Konten Media Partner

Eutanasia: Kisah Pasutri asal Belanda yang Memutuskan 'Mengakhiri Hidup'

3 Juli 2024 14:50 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical

Eutanasia: Kisah Pasutri asal Belanda yang Memutuskan 'Mengakhiri Hidup'

Jan van Leeningen (70) dan Els Faber (71) dipotret dua hari sebelum mereka meninggal.
zoom-in-whitePerbesar
Jan van Leeningen (70) dan Els Faber (71) dipotret dua hari sebelum mereka meninggal.
Jan dan Els sudah menikah selama hampir 50 tahun. Pada awal Juni lalu, keduanya mengakhiri hidup bersama secara sukarela melalui prosedur medis yang dikenal di Belanda dengan istilah duo-eutanasia.
Prosedur medis ini sah secara hukum di Belanda, tapi jarang terjadi. Bagaimanapun, setiap tahun semakin banyak pasangan di negara tersebut yang memilih untuk meninggal dunia dengan cara ini.
Peringatan: Artikel ini mungkin dapat memicu gangguan psikologis bagi sebagian orang.
Tiga hari sebelum Jan dan Els secara sukarela mengembuskan napas terakhir, mobil van mereka diparkir di marina daerah Friesland, Belanda bagian utara.
Jan dan Els adalah pasangan yang suka berpergian. Mereka menghabiskan sebagian besar pernikahan mereka di dalam mobil yang mereka desain menjadi tempat tinggal. Mereka juga kerap berpergian dengan kapal.
“Kami kadang-kadang mencoba untuk tinggal di tumpukan batu, sebuah rumah, tapi kami tidak pernah berhasil,” ujar Jan dengan nada bercanda. Dia menuturkan itu ketika saya mengunjungi mereka.
Jan yang kala itu berusia 70 tahun, duduk di kursi pengemudi van yang dapat diputar. Dia menekuk satu kakinya ke bawah. Itu adalah satu-satunya posisi yang meringankan sakit punggung yang dia rasakan terus-menerus.
Istrinya, Els, berusia 71 tahun. Dia menderita demensia. Els menghadapi kesulitan untuk merumuskan kalimatnya.
“Ini sangat bagus,” kata Els sembari berdiri dengan mudah. Els mengarahkan tangan ke tubuhnya.
“Tapi ini mengerikan,” katanya sambil menunjuk ke kepalanya.
Jan dan Els bertemu saat masih bocah di taman kanak-kanak. Mereka sudah bersama seumur hidup.
Ketika masih muda, Jan merupakan anggota tim nasional hoki usia muda Belanda. Setelahnya, dia berprofesi sebagai pelatih olahraga.
Sementara itu, Els mengenyam pendidikan sebagai guru sekolah dasar. Namun kecintaan mereka terhadap air, perahu, dan berlayar yang menentukan tahun-tahun mereka kemudian.
Sebagai pasangan muda, mereka tinggal di rumah kapal. Mereka lalu membeli kapal kargo dan membangun bisnis pengangkutan barang di sekitar perairan Belanda.
Keduanya memiliki seorang anak, yang meminta namanya tidak disebutkan. Pada hari kerja anak tunggal mereka tinggal di asrama sekolah, kemudian menghabiskan akhir pekan bersama orang tuanya.
Selama liburan sekolah, ketika anak mereka juga ikut dalam perjalanan, Jan dan Els mencari perjalanan kerja yang akan membawa mereka ke tempat-tempat menarik, seperti menyusuri Sungai Rhine atau berkunjung ke pulau-pulau di Belanda.
Pada 1999, bisnis kargo darat menjadi sangat kompetitif. Jan mengalami sakit punggung yang serius akibat pekerjaan berat yang telah dia jalani selama lebih dari satu dekade.
Jans dan Els sejak saat itu meninggalkan rumah kapal mereka. Namun itu tidak bertahan lama, kerena beberapa tahun kemudian mereka kembali tinggal di rumah kapal.
Ketika keadaan menjadi terlalu berat untuk dikelola, mereka membeli mobil van yang luas.
Jan menjalani operasi punggung pada tahun 2003. Namun operasi itu tidak membuatnya sembuh.
Jans lantas menghentikan penggunaan obat pereda nyeri dan tidak dapat bekerja lagi. Adapun, Els masih sibuk mengajar.
Kemudian mereka terkadang mulai membicarakan euthanasia. Jan menjelaskan kepada keluarganya bahwa dia tidak ingin hidup terlalu lama dengan keterbatasan fisiknya.
Pada saat itulah pasangan tersebut bergabung dengan NVVE, sebuah organisasi di Belanda yang mengadvokasi “hak untuk mati”.
“Kalau kamu minum banyak obat, kamu hidup seperti zombie,” kata Jan.
“Jadi, dengan rasa sakit yang saya alami, dan penyakit Els, saya pikir kita harus menghentikannya.”
Saat Jan mengatakan “menghentikannya”, yang dia maksud adalah berhenti hidup.
Jan berfoto bersama putranya pada tahun 1982.
Pada 2018, Els pensiun dari mengajar. Dia menunjukkan tanda-tanda awal demensia.
Namun Els menolak menemui dokter, mungkin karena dia telah menyaksikan penurunan medis dan kematian ayahnya yang juga menderita akibat Alzheimer.
Namun ada saatnya gejala yang dialami oleh Els tidak bisa diabaikan. Pada November 2022, setelah didiagnosis menderita demensia, Els keluar dari ruang konsultasi dokter, meninggalkan suami dan putranya.
“Dia sangat marah, seperti banteng yang sedang marah,” kenang Jan.
Setelah Els mengetahui kondisinya tidak kunjung membaik, dia dan Jan, bersama putra mereka, mulai mendiskusikan duo-eutanasia. Dengan prosedur medis itu, keduanya akan mengembuskan napas terakhir bersama-sama.
Di Belanda, eutanasia dan bunuh diri dengan bantuan merupakan langkah yang sah secara hukum.
Syaratnya, seseorang mengajukan permintaan sukarela. Lalu, kondisi yang mereka anggap sebagai penderitaan, baik fisik maupun psikologis, harus didiagnosis oleh dokter sebagai “sesuatu yang tak tertahankan”.
Satu syarat lainnya, tidak ada kemungkinan bahwa kondisi sang pengaju akan membaik.
Setiap orang yang meminta bantuan kematian harus menjalani penilaian oleh dua dokter. Prosedurnya, dokter kedua akan mengevaluasi pemeriksaan yang dilakukan oleh dokter pertama.
Pada 2023, terdapat 9,068 orang meninggal karena eutanasia di Belanda. Angka ini sekitar 5% dari total jumlah kematian di negara tersebut.
Pada tahun itu, terdapat 33 kasus duo-eutanasia. Artinya, 66 orang meninggal dalam prosedur ini.
Duo-eutanasia merupakan kasus yang rumit dan menjadi lebih rumit jika salah satu pasangan menderita demensia. Alasannya, terdapat ketidakpastian mengenai kapasitas mereka untuk memberikan persetujuan.
“Banyak dokter bahkan tidak mau memikirkan untuk melakukan eutanasia pada pasien demensia,” kata Rosemarijn van Bruchem, ahli geriatri dan ahli etika di Erasmus Medical Centre, Rotterdam.
Situasi rumit ini pula yang dialami Jan dan Els.
Keengganan para dokter tercermin dalam angka eutanasia. Dari ribuan orang yang meninggal pada 2023, 336 orang menderita demensia. Jadi bagaimana petugas medis memastikan terdapat “penderitaan tak tertahankan” pada pasien demensia sebagai syarat hukum dalam pengajuan eutanasia?
Bagi banyak penderita demensia tahap awal, ketidakpastian tentang bagaimana perkembangan di masa depan dapat membuat mereka berpikir untuk mengakhiri hidup, kata dokter van Bruchem.
“Apakah saya tidak akan mampu melakukan hal-hal yang menurut saya penting? Apakah saya tidak akan mengenali keluargaku lagi?" ujarnya tentang pertanyaan yang kerap muncul di benak para penderita demensia.
"Jika Anda bisa mengungkapkannya dengan cukup baik, jika dapat dipahami baik oleh dokter yang bersedia melakukan eutanasia, maupun dokter kedua yang berspesialisasi dalam kompetensi mental, ketakutan eksistensial tentang apa yang akan terjadi dapat menjadi alasan untuk mempertimbangkan eutanasia,” kata van Bruchem.
Els, difoto pada tahun 1968, didiagnosis menderita demensia para hari tuanya.
Karena dokter umum yang menangani mereka tidak mau terlibat, Jan dan Els berkunjung ke klinik eutanasia keliling bernama Centre of Expertise on Euthanasia.
Badan ini mengawasi sekitar 15% kematian eutanasia tahun lalu di Belanda. Dalam setahun, rata-rata mereka mengabulkan sekitar sepertiga permintaan eutanasia.
Dalam kasus pasangan yang ingin mengakhiri hidup bersama, petugas medis harus yakin bahwa salah satu pasangan tidak mempengaruhi pasangannya.
Dokter Bert Keizer telah menangani dua kasus eutanasia. Namun dia juga ingat pernah bertemu pasangan lain, ketika dia curiga pria tersebut memaksa istrinya.
Pada sebuah kunjungan ke pasiennya, Keizer berbicara empat mata dengan perempuan tersebut.
“Dia bilang dia punya banyak rencana!” kata dokter Keizer. Dia berkata, perempuan tersebut jelas menyadari suaminya sakit parah, tapi dia tidak berencana untuk mati bersamanya.
Proses eutanasia pasangan itu akhirnya dihentikan. Sang pasien laki-laki belakangan meninggal karena sebab alamiah. Istrinya hingga kini masih hidup.

Cerita laki-laki berusia 29 tahun 'ditolong hingga meninggal' oleh dokter Belanda

Dokter Theo Boer, profesor etika kesehatan di Protestant Theological University, adalah salah satu dari sedikit kritikus eutanasia di Belanda. Dia percaya bahwa kemajuan dalam perawatan paliatif sering kali mengurangi kebutuhan akan eutanasia.
“Saya berpendapat bahwa pembunuhan yang dilakukan oleh dokter dapat dibenarkan. Namun, perlu ada pengecualian,” tuturnya.
Yang mengkhawatirkan Boer adalah dampak dari kasus duo-eutanasia, terutama setelah salah satu mantan perdana menteri Belanda dan istrinya memilih untuk meninggal bersama pada awal tahun ini, dan kemudian menjadi berita besar di seluruh dunia.
“Pada tahun lalu kita telah melihat puluhan kasus duo-eutanasia. Ada kecenderungan umum untuk mengglorifikasi kematian secara bersama-sama,” kata Boer.
“Tetapi tabu mengenai pembunuhan yang disengaja sudah mulai terkikis, dan terutama jika menyangkut duo-eutanasia,” tuturnya.
Jan dan Els mungkin bisa terus tinggal di mobil van mereka tanpa batas waktu. Apakah mereka merasa akan mati terlalu cepat?
“Tidak, tidak, tidak. Saya tidak dapat melihat masa depan seperti itu,” kata Els.
“Saya sudah menjalani hidup saya. Saya tidak ingin kesakitan lagi,” kata Jan. “Kami semakin tua, karena itu ami pikir ini harus dihentikan,” tuturnya.
Dan ada hal lain. Els telah diperiksa oleh dokter dan mengatakan bahwa dia masih memiliki kapasitas untuk memutuskan sendiri apakah dia ingin mati. Namun hal ini bisa berubah jika demensianya menjadi lebih parah.
Semua proses ini tidak mudah bagi putra Jan dan Els.
“Kamu tentu tidak ingin orang tuamu meninggal,” ujar Jan.
“Jadi, kami menangis bersama-sama. Putra kami berkata, ‘Waktu yang lebih baik bagi kalian akan datang, cuaca yang lebih baik’, tetapi tidak untuk saya.”
El juga merasakan hal yang sama. “Tidak ada solusi lain,” tuturnya.
Els dan Jan dipotret pada hari pernikahan mereka, tahun 1975.
Sehari sebelum pertemuan mereka dengan dokter eutanasia, Els, Jan, putra, dan cucu mereka sudah berkumpul.
Jan ingin menjelaskan keistimewaan mobil van mereka agar mudah diiklankan dan dijual.
“Kemudian saya berjalan-jalan di pantai bersama ibu saya,” kata putra mereka.
“Anak-anak sedang bermain, ada beberapa lelucon. Itu adalah hari yang sangat aneh.
“Saya ingat kami sedang makan malam di malam hari dan saya menitikkan air mata saat melihat kami semua makan malam terakhir bersama,” tuturnya.
Pada Senin pagi, semua orang berkumpul di rumah sakit. Para sahabat pasangan itu ada di sana. Begitu pula saudara laki-laki Jan dan Els, serta putra dan menantu perempuan mereka.
“Kami punya waktu dua jam bersama, sebelum dokter datang,” katanya.
“Kami berbicara tentang kenangan kami dan kami mendengarkan musik.”
Lagu berjudul Idlewild yang dinyanyikan Travis diputar untuk Els, sementara lagu The Beatles berjudul Now and Then dilantunkan untuk Jan.
“Setengah jam terakhir adalah masa yang sulit,” kata putra mereka.
“Para dokter tiba dan semuanya terjadi dengan cepat. Mereka menjalankan [prosedur] dan semuanya berlangsung hanya dalam hitungan menit.”
Els van Leeningen dan Jan Faber diberi obat mematikan oleh dokter. Keduanya meninggal bersama pada Senin, 3 Juni 2024.
Mobil van mereka belum dijual. Putra Els dan Jan memutuskan untuk menyimpan dan menggunakannya untuk berlibur bersama istri dan anak-anaknya.
“Pada akhirnya saya akan menjualnya. Saya ingin membuat beberapa kenangan untuk keluarga,” tutur putra Els dan Jan.
Dengarkan film dokumenter yang disutradarai oleh Linda Pressly, berjudul Loving, Living and Dying Together mulai Selasa 2 Juli di BBC World Service. Anda juga akan segera bisa mendengarkannya di BBC Sounds.