Konten Media Partner

Desa di Bali yang Merayakan Nyepi dengan Cara Berbeda – 'Dengan Cara Apa Pun Tuhan Disembah, Niscaya akan Diterima'

27 Maret 2025 14:00 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical

Desa di Bali yang Merayakan Nyepi dengan Cara Berbeda – 'Dengan Cara Apa Pun Tuhan Disembah, Niscaya akan Diterima'

Anggota keluarga komunitas adat Desa Tenganan Pegringsingan melakukan ritual janji atau kaul yang disebut Masesangi untuk kesehatan anak mereka pada 23 Juni 2022.
zoom-in-whitePerbesar
Anggota keluarga komunitas adat Desa Tenganan Pegringsingan melakukan ritual janji atau kaul yang disebut Masesangi untuk kesehatan anak mereka pada 23 Juni 2022.
Pada Hari Raya Nyepi, umat Hindu di Bali menghentikan aktivitas mereka. Lampu-lampu padam, jalanan kosong, dan toko-toko tutup selama 24 jam di seluruh Bali. Namun, ada satu desa Pulau Dewata merayakan dengan cara berbeda. Warga di Desa Tenganan Pegringsingan melakukan aktivitas seperti biasa.
Setiap tahun, pulau Bali yang terkenal dengan gemerlap wisatanya ini "beristirahat" kala perayaan hari raya umat Hindu. Kali ini, Nyepi jatuh pada 29 dan 30 Maret 2025.
Para warga dan pendatang—tak terkecuali turis asing—diimbau untuk tidak keluar rumah atau hotel saat pemeluk agama mayoritas di Bali menjalankan ritual Nyepi.
Semua ini dimulai pukul 6 pagi dan berlaku hingga 24 jam kemudian.
Bahkan, Bandara Internasional Ngurah Rai pun sepi dan kosong. Tidak ada pesawat yang mendarat ataupun lepas landas.
Akan tetapi, tidak demikian halnya dengan Desa Tenganan Pegringsingan yang terletak di Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem.
Desa yang terletak sekitar 17 kilometer dari ibu kota Karangasem, Amlapura itu "tetap melakukan aktivitas sehari-hari" saat Nyepi.
Sementara Desa Pesedahan, yang berbatasan langsung dengan Desa Tenganan di sebelah selatan, menjalankan Nyepi seperti umat Hindu di Bali pada umumnya.
"Kami tidak mengikuti Nyepi pada umumnya [...] karena kami punya kalender sendiri," ujar I Nyoman Sadra, warga Desa Tenganan, kepada BBC News Indonesia, pada 24 Februari 2025.
Di Desa Tenganan, Nyepi berlangsung selama 15 hari dan dilaksanakan pada sasih kasa atau bulan pertama dalam penanggalan adat Tenganan Pegringsingan.
"Mulai tanggal 1 sampai tanggal 15. Kalau istilah Tenganannya itu tanggal abisan sampai Purnama," jelas pria berusia 74 tahun ini.
Pada 2025, Nyepi Desa Tenganan yang berlangsung sekitar dua pekan itu sudah dilaksanakan bulan Januari silam.
Kendati merayakan Nyepi pada waktu yang berbeda, Nyoman mengatakan esensinya tetap sama.
"Yang paling penting disepikan itu adalah pikiran."
Meski tidak melaksanakan Nyepi sebagaimana mayoritas Hindu Bali, orang-orang di Desa Tenganan sudah terbiasa untuk menjaga toleransi.
Warga Desa Tenganan, meski tetap melakukan aktivitas pada umumnya, diminta untuk tetap tenang dan tidak membuat keributan pada saat Nyepi. Warga juga dilarang untuk keluar dari desa.
"Kami menghormati upacara Nyepi di luar," tutur Nyoman.
"Kalaupun malam [ada yang] menyalakan lampu, diupayakan agar seminimal mungkin."
Suasana umum Bandara Internasional Ngurah Rai di Badung, Bali, pada 22 Maret 2023, saat Hari Raya Nyepi. Bandara yang sering kali dipenuhi wisatawan asing dan domestik itu kosong melompong setiap Nyepi tiba.

Tiga pantangan dalam perayaan Nyepi di Desa Tenganan

Bagi orang Hindu Bali, ada empat pantangan pada saat Nyepi: tidak bekerja (amati karya), tidak menyalakan api (amati geni), tidak bepergian (amati lelungan), dan tidak bersenang-senang (amati lelanguan).
Namun, bagi penduduk Desa Tenganan yang sudah melaksanakan Nyepi mereka padaJanuari silam, mereka memiliki pantangan yang berbeda.
Nyoman menyebut ada tiga pantangan dalam perayaan Nyepi di Desa Tenganan.
"[Pertama] tidak boleh menggali tanah. Kedua, tidak boleh berdarah-darah. Dan yang ketiga tidak boleh memukul logam atau menumbuk padi," ujarnya.
Warga Bali yang bersenjatakan daun pandan berduri dan perisai rotan bertarung dalam ritual Mekare-kare tahunan yang sakral di Desa Tenganan, Karangasem, Bali, Indonesia pada 23 Juni 2022.
Meskipun ada perbedaan dalam pantangan Nyepi, Nyoman menyebut sama sekali tidak ada masalah dalam perayaannya.
Nyoman mengatakan esensi dari Nyepi—baik menurut kepercayaan Desa Tenganan maupun Bali umumnya—adalah "memberikan waktu istirahat" kepada alam setelah satu tahun dieksploitasi.
Selain itu—dan ini yang terpenting—waktu Nyepi digunakan untuk berkontemplasi dan mengevaluasi diri.
"Apa yang sudah saya lakukan selama satu tahun [ke belakang]? Apa yang harus saya perbaiki dalam kehidupan yang akan datang?" imbuhnya.
BBC News Indonesia hadir di WhatsApp.
Jadilah yang pertama mendapatkan berita, investigasi dan liputan mendalam dari BBC News Indonesia, langsung di WhatsApp Anda.
Selain Nyepi yang berbeda, Desa Tenganan Pegringsingan juga dikenal dengan tradisi mekare-kare atau Perang Pandan yang merupakan ritual pertarungan antara laki-laki desa menggunakan duri daun pandan.
Diadakan tiap Juni atau Juli, mekare-kare melambangkan keberanian dan pelatihan mental serta fisik bagi warga desa, serta penghormatan kepada Dewa Indra.
Desa Tenganan juga dikenal dengan tradisi mayunan atau ayunan jantra yang dilakukan perempuan muda Desa Tenganan yang belum menikah.
Dalam tradisi yang dilakukan setelah mekare-kare selesai ini, perempuan-perempuan menaiki ayunan besar yang terbuat dari kayu.
Perempuan Bali melakukan tradisi ayunan kayu tradisional di desa Tenganan Pegringsingan pada 23 Juni 2022.

Mengapa Desa Tenganan punya tradisi berbeda, termasuk Nyepi?

Sugi Lanus, peneliti manuskrip lontar Bali dan Jawa Kuno, mengatakan masyarakat Tenganan tidak merayakan Nyepi seperti warga Bali pada umumnya karena "mereka mengikuti serangkaian ritual tradisional dan sistem kepercayaan unik yang spesifik".
"Berbeda dengan sebagian besar umat Hindu Bali yang berfokus pada dewa-dewi yang lebih luas, masyarakat Tenganan terutama memuja Dewa Indra [Dewa Perang dan Kesejahteraan], yang memengaruhi ritual dan pemahaman mereka tentang proses 'pemurnian'," ujar Sugi Lanus.
"Sistem kalender Tenganan berbeda dengan masyarakat Bali umumnya, sehingga upacara penyucian bumi dan ritual Tenganan lainnya berbeda dengan masyarakat Bali umumnya."
Namun, Sugi Lanus menekankan bahwa secara esensi teologis, Hindu di Tenganan pada umumnya tetaplah sama.
Pemandangan udara permukiman Desa Tenganan Pegringsingan pada 16 Juni 2022 di Bali, Indonesia. Desa kuno ini berbeda dari desa-desa lain di Bali, terutama dalam kepercayaan mereka terhadap Dewa Indra, dan bagaimana budaya Bali terjalin erat dalam kehidupan sehari-hari masyarakatnya.
Dihubungi terpisah, Wilda Nurul Sukarno Putri, ahli antropologi Universitas Udayana yang meneliti Desa Tenganan Pegringsingan, mengatakan warga desa dilarang melakukan aktivitas di luar pekarangan mereka saat perayaan Nyepi.
"Mereka tetap menenun [dan] berkebun, namun tetap berada di dalam wilayah desa," ujar Wilda.
Orang-orang dari luar desa juga dilarang memasuki wilayah desa pada Hari Nyepi, papar Wilda.
Tenun kain asal Desa Tenganan yang lebih dikenal sebagai Tenun Gringsing merupakan satu jenis tenun tradisional Indonesia.
Teknik tenun Gringsing diketahui sangat rumit dan pengerjaannya membutuhkan waktu lama—bisa mencapai 2-5 tahun untuk satu kain saja.

Baca juga:

Wilda menjelaskan ada dua bentuk masyarakat Bali, yaitu masyarakat Bali Aga (atau dikenal sebagai wong Bali Aga) dan Bali Majapahit (dikenal sebagai Bali Dataran atau wong Majapahit).
"Masyarakat Bali Aga hanya sedikit mendapat pengaruh kebudayaan Jawa Hindu dari Majapahit dan tidak mau tunduk kepada kekuasaan Majapahit," ujar Wilda pada 12 Maret 2025.
"Orang Bali Aga umumnya tinggal di wilayah pegunungan, karena kata 'aga' itu sendiri berasal dari kata 'arga' yang berarti gunung. Sedangkan Wong Majapahit adalah para pendatang dari Jawa turunan Majapahit yang memerintah Bali setelah kekuasaan Bali Kuno dijatuhkan sekitar abad ke-14 Masehi."
Menurut Wilda, komunitas Bali Aga tersebar di beberapa wilayah pegunungan Pulau Bali.
"Bisa dikatakan hampir semua desa di Kintamani [Kabupaten Bangli] dan wilayah pedalaman pegunungan itu merupakan wilayah komunitas-komunitas Bali Aga," ujarnya.
Wilda juga menyebut desa-desa Bali Aga juga tersebar di sepanjang pantai utara Kabupaten Buleleng sebagian di pesisir tenggara Kabupaten Karangasem—termasuk Desa Tenganan Pegringsingan.
Perempuan-perempuan Desa Tenganan Pegringsingan membawa sesajen saat mereka berjalan menuju pura selama upacara Ngusaba Sambah pada 24 Juni 2022.
Secara total, Wilda mengatakan jumlah penduduk di wilayah-wilayah tersebut secara pasti belum bisa ditentukan.
"Namun diperkirakan sekitar 100.000-an lebih," ujar Wilda.
Terpisah, Rama Prasetya, antropolog Universitas Udayana yang meneliti komunitas Bali Aga di Buleleng, mengatakan masyarakat Bali Aga secara historis merupakan kelompok pendatang yang membawa budaya mereka dari Gunung Raung, Jawa Timur.
"Mereka datang sebelum budaya Majapahit berkembang yaitu sebelum penaklukan oleh Raja Majapahit atas Raja Bali Kuno," ujar Rama pada 21 Februri 2025.
Rama menyebut secara umum memang ada beberapa desa di Bali yang tidak merayakan Nyepi sesuai kalender nasional karena punya siklus upacara tersendiri.
"Contohnya, desa-desa Bali Aga di Kecamatan Banjar, seperti Desa Pedawa dan Cempaga di Buleleng, melaksanakan Nyepi Desa berdasarkan urutan ritual di desa mereka," ujar Rama.
Namun, Rama menambahkan bahwa desa-desa itu sekarang mengikuti Nyepi sesuai kalender nasional.
"Desa-desa Bali Aga yang saya sebutkan, kini mereka mengikuti Nyepi karena adanya pengaruh secara nasional," ujarnya.
Selain Bali Aga, Rama menjelaskan ada pula yang dikenal sebagai Bali Mula, yakni penduduk yang memiliki keterkaitan lebih kuat dengan DNA pribumi asli.
Rama menyebut orang-orang Bali Mula kemungkinan besar merupakan pendatang lebih awal dari rumpun Austronesia.
"Contoh kelompok Bali Mula adalah komunitas Kayu Selem yang mendiami wilayah Goa Song dan Trunyan di kawasan Wintang Danu Batur," ujarnya.
"Singkatnya, masyarakat Bali Aga yang memiliki tradisi animisme dengan pengaruh Hindu mulai berbaur dengan penduduk asli Bali Mula yang lebih berorientasi pada kepercayaan leluhur.
"Akibatnya, terjadi peleburan budaya dan genetik, sehingga saat ini hampir mustahil menemukan masyarakat yang benar-benar 'asli' Bali dalam arti genetik murni," ujarnya.

Apakah ada upaya penyeragaman Hindu Bali?

Rama berpendapat saat ini tengah ada upaya penyeragaman agama Hindu Bali di Indonesia.
Hal ini, menurut Rama, "berkaitan dengan kepentingan identitas lokal yang lebih seragam serta sebagai bentuk 'benteng terbuka' atau mengacu pada konsep Henk Schulte Nordholt".
Konsep "benteng terbuka" dibahas oleh Nordholt dalam bukunya Bali: Benteng Terbuka 1995-2005: Otonomi Daerah, Demokrasi Elektoral, dan Identitas-identitas Defensif.
Konsep "benteng terbuka" menggambarkan Bali sebagai wilayah yang terbuka terhadap pengaruh global, tetapi tetap berjuang mempertahankan identitas budaya dan mengalami dinamika politik lokal yang kompleks.
Menurut Rama, beberapa contoh bentuk penyeragaman yang dilakukan oleh pemerintah daerah melalui desa adat antara lain standarisasi ritual dan tata cara peribadatan.
"Seperti pembangunan Pura Puseh, Desa, dan Dalem," ujarnya
Selain itu, penyelenggaraan lomba desa adat yang mengarah pada homogenisasi nilai dan praktik budaya.

Baca juga:

Sementara, Wilda mengatakan PHDI melakukan berbagai upaya untuk menyatukan dan menata ajaran-ajaran Hindu yang masih bersifat sektarian sehingga menjadi suatu bentuk ajaran agama yang terstruktur.
"Pada gilirannya ini akan memudahkan identifikasi dan pembinaan oleh negara yang bekerja sama dengan lembaga keagamaan yang dibentuk seperti lembaga Parisada tersebut," ujar Wilda.
Menurut Wilda, kehadiran PHDI berperan penting dalam kehidupan agama Hindu di Bali.
Dia menyebut sudah ada beberapa buku pedoman untuk memudahkan para petugas menjalankan misi agama.
"Salah satunya buku Upadesa yang terbit pertama kali pada tahun 1967. Buku itu disusun untuk kepentingan pendidikan agama Hindu yang pada waktu itu belum mempunyai pedoman ajaran yang sama," ujarnya.

Baca juga:

Meski begitu, Sekretaris Umum Pengurus Harian PHDI Pusat, Ketut Budiasa, secara terpisah mengatakan tidak ada upaya penyeragaman dari pihaknya.
Kendati memang ada imbauan untuk penyelenggaraan Nyepi supaya selaras dan lancar, Ketut mengatakan perbedaan-perbedaan memang ada dan menurutnya "sah-sah saja".
Selain Desa Tenganan Pegringsingan, Ketut mencontohkan Desa Ababi di Karangasem yang punya dua Nyepi "tambahan" di luar Nyepi yang dilakukan mayoritas pulau Bali.
"Nyepi-Nyepi seperti itu terkait dengan sejarah dan tradisi turun-temurun di wilayah tersebut dan tentu itu kita hormati," ujar Ketut ketika dihubungi pada 12 Maret 2025.
"Bagi kami, ritual-ritual itu sebenarnya merupakan ekspresi dari spiritualitas, keimanan, dan cara mendekatkan diri kepada Tuhan," tutur
"[Ritual] bisa sangat unik, sangat berbeda. Yang sama itu filsafatnya."
Kembali ke Desa Tenganan.
Nyoman Sadra mengatakan warga setempat sudah terbiasa hidup berdampingan meski ada perbedaan jadwal Nyepi.
Nyoman menekankan dirinya tidak berani mengatasnamakan seluruh warga Tenganan. Yang jelas, menurut dia, Hindu Bali memang sebenarnya memiliki beberapa aliran.
"Kalau di Hindu, dalam Kitab Suci itu ada disebutkan begini: 'Dengan cara apa pun engkau menyembah [Tuhan], [Tuhan] terima'," ujar Nyoman.
"Jadi bagi kami, tidak ada masalah soal agama. Misalnya aliran Bayu [di Trunyan] [mereka] tidak mengubur mayat, ya, silakan, itu kepercayaan mereka seperti itu."
"Kami tidak mau ikut campur dalam hal itu. [Kami] tidak menganggap bahwa itu lebih jelek atau salah."
Reportase oleh Amahl Azwar.