Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Dugaan Pencatutan KTP Warga demi Maju di Pilgub Jakarta, Dharma Pongrekun Terancam Dilaporkan ke Polisi
19 Agustus 2024 12:00 WIB
Dugaan Pencatutan KTP Warga demi Maju di Pilgub Jakarta, Dharma Pongrekun Terancam Dilaporkan ke Polisi
Jumlah aduan warga yang data pribadinya dicatut untuk mendukung pasangan Dharma Pongrekun dan Kun Wardana sebagai calon independen di pilkada Jakarta telah mencapai ratusan dan diperkirakan terus bertambah. Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) DKI Jakarta berjanji akan “menindak tegas aktor-aktor yang terlibat”.
Hingga Minggu (18/8), pukul 20.00 WIB, Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) telah menerima total lebih dari 500 aduan. Dari angka tersebut, 377 di antaranya telah diverifikasi.
Ketua PBHI Julius Ibrani menilai ada setumpuk pelanggaran pidana dalam kasus ini.
Karena itu, pihaknya berencana melaporkan kasus ini, tak hanya ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), tapi juga ke Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri.
“Kalau [kasus di Jakarta] saja lolos, didiamkan, maka seluruh Indonesia akan direkayasa seperti ini,” kata Julius.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) DKI Jakarta berencana menggelar rapat pleno untuk membahas status Dharma-Kun pada Senin (19/8), sembari menunggu rekomendasi Bawaslu yang masih melakukan “penelusuran dan pendalaman” kasus.
“Jika ditemukan pelanggaran, kami pastikan akan menindak tegas aktor-aktor yang terlibat dalam persoalan ini,” kata Benny Sabdo, koordinator divisi penanganan pelanggaran Bawaslu DKI Jakarta.
Sementara itu, Dharma menyatakan proses pengumpulan data pendukungnya dibantu oleh relawan, sehingga ia dan pasangannya Kun tidak terlibat langsung.
“Data pendukung inilah yang kemudian diperiksa oleh KPU. Itu sebabnya, buat yang memang bukan pendukung kami akan tersaring dengan sendirinya,” ujar Dharma.
“Kami niatnya melayani. Jadi, bisa sampai tahap ini juga kami sudah sangat bersyukur.”
Bagaimana kasus ini bermula?
Kamis malam (15/8), KPU DKI Jakarta mengumumkan bahwa pasangan Dharma Pongrekun dan Kun Wardana lolos sebagai bakal calon gubernur dan wakil gubernur dari jalur independen untuk pilkada Jakarta yang akan berlangsung 27 November 2024.
Hasil verifikasi faktual KPU DKI Jakarta menunjukkan pasangan itu berhasil mengumpulkan dukungan 677.468 warga Jakarta.
Sebagai catatan, untuk mendaftar sebagai calon independen di pilkada Jakarta, pasangan calon harus meraih dukungan minimal 7,5% warga Jakarta yang tercatat dalam daftar pemilih tetap (DPT).
Karena jumlah warga Jakarta di DPT mencapai sekitar 8,25 juta jiwa, pasangan calon mesti mengamankan setidaknya 618.968 dukungan.
Di hari pengumuman KPU tersebut, akun @ayamdreampop mengunggah cuitan di media sosial X pada pukul 23.26 WIB. Di situ, ia mengatakan nomor induk kependudukan atau NIK-nya telah “dicatut” tanpa sepengetahuannya untuk mendukung pasangan Dharma-Kun mengikuti pilkada Jakarta.
Ia lantas menyarankan agar warganet lain mengecek apakah NIK-nya juga dicatut dan terdaftar sebagai pendukung bakal calon kepala daerah independen di situs web Info Pemilu yang dikelola KPU.
Dari sana, satu per satu pengguna X lain mulai melaporkan bahwa datanya juga dicatut untuk mendukung Dharma-Kun.
Aulia Postiera, eks penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang kini menjabat anggota Satuan Tugas Khusus Pencegahan Korupsi Polri, mulanya tak tahu apa-apa soal ini.
Jumat subuh (16/8), Aulia bangun dan melaksanakan salat. Setelahnya, ia iseng membuka X. Saat itulah ia baru menyimak keramaian soal pencatutan NIK.
Ia buka situs web Info Pemilu dan memasukkan NIK-nya. Kaget, ia menemukan namanya terdaftar sebagai pendukung Dharma-Kun.
“Saya enggak kenal sama sekali [Dharma-Kun],” kata Aulia kepada BBC News Indonesia.
“Kalau nama Dharma Pongrekun itu memang beberapa kali saya lihat video-videonya muncul di media sosial. Cuma saya enggak kenal ini orang siapa. Enggak ada interest juga [untuk mencari tahu].”
Aulia meradang. Apalagi, belum lama ini ia ikut mendirikan LSM Cyberity, yang fokus pada isu keamanan siber, perlindungan data pribadi, misinformasi, dan sebagainya.
“Saya sering mengajar bagaimana melindungi data pribadi dan segala macam. Eh, ini saya jadi korban,” kata Aulia, yang sejak Maret 2024 bahkan telah pindah domisili ke luar Jakarta.
Belum lagi, sebagai anggota Satuan Tugas Khusus Pencegahan Korupsi Polri, Aulia berstatus aparatur sipil negara (ASN) yang dilarang menunjukkan dukungan politik saat pilkada 2024.
“Dengan kondisi sekarang, saya bisa saja dilaporkan pelanggaran etik, karena ASN harus netral,” katanya.
Aulia lantas merilis klarifikasi di media sosial X dan LinkedIn bahwa data pribadinya digunakan tanpa izin untuk mendukung pasangan Dharma-Kun.
Sepanjang Jumat (16/8), semakin banyak orang yang melaporkan kasus serupa.
Ada yang bilang data adik dan ibunya ikut kena catut. Bahkan, ada yang mengatakan data neneknya yang telah meninggal juga tercatat jadi pendukung Dharma-Kun.
Tak hanya warga biasa, beberapa tokoh publik dan/atau anggota keluarganya juga jadi korban, termasuk mantan gubernur Jakarta, Anies Baswedan.
“Alhamdulillah, KTP saya aman. Tapi KTP dua anak, adik, juga sebagian tim yang bekerja bersama ikut dicatut masuk daftar pendukung calon independen,” cuit Anies.
Sementara itu, dalam unggahan Instagram-nya , novelis Ahmad Fuadi bilang datanya dan aktor Fedi Nuril juga digunakan tanpa sepengetahuan mereka.
“Dari enam orang keluarga dekat, empat orang dicatut. Untuk keluarga kami, itu kan 60-70% yang dicatut,” kata Ahmad.
Merespons ramainya keluhan publik, Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) membuka posko pengaduan pencurian data pribadi untuk pencalonan kepala daerah sejak Jumat siang (16/8). Tak lama, Bawaslu DKI Jakarta pun membuka posko serupa.
Hingga Minggu (18/8), pukul 20.00 WIB, Ketua PBHI Julius Ibrani mengatakan telah menerima total lebih dari 500 aduan. Dari angka tersebut, 377 di antaranya telah diverifikasi.
Aulia tak habis pikir melihat begitu banyaknya keluhan dan pengaduan dari masyarakat.
Ia bilang jelas telah terjadi pelanggaran pidana. Apalagi, Undang-Undang Nomor 27/2022 tentang perlindungan data pribadi menyatakan setiap orang dilarang memperoleh dan mengumpulkan data pribadi milik orang lain.
Karena itu, Aulia heran bila ada warga atau pejabat publik yang seakan menganggap lumrah kasus kebocoran atau pencurian data pribadi di Indonesia.
Menurutnya, di era UU perlindungan data pribadi, kasus pencatutan semacam ini adalah sebuah “skandal besar”.
“Di luar negeri hal ini menjadi concern besar, cuma di Indonesia dianggap biasa,” kata Aulia.
“Ini skandal besar. Ini data pribadi masyarakat disalahgunakan untuk kepentingan politik.”
Apakah benar ada pelanggaran pidana?
Ketua PBHI Julius Ibrani mengatakan hanya ada dua kementerian yang memiliki akses terhadap data kependudukan digital Indonesia: Kementerian Dalam Negeri serta Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Maka, katanya, wajar bila muncul dugaan kebocoran data dari dua kementerian tersebut.
Selain itu, Julius mempertanyakan KPU sebagai penyelenggara pemilu yang bertugas memverifikasi data dukungan terhadap pasangan calon kepala daerah independen.
Dody Wijaya, anggota KPU DKI Jakarta, mengatakan data dukungan terhadap pasangan Dharma Pongrekun dan Kun Wardana telah diverifikasi secara administratif dan faktual.
Verifikasi faktual, kata Dody saat konferensi pers di Kantor KPU DKI Jakarta pada Sabtu (17/8), dilakukan dengan mendatangi langsung mereka yang tercatat sebagai pendukung pasangan calon independen.
Bila pendukung tidak bisa ditemui langsung, KPU menyerahkan kepada liaison officer dari pasangan calon untuk menghadirkan pendukung di kantor kelurahan atau kantor Panitia Pemungutan Suara (PPS) tingkat kelurahan.
Jika itu juga tak berhasil, verifikasi akan coba dilakukan melalui telepon video.
Namun, setelah melalui seluruh tahapan itu, ternyata tetap ada ratusan orang yang mengadu pada PBHI bahwa datanya dicatut.
“Ini berarti verifikasi faktualnya juga bodong,” kata Julius.
Julius menilai ada setumpuk pelanggaran pidana yang terjadi dalam kasus ini.
Pertama, pelanggaran UU Nomor 27/2022 tentang perlindungan data pribadi, yang melarang seseorang mengumpulkan data pribadi yang bukan miliknya untuk kepentingan pribadi atau orang lain.
Kedua, pelanggaran UU Nomor 19/2016 tentang informasi dan transaksi elektronik, yang menyebut penggunaan data pribadi seseorang harus dilakukan atas persetujuan yang bersangkutan.
Ketiga, pelanggaran UU Nomor 23/2006 tentang administrasi kependudukan, yang melarang mereka yang tak berhak untuk mengakses basis data kependudukan.
Keempat, pelanggaran hak politik dan hak atas identitas seperti diatur dalam UU Nomor 39/1999 tentang hak asasi manusia.
Kelima, pelanggaran terhadap tata cara, prosedur, dan mekanisme pemilu seperti diatur dalam UU Nomor 7/2017 tentang pemilu.
Titi Anggraini, dosen hukum pemilu Universitas Indonesia, menambahkan bahwa manipulasi dukungan bagi calon independen juga merupakan tindak pidana yang diatur dalam UU Nomor 8/2015 dan UU Nomor 10/2016 terkait pemilihan gubernur, bupati, dan walikota.
Saat ini, PBHI sedang menyiapkan seluruh dokumen yang dibutuhkan untuk melaporkan dugaan pelanggaran pemilu oleh KPU dan pasangan calon independen Dharma-Kun kepada Bawaslu.
Setelahnya, PBHI pun berniat melaporkan KPU yang meloloskan Dharma-Kun serta Bawaslu yang terkesan “diam-diam saja” kepada Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
PBHI juga bakal melaporkan dugaan pelanggaran pidana yang dilakukan Dharma-Kun dan KPU ke Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri serta dugaan pelanggaran hak asasi manusia ke Komnas HAM.
Bila ada dugaan korupsi, tidak menutup kemungkinan PBHI akan membuat laporan pula ke KPK.
“Perlu diingat, [kasus pencatutan] ini terjadi di DKI Jakarta dengan akses informasi yang amat sangat tinggi, dengan masyarakat yang jauh lebih banyak jumlah yang terdidiknya, dengan teknologi tinggi untuk bisa memantau,” kata Julius.
“Artinya begini, kalau ini saja lolos, didiamkan, maka seluruh Indonesia akan direkayasa seperti ini.”
Sebagai catatan, pria asal Gambir, Jakarta Pusat, bernama Samson telah membuat laporan ke Polda Metro Jaya terkait pencatutan data pribadinya untuk mendukung pasangan Dharma-Kun pada Jumat (16/8), seperti dilaporkan Detik .
Relawan Anies juga berencana melaporkan Dharma-Kun ke Polri dan Bawaslu terkait pencatutan NIK warga Jakarta, seperti diberitakan Tribun News .
Bagaimana seharusnya KPU dan Bawaslu bersikap?
Sebelumnya, Dody Wijaya, anggota sekaligus ketua divisi teknis KPU DKI Jakarta, menyatakan bahwa data pendukung di situs web Info Pemilu belum dimutakhirkan.
Karena itulah di situs itu ada data warga yang bisa jadi sempat diajukan pasangan Dharma Pongrekun dan Kun Wardana, tapi sesungguhnya secara faktual tidak memenuhi syarat.
"Kami beri disclaimer, data di Info Pemilu tidak update. Jadi, yang di Info Pemilu tidak sama dengan yang sudah difaktualkan," katanya pada Sabtu (17/8).
Namun Titi Anggraini, dosen hukum pemilu Universitas Indonesia, merasa pernyataan itu saja tidak cukup untuk meyakinkan publik.
Menurutnya, KPU harus membuka seluruh data dukungan yang telah dinyatakan memenuhi syarat untuk menjaga “kepercayaan publik dan kredibilitas pilkada”.
Bawaslu pun diminta responsif menindaklanjuti setiap aduan dan melakukannya secara terbuka dan akuntabel.
“Dari hasil tindak lanjut Bawaslu, jika ditemukan ada data dukungan yang menjadi basis untuk memutuskan bahwa bakal calon perseorangan memenuhi syarat tersebut ternyata invalid, maka berdasarkan hukum pencalonannya bisa dibatalkan,” kata Titi.
“Bawaslu bisa merekomendasikan penundaan penerbitan SK [untuk bakal calon] dan meminta pencermatan dukungan ulang sampai segala sesuatunya terang benderang dan dukungan bisa dipastikan sepenuhnya valid.”
Pada Senin (19/8), KPU DKI Jakarta berencana menjalankan rapat pleno untuk membahas status Dharma Pongrekun dan Kun Wardana sebagai bakal calon gubernur dan wakil gubernur Jakarta.
Dody dari KPU DKI Jakarta mengatakan ini sejalan dengan tahapan dan jadwal pemilihan kepala daerah yang telah diatur dalam Peraturan KPU Nomor 2/2024.
Di saat yang sama, KPU berharap Bawaslu dapat mengeluarkan rekomendasinya sebelum rapat pleno digelar.
“KPU DKI Jakarta juga sudah berkoordinasi baik secara langsung maupun melalui surat dinas kepada Bawaslu DKI Jakarta terkait pelaksanaan tahapan tersebut,” kata Dody kepada BBC News Indonesia, Minggu (18/8).
“Sehingga KPU DKI Jakarta juga menunggu rekomendasi dan data tanggapan masyarakat yang melapor kepada Bawaslu DKI Jakarta.”
Benny Sabdo, anggota sekaligus koordinator divisi penanganan pelanggaran Bawaslu DKI Jakarta, mengatakan pihaknya sedang melakukan “penelusuran sekaligus pendalaman” terhadap kasus pencatutan data pribadi ini.
“Bawaslu DKI Jakarta telah membuka posko pengaduan. Posko ini dibuka mulai level provinsi, kabupaten dan kota, hingga kecamatan. Data yang masuk sudah ada ratusan,” kata Benny kepada BBC News Indonesia, Minggu (18/8).
“Seluruh data yang masuk sedang kami identifikasi dan analisis. Jika ditemukan pelanggaran, kami pastikan akan menindak tegas aktor-aktor yang terlibat dalam persoalan ini.“
Bagaimana tanggapan Dharma Pongrekun?
Saat dimintai tanggapan via pesan singkat pada Minggu (18/8), Dharma Pongrekun hanya membalas dengan sebuah video.
Video itu menampilkan keterangan KPU DKI Jakarta bahwa data pendukung di situs web Info Pemilu belum dimutakhirkan.
Selain itu, di sana Dharma menyatakan proses pengumpulan data pendukungnya dibantu oleh relawan, sehingga ia dan pasangannya Kun Wardana tidak terlibat langsung.
“Data pendukung inilah yang kemudian diperiksa oleh KPU. Itu sebabnya, buat yang memang bukan pendukung kami akan tersaring dengan sendirinya,” ujar Dharma dalam video.
“Kami niatnya melayani. Jadi, bisa sampai tahap ini juga kami sudah sangat bersyukur.”
Di luar masalah pencatutan data pribadi, sebelumnya pun muncul isu bahwa pasangan Dharma-Kun telah disiapkan sebagai lawan Ridwan Kamil di pemilihan gubernur Jakarta, agar nama terakhir tidak bertarung melawan “kotak kosong”.
Ridwan diperkirakan bakal diusung Koalisi Indonesia Maju (KIM), yang berisi partai-partai pengusung Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka pada pemilu presiden lalu.
Pada Kamis (15/8), Dharma menepis isu ini. Ia bilang, “Tidak sama sekali. Kami bukanlah by design.”
Namun Aisah Putri Budiatri, peneliti di Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), bilang wajar bila publik menduga ada skenario tertentu di balik pencalonan pasangan tersebut.
Aisah memberi contoh Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, yang sempat berencana maju sebagai calon gubernur Jakarta independen pada pilkada 2017.
Saat itu, Ahok yang relatif populer saja disebut harus bersusah-payah mengumpulkan satu juta KTP untuk memenuhi syarat pencalonan.
Namun, dengan mudahnya Dharma kini bisa mengumpulkan pendukung dalam waktu relatif cepat dan lolos verifikasi KPU, meski ia tidak punya rejam jejak politik yang jelas dan secara umum tidak populer di ruang publik, kata Aisah.
“Menurut saya sih wajar ya ketika orang mempertanyakan ini sebenarnya apakah memang kandidat politik yang serius atau sekadar hanya kandidat politik yang dimunculkan supaya tidak ada kotak kosong,” ujarnya.