Diskriminasi Tinggi Badan di Tempat Kerja, Tidak Disadari namun Ada

Konten Media Partner
3 September 2022 16:09 WIB
·
waktu baca 9 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Oleh: Aysha Imtiaz, BBC Worklife
Diskriminasi Tinggi Badan di Tempat Kerja, Tidak Disadari namun Ada
zoom-in-whitePerbesar
Diskriminasi karena tinggi badan sulit untuk diidentifikasi. Namun ada bukti bahwa bias seputar perawakan sangat mempengaruhi perjalanan karier kita.
Pada tahun 2010, ketika Imran mendapat pekerjaan sebagai satpam di sebuah universitas swasta di Karachi, Pakistan, dia mengabdikan diri sepenuh hati.
Bekerja pada sif malam, dia berusaha menyeimbangkan antara ketegasan dalam melindungi properti dari pencurian dan vandalisme, dan pada sisi lain juga bersikap ramah, sebagai ujung tombak yang pertama ditemui pengunjung pagi.
Tidak semuanya berjalan mulus. Dengan tinggi hanya 157cm, Imran hanya beberapa sentimeter lebih pendek dari rata-rata pria Pakistan. Namun para pekerja yang berdatangan memberi Imran julukan yang mereka anggap lucu. “Muna bhai!” seseorang berseru, istilah lokal untuk panggilan kesayangan kepada seorang adik kecil. “Bona,” seru yang lain, istilah Urdu untuk cebol atau kerdil.
Imran, yang nama lengkapnya dirahasiakan demi keamanan kerjanya, mengatakan bahwa dia bangga dengan dirinya, dan bisa menghadapi “pasang surut" terkait dengan tinggi badannya. Tapi ada satu area di mana dia menduga tinggi badannya berdampak negatif: gajinya.
“Saat tiba waktunya kenaikan gaji, saya dibandingkan dengan penjaga baru. Padahal saya sudah melayani institusi ini begitu lama; seharusnya saya tidak berada di [tingkat upah] yang sama dengan mereka.”
Tidak ada yang menghubungkan tinggi badan dan gajinya secara langsung, dan bahkan Imran kadang-kadang bertanya-tanya apakah itu hanya imajinasinya saja, bahwa tinggi badannya mempengaruhi promosinya.
Tetapi ketika dia dikelompokkan dalam tingkat gaji yang sama dengan penjaga yang baru direkrut, dia bertanya-tanya apakah evaluasi yang menahannya itu didasarkan pada perawakannya, dan bukan kinerjanya.
Diskriminasi tinggi badan adalah salah satu bias yang paling sedikit diketahui atau didiskusikan, dan salah satu yang paling sulit untuk dipastikan.
Seperti Imran, banyak yang bertanya-tanya apakah menyimpulkan bias itu masuk akal, dan apakah beralasan menganggap tubuh pendek berkaitan dengan kinerja negatif. Bahkan mereka dengan perawakan 'normal' atau di atas rata-rata merasa sulit percaya bahwa mereka pernah memiliki bias berdasarkan tinggi badan, atau diuntungkan karena bias itu.
Namun penelitian menunjukkan bahwa pada tingkat profesional, perawakan mempengaruhi laki-laki dan perempuan dalam cara yang nyata, meskipun sedikit berbeda. Studi menunjukkan tinggi badan berkorelasi dengan pendapatan yang lebih tinggi, perekrut menyukai kandidat yang lebih tinggi, dan tinggi badan.
Penelitian menunjukkan bahwa kita menganggap laki-laki dan perempuan yang lebih tinggi lebih 'seperti pemimpin', menganggap mereka lebih dominan, cerdas, dan lebih sehat; dan pria jangkung lebih mungkin untuk mencapai posisi manajerial.
Namun, bias berdasarkan tinggi badan adalah bias implisit, yang mungkin secara tidak sadar kita sembunyikan atau kita internalisasi dalam diri tanpa menyadarinya. Dan kerahasiaan inilah yang membuatnya sangat sulit untuk diberantas.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kita menganggap orang yang lebih tinggi lebih 'seperti pemimpin', menganggap mereka lebih dominan, cerdas, dan lebih sehat.

Mengapa lebih tinggi dianggap lebih baik?

Kita tahu ada berbagai bentuk diskriminasi yang terkait dengan penampilan kita, seperti diskriminasi berat badan atau wajah yang awet muda. Tapi kita juga mendiskriminasi orang berdasarkan tinggi badan, karena kita melihat tinggi badan tertentu sebagai lebih baik.
Dr Omer Kimhi, seorang profesor di Fakultas Hukum Universitas Haifa yang meneliti tinggi badan, percaya bahwa tinggi badan berakar pada bias evolusi, karena pentingnya tinggi dan kekuatan dalam dunia hewan.
“Mereka yang lebih besar menjadi kepala kelompok. Kepercayaan itu berakar… dan kita menganggap tinggi badan terhubung dengan otoritas, kekuatan, dan posisi yang lebih tinggi,” kata dia.
Penghormatan kita terhadap tinggi badan mungkin memang naluriah, sisa-sisa cara primitif kita memetakan hierarki sosial di masa lalu. Dalam masyarakat kuno, kebugaran dan fisik yang mengesankan adalah sifat kepemimpinan yang penting.
Tapi, kata Dr Erin Pritchard, dosen Studi Disabilitas di Liverpool Hope University dan anggota Pusat Studi Budaya & Disabilitas, ada banyak cara bagaimana tinggi badan tetap berpengaruh dalam masyarakat modern.
“Negara-negara punya tinggi badan optimal masing-masing berdasarkan kurva, dan ukuran itu menjadi yang 'seharusnya'. Jika lebih pendek, kita pun bertanya pada diri sendiri: Apa ada yang salah? Tapi kita tetap menghargai tinggi badan,” kata Pritchard.
Tinggi badan bahkan menyusup ke dalam bahasa, yang penuh dengan idiom yan menonjolkan keutamaan menjadi tinggi, sambil mengaitkan kualitas negatif dengan badan pendek. 
Dalam bahasa Inggris, ‘gagal’ diumpamakan seperti menarik jerami yang pendek dalam undian (short straw), jatuh (fall short), atau dicurangi (short-changed). 'Menang' diumpamakan seperti berdiri tegak (standing tall), memenuhi tugas yang berat (fulfill tall order), tumbuh menjadi pohon ek yang besar dan tinggi dari biji kecil, dan unggul di atas orang lain (head-and shoulders above the rest).
Secara tidak sadar, kita membentuk keyakinan tentang orang lain yang menghubungkan tinggi badan dengan kualitas kognitif dan fisik. Kita secara tidak sadar memandang orang yang lebih tinggi sebagai orang yang lebih mampu dan toleran terhadap risiko, dominan, sangat berbakat, dan bahkan karismatik.
Di sisi lain, Pritchard menjelaskan, “Orang yang lebih pendek tidak dianggap serius. [Mereka] tidak dihormati dan bisa menjadi bahan lelucon.”
Namun, orang umumnya tidak menyadari bias mereka sendiri terhadap tinggi badan, atau tidak menganggapnya sebagai bentuk diskriminasi. Sebab, tinggi badan adalah bias implisit, dan tidak sesuai dengan kerangka mental kita sebagai tindakan diskriminasi yang disengaja dan berbahaya.
Manajer, misalnya, mungkin tidak menyadari bahwa cara mereka memandang karyawan tertentu dan prospek karyawan tersebut terkait dengan tinggi badan mereka. Ketidaksadaran ini membuat masalah ini sangat sulit untuk ditangani.
Dalam kasus Imran, dia bahkan tidak tahu bagaimana membahas masalah 'apakah tinggi badannya mempengaruhi kenaikan gaji' dengan atasannya.
“Harus bicara pada siapa? Saya diberkati dengan banyak pekerjaan penting, jadi apa yang akan saya katakan? Bagaimana saya memulainya tanpa mengacaukan semuanya?” kata dia.
Diskriminasi tinggi juga dapat memengaruhi perempuan, terutama perempuan tinggi, yang mungkin dianggap mengintimidasi.

Dampak di tempat kerja

Meskipun bentuknya sulit ditentukan, diskriminasi tinggi badan berdampak mendalam dan terukur pada kesuksesan pekerja.
Penelitian tentang diskriminasi sistemik dalam keputusan perekrutan menunjukkan bahwa pemberi kerja dapat menolak kandidat yang lebih pendek, bahkan jika resume mereka mirip dengan pelamar yang lebih tinggi. Perekrut juga secara tidak sadar mengaitkan ciri-ciri pekerja yang positif seperti kepercayaan diri, kompetensi, dan kemampuan fisik dengan tinggi badan.
Setelah dipekerjakan, meta-analisis menunjukkan tingkat promosi berhubungan positif dengan tinggi badan. Kimhi merujuk survei Malcolm Gladwell yang banyak dikutip tentang CEO Fortune 500 dalam bukunya tahun 2005 Blink.
“Dalam populasi AS, sekitar 14,5% dari semua pria memiliki tinggi enam kaki (182 cm) atau lebih. Di antara para CEO perusahaan Fortune 500, angka itu adalah 58%,” tulis Gladwell.
Tinggi badan juga dapat berkontribusi pada kesenjangan upah. Studi dari Inggris, Cina, dan AS semuanya menunjukkan korelasi antara tinggi badan yang lebih tinggi dan gaji yang lebih besar, meskipun angka pastinya bervariasi.
Ada juga komponen gender. Penelitian yang dilakukan oleh Inas R Kelly, profesor ekonomi di Loyola Marymount University, California, mengungkapkan perbedaan mencolok dalam pengaruh tinggi badan terhadap pendapatan rata-rata berdasarkan gender.
“Pria kulit putih mendapatkan keuntungan lebih besar untuk setiap tambahan tinggi 10 cm daripada perempuan kulit putih,” katanya, dan kesenjangan itu bahkan lebih terasa untuk orang Afrika-Amerika.
Kondisi itu terkait dengan anggapan bahwa perempuan bisa terlalu tinggi, dan bahwa perempuan tinggi menghadapi diskriminasi yang tidak ditemui oleh pria tinggi. Menurut sebuah penelitian terhadap mahasiswi tinggi, mereka yang tingginya di atas rata-rata menghasilkan 'intimidasi yang tidak disengaja'.
“Perempuan yang lebih tinggi dari yang lain mungkin dianggap sebagai ancaman... Sebagai seorang perempuan, jika Anda menunjukkan dominasi, bisa dianggap sebagai agresi. Itu bisa menjadi masalah,” kata Pritchard.
Di sisi lain, pria lebih rentan terhadap diskriminasi tinggi badan. Seperti temuan Kelly, pria yang lebih tinggi memiliki lebih banyak keuntungan daripada perempuan tinggi, tetapi perempuan yang lebih pendek lebih sedikit dirugikan, karena kelebihan upah yang diterima perempuan yang lebih tinggi lebih kecil. Ini mungkin karena perempuan yang sedikit lebih pendek dari rata-rata masih bisa dianggap 'kecil' atau 'mungil'," kata Pritchard.
Tentu saja, diskriminasi tinggi badan tidak hanya terwujud dalam penilaian eksternal seseorang. Penelitian menunjukkan ada faktor terkait tinggi badan lainnya yang membentuk perilaku orang, yang pada gilirannya dapat mempengaruhi prestasi di tempat kerja. Kelly menunjukkan bahwa banyak ahli berpendapat tinggi badan sebenarnya diasosiasikan secara positif dengan kemampuan kognitif, dan itu hal yang dihargai di pasar tenaga kerja.
Dia juga mengajukan pertanyaan yang lebih besar: apakah individu yang lebih pendek mungkin menghadapi diskriminasi dengan cara yang mempengaruhi harga diri, kesehatan mental, dan stabilitas emosional mereka, yang dapat mempengaruhi promosi dan gaji.
Misalnya, anak-anak yang lebih tinggi mungkin memiliki harga diri yang lebih tinggi karena punya lebih banyak kesempatan untuk berpartisipasi dalam olahraga tim di sekolah, sedangkan siswa yang lebih pendek mungkin pernah dirisak, yang menyebabkan keterampilan interpersonal dan kepercayaan diri yang lebih rendah.
Demikian pula, menjadi tinggi juga dapat memicu kesuksesan lain – seperti di bidang romansa, atau daya tarik, sehingga memicu lebih banyak kepercayaan diri.
“Sulit untuk mengesampingkan diskriminasi pada tahap tertentu. Jika tidak pada tahap pemberi kerja, maka pada tahap awal kehidupan mereka,” katanya.

Menantang bias

Mengingat betapa mengakarnya diskriminasi tinggi badan, namun begitu terselubung, mencari cara yang konkret untuk mengatasinya adalah sebuah tantangan.
Hanya ada Undang-Undang di beberapa yurisdiksi, seperti Undang-Undang Hak Sipil Elliot Larsen yang komprehensif di Michigan, AS, yang melarang pemberi kerja melakukan diskriminasi berdasarkan tinggi badan dalam perekrutan dan kompensasi.
Undang-undang juga mencegah tinggi badan dicantumkan sebagai prasyarat bagi pelamar kerja kecuali jika itu adalah kualifikasi pekerjaan sungguh-sungguh diperlukan untuk operasi normal bisnis. Tapi bahkan di tempat yang punya perundangannya, hanya sedikit kasus gugatan yang diajukan.
Kimhi menunjukkan bahwa karena diskriminasi tinggi badan sangat sulit diidentifikasi, data sangat dibutuhkan. Banyak perusahaan menyimpan data tentang gender dan ras sehingga mereka dapat melacak inklusi dan kemajuan di perusahaan.
Meskipun mungkin tampak seperti agak jauh hubungannya, Kimhi percaya memasukkan tinggi badan dalam data ini dan mendorong perusahaan untuk mempublikasikan daftar gaji yang dihubungkan dengan tinggi badan akan membantu mereka sadar bahwa diskriminasi semacam ini terjadi. “Dan jika mereka memperhatikan, kondisinya akan berubah,” kata dia.
Pritchard berharap perekrutan jarak jauh melalui Zoom atau CV dalam bentuk video dapat mengurangi bias yang muncul selama tahap perekrutan. “Saat online, hanya kepala dan bahu [kandidat] yang terlihat, jadi Anda tidak dapat membuat penilaian bawah sadar,” katanya.
“Dan jika mereka sudah mempekerjakan seseorang yang ternyata hebat, pada saat [pemberi kerja] mengetahui bahwa orang yang melakukan pekerjaan fantastis ini hanya 157 cm, pekerja tersebut telah membangun reputasi yang solid.”
Secara lebih luas, para ahli mengatakan mungkin juga saatnya untuk mempertimbangkan kembali cara evolusioner kita memandang tinggi badan dengan mengevaluasi secara kritis perbedaan antara lingkungan modern dan leluhur, dan menantang apakah kualitas yang dahulu kita anggap penting untuk kesuksesan sebenarnya relevan dengan pencapaian profesional di tempat kerja dewasa ini.
Tetapi mengingat sifat keyakinan kita yang sudah mendarah daging, cara ini mungkin usaha yang terlalu tinggi.
Secara keseluruhan, selama orang masih percaya bahwa kesuksesan, kepemimpinan – dan bahkan diskriminasi – terlihat pada fisik tertentu, masalahnya tidak akan hilang.
Pada akhirnya, perubahan, kedengarannya klise, akan datang dari dalam – dengan menantang bias implisit dan mengoreksi diri sendiri ketika orang menyadari bahwa mereka lebih memuliakan tinggi badan tertentu.
Namun, memerangi diskriminasi tinggi badan akan menjadi perjalanan panjang. Seperti yang dikatakan Pritchard, "Seperti kebanyakan '-isme' (bias), ini akan menjadi proses yang terus berlangsung."
Anda dapat membaca versi asli artikel ini dalam Bahasa Inggris di BBC Worklife dengan judul Height discrimination: How 'heightism' affects careers