Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.98.1
Konten Media Partner
Demo Mahasiswa 'Indonesia Gelap' di Berbagai Daerah Bikin 'Legitimasi Pemerintahan Prabowo Oleng'
21 Februari 2025 9:00 WIB
Demo Mahasiswa 'Indonesia Gelap' di Berbagai Daerah Bikin 'Legitimasi Pemerintahan Prabowo Oleng'

Sejumlah pengamat menilai legitimasi pemerintahan Presiden Prabowo Subianto "sudah oleng" menyusul aksi demonstrasi mahasiswa bertajuk 'Indonesia Gelap' yang berlangsung di berbagai daerah.
Aksi ini digelar sebagai respons terhadap berbagai keputusan pemerintah yang dianggap merugikan rakyat dan mengancam masa depan generasi muda—salah satunya adalah pemotongan anggaran di sejumlah sektor.
Para akademisi mengatakan krisis kepercayaan kepada pemerintah bisa lebih besar apabila tidak ada perubahan dalam kebijakan pemerintah dalam waktu dekat.
"Paling tidak aksi demonstrasi ini akan terus menjadi guncangan buat pemerintahan Prabowo yang secara faktual sudah merosot nilai dukungannya," ujar akademisi dan sejarawan Andi Achdian.
Menanggapi seruan demo mahasiswa, Menteri Sekretaris Negara, Prasetyo Hadi, mengatakan Presiden Prabowo menghormati 13 tuntutan mahasiswa. Ia juga bilang pemerintah menerima aspirasi tersebut dengan tangan terbuka.
Mahasiswa: 'Sudah muak melihat kebijakan pemerintah'
Tya tak bisa menyembunyikan perasaan kecewanya, dengan blakblakan ia bilang "sudah muak" menyaksikan keputusan pemerintahan Prabowo Subianto yang disebutnya terus saja menyusahkan masyarakat.
"Muak aja sih melihat pemerintah terus-terusan bikin kebijakan yang seolah-olah tidak melibatkan pertimbangan ahli dan masyarakat. Jadi hasil kebijakannya justru menyulitkan rakyat," tutur Tya kepada BBC News Indonesia.
"Ada aja gebrakan baru yang konyol," sambungnya.
BBC News Indonesia hadir di WhatsApp .
Jadilah yang pertama mendapatkan berita, investigasi dan liputan mendalam dari BBC News Indonesia, langsung di WhatsApp Anda.
Tak tahan dengan situasi ini, mahasiswa Universitas Indonesia tersebut akhirnya memutuskan ikut dalam aksi demonstrasi yang digelar pada Senin (17/02) lalu.
Mengenakan jaket kuning dan membentangkan poster sindiran yang ditujukan kepada Presiden Prabowo, ia berkata keikutsertaannya ini merupakan bentuk tanggung jawab menyuarakan aspirasi masyarakat.
Terutama isu mengenai pemangkasan anggaran alias efisiensi.
"Menurut saya efisiensi itu tidak berpihak kepada rakyat. Pemotongan anggaran ini terutama di bidang pendidikan, justru menyulitkan rakyat..."
"Karena banyak penerima KIPK (Kartu Indonesia Pintar Kuliah) terancam tidak bisa lanjut kuliah."
"Belum lagi penerima beasiswa luar negeri, mereka juga terancam terlantar karena tidak ada anggaran."
Bagi Tya, pemangkasan anggaran pendidikan tak ubahnya menurunkan kualitas dan akses pendidikan tinggi untuk anak-anak Indonesia khususnya bagi kelompok masyarakat ke bawah –yang ujungnya akan semakin sulit memutus rantai kemiskinan.
"Karena itu pendidikan yang layak merupakan hak untuk seluruh anak bangsa."
Namun, soal pemangkasan anggaran pendidikan telah dibantah pemerintah.
"Pendidikan adalah hak setiap warga negara, tidak ada pemotongan alokasi anggaran pendidikan tinggi untuk beasiswa dan Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIP-K)," ujar Satriyo dalam keterangan resmi, Rabu (19/02).
"Dalam melakukan efisiensi tidak ada pemotongan anggaran pendidikan tinggi untuk beasiswa dan KIP Kuliah sehingga UKT tidak naik," katanya kemudian.
Bagaimanapun, Tya berkeras bahwa kebijakan efisiensi pemerintahan Presiden Prabowo tidak masuk akal.
Menurutnya, kalau pemerintah betul-betul mau menghemat anggaran, pemangkasan itu harus dimulai dari pembentukan kabinet yang efektif dan ramping. Bukan malah menambah pejabat atau melantik staf khusus baru.
Selain itu, beberapa kementerian dan lembaga yang tak terkait dengan hajat hidup masyarakat seperti TNI dan Polri justru dipertahankan anggarannya.
"Kalau ada demo, polisi justru menggunakan peluru mereka untuk nembakin pelajar di Papua yang demo menolak program makan bergizi gratis. Padahal tugas mereka seharusnya melindungi rakyat," cetus Tya.
Melihat sederet "gebrakan baru pemerintah yang dia sebut "nyebelin", Tya dan beberapa kawannya mengaku pesimistis dengan pemerintahan Prabowo-Gibran.
"Jujur saya melihat pemerintahan sekarang cukup pesimis, karena ada beberapa [kebijakan] menyusahkan masyarakat. Padahal mereka bilang kalau semua kebijakan itu berpihak untuk rakyat..."
"Tapi rakyat yang mana yang mereka perjuangkan? Jadi menurut saya, situasi politik sudah kacau dan saya pesimis," imbuhnya.
Pengamat: 'Legitimasi pemerintahan Prabowo oleng'
Sejumlah pengamat menilai aksi demonstrasi mahasiswa di berbagai daerah selama hampir sepekan merupakan akumulasi dari kekecewaan masyarakat—yang semestinya disuarakan oleh DPR.
Kekecewaan itu, menurut Sosiolog dari UGM Heru Nugroho, mulai dari banyaknya pemutusan hubungan kerja dan sulitnya mencari pekerjaan, kenaikan harga-harga kebutuhan pokok, kasus gas elpiji 3 kilogram, serta puncaknya ketika pemerintah memangkas anggaran sejumlah kementerian.
"Pendidikan, kesehatan, itu semua mengenai hajat hidup orang banyak," ujar Heru kepada BBC News Indonesia.
"Ketika masyarakat bawah terpukul dan batas ketahanan orang dilanggar, dia enggak bisa makan, ya berontak... akan protes," lanjutnya.
"Sekarang yang bergerak baru mahasiswa, kalau terus-menerus [terpukul] rakyat akan bersatu dengan mahasiswa nanti."
Pengamatan Heru, sejalan dengan penilaian akademisi dan sejarawan Andi Achdian.
Andi mengatakan rentetan aksi demonstrasi mahasiswa dan pelajar di daerah-daerah menandakan adanya ketidakpercayaan terhadap pemerintah.
Bahkan, menurutnya, legitimasi pemerintahan Prabowo sudah oleng di kalangan mahasiswa.
"Orang sudah tidak punya respect, tidak percaya pada apa yang disampaikan pemerintah, karena problemnya ini hajat hidup orang."
"Ibaratnya legitimasinya sudah oleng."
Ia juga meyakini aksi demonstrasi seperti ini akan membesar apabila tidak ada perubahan di dalam kebijakan pemerintah.
Membesar dalam arti, tidak hanya bergaung di media sosial, namun "viral dalam kehidupan sosial".
Kendati demikian, menurutnya, aksi-aksi demonstrasi ini masih jauh dari peristiwa besar 1998. Pasalnya saat itu, ketika situasi politik sudah goyah, Presiden Suharto mulai ditinggalkan kroni-kroninya termasuk pendukung, partai, dan militer.
Krisis moneter yang diakibatkan tingginya utang luar negeri, membuat nilai tukar rupiah anjlok dan ditambah masifnya pemutusan hubungan kerja (PHK).
Sementara Presiden Prabowo Subianto, dari pandangan Andi, masih mendapat sokongan kuat dari partai politik dan masyarakat kelas bawah.
"Jadi belum ada tantangan cukup berarti di kalangan elite. Elite pendukung Prabowo baik di birokrasi maupun militer, masih punya ikatan kuat terhadap Prabowo."
"Jadi bedanya di situ, meskipun untuk tingkat krisis, saya lihat sudah ada gejala awal lewat efisiensi itu."
"Efisiensi bahasa lainnya kan mengurangi dukungan untuk hal-hal yang bersifat publik... kesehatan, pendidikan."
Itu mengapa pemerintah disarankan menggubris tuntutan para mahasiswa, kalau tak ingin situasinya memburuk –yakni aksi demonstrasi bakal meluas dan berkelanjutan yang pada akhirnya Prabowo bisa kehilangan dukungan.
Sebab, menurut Andi, demonstrasi yang terjadi di empat bulan awal pemerintahan Prabowo bisa dikatakan berbahaya.
"Saya menyebutnya seperti raksasa berkaki lempung... dia punya pondasi enggak kuat sebagai elected government."
Seberapa penting gerakan mahasiswa?
Akademisi dan sejarawan Andi Achdian memaparkan gerakan-gerakan demonstrasi mahasiswa sejak tahun 1960, 1998, bahkan hingga sekarang sebetulnya memiliki pijakan yang sama: mengoreksi keputusan pemerintah yang tidak populer dan merugikan masyarakat.
"Jadi secara historis [gerakan] mahasiswa tidak berubah, masih seperti itu... landasan korektif terhadap pemerintah, bukan mengubah rezim."
Dan sependek ingatannya gerakan mahasiswa tersebut sebagian besar berhasil mengubah keputusan pemerintah yang keliru.
Pada masa Orde Baru, mahasiswa menjadi garda terdepan kelompok kritis.
Mahasiswa yang harus berhadapan dengan tindakan represif aparat keamanan pada waktu itu, berkolaborasi dengan masyarakat sipil kendati diwarnai aksi penculikan sejumlah pentolan dari gerakan mahasiswa tersebut.
Puncak aksi mahasiswa adalah Mei 1998.
Upaya militer membubarkan demonstrasi mahasiswa di depan kampus Universitas Trisakti, Grogol, membuat empat mahasiswa Trisakti meregang nyawa oleh peluru aparat.
Tapi gerakan itu akhirnya memaksa Suharto lengser pada 21 Mei 1998 yang ditandai lewat pendudukan gedung DPR oleh mahasiswa.
Di era Presiden B. J. Habibie juga terjadi gerakan demonstrasi mahasiswa yang intinya menolak hasil Sidang Istimewa MPR dan menuntut adanya penghapusan dwifungsi ABRI dan pembersihan pemerintahan dari orang-orang Orde Baru.
Di masanya pula, mahasiswa yang tergabung dalam Forum Kota (Forkot), Forum Komunikasi Senat Mahasiswa Jakarta (FKSMJ) menggelar aksi demonstrasi yang menuntut agar Habibie menurunkan harga sembako dan mengadili Suharto beserta kroni-kroninya.
Pada era Presiden Megawati Soekarnoputri, sejumlah elemen mahasiswa juga menggelar aksi demo besar-besaran yang menuntut perubahan kebijakan seperti penurunan harga Bahan Bakar Minyak, tarif listrik, dan telepon.
Sekitar seribuan mahasiswa yang tergabung dalam Badan Eksekutif Mahasiswa se-Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi juga menuntut Megawati turun dari jabatannya.
Mereka juga mendesak pemerintah kala itu melepaskan ketergantungan terhadap luar negeri
Di masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, aksi demonstrasi tak surut. Kira-kira setahun usia pemerintahannya, ratusan mahasiswa menuntut SBY segera menuntaskan enam agenda reformasi: menghapus dwifungsi ABRI, mengadili Suharto, mengamandemen UUD 1945 dan menuntut pertanggung jawaban Orde Baru, menegakkan budaya demokrasi yang rasional, serta otonomi daerah seluas-luasnya.
Demonstrasi sepanjang dua periode pemerintahan SBY juga tak lepas dari tuntutan menolak kenaikan harga BBM dan memprotes sejumlah kebijakan yang tidak pro-rakyat.
Di era Presiden Joko Widodo, tercatat setidaknya ada enam aksi demonstrasi besar:
1. Demo pemilu 2019, mencuat dari kelompok yang kecewa terhadap hasil pemilu 2019 yang berujung pada kerusuhan di sekitar Sarinah, Jakarta Pusat.
Aksi ini bermula dari unjuk rasa para pendukung pasangan calon presiden Prabowo Subianto dan calon wakil presiden Sandiaga Uno di depan kantor Badan Pengawasan Pemilu (Bawaslu), Sarinah, Jakarta Pusat. Pasangan tersebut kalah dari Joko Widodo-Ma'ruf Amin.
Kepolisian saat itu memberlakukan status siaga satu mulai dari 21 hingga 25 Mei 2019 untuk pengamanan usai penyampaian hasil final rekapitulasi nasional Pemilu 2019.
Langkah itu diambil sebagai antisipasi jika terjadi kekacauan mengingat pendukung Prabowo-Sandi dan Jokowi-Ma'ruf terlibat dalam perseteruan yang kental hingga ke akar rumput.
2. Demo tolak RUU KUHP, berlangsung pada September 2019 di gedung DPR/MPR, Jakarta. Massa dari mahasiswa bergerak ke gedung parlemen untuk menyuarakan penolakan terhadap RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi menggeruduk gedung parlemen untuk melayangkan kekecewaan mereka tentang RUU KUHP yang mereka nilai memuat poin-poin yang bermasalah dan merugikan masyarakat.
Tak hanya di Jakarta saja, demonstrasi itu juga digelar di berbagai kota, seperti Bandung, Sumatera Selatan, hingga Sulawesi Selatan.
Para mahasiswa menolak RKUHP yang sejumlah pasalnya dinilai bermasalah semisal pasal soal korupsi yang memuat hukuman yang lebih rendah daripada UU Tipikor.
Kemudian pasal tentang penghinaan presiden dan wakil presiden yang mengancam pelaku dengan penjara maksimal 3,5 tahun.
Lalu pasal tentang makar yang bisa diancam hukuman mati, seumur hidup atau bui 20 tahun.
Kemudian pasal soal penghinaan bendera, pasal soal alat kontrasepsi, pasal aborsi, pasal pemidanaan gelandangan, dan pasal tentang Zina dan Kohabitasi (kumpul kebo).
3. Demo tolak RUU KPK, berlangsung di waktu yang sama dengan penolakan revisi UU KUHP.
Mahasiswa dan aktivis menyebut revisi UU KPK ditujukan untuk melemahkan lembaga anti-korupsi tersebut.
Sebab beberapa poin dalam revisi itu menempatkan KPK bukan lagi sebagai lembaga independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.
Tim penasihat KPK bahkan dihapus dan digantikan oleh dewan pengawas yang dipilih oleh presiden.
KPK juga dibatasi kewenangannya dalam penyadapan, penyitaan, dan penggeledahan lantaran harus meminta izin tertulis dari dewan pengawas, KPK juga berwenang menghentikan penyidikan dan penuntutan (SP3) terhadap perkara tipikor yang tidak selesai dalam jangka waktu maksimal dua tahun.
Terakhir, status kepegawaian KPK sebagai ASN dikritik karena mengganggu independensi pegawai KPK, terlebih lagi yang ditangani adalah pejabat negara yang statusnya lebih tinggi dari pegawai tersebut.
4. Demo tolak UU Cipta Kerja, merupakan puncak aksi mahasiswa secara besar-besaran yang terjadi pada awal 2020.
Mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi memadati berbagai titik demonstrasi di seluruh Indonesia. Yogyakarta sebagai kota pelajar juga dipadati dengan massa aksi yang tergabung dalam gerakan Gejayan Memanggil sebagai salah satu pergerakan menolak omnibus law tersebut.
Tidak hanya mahasiswa, ratusan buruh juga turut menyuarakan penolakan mereka terhadap undang-undang yang mereka nilai merugikan pekerja dan hanya menguntungkan segelintir pihak saja.
5. Demo tolak presiden tiga periode, berlangsung pada April 2022 yang isinya menolak wacana jabatan presiden untuk tiga periode.
Massa aksi yang terdiri atas mahasiswa berkumpul di kawasan gedung DPR dan kawasan Istana Merdeka pada Senin, 11 April 2022.
Mereka menolak wacana presiden tiga periode sekaligus wacana penundaan pemilu yang dinilai mencederai konstitusi.
Dalam aksi yang sama, mereka juga menuntut pemerintah untuk segera menyelesaikan permasalahan yang tengah melanda masyarakat seperti harga minyak goreng serta kebutuhan lainnya yang sedang mengalami kenaikan.
6. Demo tolak RUU Pilkada 2024 adalah puncak dari aksi protes mahasiswa, buruh, dan masyarakat sipil yang menolak pengesahan RUU Pilkada oleh DPR.
Aksi demonstrasi dimulai dengan viralnya tagar Indonesia Darurat yang ditambahkan gambar garuda berlatar warna biru di media sosial.
Protes mahasiswa dan masyarakat sipil ini bermula dari keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan sebagian gugatan perkara nomor 60/PUU-XXII/2024 yang diajukan Partai Buruh dan Partai Gelora.
Namun, keputusan MK tersebut malah ingin direvisi kembali oleh DPR sehingga pada intinya bisa menggolkan anak bungsu Presiden Jokowi yakni Kaesang Pangarep untuk maju dalam pilkada.