Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten Media Partner
Dokter di Garut Dijadikan Tersangka, Korban Diperkirakan Lebih dari Satu Orang – 'Saya Merasa Risih, USG Berlangsung Lama'
17 April 2025 13:40 WIB
Dokter di Garut Dijadikan Tersangka, Korban Diperkirakan Lebih dari Satu Orang – 'Saya Merasa Risih, USG Berlangsung Lama'
Korban dugaan kekerasan seksual oleh seorang dokter kandungan berinisial MSF di Garut, Jawa Barat, diduga lebih dari satu orang. Setidaknya dua perempuan lainnya telah melaporkan tindakan cabul MSF kepada polisi.
Dalam satu laporan yang ditindaklanjuti polisi, korban yang berinisial AED (24 tahun) mengaku bahwa MSF melakukan kekerasan seksual terhadap dirinya.
"Tersangka secara paksa meraba-raba bagian tertentu korban, dan bagian tertentu lainnya di dalam baju, sehingga korban melakukan perlawanan," kata Kabid Humas Polda Jabar, Kombes Pol Hendra Rochmawan dalam jumpa pers, Rabu (17/04).
Hasil penyelidikan kepolisian menyebutkan dugaan perbuatan cabul itu tidak hanya dilakukan di rumah MSF dan di klinik.
Korban AED memberanikan diri melaporkan tindakan cabul MSF ke Polres Garut setelah beredar video di media sosial yang memperlihatkan saat dia memeriksa pasiennya di klinik. Sang pasien mengaku dilecehkan dan dikirimi kata-kata cabul melalui pesan tertulis.
Pada Kamis (17/04), Polres Garut telah menetapkan MSF sebagai tersangka kekerasan seksual dalam kasus tersebut.
Secara terpisah, Kementerian Kesehatan dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mengakui tindakan MSF telah mencederai nilai-nilai profesi kedokteran.
Tindakan asusila itu juga disebut telah merusak kepercayaan masyarakat terhadap tenaga medis dan pelayanan kesehatan.
Terungkapnya kasus asusila ini juga memunculkan lagi pertanyaan seputar etika dan standar operasional dokter terhadap pasien di ruang pemeriksaan.
Kasus ini menyedot perhatian publik setelah beredar video di media sosial yang memperlihatkan perilaku MSF saat memeriksa kondisi kandungan pasiennya.
Dalam video itu terduga menggerakkan alat ultrasonografi (USG) di bagian perut pasiennya dengan tangan kanan.
Tangan kiri dokter tersebut kemudian terlihat ikut memegang bagian atas perut pasien dan diduga menyentuh payudara pasien.
Setelah memunculkan kemarahan publik, Kepolisian Garut kemudian menangkap dan menahan MSF.
Ketika polisi masih melakukan penyelidikan kasus ini, muncul kesaksian orang-orang yang menyebut dirinya sebagai korban pelecehan seksual oleh dokter kandungan itu.
Dugaan pelecehan seksual ini terungkap ke publik tidak lama setelah masyarakat dikejutkan dugaan perkosaan oleh seorang dokter Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) anestesi, berinisial PAP, di Bandung, Jawa Barat.
Peringatan: Artikel ini memuat deskripsi dugaan pelecehan seksual yang mungkin membuat Anda tidak nyaman.
Kesaksian korban pelecehan seksual: 'Saya merasa aneh dan risih'
Sejumlah perempuan yang mengaku menjadi korban kekerasan seksual MSF mulai berani bersuara.
Walaupun sebagian mereka belum melaporkannya kepada kepolisian, tetapi di antara mereka sudah mengungkapkan tindakan cabul MSF di media sosial.
Salah seorang di antaranya adalah perempuan berusia 28 tahun.
BBC News Indonesia memutuskan tidak menyebut identitas perempuan itu demi melindungi privasinya.
AK, begitu inisialnya, pernah memeriksakan kandungannya kepada dokter MSF.
AK memeriksakan kandungannya di Klinik Karya Harsa di Kota Garut, Jawa Barat, 10 Juni 2024.
Dia ditangani oleh dokter kandungan berinisial MSF.
"Waktu itu rencananya mau USG (ultrasonografi) untuk mengecek kandungan," kata AK kepada BBC News Indonesia, Rabu (16/04).
Dalam kondisi hamil, AK mengaku saat itu mengalami keluhan-keluhan, termasuk di payudara kirinya.
Dia kemudian diminta berbaring di tempat tidur pasien. Sang dokter lalu menempelkan alat USG di bagian perutnya.
AK teringat bahwa tindakan medis itu berlangsung lama. "Tidak seperti biasanya saat saya diperiksa dokter yang lain," akunya.
Alasan MSF, posisi bayinya tengkurap sehingga tidak terlihat di layar USG. "Sehingga [butuh] agak lama," kata AK menyitir perkataan MSF.
Setelah selesai USG di perutnya, terduga pelaku berkata kepada AK, "mana payudaranya saya USG juga".
"Di situ saya [merasa] agak aneh, dan [saya] nanya 'gimana maksudnya, dok?'"
Dalam ingatannya, sang dokter lalu berkata: "Siapa tahu ada benjolan..."
Almy kemudian mengikuti keinginan MSF. Selain tidak memahami masalahnya, dia semula percaya kepada terduga pelaku.
"Sebenarnya waktu mengeluhkan itu, tidak berpikir juga [bakal] diUSG payudara saya. Saya cuma mengeluhkan saja, siapa tahu ada resep dokter untuk peredah nyeri," tambahnya.
Sang dokter lalu menggunakan alat USG untuk memeriksa payudara kirinya. Hasilnya," aman tidak ada benjolan."
Namun yang membuat AK merasa "aneh" dan "risih", lama kelamaan MSF menaruh pelumas (gel) untuk USG di payudaranya secara berkali-kali.
"Saya pernah ke dokter spesialis bedah, pernah diperiksa payudara, dan caranya tidak seperti itu," katanya kepada BBC News Indonesia, melalui saluran telepon.
Tidak sampai di situ, sang terduga pelaku kemudian meminta agar payudara sebelah kanannya juga diperiksa. "Dan dia melakukan hal yang sama, berulang."
Proses ini, seingatnya, berlangsung antara 30 sampai 45 menit.
Saat dokter itu melakukan USG, suami AK berada tidak jauh darinya. Seperti dirinya, suaminya tidak menaruh kecurigaan.
Di tempat yang sama, ada pula asisten bidan atau perawat. Seingatnya, sang perawat sesekali melihat apa yang dilakukan MSF.
"Cuma si dokter itu, saat USG, menyuruh perawat membuat catatan kehamilan. Sehingga perawat tidak bisa apa-apa. Dia tidak terfokus ke pasien. Si perawat tidak stand by di samping saya," jelasnya.
'Pelecehan seksual secara verbal via WhatsApp'
Usai USG, MSF meminta foto dengan dia dan suaminya. Lalu dia meminta nomor WhatsApp miliknya.
"Buat kirim foto dan USG," ungkap AK.
Melalui WhatsApp itulah, menurut AK, MSF melakukan apa yang disebutnya sebagai "pelecehan seksual secara verbal".
MSF kemudian beberapa kali mengontaknya lewat saluran komunikasi itu. Si dokter juga menawarkan USG gratis. "Tapi saya tidak mau kembali [diperiksa] ke situ."
Tidak lama setelah dia dilecehkan secara seksual oleh MSF, AK mengaku sempat terpikir untuk mempersoalkannya ke publik melalui media sosial.
Namun AK mengaku "takut" terhadap sikap publik dalam melihat apa yang dialaminya. Dia lalu membatalkan niatnya tersebut.
Barulah setelah video yang memperlihatkan tindakan MSF terhadap pasien lainnya menjadi viral, AK memberanikan diri untuk mengungkap apa yang dialaminya.
Melalui akun Instagramnya, AK mengungkap perilaku sang dokter kandungan itu. Dukungan pun mengalir kepadanya.
"Sekarang yang saya harapkan [tindakan terduga pelaku] ketahuan, banyak korban lain yang speak up, muncul," kata AK kepada BBC News Indonesia.
Dia lalu berharap agar otoritas terkait menyelidiki kasus ini dan mencabut izin prakteknya.
"Kalau dia terus beroperasi, itu bahaya soalnya," ujarnya.
Tidak lama setelah kejadian, AK mengaku "selalu teringat" dan "terbayang-bayang".
"Dan kalau ingat, kesal dan sakit hati," katanya.
AK berharap agar penegak hukum memberikan sanksi setimpal atas tindakan MSF terhadap dia dan pasien lainnya.
"Karena banyak korban yang dia buat trauma, ya [MSF harus] dihukum seberat-beratnya," tandas AK.
Mengapa korban dugaan pelecehan seksual di klinik belum mau melapor?
Pekan lalu, video rekaman kamera tersembunyi (CCTV) dugaan pelecehan seksual oleh dokter berinisial MSF beredar di media sosial dan grup WhatsApp.
Tayangan video itu memperlihatkan ketika dokter pria tersebut tengah memeriksa seorang pasien dengan metode ultrasonografi (USG).
Dalam video itu terduga menggerakkan alat ultrasonografi (USG) di bagian perut pasiennya dengan tangan kanan.
Tangan kiri dokter tersebut kemudian terlihat ikut memegang bagian atas perut pasien dan diduga menyentuh payudara pasien.
Kontan saja, video ini kemudian menjadi viral di media sosial.
Selain melahirkan gelombang kemarahan, sebagian pengguna media sosial kemudian membuat pengakuan bahwa mereka pernah menjadi korban tindakan cabul dokter tersebut.
Dalam hitungan hari, akhirnya terungkap di mana dokter itu diduga melakukan tindakan cabulnya.
Beberapa media melaporkan MSF membuka praktek di Klinik Karsa Harsa di kawasan Pengkolan, Garut, Jawa Barat.
Dewi Sri Fitriani, Wakil Direktur Klinik Karsa Harsa, membenarkan bahwa dokter MSF pernah bekerja di kliniknya.
Menurutnya, dokter itu menjalankan praktiknya di klinik itu sejak 2023. Tapi semenjak awal 2025, MSF sudah jarang melayani pasien.
"Dokternya sudah mengundurkan diri," aku Dewi kepada wartawan.
Dewi mengaku pengelola klinik sempat mendapat keluhan dari sejumlah pasien atas dugaan perbuatan cabul sang dokter.
"Sempat ada keluhan dari pasien," ungkapnya.
Bagaimanapun, pengelola klinik mengaku dirugikan atas tindakan cabul MSF.
"Tidak hanya mencoreng nama baik klinik, tapi juga mencoreng nama baik dokter, kata Dewi.
Pihaknya saat ini bekerja sama dengan kepolisian.
Hasil penyelidikan sementara polisi atas video CCTV di klinik tersebut menyebutkan dugaan pelecehan seksual itu berlangsung pada 20 Juni 2024 lalu.
Sampai Kamis (17/04), kepolisian setempat belum menerima laporan pengaduan dari korban seperti yang terlihat dalam video yang viral tersebut.
Polres Garut mengatakan pihaknya sudah berkomunikasi dengan korban.
"Kami sedang mendalami korban yang ada di video. Identitasnya sudah kami kantongi," kata Kabid Humas Polda Jabar, Kombes Pol Hendra Rochmawan dalam jumpa pers di Garut, Rabu (17/04).
Namun korban mengaku "masih berkonsultasi dengan suami dan keluarganya."
Reaksi Kementerian Kesehatan: 'Kasus ini telah mencedarai nilai-nilai profesi kedokteran'
Dalam rilis tertulis yang diterima BBC News Indonesia, Rabu (16/04) sore, Kementerian Kesehatan mengakui tindakan cabul dokter MSF di Garut "mencederai nilai-nilai luhur profesi kedokteran".
"Dan merusak kepercayaan masyarakat terhadap tenaga medis dan pelayanan kesehatan," kata Kepala Biro Komunikasi dan Informasi Publik Kemenkes, Aji Muhawarman, dalam keterangan tertulis.
Kemenkes menegaskan bahwa perlindungan terhadap pasien adalah hal yang utama dan tidak bisa ditawar.
Karena itu, menurutnya, Konsil Kesehatan Indonesia (KKI) saat ini tengah melakukan pemeriksaan menyeluruh atas kasus ini.
"Kemenkes sudah mengirimkan surat ke KKI untuk meminta pencabutan STR [Surat Tanda Registrasi] yang otomatis akan menggugurkan SIP [Surat Izin Praktik] oknum dokter tersebut," ujar Aji.
Apabila hasil investigasi ditemukan pelanggaran etik dan disiplin profesi, KKI akan memberikan sanksi tegas berupa pencabutan sementara Surat Tanda Registrasi (STR) tenaga medis yang bersangkutan.
Kementerian Kesehatan juga akan merekomendasikan kepada dinas kesehatan setempat untuk mencabut Surat Izin Praktik (SIP) pelaku, tambahnya.
"Kami memastikan, KKI bersama seluruh pemangku kepentingan akan terus memantau perkembangan kasus ini, dan memastikan penyelesaiannya berjalan transparan dan berkeadilan," tegas Aji.
Dia juga berjanji bahwa Kementerian Kesehatan berkomitmen penuh untuk menjaga integritas dan profesionalisme tenaga medis dan tenaga kesehatan demi perlindungan dan keselamatan pasien di seluruh Indonesia.
Berita akan diperbarui secara berkala.