menghidupkan kembali beberapa kegunaan yang sudah terbukti, sungguh menakjubkan untuk menyadari bahwa seluruh dunia belum membuka matanya terhadap potensi penuh dari "pohon kehidupan" ini.
--
Anda dapat membaca versi bahasa Inggris artikel ini di BBC Travel .