Konten Media Partner

Demianus Si 'Manusia Pembalut' dari Papua – 'Saya Tidak Rasa Minder atau Tabu'

8 Mei 2025 11:15 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical

Demianus Si 'Manusia Pembalut' dari Papua – 'Saya Tidak Rasa Minder atau Tabu'

Dana Anak-Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNICEF) mencatat dua dari 10 remaja perempuan di Indonesia bolos sekolah selama menstruasi. Di tengah situasi ini seorang pria dari ujung timur Indonesia berjuluk 'manusia pembalut' berupaya memecah persoalan.
Kondisi di Papua berada di bawah rata-rata angka tersebut. Riset 2024 menunjukkan, lebih dari 60% perempuan Papua tidak masuk sekolah selama menstruasi.
Mereka takut terjadi "kebocoran", kekurangan pembalut, atau rasa tidak nyaman.
Minimnya fasilitas sanitasi, ketersediaan pembalut, tabu, dan perundungan membuka ruang ketidakadilan gender yang semakin lebar di sekolah-sekolah.
Belum lagi akses wilayah yang sulit dan konflik bersenjata, menambah persoalan bagi membuat perempuan Papua saat mengalami menstruasi.
Demianus Dike menerabas tabu dan berupaya memecahkan persoalan ini.
Ia mengkampanyekan pengelolaan kesehatan dan kebersihan menstruasi kepada remaja perempuan dan laki-laki, termasuk bagaimana membuat pembalut kain yang bisa digunakan berkali-kali.
Matahari mulai condong ke barat. Sinarnya perlahan membaluri teras bangunan GKI Zoar Abeale hingga menyelinap di kursi-kursi kayu panjang tempat jemaat biasa beribadah.
Di dalam gereja, sejumlah remaja perempuan dan pria sibuk menyiapkan pengeras suara, layar presentasi, termasuk mendirikan spanduk di antara altar dan kursi jemaat.
Ini bukan bagian dari ritual ibadah, tapi Persekutuan Anggota Muda dan Remaja Klasis Sentani sedang menyiapkan acara "Pelatihan Manajemen Kesehatan dan Kebersihan Menstruasi (MKM)".
Lembar kehadiran mulai padat berisi nama-nama peserta.
Sekitar 30 orang duduk menunggu acara dimulai. Sebagian asik dengan gawainya, yang lain sepertinya saling berbagi cerita, dan panitia masih mondar-mandir.
Salah satu di antara mereka adalah Nesti Kristin Octaviani Sokoy, peserta sekaligus jemaat di GKI Zoar Abeale, Sentani, Papua.
"Saya datang ke kegiatan ini mendapat info dari grup," kata Nesti, sapaan Nesti Kristin Octaviani Sokoy.
Mahasiswi semester akhir di Universitas Cendrawasih tersebut tertarik dengan acara ini karena ingin tahu bagaimana memberi edukasi bagi perempuan yang pertama kali menghadapi menstruasi.
Menurutnya, menstruasi masih dianggap tabu dan perempuan tidak selalu memperoleh edukasi yang memadai tentang hal ini.
Sebagaimana pengalaman menstruasi pertama yang masih membekas, meski sudah dilalui satu dekade lalu. Saat itu Nesti masih duduk di kelas lima sekolah dasar.
"Pengalaman pertama saya [menstruasi] itu, saya kaget dan pada saat itu saya ke sekolah tapi rok saya ini kayak keluar cairan," katanya.
Tanpa pengetahuan yang memadai, ia menghubungkan darah yang keluar dengan kematian neneknya yang mengalami komplikasi penyakit.
"Jadi jangan-jangan ini darah yang keluar karena saya sedang mengalami sakit keras," batinnya saat itu.
Panik, Nesti izin pulang dari sekolah. Di rumah, ia disambut pertanyaan mama, "Nesti, kenapa pulang?"
Baca Juga:
"Saya bilang, 'Ah mama saya mau ganti rok'," katanya sambil tergesa-gesa masuk ke kamar mandi.
Tapi mamanya mengikuti dari belakang.
"'Nesti, apa yang keluar dari kau punya kemaluan?'" tanya mama seperti ditirukan Nesti.
"Mama ini darah, saya takut ini kayaknya saya sakit sama kayak nenek," kata Nesti dari balik kamar mandi.
Setelah itu mama menghela napas dan menjelaskan, "Itu hal yang wajar terjadi sama perempuan. Jadi ini bukan kena penyakit dan segala macam".
Setelah itu, "Mama mengajari saya bagaimana bersihkan saya punya area kewanitaan saat mendapat menstruasi. Mama mengajarkan saya cara memakaikan pembalut ke celana dalam".
Pengalaman Nesti ini hampir menggambarkan temuan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2017.
Laporan ini menunjukkan, hampir setengah perempuan (45%) di Indonesia memperoleh informasi menstruasi pertama dari ibu.
Mereka juga memperoleh informasi tentang menstruasi dari teman, guru, saudara, ayah, petugas kesehatan dan pemuka agama.
Namun, sekitar 20% perempuan mengaku tidak pernah berdiskusi dengan teman dan orang tua sebelum dan saat mendapat menstruasi pertama.

Tiga faktor penentu kesehatan dan kebersihan menstruasi

Mikrofon diketuk, semua mata tertuju ke para fasilitator.
Di awal acara ini peserta dibagikan tiga kunci penentu manajemen kesehatan dan kebersihan menstruasi.
Pertama, akses informasi tentang menstruasi. Minimnya akses informasi ini membuat perempuan kurang siap menghadapi menstruasi dan mengelolanya dengan bersih di sekolah.
"Teman-teman remaja di lingkungan saya, mereka kurang informasi tentang menstruasi," kata salah satu fasilitator, Bruni Flaranda Yoku sekaligus anggota muda Klasis Sentani.
Fasilitator acara, Bruni Flaranda Yoku menunjukkan salah satu pola untuk membuat pembalut kain.
Faktor kedua adalah kualitas informasi menstruasi yang buruk. Menstruasi masih dianggap tabu, kotor, dan mitos berkembang perempuan dilarang makan daging atau ikan selama mengalami periode. Lainnya, memperlakukan pembalut dengan tidak layak.
Fasilitator menjelaskan pentingnya peran laki-laki dalam isu ini. Mereka perlu memahami dan mendukung perempuan ketika menghadapi masalah saat menstruasi. Minimal tidak mengejek saat mengetahui ada teman perempuannya yang mengalami "kebocoran".
"Biar hal ini tidak dianggap tabu lagi. Jadi bukan hanya perempuan saja yang tahu menstruasi."
"Tapi laki-laki dan perempuan harus paham menstruasi itu apa dan bagaimana cara menjaga hal itu," katanya.
Ketiga, sarana sanitasi sekolah yang tidak memadai. Faktor ketiga ini termasuk ketiadaan air bersih, toilet rusak atau tidak terpisah pria-perempuan.
Menurut Profil Sanitasi Sekolah 2022, sebanyak 58% sekolah pada semua jenjang tanpa akses dasar sanitasi (toilet rusak, tidak berfungsi atau tidak terpisah).
Ilustrasi. Seorang perempuan beranjak dari WC umum. Indonesia masih memiliki tantangan soal sanitasi dan WC pribadi.
Selain itu, hampir seluruh sekolah tidak menyediakan pembalut cadangan.
Berdasarkan catatan UNICEF, tiga faktor penentu ini punya dampak besar, seperti menurunnya partisipasi perempuan pada kegiatan sekolah dan kegiatan sosial.
Lalu, risiko kesehatan berupa infeksi, kurang gizi, dan kehamilan yang tidak diinginkan.
Dampak lingkungannya, kotor dan jorok karena membuang pembalut sembarangan, wc tersumbat, dan pembalut sekali pakai tidak bisa terurai.

'Saya tidak rasa minder atau tidak rasa tabu'

Sesi perkenalan pembalut ramah lingkungan disampaikan Demianus Dike, pria yang dijuluki "manusia pembalut".
Di hadapan peserta, Demianus membentangkan kardus berpola seperti palang.
Melalui pola ini, pria lulusan Universitas Sains dan Teknologi Jayapura tersebut menggunting kain tertentu untuk dijahit dengan tangan.
"Dengan menjahit pembalut dari kain, oleh sebab itu, saya dijuluki sebagai manusia pembalut dari Papua," katanya diiringi senyum geli dari peserta.
Demianus dengan tekun menghampiri setiap kelompok peserta, mengajari cara menjahit pembalut.
Terkadang telunjuknya mengarah pada jahitan yang sudah keluar dari pola.
Kepada BBC News Indonesia, Demianus Dike mengaku sudah lima tahun terakhir melatih cara membuat pembalut kain di tanah Papua.
Pesertanya mulai dari anak-anak remaja, guru sekolah, pemuka agama, PNS hingga komunitas adat.
Awalnya, ide ini muncul dari salah satu pelatihan pendidikan dan kesehatan di sebuah sekolah di Kabupaten Jayapura.
Cerita yang ia dengar dari pihak sekolah, banyak siswa perempuan bolos atau izin sekolah lantaran sedang menstruasi.
Persoalannya, sekolah tidak cukup memiliki akses air bersih dan ketersediaan pembalut cadangan.
"Dalam evaluasi kita di lembaga ini, muncullah ide bagaimana kalau kita adakan pembalut-pembalut kain untuk wanita ini," kata Demianus yang saat ini bekerja di Yayasan Noken Papua.
Ia kemudian mencari pola-pola tertentu dan cara membuat pembalut dari kain. Tapi pertama kali muncul untuk melatih perempuan, ia mengaku punya "rasa minder, rasa takut".
"Tapi dorongan dari teman-teman bilang tidak! Justru hal [tabu] ini yang kita harus dibongkar," katanya.
Dari beberapa kegiatan ini, ia mendapat permintaan wawancara dari media lokal. Judul artikel menyebutkan Demianus sebagai 'manusia pembalut dari Papua'.
"Saya juga kaget. Wah ini saya tidak pernah sampaikan bahwa saya harus dipanggil seperti ini."
"Pas kebetulan di media dapat, dari mitra sampaikan seperti itu, saya bilang ya boleh," kata Demianus sambil tertawa mengenang peristiwa itu.
Rasa minder dan takut lambat laun berganti rasa percaya diri.
"Ketika dijuluki seperti itu sudah tidak rasa minder atau tidak rasa tabu, jadi saya ya ikuti saja," katanya.
Tapi jalannya tidak semulus itu, karena ia menyelipkan cerita ejekan dari sesama teman pria.
"Kau laki-laki, kenapa sampai bisa buat pembalut untuk wanita?" kata Demianus menirukan ejekan dari temannya.
Seorang peserta perempuan dan laki-laki sedang tekun membuat pembalut kain dari pelatihan Demianus.
"Saya bilang berarti kamu punya pemikiran yang harus diubah, watakmu yang harus diubah," jelasnya,
Dia menambahkan aktivitasnya bertujuan agar perempuan tak perlu malu membicarakan masalah menstruasi dengan pria karena ini masalah bersama.
Bukan hanya dari temannya, Demianus juga mengaku menghadapi tantangan di lapangan.
Tak jarang para peserta perempuan enggan menyampaikan isu menstruasi. Tapi ia, sudah punya jawaban menanggapi masalah ini.
"Ya ini kita menolong sesama. Jadi hal ini jangan ada gap (jarak) antara saya dengan kalian. Jadi mari kita terbuat, kita saling tolong-menolong," tandasnya.
Di Papua, masing-masing suku memiliki cara pandang yang berbeda tentang perempuan pertama kali menstruasi.
Ada yang sudah terbuka dan memberi edukasi pada anaknya, tapi ada pula yang mengabaikannya.
"Kadang orang tua biarkan saja anaknya begitu. Jadi anaknya ini yang jalan sendiri cari tahu, kadang kurung diri di dalam karena tidak dapat informasi yang baik," kata Demianus.
Nesti Kristin Octaviani Sokoy, salah satu peserta kegiatan ini mengaku mendapat wawasan baru tentang pembalut kain.
Musababnya, selama ini dia tak pernah mengetahui bahan-bahan kimia pada pembalut sekali pakai.
"Takutnya nanti terjadi infeksi atau iritasi pada kita punya daerah kewanitaan. Jadi mungkin sosialisasi yang kakak Demi bawakan ini terkait pembuatan pembalut kain itu sangat penting.
Ia juga mengaku keterampilan membuat pembalut kain hari ini bakal diteruskan di rumah.
"Memperkenalkan kepada keluarga kita kalau pembalut kain ini sangat bagus pada saat kita lagi menstruasi.
Karena pembalut kain ini kita bisa pakai, bukan sekali pakai, tapi bisa pakai berulang kali," katanya.
Armini Waimuri, peserta dari pelatihan serupa yang diadakan 2023 silam, mengaku punya pengalaman terpaksa pulang dari sekolah karena tidak ada pembalut cadangan saat sedang menstruasi.
Setelah mengikuti pelatihan itu, ia punya kesan khusus tentang pembalut kain.
"Ternyata kalau pembalut kain itu dia tidak mencemari lingkungan, karena dia bisa dicuci," katanya.

'Jangan ada satu perempuan tertinggal karena menstruasi'

Kampanye kebersihan dan kesehatan menstruasi di GKI Zoar Abeale didukung oleh UNICEF.
Selain mendobrak tabu, keberadaan Demianus sang "manusia pembalut" dianggap penting sebagai contoh baik pria yang mendukung anak perempuan, khususnya di Papua, kata Dhiana Anggraeni, Staf Perlindungan Anak UNICEF.
"Menstruasi bukan hanya isu perempuan saja, tapi itu bisa menjadi tanggung jawab isu masyarakat, termasuk laki-laki dan semua kalangan masyarakat," katanya.
Dhiana menyinggung persoalan kemiskinan menstruasi (period poverty) yang menjadi persoalan di seluruh belahan dunia.
Kemiskinan menstruasi merupakan kondisi minimnya akses terhadap produk menstruasi, fasilitas kebersihan, dan edukasi seputar menstruasi.
UNICEF mencatat satu dari 10 remaja dan perempuan dewasa di pedesaan tak punya tempat pribadi untuk mencuci dan berganti pakaian saat menstruasi.
Dan, menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), lebih dari 1,5 miliar orang di dunia masih kekurangan layanan sanitasi dasar seperti toilet pribadi atau jamban.
"Untuk Papua sendiri tentunya di daerah-daerah yang rentan termasuk di daerah rentan konflik tentu saja mengalami period poverty," lanjut Dhiana.
Ia melanjutkan, isu kesehatan dan kebersihan menstruasi adalah isu tentang perlindungan, martabat, termasuk kesempatan pendidikan, dan peluang anak perempuan di seluruh tanah Papua.

Baca juga:

Menurutnya, saat ini akses informasi dan pendidikan lebih luas tentang menstruasi dan perbaikan sanitasi sudah mulai berjalan di Papua.
Ia mengeklaim isu kesehatan dan kebersihan menstruasi juga mendapat perhatian pemerintah, masyarakat adat, dan pemuka agama.
"Oleh karena itu Kebersihan menstruasi tidak bisa menjadi tanggung jawab kita sendiri."
Mari bersama-sama kita memastikan supaya tidak ada satu anak perempuan yang tertinggal hanya karena menstruasi," jelasnya.
Wartawan Muhammad Ikbal Asra di Papua berkontribusi dalam liputan ini.