Konten Media Partner

Dugaan Pungutan Tak Resmi di PPDS Undip Disebut Mencapai Puluhan Juta Rupiah – 'Itu Bullying Finansial'

5 September 2024 8:45 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical

Dugaan Pungutan Tak Resmi di PPDS Undip Disebut Mencapai Puluhan Juta Rupiah – 'Itu Bullying Finansial'

Pungutan tak resmi yang dibebankan kepada mahasiswa Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi Universitas Diponegoro yang diklaim berkisar antara Rp20 juta hingga Rp40 juta per bulan merupakan "kekerasan atau bullying dalam bentuk finansial yang tidak bisa dianggap wajar", menurut pengamat kesehatan.
Pendiri sekaligus CEO Central for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI), Diah Saminarsih, menilai pungutan tak resmi ini justru membuka celah terjadinya gratifikasi, bahkan korupsi.
Juru bicara Universitas Diponegoro (Undip), Sugeng Ibrahim, mengeklaim pihaknya tidak bertanggung jawab atas pungutan tak resmi tersebut lantaran pengumpulan uang itu di luar aturan soal iuran yang mereka tetapkan sebesar Rp300.000 per bulan.
Dia pun meminta kepolisian untuk memeriksa siapa-siapa saja yang disebutnya meminta iuran tak resmi tersebut dan mempersilakan jika perlu ditindak secara hukum.
Dalam perkembangan terbaru, keluarga mendiang mahasiswa PPDS Anestesi Undip, dokter Aulia Risma Lestari—yang diduga meninggal akibat bunuh diri—membuat laporan dugaan adanya pengancaman, intimidasi, pemerasan ke Polda Jawa Tengah.
Kuasa hukum keluarga menyebut para terlapor merupakan senior dokter Aulia.

Apa yang dilaporkan keluarga dokter Aulia Risma?

Keluarga mendiang dokter Aulia Risma yang diduga bunuh diri kala menempuh pendidikan calon dokter spesialis anestesi Undip, melaporkan dugaan perundungan atau bullying ke Polda Jawa Tengah, pada Rabu (04/09).
Ibunda almarhum dokter Risma, yakni Nuzmatun Malinah, datang ke ruang pelaporan didampingi oleh adik kandung korban, Nadia, dan kuasa hukumnya, Misyal Achmad.
Misyal mengatakan laporan yang mereka buat terkait dengan dugaan pengancaman, intimidasi, pemerasan dan ada beberapa hal lain.
"Intinya almarhumah adalah mahasiswa PPDS Fakultas Kesehatan (FK) Undip yang mengalami bullying. Bukti-bukti itu semua sudah kita kasih ke pihak Polda Jateng," paparnya usai menjalani proses pelaporan di dekat ruang SPKT Polda Jateng.
Untuk menguatkan laporan tersebut, ia mengaku telah menyerahkan semua bukti yang diperlukan. Termasuk di antaranya rekaman suara dokter Aulia Risma dan pesan singkat WhatsApp yang memuat adanya indikasi perundungan.
Kuasa hukum Misyal Achmad bersama ibu dari dokter Aulia Risma, Nuzmatun Malinah, dan adik kandung dokter Nadia usai melakukan pelaporan di Polda Jateng, Rabu (4/9/2024).
Ia berharap laporan ini menjadi pintu masuk untuk perbaikan pendidikan dunia kedokteran di Indonesia. Pasalnya, ada kemungkinan korban lain yang belum memiliki keberanian untuk melakukan aduan serupa.
Selain soal tudingan ancaman, intimidasi, dan pemerasan, Misyal juga membeberkan tentang jam kerja yang dilalui dokter Aulia Risma di RSUP Kariadi melebihi batas waktu normal.
Ia bercerita, setiap hari dokter Aulia Risma mengeluh harus bekerja atau menjalankan proses pendidikan residen dari jam 03:00 WIB sampai pukul 01:30 keesokan harinya—yang berlangsung setiap hari.
"Itu yang bikin drop," ucapnya.
Kondisi yang disebutnya tidak lazim ini sudah dilaporkan ke keluarga dan Kepala Program Pendidikan (Prodi) Anestesi Undip sejak tahun 2022, namun Misyal mengeklaim tidak mendapat tanggapan yang baik.
"Ibunya sudah melaporkan anak saya seperti ini, tapi tidak ada perubahan dengan jam dia belajar."
Soal siapa saja yang dilaporkan, Misyal bilang ada beberapa orang senior dokter Aulia Risma, kendati dia enggan mengungkap identitasnya.
"Yang dilaporkan belum berani sebut nama, karena almarhumah sudah meninggal. Mereka [terlapor] dari mahasiswa juga, lebih dari satu orang, ada beberapa seniornya. Besok [Kamis, 5 September 2024] jam delapan kita balik [ke Polda Jateng] untuk dimintai keterangan."
Sedangkan mengenai dugaan besaran nominal 'pemalakan' yang berkisar antara Rp20 juta hingga Rp40 juta seperti yang disebutkan Kementerian Kesehatan, dia mengaku belum mengetahui.

Seperti apa dugaan pungutan tak resmi di PPDS Undip?

Kasus dugaan perundungan atau bullying yang menyebabkan meninggalnya calon dokter spesialis anestesi Undip, Aulia Risma Lestari, memasuki babak baru dengan adanya temuan anyar Kemenkes.
Kementerian Kesehatan menyebut ada dugaan terjadinya permintaan iuran tak resmi dalam PPDS Anestesi Undip di RSUP Dr Kariadi, Semarang.
"Permintaan uang ini berkisar antara Rp20 juta hingga Rp40 juta per bulan," ujar Juru bicara Kemenkes, Mohammad Syahril, dalam keterangannya, Minggu (01/09).
Ilustrasi tenaga kesehatan mengalami depresi.
Syahril kemudian menjelaskan berdasarkan kesaksian sejumlah pihak, permintaan uang itu berlangsung sejak mendiang dokter Aulia Risma masih di semester 1 atau pada sekitar Juli hingga November 2022.
Pungutan tersebut, klaim dia, memberatkan dokter Aulia dan keluarga.
Faktor ini, sambungnya, diduga yang menjadi pemicu awal almarhumah mengalami tekanan dalam pembelajaran karena tidak menduga akan adanya pungutan dengan nilai sebesar itu.
Syahril bilang investigasi Kemenkes terkait dugaan perundungan di Undip masih berproses bersama kepolisian.
"Bukti dan kesaksian akan adanya permintaan uang di luar biaya pendidikan ini sudah diserahkan ke pihak kepolisian untuk dapat diproses lebih lanjut," katanya.

Dokter PPDS Undip: 'Bukan pemalakan, tapi gotong royong'

Adanya pungutan atau iuran tak resmi yang dibebankan kepada calon dokter spesialis anestesi Undip diakui oleh seorang mahasiswa senior PPDS anestesi, Angga Rian.
Baginya, uang iuran itu bukanlah bentuk 'pemalakan' tapi gotong royong sebab dipergunakan untuk makan dan kebutuhan bersama.
Ia bercerita, pengelolaan uang makan menjadi vital bagi dokter residen anestesi terutama saat jaga malam. Sebab ada kalanya, dokter residen tidak bisa meninggalkan kamar operasi meski sekadar untuk makan.
"Membeli makanan itu sistemnya gotong royong, kenapa? Karena program operasi di RSUP Kariadi ini 24 jam. Untuk makan malam kita tidak disediakan oleh rumah sakit," ucapnya saat ditemui wartawan di FK Undip.
Dokter anestesi mencatat tanda-tanda vital pasien.
"Sementara residen ini posisinya masih di kamar operasi menjalankan pembiusan. Salah satu sistem [yang kami buat] adalah kita dibelikan makanan... dan ini akan terus berlanjut terus sampai program operasinya selesai," sambung Angga.
Dia kemudian mengeklaim bahwa 'tradisi' memungut iuran ini sudah lama berlangsung di kalangan mahasiswa PPDS.
Kata dia, para junior kelak juga akan melakukan hal yang sama lantaran cara ini dinilai menjadi solusi bersama untuk mengatasi beratnya menempuh pendidikan di sana.
"Ketika sudah senior juga makannya disediakan oleh adik [tingkat] yang paling kecil, jadi memang pembagian makan ini dibantu oleh adik yang paling kecil agar di kamar operasi tetap bisa menjalankan pembiusan."
Terkait besaran pungutannya, Angga bilang setiap angkatan berbeda-beda nominalnya. Ia sendiri mengaku tak tahu persis berapa iuran yang dibebankan kepada mendiang dokter Aulia Risma Lestari.
Yang pasti, klaimnya, uang tersebut dikelola oleh bendahara mahasiswa semester pertama.
"Tidak tentu [jumlah iuran], ada yang tidak perlu iuran dalam satu semester. Makanya iuran itu tergantung kebutuhan kita untuk kas buat makan."
"Paling besar pas saya Rp10 juta dan kalau ada sisa itu dikembalikan, dan itu kan hanya satu semester saja."

Untuk apa pungutan itu?

Guru besar Fakultas Kedokteran Undip, Prof Zainal Muttaqin, juga tak menyangkal soal iuran atau pungutan tak resmi ini. Tapi dia mengeklaim iuran yang nilainya mencapai puluhan juta tersebut dipergunakan untuk kebutuhan kas mahasiswa PPDS masing-masing.
Khusus untuk di PPDS anestesi, klaimnya, uang itu dipakai membeli makanan. Pasalnya dokter residen memiliki jadwal yang padat dan tak semua nakes anestesi bisa beristirahat di waktu yang sama.
Dalam kasus dokter Aulia Risma, mendiang disebutnya sebagai pengelola atau penanggung jawab angkatan yang mengumpulkan uang sebesar Rp30 juta per bulan dari teman seangkatannya.
"Dia [Aulia Risma] mengumpulkan uang Rp30 juta per bulan dari teman-temannya, bukan untuk seniornya, tapi untuk makan mereka sendiri," ujar Zinal usai aksi solidaritas FK Undip, Senin (02/09).
Iuran seperti ini, sambungnya, menjadi kewajiban mahasiswa di semester awal. Mereka disebut wajib membayar iuran Rp3 juta per bulan di semester pertama.
Uang yang terkumpul lantas dipakai untuk membeli makanan bersama para tenaga kerja yang bertugas di program anestesi.
Kemudian di semester berikutnya mereka tidak diwajibkan lagi membayar iuran lantaran sudah ada mahasiswa baru.
"Penerimaan PPDS itu setiap semester, bukan setiap tahun. Jadi mereka yang semester 1 iuran ada 10 sampai 12 orang. Tiap bulan Rp3 juta untuk biaya makan 84 orang [mahasiswa PPDS anestesi di RSUP Kariadi]."
"Iuran itu hanya dilakukan selama satu semester, atau enam bulan."

Apa aturan soal iuran mahasiswa PPDS Undip?

Juru bicara Undip, Sugeng Ibrahim, mengatakan Dekan Fakultas Kedokteran Undip sebetulnya telah membuat aturan resmi dan tertulis soal iuran bulanan mahasiswa PPDS untuk kegiatan di Program Studi pada 24 Maret 2024.
Di situ tertera nilai iuran tidak boleh melebihi Rp300.000 per mahasiswa per bulan dan pengeluaran mahasiswa untuk Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) dan sejenisnya adalah tanggung jawab mahasiswa di bawah koordinasi Ketua Program Studi.
Aturan soal iuran ini, kata Sugeng, diterbitkan lantaran sebelumnya ada keluhan dari sejumlah mahasiswa kedokteran Undip yang mengaku dimintai pungutan tak resmi dengan nominal berbeda-beda.
"Kami dapat laporan ada dokter residen diminta Rp500.000, lalu ada yang Rp1 juta bahkan Rp10 juta. Makanya kami kasih aturan pokoknya iuran enggak boleh dari Rp300.000," ujar Sugeng Ibrahim kepada BBC News Indonesia, Rabu (04/09).
Dengan berbekal aturan tersebut, diharapkan bisa memitigasi kegiatan akademik dan non-akademik yang berpotensi menimbulkan perundungan atau bullying, sambung Sugeng.
Tapi apa yang terjadi justru sebaliknya berdasarkan temuan Kemenkes.
Investigasi Kemenkes mengungkap adanya pungutan tak resmi di PPDS anestesi yang mencapai Rp20 juta hingga Rp40 juta per bulan.
Soal ini Sugeng menyebutnya sebagai "improvisasi" atau "kesepakatan" di antara mahasiswa PPDS anestesi dan nilainya menurut pengakuan sejumlah mahasiswa di sana tidak sampai puluhan juta.
"Jumlahnya tentatif dan kalau ada pemalakan Rp20 juta sampai Rp40 juta, tidak benar," tegasnya.
Sugeng juga menyatakan pungutan yang tak sesuai aturan ini merupakan tanggung jawab mahasiswa PPDS, bukan kampus.
Itu mengapa dia meminta kepolisian untuk memeriksa siapa-siapa saja yang disebutnya meminta iuran tak resmi tersebut dan mempersilakan jika perlu ditindak secara hukum.
"Kalau melanggar, biar mereka yang menanggung [kesalahan]... kan mereka sudah dewasa," ujarnya.
"Dan polisi silakan mencari siapa saja yang memalak dan dipalak."

'Pungutan tak resmi jangan dianggap wajar'

Pendiri sekaligus CEO Central for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI), Diah Saminarsih, menilai pungutan tak resmi yang dibebankan kepada mahasiswa PPDS anestesi ini bisa disebut sebagai "kekerasan atau bullying dalam bentuk finansial yang tidak bisa dianggap wajar".
Sebab praktik seperti ini justru membuka celah terjadinya gratifikasi bahkan korupsi karena bisa saja dipergunakan untuk hal-hal di luar yang semestinya yakni seperti membeli makanan.
"Mungkin awalnya niatnya kalau mau berprasangka baik untuk beli makan atau kegiatan bersama-sama.. tapi bisa saja kemudian disalahgunakan menjadi hal-hal yang membuka ruang-ruang kekerasan," imbuh Diah kepada BBC News Indonesia.
Sejumlah civitas akademika dan alumni Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Diponegoro (UNDIP) memberi dukungan kepada Dekan FK UNDIP Yan Wisnu Prajoko sekaligus sebagai Dokter Spesialis Bedah dengan Subspesialis Bedah Onkologi serta dosen pendidikan dokter spesialis-subspesialis yang aktivitas klinisnya diberhentikan sementara di RSUP Kariadi Semarang.
"Karena dokter residen ini sangat bergantung kelulusannya pada konsulennya, seniornya, chief-nya... sementara mungkin ada dokter residen tidak punya uang lebih, tapi justru malah memberikan uang," sambungnya.
Karenanya bagi Diah, praktik pungutan liar semacam ini tidak bisa dibenarkan dengan dalih apa pun. Apalagi nominalnya sampai puluhan juta rupiah dan diwajibkan kepada seluruh calon dokter tanpa melihat situasi keuangan mereka.
"Dan saya yakin pasti ada [mahasiswa PPDS] yang keberatan, bayangkan kalau satu semester uang kuliah Rp10 juta dan ada iuran bulanan yang jumlahnya sama kayak semesteran... ini kan enggak bener dong."
Atas dasar itulah Diah menilai Undip maupun RS Kariadi tidak bisa lepas tangan begitu saja melempar tanggung jawab kepada mahasiswa PPDS.
Sebab, lanjut Diah, praktik ini bagaimana pun diketahui oleh pejabat di fakultas kedokteran tersebut alias sudah menjadi rahasia umum.
Yang bahkan ada kemungkinan menjadi siklus kekerasan finansial yang terus menerus berlanjut di tiap angkatan.
"Enggak bisa Undip ngeles begitu, seolah-olah lepas tangan. [Undip] pasti tahu kan, cuma enggak mau tahu."
"Dan kalau selama ini diam saja, artinya [Undip] mengiyakan [terjadinya pelanggaran]."
"Jadi enggak bisa ditolerir, apalagi menyebut pelakunya oknum. Enggak bisa, itu artinya ada kesalahan dalam sistem tata kelola keuangan karena semua tindakan harus berdasarkan on the book."

Bagaimana mengurai persoalan ini?

Diah Saminarsih mengatakan ketiga pihak yakni Undip, RSUP Kariadi, dan Kementerian Kesehatan harus duduk bersama dan mengakui adanya praktik kekerasan atau bullying dalam Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi.
Tanpa adanya pengakuan, maka sulit untuk membenahi persoalan ini.
Masing-masing pihak pun akan melihat keputusan yang diambil sebagai bentuk serangan.
"Memang tiga pihak ini harus duduk bersama dan bilang ke media bahwa kami semua sepakat ini [kekerasan] terjadi dan bersepakat ke depan tidak akan terjadi lagi di mana pun," ujar Diah.
Tapi terlepas dari itu, Diah menilai Kemenkes juga harus berbenah dalam hal ketentuan beban kerja di rumah sakit pendidikan tempat para calon dokter spesialis tersebut meningkatkan kemampuannya.
Menurutnya harus ada aturan jelas berapa jam mereka bekerja di rumah sakit dan yang tak kalah penting dibayar.
Sedangkan dari sisi Undip, Diah meminta agar meninjau ulang beban tugas akademis yang dibebankan kepada calon dokter spesialis ini.
"Karena mereka ketemu pasien untuk meningkatkan skill mereka. Ini yang membuka ruang tindak kekerasan, sebab sudah harus berhadapan dengan pasien... tidak dibayar. Seolah-olah dapat tenaga gratis rumah sakit," jelasnya.
Wartawan di Semarang, Kamal, berkontribusi untuk laporan ini.