Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten Media Partner
Dua Kematian Pelajar dalam Sebulan di Tengah 'Gunung Es' Kekerasan terhadap Anak di Sekolah
6 Oktober 2024 8:15 WIB
Dua Kematian Pelajar dalam Sebulan di Tengah 'Gunung Es' Kekerasan terhadap Anak di Sekolah
Kematian dua pelajar di Blitar dan Deli Serdang yang melibatkan guru agama atau pengurus lembaga keagamaan dalam sebulan terakhir menebalkan fenomena yang disebut sebagai “gunung es” oleh pengamat. Kasus-kasus semacam itu bisa jadi dipicu “mental feodal” serta pemikiran bahwa semua dilakukan “atas nama Tuhan”.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menerima 329 laporan pengaduan kekerasan di lingkungan satuan pendidikan sepanjang 2023, termasuk yang terkait perundungan serta kekerasan seksual, fisik, dan psikis.
Dari Januari hingga 28 September 2024, Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mencatat ada 36 kasus kekerasan "kategori berat" di berbagai satuan pendidikan—termasuk yang terkait kekerasan fisik, seksual, dan psikis serta kebijakan yang mengandung kekerasan.
Dari 36 kasus itu, ada 48 pelaku dan 144 korban anak. Tujuh di antaranya dilaporkan meninggal dunia.
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Abdullah Ubaid Matraji, mengatakan maraknya kekerasan anak di sekolah karena guru masih "memegang teguh model mental feodal" sehingga relasi yang tercipta antara guru dan siswa seakan jadi seperti atasan dan bawahan.
“Seakan atasan itu boleh sewenang-wenang, menghukum siswa seperti apa pun boleh,” kata Ubaid.
“Sebagai bawahan, siswa itu dianggap harus taat, harus nurut, harus patuh.”
Masalah kian pelik saat membicarakan kasus kekerasan yang dilakukan guru-guru agama terhadap siswanya, kata Alissa Wahid, Ketua Bidang Kesejahteraan Rakyat Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU).
“Segala sesuatu kalau sudah atas nama agama atau atas nama Tuhan itu memang lebih cepat membuat orang merasa dia adalah pihak yang lebih benar,” kata Alissa.
“Saya memperjuangkan kesucian agama dan semua yang tidak mau melakukan ini berarti dia menistakan agama. Logikanya jadi begitu."
‘Enggak mungkin ustaz sengaja membunuh cucu saya’
Suparti telah merawat M. Keisa Anwar Alfairus sejak cucunya itu cilik.
Saat Keisa di jenjang PAUD, ayah dan ibunya bercerai. Si ibu lalu merantau ke Taiwan untuk mencari nafkah, sementara ayahnya mencari peruntungan di Malaysia.
Ketika Keisa di pertengahan masa SD, Suparti berembuk dengan anggota keluarga lain soal ide memasukkan cucunya ke pondok pesantren.
“Kalau di rumah cuma tiduran. Kalau disuruh makan juga susah,” kata Suparti, yang tinggal di Blitar, Jawa Timur, kepada wartawan Asip Agus Hasani yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
Keluarga lantas sepakat memasukkan Keisa ke Madrasah Ibtidaiyah (MI) Plus Al Mahmud. Ia setara SD dan memiliki asrama layaknya pondok pesantren.
Menurut Suparti, Keisa mulai “mondok” sejak kelas 5 MI.
“[Dengan mondok,] mudah-mudahan kalau dewasa itu tahu jalur mana yang baik, mana yang enggak. Bisa mendoakan masa tuanya orang tua,” kata Suparti.
“Doa sedikit-sedikit pasti bisa kalau di pondok. Kalau di rumah kan ya susah.”
Keisa tampaknya bisa cepat beradaptasi dengan kehidupan mondok. Ia punya banyak teman, kata Suparti, dan rajin mengikuti kompetisi futsal mewakili madrasahnya di berbagai daerah.
Setelah lulus MI, Keisa pun lanjut masuk Madrasah Tsanawiyah (MTs) Plus Al Mahmud—sekolah agama setara SMP dan sama-sama dikelola Yayasan Al Mahmud Bacem.
Namun, tak disangka, petaka datang di tahun kedua Keisa di MTs tersebut.
Minggu (15/09) sekitar pukul 07.00 WIB, Suparti tengah bersiap di rumah sebelum berangkat menengok cucunya di MTs Plus Al Mahmud. Hari itu memang saatnya “sambangan”, atau jadwal keluarga diperbolehkan menjenguk santri.
Sesaat sebelum mandi, Suparti mendapat telepon dari menantunya. Katanya, Keisa masuk IGD RSUD Srengat.
Kaget, Suparti segera ke RSUD Srengat. Di sana, ia bilang cucunya “kejang-kejang” dan “meronta”, sehingga petugas mesti mengikat kedua tangan dan kakinya.
Baca juga:
Ternyata, menurut pihak rumah sakit, paku yang tertancap di balok kayu sempat menusuk kepala Keisa.
"Paku sudah dicabut dari kepala pasien sesaat setelah kejadian. Namun setelah itu pasien cenderung tidur, gelisah, mual dan muntah," kata Mochammad Baehaki, Direktur RSUD Srengat, dalam keterangan tertulisnya.
Di RSUD Srengat, kata Suparti, hadir pula seorang pengurus santri di MTs Plus Al Mahmud yang mengaku sebagai “pelaku”.
“Minta maaf, Ibu, saya pelakunya. Bahwa bisa terjadi begini itu karena saya,” kata orang itu, seperti diceritakan ulang Suparti.
Suparti bingung. Ia hanya berharap cucunya bisa segera ditolong.
Setelah melakukan penanganan awal kondisi gawat darurat, petugas RSUD Srengat meminta persetujuan Suparti untuk melakukan CT scan.
"Hasil pemeriksaan CT scan keluar pada pukul 08.50 WIB dan ditemukan adanya perdarahan di otak pasien," kata Baehaki.
Karena tak memiliki dokter spesialis bedah saraf, RSUD Srengat merujuk Keisa ke rumah sakit lain.
Setelah kondisi Keisa lebih stabil, barulah ia dipindahkan ke RSUD Kabupaten Kediri pada pukul 15.30 WIB.
Dua hari kemudian, pada Selasa (17/09), Keisa meninggal di sana sekitar pukul 08.00 WIB. Saat itu ia berusia 13 tahun.
Perwakilan madrasah lalu datang meminta maaf, sembari mengatakan bahwa kejadian itu “tidak sengaja” terjadi, kata Suparti.
Menurut cerita ustaz yang menemui Suparti, pelaku—yang disebut polisi berinisial MUA—sedang “bersih-bersih” madrasah jelang kunjungan keluarga, lalu membuang balok kayu berpaku dari lantai atas yang tak sengaja menimpa kepala Keisa.
“Balok itu [katanya] cuma mau dilempar, dibuang,” kata Suparti.
“Bahwa balok itu ada pakunya, [pelaku] enggak tahu.”
Pada Rabu (02/10), lebih dari dua minggu setelah Keisa meninggal, pengurus Yayasan Al Mahmud Bacem mengadakan konferensi pers dan menceritakan kronologi serupa.
Saat itu Kanzul Fathon, mantan Ketua Yayasan Al Mahmud Bacem, mengatakan pelaku “membuang papan yang ada pakunya” saat sedang “bersih-bersih”.
Pelaku disebut “terhalang pilar” sehingga tidak melihat korban yang sedang berjalan mengambil handuknya untuk mandi. Karena itu, kata Kanzul, kayu itu tidak sengaja mengenai korban.
Narasi “bersih-bersih” ini berbeda dengan temuan awal kepolisian setempat.
Iptu Samsul Anwar, Kepala Seksi Humas Polres Blitar, mengatakan MUA melempar kayu dengan tancapan paku untuk “membuyarkan santri yang sedang main bola supaya cepat mandi”, karena akan ada kunjungan keluarga yang diikuti salat duha.
Kayu itu disebut didapat MUA di sekitar lokasi kejadian.
“Karena di pondok tersebut sedang ada renovasi,” kata Samsul pada Senin (30/09).
“Jadi, ada benda di situ langsung dilemparkan. Mungkin enggak menyadari kalau di situ ada pakunya.”
Imam Mahali, yang kini menjadi Plt. Ketua Yayasan Al Mahmud Bacem, mengatakan berbagai pihak memang memiliki kronologi versinya masing-masing, dan dia sendiri “kurang tahu” detail kejadiannya.
Namun, menurut informasi terakhir yang ia terima, kayu berpaku itu dilempar dari lantai dasar, bukan lantai dua. Pelaku pun disebut telah dikeluarkan dari madrasah karena melakukan “perbuatan yang tidak benar menurut hukum”.
Saat ditanya soal perbedaan kronologi kejadian ini, Suparti cenderung tak mau ambil pusing.
“Ustaznya itu bilangnya begitu. Jadi, kalau memang begitu, ya mungkin sudah takdir. Enggak mungkin ustaz membunuh cucu saya dengan sengaja," kata Suparti.
"Saya ikhlas."
BBC News Indonesia telah berusaha meminta tanggapan MUA terkait kasus kematian Keisa, tapi hingga kini belum mendapat respons.
Anna Hasbie, juru bicara Kementerian Agama, mengatakan pihaknya telah membentuk tim investigasi yang berisi perwakilan kementerian serta pengurus dan pengawas madrasah untuk mengetahui kronologi kejadian sebenarnya.
Ia menegaskan bahwa tindak kekerasan di lembaga pendidikan dalam bentuk apa pun tidak bisa dibenarkan.
“Pendidikan hakikatnya adalah proses panjang yang kompleks sehingga dibutuhkan cara-cara yang relevan tanpa kekerasan dalam bentuk apa pun untuk menumbuhkan kesadaran terdalam bagi anak didik,” kata Anna dalam keterangan tertulisnya.
Untuk pelaku, Anna bilang Kementerian Agama sepenuhnya menyerahkan “kepada pihak berwajib untuk diproses secara hukum atas kelalaiannya” yang membuat siswa madrasah meninggal dunia.
Jumat pagi (04/10), Polres Blitar bersama tim dokter forensik RS Bhayangkara Kediri melaksanakan ekshumasi atau penggalian kembali jenazah Keisa dari makamnya untuk keperluan autopsi dan "penyelidikan lebih lanjut", kata kepala seksi humas Iptu Samsul.
Mulanya Suparti menolak autopsi. Namun, kata Samsul, setelah diberikan penjelasan, nenek korban bisa mengerti.
Yang pasti, seperti yang sebelumnya Suparti katakan berulang kali, ia ingin cucunya "cepat tenang di sana".
Gunung es kekerasan anak di sekolah
Kekerasan terhadap anak di sekolah adalah “fenomena gunung es”, kata Seto Mulyadi, psikolog sekaligus Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI).
Itu karena kasus semacam ini disebut begitu marak terjadi, meski hanya sedikit yang tampak di permukaan.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menerima 329 laporan pengaduan kekerasan di lingkungan satuan pendidikan sepanjang 2023, termasuk yang terkait perundungan serta kekerasan seksual, fisik, dan psikis.
Sementara itu, Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mencatat ada total 36 kasus kekerasan "kategori berat" di berbagai satuan pendidikan Indonesia sepanjang Januari hingga 28 September 2024.
Ini mencakup kekerasan fisik, seksual, dan psikis serta kebijakan yang mengandung kekerasan.
Dari 36 kasus tersebut, ada 48 pelaku dan 144 korban anak, yang tujuh di antaranya bahkan tercatat meninggal dunia.
“Kasus kekerasan fisik yang terjadi [di madrasah/pondok pesantren] menimbulkan kematian empat orang peserta didik,” kata FSGI dalam pernyataan tertulisnya, seraya mengatakan Indonesia sudah masuk tahap “darurat kekerasan terhadap anak” di satuan pendidikan.
“Rata-rata ada peserta didik yang meninggal per dua bulan karena kekerasan fisik di lingkungan pondok pesantren.”
Kebanyakan pelaku kekerasan adalah teman sebaya dan kakak tingkat korban, masing-masing dengan proporsi 39% dan 8%.
Sementara itu, 30,5% pelaku lainnya adalah guru, 14% adalah kepala sekolah atau pimpinan pondok pesantren, 5,5% adalah pembina pramuka, dan 3% adalah pelatih kegiatan ekstrakurikuler.
Baca juga:
Menurut Seto dari LPAI, salah satu akar masalah kekerasan anak di sekolah adalah “pembiaran” oleh berbagai elemen masyarakat, termasuk keluarga dan pemerintah.
“Dari unsur masyarakat sendiri kadang-kadang kurang peduli pada kekerasan karena mungkin masih merasa budaya kekerasan itu wajar demi pendidikan,” kata Seto.
“Padahal dengan tegas harus dinyatakan tidak ada alasan apa pun juga untuk melakukan kekerasan, demi apa pun juga.”
Sementara itu Abdullah Ubaid Matraji, Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), menekankan pentingnya memperbaiki kompetensi guru-guru Indonesia.
Selama belum ada perbaikan kompetensi, kata Ubaid, berapa kali pun pemerintah mengganti kurikulum tidak akan ada pengaruhnya.
“Kalau gurunya buruk, mau seperti apa pun kurikulumnya, mau diganti berapa kali, tetap saja enggak bisa [memperbaiki situasi],” ujarnya.
Karena itu, pemerintah disebut perlu mengevaluasi pendidikan para calon guru di fakultas keguruan berbagai kampus dan memberikan pembekalan ulang pada guru-guru lama di sekolah.
Pengamat pendidikan Doni Koesoema pun menyampaikan hal serupa.
Doni bilang para calon guru dan guru lama mesti memahami betul metode ajar ramah anak dan perkembangan kebijakan perlindungan anak.
Kebijakan yang dimaksud termasuk yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 46 Tahun 2023 tentang pencegahan dan penanganan kekerasan di lingkungan satuan pendidikan.
“Zaman berubah, anak-anak juga berubah, aturan berubah, maka kita sebagai warga negara dan guru harus selalu memperbarui diri,” kata Doni.
“Jangan sampai kita salah di situ.”
‘Penjarakan sajalah guru itu, Mak’
Yuliana Padang bingung melihat polah anaknya, Rindu Syahputra Sinaga, pada Jumat (20/09).
Sepulang sekolah, Rindu terus saja terbaring lemas. Saat ditanya kenapa, ia pun tidak menyahut.
Yuliana cek, ternyata suhu tubuh anaknya tinggi. Ia tanya lagi, “Rindu, kamu kenapa?”
“Kaki aku sakit, Mak,” kata Yuliana, menirukan ucapan Rindu.
“Aku dihukum guru agama gara-gara tidak menghafal Alkitab.”
Ternyata, sehari sebelumnya, Rindu bilang ia dihukum melakukan squat jump 100 kali oleh guru agama Kristen di sekolahnya, SMP Negeri 1 STM Hilir di Deli Serdang, Sumatra Utara.
Hari-hari berganti, kondisi Rindu tak kunjung membaik.
Senin (23/09), Yuliana membawa Rindu berobat ke Puskesmas. Namun, malamnya, demam Rindu justru kian tinggi, hingga sang ibu membawanya ke klinik.
Esoknya, Yuliana meminta izin ke pihak sekolah agar Rindu tidak masuk dan bisa beristirahat.
Lagi, kondisi Rindu justru terus memburuk. Rabu malam, ia dilarikan kembali ke klinik, sebelum dirujuk ke RSU Sembiring Deli Tua.
Rindu lantas dibawa ke IGD rumah sakit itu dan bermalam di sana.
Kamis (26/09) pagi, kira-kira pukul 06.30 WIB, Rindu meninggal di usia 14 tahun.
“Di situ dokter belum kasih tahu dia penyakitnya apa. Karena jam 3 atau 4 [pagi], dia masih di-rontgen,” kata Yuliana kepada wartawan Nanda Fahriza Batubara yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
“Entah apa itu penyakitnya.”
Yuliana mengaku sangat terkejut, karena mulanya ia mengira Rindu hanya mengalami demam biasa. Hanya saja, memang, Rindu disebut kerap mengeluhkan sakit di kakinya yang bengkak.
“Yang paling bengkak sebelah kanan, keras seperti batu,” kata si ibu.
Bahkan, menurut Yuliana, Rindu sempat berkata: “Penjarakan sajalah guru itu, Mak. Sakit kali kakiku ini.”
Dari sana, tak lama setelah Rindu meninggal, Yuliana berinisiatif membagikan cerita soal anaknya yang meninggal setelah dihukum squat jump 100 kali di media sosial.
Cerita ini segera viral dan ramai diperbincangkan publik.
“Untuk guru yang bersangkutan, harapannya dapat hukuman yang setimpal dengan apa yang dia lakukan,” kata Yuliana.
Yang bersangkutan adalah Sellya Winda Hutapea, guru honorer yang telah mengajar pendidikan agama Kristen di SMP Negeri 1 STM Hilir sejak Juli 2023, kata Suratman selaku kepala sekolah.
Melalui sebuah surat yang ditulis tangan, Sellya yang diupah Rp500 ribu per bulan di sekolah itu sempat menceritakan kronologi kejadian versinya.
Menurutnya, pada Kamis (19/09), ada enam dari 27 siswa di kelas yang belum mengerjakan pekerjaan rumah, termasuk Rindu.
Salah satu siswa lantas mengajukan agar PR-nya diganti dengan squat jump. Sellya mengiyakan dan menyuruh mereka squat jump 100 kali secara bergantian, “sekali maju dua orang”.
Sellya pun bilang keenam anak itu “boleh istirahat” saat menjalankan hukumannya.
Mengetahui apa yang terjadi pada Rindu seminggu berselang, Sellya merasa “bersalah dan terpukul”, kata Muriadi , Ketua Dewan Pendidikan Kabupaten Deli Serdang.
Suratman, kepala SMP Negeri 1 STM Hilir, juga mengatakan Sellya “trauma”, “terpengaruh jiwanya”.
Namun, Suratman menegaskan hukuman fisik kepada siswa seperti squat jump “tidak dibenarkan” dan, konsekuensinya, Sellya kini telah dinonaktifkan.
BBC News Indonesia telah meminta tanggapan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi terkait kasus Rindu, tapi hingga tulisan ini tayang belum mendapat respons.
Untuk menyelidiki lebih lanjut penyebab kematian Rindu, Polres Deli Serdang telah melaksanakan ekshumasi atau penggalian kembali jenazah dari makam untuk keperluan autopsi pada Selasa (01/10).
Keluarga Rindu mulanya menolak membuat laporan ke polisi setelah tahu akan dilakukan autopsi.
Namun, polisi membuat laporan “model A” sehingga dapat mengusut kasus ini tanpa menunggu laporan keluarga. Dengan begitu, polisi pun bisa langsung mengambil keputusan menjalankan ekshumasi.
Sebelumnya, RSU Sembiring Deli Tua telah mengeluarkan resume medis berdasarkan pemeriksaan Rindu selama ia dirawat di sana.
Dari resume medis itu, diketahui bahwa dokter mendiagnosis terjadi penurunan kesadaran karena gangguan elektrolit dan demam, yang dapat diakibatkan oleh tifus.
Di sisi lain, ada pula diagnosis pembanding yang bisa jadi terkait dengan hukuman squat jump yang diterima Rindu, yaitu trauma pada lever serta pada paha kanan yang mengakibatkan pembengkakan.
“Karena memang ini sifatnya visum dari luar [yang dilakukan RSU], kami belum tahu apakah betul atau tidak, makanya kami lakukan ekshumasi hari ini sehingga bisa menjawab,” kata Kapolres Deli Serdang, Komisaris Besar Raphael Sandhy Cahya Priambodo.
Pantas Sinaga, kuasa hukum keluarga Rindu, juga berharap ekshumasi dapat memperjelas penyebab kematian Rindu.
Keluarga, kata Pantas, sudah siap dengan segala kemungkinan dan berupaya agar tetap tegar.
Menurut Pantas, pihak keluarga sudah berkomunikasi dengan pihak sekolah. Walau begitu, proses hukum disebut harus tetap berlanjut.
“Hukum harus ditegakkan seadil-adilnya, harus dapat kepastian hukum. Itu harapan kami," ujar Pantas di sela proses ekshumasi.
Atas nama Tuhan?
Para guru Indonesia masih “memegang teguh model mental feodal”, kata Abdullah Ubaid Matraji, Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI).
“Model mental” di sini merujuk kerangka kerja berpikir individu dalam memahami dunia di sekitarnya.
Dengan model mental feodal, relasi yang tercipta antara guru dan siswa seakan jadi seperti atasan dan bawahan, kata Ubaid.
“Seakan atasan itu boleh sewenang-wenang, menghukum siswa seperti apa pun boleh,” kata Ubaid.
“Sebagai bawahan, siswa itu dianggap harus taat, harus nurut, harus patuh.”
Alissa Wahid, Wakil Ketua Satgas Gerakan Keluarga Maslahat Nahdlatul Ulama (GKMNU) yang menangani fenomena kekerasan di pondok pesantren dan madrasah, menyampaikan hal senada.
Alissa bilang banyak guru yang masih mempertahankan “pola pikir feodalistik” dan “tidak siap menghadapi dunia yang berubah”.
Padahal, imbuhnya, para siswa generasi saat ini tumbuh besar di dunia yang kian egaliter karena perkembangan pesat teknologi digital.
“Karena di dalam dunia digital itu semua orang sama, setara,” kata Alissa, yang juga menjabat Ketua Bidang Kesejahteraan Rakyat Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU).
“Anak-anak muda ini tidak mau lagi mengikuti pola-pola feodal. Mereka kemudian hanya menghormati orang yang menurut mereka layak dihormati.”
Maka, saat para guru yang tidak bisa mengikuti perkembangan zaman kehilangan kendali atas siswanya, mereka disebut jadi gampang pula terpicu kemarahannya dan melakukan tindak kekerasan.
Walhasil, katanya, kekerasan anak di sekolah seakan telah menjadi “pandemi”.
“Karena kita lihat kasusnya tidak berhenti. Setiap minggu muncul kasus baru dari berbagai penjuru,” kata Alissa.
Abdul Mu'ti, Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, mengaku prihatin dengan tingginya jumlah kasus kekerasan terhadap siswa di berbagai lembaga pendidikan.
Menurutnya, penanganan kedisiplinan siswa harus dilakukan dengan "cara-cara yang humanis dan pendekatan yang komprehensif".
"Lembaga pendidikan harus berkomitmen untuk meniadakan kekerasan dalam bentuk apa pun, baik verbal maupun fisik," kata Abdul.
Masalahnya kian pelik saat membicarakan kasus kekerasan yang dilakukan guru-guru agama terhadap siswanya, kata Alissa.
“Jadi segala sesuatu kalau sudah atas nama agama atau atas nama Tuhan itu memang lebih cepat membuat orang merasa dia adalah pihak yang lebih benar,” kata Alissa.
“Karena sikapnya begitu, kemudian secara psikologis itu juga membuat orang itu lebih mudah emosi.”
Misal, ketika seorang guru agama menyuruh siswa menjalankan ibadah atau menghafal kitab suci, sang guru bisa jadi merasa dia sedang membela sesuatu yang suci dan, karenanya, cenderung dapat bertindak melebihi batas, kata Alissa.
“Saya memperjuangkan kesucian agama dan semua yang tidak mau melakukan ini berarti dia menistakan agama. Logikanya jadi begitu,” kata Alissa.
Lebih lanjut, karena merasa memiliki otoritas, guru agama pun disebut bisa terjebak dalam pemikiran bahwa siswa adalah pihak yang “lebih rendah” dan karenanya wajib mengikuti segala ajaran sang guru.
“Kalau kamu tidak nurut pada saya berarti kamu anak jahat, kamu orang jahat, kamu orang jelek, kamu rendahan, karena melawan otoritas,” ujarnya.
Andreas Kristianto, dosen prodi pendidikan agama Kristen di Sekolah Tinggi Agama Kristen (STAK) Marturia Yogyakarta, merasa pemikiran bahwa guru adalah “sumber otoritas” tidak lagi relevan.
Yang harus dituju, katanya, adalah proses pembelajaran yang “membebaskan”, yang menempatkan siswa sebagai subjek aktif alih-alih objek pasif. Dengan begitu, bisa tercipta dialog dua arah antara guru dan siswanya.
Merujuk taksonomi Bloom, Andreas menyebut tiga objektif utama pendidikan yang saling berkelindan: kepala, hati, dan tangan.
“Kepala” disebut mencerminkan dimensi kognisi, sementara “hati” dan “tangan” masing-masing melambangkan ranah afeksi dan psikomotor siswa.
Bila ada guru agama Kristen yang melakukan kekerasan atau memberikan hukuman fisik kepada siswanya hanya demi mengejar hafalan, jangan-jangan guru itu hanya fokus pada “kepala” sehingga melupakan “hati” dan “tangan” yang juga tak kalah pentingnya, kata Andreas.
“Pola-pola pendidikan yang berbasis kekerasan itu menurut saya sudah tidak bisa dibenarkan karena melanggar hakikat atau esensi pendidikan yang humanistik,” ujar Andreas.
“Guru menurut saya tidak hanya sebagai sumber informasi, tapi juga teman yang menemani tidak hanya proses pertumbuhan kognitif siswa, tapi juga menemani proses pertumbuhan iman dan karakternya.”
Wartawan Viriya Singgih di Jakarta, Asip Agus Hasani di Blitar, dan Nanda Fahriza Batubara di Deli Serdang berkontribusi untuk laporan ini.