Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Fakta-Fakta Kasus Pembunuhan oleh Polisi di Palangkaraya – Bagaimana Kronologi Versi Sopir dan Versi Polisi?
20 Desember 2024 19:00 WIB
Fakta-Fakta Kasus Pembunuhan oleh Polisi di Palangkaraya – Bagaimana Kronologi Versi Sopir dan Versi Polisi?
Kuasa hukum sopir yang ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan pembunuhan bersama seorang anggota polisi di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, bakal mengajukan praperadilan karena menilai ada banyak kejanggalan dalam prosedur yang dilakukan kepolisian.
Parlin Bayu Hutabarat, kuasa hukum yang mewakili sopir taksi Muhammad Haryono mengatakan penetapan tersangka terhadap kliennya "tidak tepat". Dia beralasaan, ketika pembunuhan terjadi, Haryono berada dalam "tekanan dan ancaman".
Oleh sebab itu, kliennya tak punya pilihan selain menuruti kemauan Brigadir Anton Kurniawan.
Namun demikian, Polda Kalimantan Tengah masih bersikukuh pada temuannya.
Kepala Humas Polda Kalteng, Erlan Munaji, membuat klaim bahwa keterlibatan Haryono terbukti dari uang yang diterimanya dari Brigadir Anton sebesar Rp15 juta. Meskipun akhirnya dikembalikan.
Pakar hukum pidana dari Universitas Parahyangan, Agustinus Pohan, bilang penjelasan kepolisian soal keterlibatan sopir Haryono sehingga ditetapkan sebagai tersangka belum klir betul.
Itulah mengapa kasus ini menjadi polemik di masyarakat dan menimbulkan ketidakpercayaan terhadap kepolisian.
Kronologi versi pengacara Haryono
Pengacara dari Muhammad Haryono, Parlin Bayu Hutabarat, menuturkan sopir taksi online itu mulanya dihubungi oleh Brigadir Anton untuk datang dan menjemputnya ke suatu tempat di daerah Jalan Tjilik Riwut, Trans Kalimantan, pada Selasa (26/11).
Sesampainya di sana, menurut Parlin, Brigadir Anton meminta Haryono untuk berganti mobil dan mengemudikan kendaraan miliknya yang berjenis Daihatsu Sigra.
Sepanjang perjalanan, kata Parlin, Haryono tidak mengetahui sama sekali tujuan Brigadir Anton.
Hingga pada Rabu (27/11) pagi, Haryono sempat meminta Brigadir Anton untuk kembali ke arah Palangkaraya karena merasa arah serta tujuan mereka tidak jelas.
Selain itu, Haryono mengaku dia telah dihubungi sang istri yang mencarinya, klaim Parlin.
BBC News Indonesia hadir di WhatsApp .
Jadilah yang pertama mendapatkan berita, investigasi dan liputan mendalam dari BBC News Indonesia, langsung di WhatsApp Anda.
Setibanya di Palangkaraya, Anton memerintahkan Haryono untuk mengarah ke daerah Tangkiling.
Di perjalanan, menurut Parlin, Brigadir Anton tiba-tiba meminta Haryono berhenti setelah melihat sopir mobil bak terbuka milik Budiman Arisandi di tepi jalan.
Brigadir Anton, sambung Parlin, lantas memperkenalkan diri sebagai anggota Polda Kalteng dan memberi tahu adanya informasi soal pungutan liar (pungli) di Pos Lantas 38.
Untuk meyakinkan bahwa pungli itu benar, Anton menyatakan akan mengajak Budiman ke Pos Lantas 38.
Budiman pun mengikuti kemauan Anton dan mobil milik Budiman itu akhirnya ditinggalkan begitu saja.
Sementara Haryono, klaimnya, tetap berada di kursi kemudi tanpa bereaksi apa pun.
"Awalnya korban [Budiman] enggak mau tapi habis itu keduanya masuk mobil... baru lah kejadian itu... yang sangat menakutkan bagi Haryono," tutur Parlin.
Oleh Brigadir Anton, Haryono diperintahkan untuk bergerak ke arah Kasongan, Kabupaten Katingan.
Namun di tengah jalan, tiba-tiba Brigadir Anton kembali memerintahkan Haryono untuk putar arah.
Di saat itu lah, klaim Parlin, Haryono mendengar suara letusan tembakan.
"Saat tembakan pertama, Haryono sampat dipukul... dibilang oleh Anton, 'Kamu harus berani'," jelas Parlin menirukan ucapan kliennya.
"Baru setelah itu enggak lama tembakan kedua."
Parlin kemudian membuat klaim bahwa selanjutnya Brigadir Anton memerintahkan Haryono untuk berhenti, namun setelah melihat ada orang dan kendaraan yang melintas, niat itu dibatalkan.
Di pemberhentian kedua, Brigadir Anton mengangkat mayat Budiman untuk dibuang di kawasan Katingan Hilir, Kabupaten Katingan, klaim Parlin.
"Memang awalnya [Brigadir Anton] sendiri, Haryono karena ketakutan memegang kaki agar mayat itu lebih mudah diangkat lalu dibuang," kata Parlin.
Usai membuang mayat Budiman, keduanya yang masih mengendarai mobil yang sama, mencari genangan air untuk membersihkan karpet mobil.
Berdasarkan pengakuan kliennya, Brigadir Anton lah yang membuang karpet penuh darah itu ke sungai.
"Brigadir Anton bahkan sempat mengeluarkan proyektil yang menempel di dashboard mobil setelah penembakan, karena enggak lepas-lepas," klaimnya.
"Brigadir Anton juga menyuruh Haryono untuk membantu mengeluarkan proyektil itu."
Setelah tuntas membersihkan bekas darah di dalam mobil, Brigadir Anton lalu memerintahkan Haryono membawa mobil Budiman.
Dua mobil itu pun jalan beriringan.
Pada sore harinya, Haryono diantar pulang ke rumahnya. Sementara mobil milik Budiman itu dibawa oleh orang lain berinisial P.
Esoknya, klaim Parlin, Brigadir Anton kembali memerintahkan Haryono untuk ke tempat pencucian mobil, pada Kamis (28/11).
"Di saat itu, Brigadir Anton mengirimkan uang sebesar Rp15 juta, Haryono bingung duit apa ini? Kalau cuma cuci mobil, kebanyakan," aku Parlin.
"Makanya dikembalikan langsung Rp10 juta, masih ada sisa Rp5 juta kan, Haryono beli jok mobil dan karpet baru habis Rp3,5 juta. Tapi sisanya dikembalikan semua ke Brigadir Anton," jelas Parlin.
'Sejak itu suami saya kayak orang gila'
Juliani, istri Haryono, menuturkan bahwa begitu sampai di rumah, suaminya terlihat berbeda.
Wajahnya pucat, tidak banyak bicara, dan kalau diminta bantuan malah bermalas-malasan, aku Juliani.
"Sejak pulang itu, dia enggak banyak ngomong, kayak orang gila," ucap Juliani.
"Suka ketawa sendiri, ngomong sendiri, kalau saya tanya enggak dijawab."
Karena khawatir melihat kondisi sang suami, ia pun memaksa agar bercerita.
"Dia cerita kalau Brigadir Anton menembak orang dua kali di depan matanya di dalam mobilnya Anton."
"Kami nangis... enggak tahu harus ngapain," tuturnya.
Dua minggu setelahnya, Juliani dan Haryono memutuskan melaporkan peristiwa tersebut ke Polsek Katingan Hilir karena menganggap itu adalah tindakan yang benar.
Namun tak disangka keputusan mereka malah membuat ibu dua anak ini tak bisa tidur. Sejak pelaporan sampai sekarang sang suami tak kunjung pulang.
"Kami ini orang kecil, enggak punya apa-apa, kami cuma mau hidup bener."
"Dia tulang punggung keluarga, anak dua, makan harus nunggu dia kerja."
Soal uang, Juliani bilang duit itu dikembalikan seluruhnya lantaran tak mau terlibat apa pun.
Ia juga mengaku sempat dipanggil ke Polda Kalteng untuk menjadi saksi. Di sana, ia kembali menceritakan apa yang diungkapkan suaminya.
Kemudian pada Jumat (13/12), seseorang yang mengaku dari Polda Kalteng datang ke rumahnya dan mengambil sejumlah barang.
"Segala besi-besi karat diambil, ada palu sama kotak handphone suami juga dibawa," ungkapnya.
Belakangan, ketika ia dan pengacara hendak menjenguk Haryono ke Polda Kalteng pada Senin (16/12) baru ketahuan suaminya sudah berstatus sebagai tersangka.
"Tidak ada surat pemberitahuan ke keluarga, surat penangkapan, dan surat penetapan tersangka. Surat-surat itu baru diberikan saat kami ke Polda untuk menjenguk," lanjut Parlin.
Parlin menyebut kliennya dengan Brigadir Anton sudah saling kenal kurang dari satu bulan.
Brigadir Anton, sebutnya, sering memesan jasa Haryono untuk diantar ke tempat kerja atau ke bank.
"Memang cukup sering jumpa," ungkap Parlin.
Tapi ia menegaskan, Haryono sama sekali tidak mengenal korban dan tak tahu alasan dari tindakan Brigadir Anton yang menghabisi nyawa korban.
"Sama sekali tidak tahu kalau Brigadir Anton akan menembak korban."
Kronologi versi polisi
Dalam rapat dengan Komisi III DPR pekan lalu, Kapolda Kalteng Djoko Poerwanto, menjabarkan kronologi peristiwa itu.
Ia menyebut pembunuhan tersebut berlangsung pada Rabu (27/11), ketika itu Anton bersama Haryono yang diklaim sebagai rekan, berada dalam satu mobil.
Mereka lalu menghampiri Budiman Arisandi, kurir perusahaan ekspedisi yang sedang berhenti di Kilometer 39, Jalan Tjilik Riwut.
Anton, sambungnya, kemudian mengenalkan diri sebagai anggota Polda Kalteng dan memberitahu adanya informasi mengenai pungutan liar di Pos Lantas 38.
Anton juga disebut berusaha meyakinkan Budiman kalau pungli itu benar adanya dan hendak mengajaknya ke lokasi tersebut.
Budiman, kata Djoko, setuju dan mengikuti apa yang disampaikan anggotanya itu. Adapun mobilnya ditinggal.
Mobil yang ditumpangi tiga orang itu lantas mengarah ke Kasongan, Kabupaten Katingan.
Di tengah perjalanan, katanya, Haryono mendengar suara tembakan. Tak lama kemudian, kembali terdengar letusan kedua.
Setiba di daerah Katingan Hilir, Anton bersama Haryono membuang jasad Budiman.
"Korban dibuang dan mobil [yang dibawa Budiman] dikuasai," ujar Djoko.
Dua hari kemudian, pada Jumat (29/11), Polsek Katingan Hilir menerima laporan hilangnya mobil jasa ekspedusi jenis Grand Max dari pemilik mobil bernama Guska Warman yang dibawa oleh Budiman.
Polisi kemudian melakukan penyelidikan atas kasus kehilangan itu.
Pada 6 Desember, Polsek Katingan Hilir menerima laporan penemuan mayat korban yang saat itu belum diketahui identitasnya dan mulai dilakukan olah tempat kejadian perkara.
Keesokan harinya, polisi melanjutkan autopsi terhadap jenazah di RS Bhayangkara Palangkaraya.
Pada 10 Desember, Haryono mendatangi Polrestabes Palangkaraya dan memberikan keterangan terkait peristiwa pembunuhan yang terjadi pada 27 November 2024.
Berdasarkan keterangan itu, ujarnya, penyidik menyimpulkan ada penganiyaan berat yang mengakibatkan korban meninggal.
"Berkaitan dengan fakta alat bukti ada kecukupan dugaan peristiwa telah terjadi [aniaya berat]," katanya.
Selang sehari, kepolisian melakukan gelar perkara serta menyita sejumlah barang bukti tambahan dan meminta keterangan saksi terkait lainnya.
Di hari yang sama, penyidik menangkap Brigadir Anton sebagai terduga pelaku.
Pada 14 Desember, merujuk pada hasil gelar perkara, penyidik menetapkan Anton dan Haryono sebagai tersangka dalam kasus pembunuhan dan pencurian terhadap Budiman.
Keduanya disangkakan Pasal 365 ayat 4 KUHPidana dan Pasal 338 KUHP dan 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Apa motif pelaku?
Kepala Humas Polda Kalteng, Erlan Munaji, mengatakan awal mula kejadian itu didasari oleh niat Brigadir Anton yang ingin mencari mobil bodong alias ilegal.
Brigadir Anton kemudian menghubungi Haryono dalam rangka membantunya mencari kendaraan tersebut.
Brigadir Anton, sebutnya, kemudian "secara acak membunuh korban" yang merupakan sopir ekspedisi.
Usai membuang mayat korban dan membersihkan mobil dari ceceran darah, Brigadir Anton memerintahkan Haryono membawa mobil korban sembari menghubungi salah satu saksi berinisial P untuk mengambil kendaraan tersebut dan menjualnya.
"P ini bertugas mencari penadah atau pembeli mobil," ungkap Erlan.
Erlan membuat klaim, hasil dari jual beli mobil itu tak berlangsung lama. Dua hari setelah kejadian, Brigadir Anton sudah mendapatkan uang dari hasil penjualan mobil itu.
Uangnya kemudian dibagi ke Haryono sebesar Rp15 juta melalui transfer bank.
"Tapi selang beberapa hari saudara H [Haryono] mengembalikan uang itu sebesar Rp11,5 juta. Saudara H tahu bahwa itu uang hasil penjualan mobil korban," ujarnya.
Erlan bilang penyidik juga mendapatkan informasi barang-barang ekspedisi yang dibawa korban sudah ditemukan, termasuk mobil pick-up yang telah dijual.
Namun demikian, Erlan mengaku belum bisa menjelaskan siapa penadah mobil itu dan apakah Brigadir Anton memiliki jejaring jual beli mobil bodong.
"Masih dalam proses, nanti akan kami sampaikan kembali."
Bagaimana mengurai persoalan ini?
Pakar hukum pidana dari Universitas Parahyangan, Agustinus Pohan, mengatakan kalau sopir Haryono memang diklaim terlibat dalam pembunuhan itu, kepolisian harus bisa membuktikan dua hal: unsur turut serta dan membantu.
Untuk unsur turut serta, batu ujinya adalah adakah interest alias kepentingan sopir Haryono terhadap kematian korban, kata Agustinus Pohan.
Adapun untuk unsur membantu, batu ujinya adalah apakah sopir Haryono mengetahui pada waktu dia mengantar Brigadir Anton akan terjadi pembunuhan.
"Kata kuncinya kepentingan dan mengetahui," jelas Agustinus Pohan, Kamis (19/12).
"Contohnya begini, si polisi bilang kepada Haryono, 'Saya mau habisi orang itu, tolong antar saya ke sana' dan diantar. Itu artinya dia mengetahui bahwa orang yang akan diantar akan melakukan pembunuhan."
"Kalau dia tidak ada kepentingan dan tidak tahu, sekadar minta diantar walaupun nanti ada pembunuhan, ya dia [Haryono] tidak bisa dianggap membantu suatu pembunuhan," sambungnya.
"Saat unsur turut serta enggak ada, membantu juga enggak ada, maka dia [Haryono] tidak bisa dinyatakan terlibat dalam pembunuhan itu."
Namun demikian, bagaimana dengan tindakan sopir Haryono membantu membuang mayat, membersihkan ceceran darah, dan menerima uang dari Brigadir Anton?
Agustinus Pohan berkata tindakan-tindakan itu memang bisa dilihat sebagai adanya "keterlibatan" dari sopir terhadap pembunuhan.
Tetapi sekali lagi, katanya, kepolisian harus bisa membuktikan apakah tindakan sopir Haryono tersebut semata-mata karena tekanan atau adanya ancaman dari Brigadir Anton.
"Manakala orang berada dalam pengaruh daya paksa, dia sesungguhnya hanya alat kejahatan dari orang yang menguasai dia," paparnya.
"Kayak sopir ini dia hanya alat polisi, dia bukan manusia yang punya kebebasan dalam berperilaku, karena adanya tekanan."
"Apalagi masyarakat kecil, diperintah polisi ya nurut saja, karena polisi dianggap orang yang punya otoritas. Itu sebaiknya dipahami juga oleh kepolisian," tegas Agustinus Pohan.
Jika kondisi sopir Haryono seperti itu, kepolisian bisa menggunakan Pasal 48 KUHP tentang daya paksa.
Bunyinya, barangsiapa melakukan perbuatan karena daya paksa, tidak dipidana.
Artinya kepolisian, ungkapnya, bisa menerbitkan SP3 atau surat perintah penghentian penyidikan.
Sopir Haryono whistleblower?
Agustinus Pohan mengatakan penjelasan kepolisian mengenai keterlibatan sopir Haryono sehingga ditetapkan sebagai tersangka belum klir.
Itulah mengapa kasus ini menjadi polemik di masyarakat dan menimbulkan ketidakpercayaan terhadap kepolisian.
Tapi terlepas dari itu, menurut dia, sopir Haryono bisa disebut sebagai whistleblower atau pelapor sekaligus pengungkap fakta dalam kejahatan ini.
Karena berkat laporan dia, kepolisian terbantu untuk mengungkap pelaku sesungguhnya.
"Hanya saja kalau whistleblower dijadikan tersangka, bisa berdampak orang-orang jadi takut untuk melaporkan suatu kasus."
"Kalau mereka takut, artinya merugikan kerja kepolisian, karena orang macam ini dibutuhkan oleh polisi untuk membantu pengungkapan kejahatan."
Di sisi lain, Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) harus turun tangan mengawasi kasus ini agar prosedur berjalan adil dan transparan, kata Agustinus Pohan.
Repons Kompolnas
Komisioner Kompolnas, Choirul Anam, menyebut kasus di Palangkaraya ini sudah menjadi perhatian lembaganya.
Kendati demikian, dia mengaku belum bisa berkomentar banyak.
Soal penetapan status tersangka terhadap sopir Haryono, menurutnya, kepolisian harus bisa membuktikan dengan terang benderang kepada publik.
Apakah antara Haryono dengan Brigadir Anton memiliki hubungan dengan tindak kejahatan itu.
"Yang paling bisa dijadikan bukti adalah alat komunikasi, masing-masing pihak kan punya alat komunikasi, rekam jejak digital bisa ditelusuri bagaimana posisi dari masing-masing individu."
"Oleh karenanya kita tunggu hasil penyelidikan, penyidikan, kenapa kepolisian menetapkan sopir sebagai tersangka."
"Konstruksi peristiwanya penting dijelaskan dan kami harap Polda bisa menyampaikan secara transparan."
Apa langkah hukum pengacara Haryono?
Parlin, kuasa hukum Muhammad Haryono, mengatakan pihaknya akan menempuh upaya praperadilan karena menilai ada banyak kejanggalan dalam prosedur yang dilakukan kepolisian.
Semisal, tak adanya pemberitahuan pemeriksaan kepada keluarga Haryono, namun tiba-tiba muncul surat penahanan dan penetapan tersangka.
Kalau berdasarkan pengakuan kliennya, maka status Haryono semestinya adalah justice collabotaror atau whistleblower yakni pelapor sekaligus pengungkap fakta.
Sebab berkat pelaporan dia, kasus pembunuhan ini bisa terbuka lebar.
Hal lain yang ia tegaskan, pada waktu kejadian, Haryono berada di bawah tekanan.
"Kondisi di mana ada pembunuh kejam yang baru saja menembak orang di depan matanya, dia ketakutan, mau enggak mau menuruti apa kata Brigadir Anton," paparnya.
Wartawan Reynaldo di Palangka Raya berkontribusi untuk laporan ini.