Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Dekan FK Unair Dipecat dan Alasan Tersembunyi di Baliknya - Seberapa Mendesak Indonesia Membutuhkan Dokter Asing?
8 Juli 2024 7:10 WIB
Dekan FK Unair Dipecat dan Alasan Tersembunyi di Baliknya - Seberapa Mendesak Indonesia Membutuhkan Dokter Asing?
Polemik pemberhentian Dekan Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Airlangga, Prof Budi Santoso, karena diduga berbeda pendapat tentang dokter asing, membuka wacana lebih dalam tentang seberapa mendesak Indonesia membutuhkan keberadaan mereka.
Wakil Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Slamet Budiarto, menilai kehadiran dokter asing semestinya dimanfaatkan sebagai "jalan terakhir" setelah pemerintah melakukan berbagai upaya untuk mengoptimalkan dokter lokal.
Pendiri sekaligus CEO lembaga kajian Central for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), Diah Saminarsih, juga berpendapat pemerintah masih punya ruang mengisi kekurangan dokter spesialis dengan "membenahi distribusinya" yang lebih banyak terkonsentrasi di kota-kota besar.
Dalam berbagai kesempatan Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin, mengatakan misi utama pemerintah mendatangkan dokter asing adalah untuk menyelamatkan nyawa ribuan pasien -semisal bayi yang memiliki kelainan jantung bawaan.
Karena itulah saat ini, kata Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi, pihaknya sedang menyusun Peraturan Pemerintah (PP) dari UU Kesehatan termasuk di dalamnya soal dokter asing.
Ia menargetkan PP itu sudah bisa ditetapkan pada Agustus mendatang.
Mengapa Dekan FK Unair diberhentikan?
Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (Unair), Prof Budi Santoso, mengatakan alasan pemberhentian dirinya diduga dilatari oleh sikapnya yang tidak setuju dengan program Kementerian Kesehatan yang mendatangkan dokter asing ke Indonesia.
Sebab dalam pernyataan pribadinya kepada wartawan pada Kamis (27/06), ia mengeklaim 92 fakultas kedokteran di Indonesia mampu meluluskan dokter-dokter yang berkualitas. Bahkan, sebutnya, kualitasnya tidak kalah dengan dokter-dokter asing.
Buntut dari pernyataan tersebut, Budi diminta menghadap rektor Unair, senat akademis, dan sekretaris universitas pada Selasa (02/07).
Tapi karena dia tak bisa hadir lantaran sedang berada di Jakarta, maka keesokan harinya ia mendapatkan informasi bahwa dirinya telah dicopot dari jabatan Dekan FK Unair.
"Iya benar [dihentikan dari jabatan Dekan FK Unair]. Saya Senin dipanggil, saya dianggap salah melampaui kewenangan. Saya memang menyuarakan itu bahwa tidak setuju dengan dokter asing. Saya diminta mundur atau diproses," kata Prof Budi seperti dikutip detik.com.
Akan tetapi Ketua Pusat Komunikasi dan Informasi Publik (PKIP) Unair, dr Martha Kurnia Kusumawardani, membantah pemberhentian Dekan FK Unair itu gara-gara pernyataannya yang menolak dokter asing.
Kata Martha, alasan pemberhentian untuk menerapkan tata kelola yang baik guna penguatan kelembagaan khususnya di lingkungan Fakultas Kedokteran Unair.
Belakangan pencopotan ini menuai polemik.
Sejumlah pengajar di Fakultas Kedokteran Unair mengajak rekan dosen dan staf untuk mogok kerja sebagai respons atas pencopotan Budi.
Puluhan karangan bunga bertuliskan "Save Prof BUS" juga membanjiri halaman FK Unair.
Adapun Plt Kepala Biro Kerja Sama Hubungan Masyarakat Kemendikbud-Ristek, Anang Ristanto, berkata pihaknya telah mengingatkan Rektor Unair Prof Nasih untuk selalu menjunjung tinggi kebebasan mimbar civitas akademika Unair.
Seperti apa aturan dokter asing di Indonesia?
Undang-Undang nomor 17 tahun 2023 tentang Kesehatan, membuka ruang bagi dokter asing bekerja di Indonesia. Secara rinci, praktik dokter asing itu diatur dalam Pasal 248 hingga Pasal 257.
Di situ dituliskan bahwa tenaga medis dan tenaga kesehatan asing lulusan luar negeri yang dapat melaksanakan praktik di Indonesia hanya berlaku untuk "tenaga medis spesialis dan subspesialis" serta tenaga kesehatan tingkat kompetensi tertentu setelah mengikuti evaluasi kompetensi.
Evaluasi kompetensi yang dimaksud meliputi: penilaian kelengkapan administrasi dan penilaian kemampuan praktik -yang dilakukan oleh menteri dengan melibatkan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan, konsil, dan kolegium.
Dalam beberapa kesempatan, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, mengatakan wacana mendatangkan dokter asing ditujukan untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan masyarakat.
Ia menyebut ada tiga masalah dalam penyediaan SDM kesehatan di Indonesia, yakni jumlah, distribusi, dan kualitas.
Jika memakai rujukan WHO, setiap negara idealnya memiliki rasio 1:1000. Artinya satu dokter melayani 1.000 penduduk.
Sementara, kata Budi Gunadi, rasio dokter umum di Indonesia baru 0,47 dari 1.000 penduduk -atau di bawah standar.
Apabila populasi Indonesia sebesar 280 juta, ujar Budi Gunadi, maka dibutuhkan 140.000 dokter lagi dan jika setahun lulusan fakultas kedokteran adalah 12.000, maka butuh 10 tahun untuk mencapai rasio itu.
Dia juga menyebut sekitar 500 puskesmas di Indonesia tidak memiliki dokter.
Selain itu, Indonesia disebut masih kekurangan sekitar 29.000 dokter spesialis, distribusinya pun mayoritas terpusat di Pulau Jawa.
Belum ada aturan turunannya
Pendiri sekaligus CEO lembaga kajian Central for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), Diah Saminarsih, mengatakan di negara-negara lain kehadiran dokter asing bukanlah sesuatu yang tabu.
Dokter asing atau yang berasal dari Indonesia bisa masuk maupun belajar di tempat lain sesuai aturan main yang berlaku di negara tersebut.
Tapi yang jadi masalah saat ini, menurut Diah, meskipun sudah ada UU yang membolehkan adanya dokter asing, namun belum ada aturan turunan yang dikeluarkan oleh pemerintah.
Aturan turunan itu mulai dari kompetensinya, akan berpraktik di mana, pengawasannya, termasuk kerahasiaan data pasien yang dipegang oleh dokter asing.
"Jadi ini yang menimbulkan begitu banyak sangkaan yang akhirnya menjadi polemik. Karena UU Kesehatan memang membolehkan, tapi peraturan pemerintahnya belum ada," ujar Diah Saminarsih kepada BBC News Indonesia, Minggu (08/07).
"Sederhananya soal penguasaan bahasa, kalau tidak disyaratkan menguasai bahasa Indonesia, bagaimana berinteraksi dengan dokter, staf rumah sakit, bahkan pasien?"
"Kalau tidak bisa, akan banyak sekali salah tangkap [antara dokter dan pasien]."
Itu mengapa Diah meminta pemerintah membuka seluas-luasnya diskusi dengan berbagai pihak dalam menyusun peraturan pemerintah terkait dokter asing.
Sebab bagaimanapun, kata dia, nyawa pasien menjadi taruhannya.
Jangan sampai dokter asing yang didatangkan ke Indonesia memiliki rekam jejak tersangkut kasus pidana, ujar Diah.
"Jadi jangan dilepas begitu saja, bahaya... ini menyangkut nyawa manusia loh."
Tapi lebih dari itu, menurutnya, pemerintah jangan terburu-buru mendatangkan dokter asing ke Indonesia tanpa membedah ulang soal distribusi dokter yang disebutnya "tidak merata".
Kalau bicara soal jumlah dokter, diakuinya memang kurang.
Mengutip data IDI total ada 226.190 dokter di Indonesia. Kalau jumlah penduduk Indonesia sekitar 275 juta dan -berdasarkan versi WHO satu dokter melayani 1.000 orang- maka Indonesia membutuhkan setidaknya 275.000 dokter.
Sedangkan saat ini dokter umum berjumlah 173.247 dan dokter spesialis 52.8843.
Dari total dokter yang ada, 160.000 di antaranya berada di wilayah Indonesia bagian barat.
Penyebaran yang timpang tersebut, ungkap Diah, disebabkan karena banyak dokter memilih untuk tidak kembali ke daerahnya setelah merampungkan pendidikan dan peralatan yang memadai kebanyakan ada di kota-kota besar.
"Karena pasien banyak ke kota besar dan peralatannya adanya di kota besar. Itu yang menyebabkan produksi dan distribusinya kurang serta tidak merata."
"Kalau misalnya dokter kembali ke daerahnya, utilitasnya jadi enggak benar, karena tidak ada alat. Si dokter spesialis jadinya mengerjakan hal di bawah kompetensinya. Itu yang terjadi sekarang."
Namun, menurutnya, kekurangan itu bisa diperbaiki jika distribusinya dibenahi.
IDI: Dokter asing semestinya jadi jalan terakhir
Wakil Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Slamet Budiarto, sependapat.
Kalau memakai hitungan versi WHO, kata dia, Indonesia disebut kekurangan dokter. Tetapi jika bersandar pada perhitungan IDI sesungguhnya "sudah kelebihan dokter umum."
Sekarang apabila pemerintah ingin menambah dokter, menurutnya, ada beberapa cara yang harus dilakukan terlebih dahulu sebelum memanfaatkan dokter asing.
Pertama, mengangkat 60% dokter umum yang baru lulus pendidikan menjadi pegawai negeri dan ditempatkan di berbagai layanan kesehatan semisal 500-an puskesmas yang disebut Menkes Budi Gunadi tidak memiliki dokter.
"Saat ini cuma 18-20% yang diangkat [menjadi pegawai], sementara negara butuh, tapi yang diangkat sedikit."
"Kalau pemerintah peduli, tinggal angkat saja dokter baru lulus itu, dikasih insentif sebagai pegawai negeri, habis itu kariernya dijamin, selesai masalah."
"Tapi itu enggak dilakukan."
Kedua, memberikan insentif yang cukup bagi dokter spesialis yang ditempatkan di daerah-daerah terpencil. Bahkan kalau perlu lima kali lipat dari dokter yang bertugas di kota besar.
Ia juga menilai pemerintah perlu menyontek sistem kerja dokter di daerah terpencil seperti yang diterapkan perusahaan offshore atau tambang.
"Sistem kerja di sana, tiga minggu kerja, dua minggu libur. Jadi keluarga enggak perlu diboyong. Ini kan dokter bertugas ke daerah terpencil ikut semua istri dan anak-anaknya. Jadi ruwet karena mikirin keluarga."
Ketiga, pemerintah bisa manfaatkan skema ikatan dinas kepada putra-putri daerah agar mereka bisa langsung diangkat menjadi pegawai dan bersedia ditempatkan di daerah masing-masing.
Dan jika mereka ingin menempuh pendidikan dokter spesialis, pemerintah siap menanggung biayanya.
Namun demikian, apabila ketiga hal tersebut sudah diupayakan dan masih ada dokter yang tidak berminat, maka pemerintah masih punya pilihan untuk memanggil dokter diaspora Indonesia yang berada di luar negeri.
Kalau tetap tidak ada yang bersedia, maka jalan terakhir mendatangkan dokter asing.
"Dengan catatan ya, semua itu sudah dilakukan, tapi tetap enggak minat, apa boleh buat," jelasnya. "Cuma pemerintah kan kepengennya instan."
Yang pasti, sebutnya, selama berpuluh tahun IDI selau menerima jika ada kerja sama seperti "operasi bersama dengan dokter asing untuk keperluan transfer ilmu maupun teknologi".
Sama halnya seperti CISDI, kini dia meminta pemerintah merampungkan terlebih dahulu aturan turunan dari UU Kesehatan yang mengatur soal dokter asing.
Ia pun berharap Kemenkes mengajak IDI berdiskusi membahas aturan tersebut. Sebab sampai sekarang tidak ada ajakan untuk berdialog.
"[IDI] tidak pernah diajak diskusi soal penyusunan peraturan pemerintah. Padahal IDI adalah stake holder terbesar kesehatan yang mempunyai 230.000 anggota dokter," ujarnya.
Apa sikap Kemenkes?
Kendati dikritik berbagai kalangan, Kementerian Kesehatan nampaknya akan terus melancarkan rencana agar dokter asing bisa masuk ke Indonesia.
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi, mengatakan kebijakan ini merupakan "upaya percepatan untuk masyarakat mendapatkan layanan".
Sebab, klaimnya, secara penghitungan rasio satu dokter bisa melayani 1.000 orang, ditambah luas geografis seperti di Kalimantan atau Papua, maka mustahil hal itu tercapai dalam waktu dekat.
"Apalagi layanan spesialis seperti pengobatan jantung bawaan, mau kemoterapi yang di Sumatra Utara saja harus rujuk ke Jakarta untuk kasus-kasus complicated atau sedang berat dan ini harus antre," ujar Nadia kepada BBC News Indonesia.
Nadia juga bilang rancangan peraturan pemerintah hampir rampung, dan masih memerlukan sedikit lagi pembahasan.
Kemenkes menargerkan peraturan pemerintah soal dokter asing ini akan selesai pada awal Agustus mendatang sehingga bisa langsung ditetapkan dan berlaku.
"Ini kan pembahasan antar-lembaga dan kementerian masih [berlangsung], jadi bukan hanya Kemenkes."