Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Gasing: Tergerusnya Putaran Permainan Kampung dan Filosofi yang Terlupakan
21 Oktober 2021 8:46 WIB
·
waktu baca 14 menitPermainan tradisional gasing mengajarkan kita tentang ketuhanan, keseimbangan dan harmoni dalam hidup, sambil mempererat toleransi serta meningkatkan kekuatan fisik. Namun kini di mana gasing 'bersembunyi'?
Gasing menemani perjalanan masyarakat Indonesia selama puluhan hingga ratusan tahun.
Disebut berasal dari China lalu ke wilayah Austronesia, termasuk Indonesia, gasing menyebar dan menjadi bagian dalam tradisi nusantara.
Di Aceh, gasing disebut menjadi cara memilih calon penerus Sultan Iskandar Muda.
Bagi suku Melayu, gasing menjadi bagian dalam perayaan musim tanam dan panen, bahkan disebut menjadi media peramalan akan masa depan.
Lalu di Sumatera Barat, gasing konon dikatakan menjadi senjata magis untuk menyakiti orang lain.
Dari Kalimantan, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi hingga Maluku, gasing memiliki beragam cerita, nama, bentuk, kegunaan hingga cara main.
Gasing, adalah satu dari sekitar total 2600 permainan tradisional di Indonesia yang disebut terancam punah oleh zaman dan kemajuan teknologi walaupun telah masuk dalam Warisan Budaya Takbenda (WBTB) di Unicef.
Saat ini, generasi muda sudah jarang sekali bermain gasing tradisional, kata penggiat.
Bahkan, ada yang tidak mengetahui apa itu gasing dan cara mainnya.
Padahal gasing yang mungkin dianggap permainan 'kampungan' memiliki beragam filosofi dalam membentuk karakter rakyat Indonesia, ujar antropolog.
Di tengah meredupnya putaran gasing, terdapat beberapa orang yang terus mengabdikan diri mereka untuk melestarikan hingga memperkenalkan gasing di dalam negeri hingga ke dunia.
Penggiat gasing Kutai yang 'berjuang sendirian'
Senja mengubah langit Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, menjadi kemerahan.
Dari sebuah ruangan berukuran 8x12 meter di sebelah rumah kayu yang terletak di Tenggarong, terdengar deru mesin bubut yang berbaur dengan suara gesekan kayu dan kikir.
Norsyamdani, 36 tahun, sedang membuat gasing - dari memotong, memahat hingga mengikis kayu.
Sebagai sentuhan akhir, minyak dioleskan untuk membuat gasing mengilap. Hanya butuh sekitar 10 menit bagi Dani - panggilan akrabnya - untuk membuat satu gasing.
Di sebelah tempatnya berdiri, berjejer 10 karung yang berisi ribuan gasing buatan Dani. Salah satunya, bisa dikatakan yang paling istimewa, adalah sebuah gasing bernama 'pendada'.
Gasing ini memiliki dua kepala dan hanya ada di Kutai, kata Dani.
"Ini dimainkan dalam kerajaan [Kesultanan Kutai Kartanegara sekitar abad ke-13]," kata Dani saat ditemui di rumahnya, akhir Agustus lalu.
Sambil melirik ke tumpukan gasing, Dani bercerita, saat kecil, gasing menjadi permainan wajib warga kampung ketika musim tanam dan panen tiba.
"Untuk perkuat fisik. Kalau otot sudah kuat, baru kita buka kebun. Musim panen juga begitu, main gasing sebagai syukuran," terang dia.
Seiring berjalannya waktu, permainan gasing meredup akibat minimnya kompetisi dan sulit mencari kayu karena penebangan hutan.
"Orang luar tidak kenal gasing Kutai, bahkan ada di antara kami yang tidak tahu gasing Kutai," katanya.
Kenyataan itu membuat Dani menyerahkan hidupnya untuk gasing.
Ia mengaku berjuang sendirian dalam melestarikan dan mengembangkan gasing di Kutai di tengah minimnya perhatian pemerintah daerah.
"Saya membuat gasing dengan biaya sendiri dan membagikan ke sekolah-sekolah."
"Banyak anak muda lupa ini mainan apa, cara main bagaimana, padahal ini identitas Kutai, dan setelah diberi tahu mereka sangat antusias," katanya.
Dani pun mengajak teman-temannya membentuk komunitas pecinta gasing, bernama Komunitas Keroan Begasing Kutai yang kini telah tersebar di 30 wilayah.
Bupati Kutai Kartanegara, Edi Damansyah membantah lepas tangan dalam pelestarian gasing.
Ia mengeklaim telah membentuk beberapa komunitas gasing yang dibina oleh Dinas Pemuda dan Olahraga.
"Termasuk keberadaan di Kesultanan Kutai Ing Martadipura itu. Gasing adalah bagaimana budaya yang ada di era nenek moyang kita dulu, baik di kerajaan maupun masyarakat, kita pertahankan," kata dia.
Perkenalkan gasing dari Bangka ke dunia
Pecinta gasing lainnya berada di Muntok, Bangka Belitung.
Agus MD kini berusia 61 tahun, sudah tak lagi muda. Hampir separuh hidupnya dicurahkan untuk melestarikan gasing.
Mulai dari memproduksi gasing, mengadakan kompetisi, terlibat dalam penyusunan buku pedoman pertandingan gasing nasional, hingga memperkenalkan gasing ke dunia.
Sebelum pandemi Covid-19 melanda, Februari 2020 lalu, Agus sempat bertandang ke Prancis.
Dalam dokumentasi yang dibagikan, terlihat Agus memamerkan gasing Indonesia. Ia juga membuat hingga mengajarkan warga asing yang antusias beradu gasing tradisional Indonesia.
"Dari Prancis, Amerika, dan negara lain sangat terkesan dengan gasing kita karena bisa diadu. Gasing mereka umumnya lebih untuk atraksi," kata Agus.
Sebelumnya, Agus juga pernah diundang ke Lithuania dan beberapa negara Asia Tenggara.
Bahkan, ia mengaku, sempat ditawari untuk mengembangkan gasing negara lain. Namun Agus menolak.
"Saat saya ke Malaysia, saya mau direkrut dan tinggal di Pahang, [Malaysia] untuk mengembangkan gasing mereka," katanya.
Dari permainan wajib hingga mati suri
Agus bercerita, perkenalannya dengan gasing dimulai sejak umurnya delapan tahun.
Ia bersama teman-teman berburu kayu ke hutan, membuat sendiri, hingga saling beradu gasing.
Sama dengan di Kutai, gasing menjadi tradisi wajib saat musim ladang yang melibatkan kompetisi antarkampung dengan puluhan hingga ratusan peserta.
Pemenang kompetisi ini digelari 'Raja Gasing'.
"Saya merindukan gasing menjadi pemersatu antarkampung. Penuh kebahagiaan," katanya.
Dalam perjalanannya gasing mengalami mati suri, kata Agus.
Musim ladang tidak lagi memainkan gasing. Raja Gasing 'bersembunyi', tidak ada kompetisi dan juga produksi gasing. Ditambah, kemajuan teknologi menawarkan beragam jenis permainan modern, ujar Agus.
Kegelisahan Agus memuncak saat ia bertanya ke seorang sarjana dari kampungnya yang ternyata tidak mengetahui gasing.
Berangkat dari situ, Agus keluar masuk kampung mengumpulkan tokoh gasing dan mengadakan pertandingan.
"Saya mengeluarkan uang pribadi hingga mobil saya rusak karena keluar masuk kampung yang jalannya rusak," kenangnya.
Upaya Agus didengar oleh pemerintah daerah dan ia ditugaskan membangun kembali gasing - mulai dari mengadakan kompetisi, hingga studi banding ke negara lain.
Agus bersama pelestari lain kemudian mendirikan Persatuan Olahraga Gasing (Porgas) yang berubah menjadi Persatuan Gasing seluruh Indonesia (Pergasi) pada 2002.
Namun dalam perkembangannya, gasing di masyarakat berjalan lambat hingga perlahan hilang. Sebabnya, industri gasing sudah tidak lagi ada.
"Kami baru saja mulai memproduksi gasing dengan mesin bubut, tapi sekarang Covid-19 datang, mati suri kembali gasing," katanya.
Agus juga menghadiri lokakarya dan festival permainan tahun 2005 di Ragunan, Jakarta, yang menjadi cikal bakal munculnya buku pedoman pertandingan gasing nasional tahun 2009 - berisi peraturan pertandingan dan standarisasi gasing.
Ia juga ketua tim yang membuat gasing terbesar di Indonesia dari kayu menggeris (kompas arcyles) seberat 140 kilogram.
Agus berharap agar permainan gasing dipertandingkan di Pekan Olahraga Nasional (PON) sehingga bisa lestari dan terangkat kembali.
Gubernur Kepulauan Bangka Belitung, Erzaldi Rosman mengatakan, gasing adalah olahraga budaya dari wilayahnya yang harus dilestarikan.
"Kalau kita tidak adakan event, orang semakin lupa. Saya minta Pak Agus untuk menjaga kelestarian gasing itu," katanya.
Dari China, Sultan Iskandar Muda, hingga alam
Dari mana asal usul gasing di Indonesia? Tidak ada yang tahu pasti. Namun di balik itu, beragam cerita mewarnai perjalanan gasing.
Direktur Pembinaan Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) Sjamsul Hadi mengatakan, ada pendapat yang menyebut gasing berasal dari China yang kemudian menyebar ke wilayah Austronesia, seperti Amerika, Afrika dan Asia Tenggara - termasuk Indonesia di dalamnya.
Itu sebabnya di wilayah itu dapat ditemukan beragam jenis permainan gasing.
Teori lain bercerita, gasing tercipta dengan sendirinya di masyarakat yang berbasis pada ketersediaan alam.
"Misalnya dari biji tertentu yang ditemukan di alam kemudian diberi tali dan berputar," kata antropolog dari Universitas Indonesia Semiarto Aji Purwanto.
Pendapat itu sama dengan yang diungkapkan Dani saat menceritakan asal gasing Kutai.
"Cerita di Kutai, gasing berasal dari buah yang jatuh, hanyut, lalu ditemukan dan dijadikan permainan. Kemudian berevolusi dalam beberapa generasi sehingga ditambahkan tali, lalu diputar," kata Dani.
Sementara itu, Agus MD melekatkan gasing dengan kebudayaan Melayu yang tersebar di Semenajung Melayu hingga Kalimantan.
Ia mendengar dari cerita leluhur, gasing telah ada sejak Kesultanan Samudera Pasai di Aceh pada abad ke-12 sejalan dengan perkembangan Islam di Indonesia.
"Bahkan, di kepemimpinan Sultan Iskandar Muda, gasing digunakan sebagai cara menentukan pemimpin."
"Dulu ada dua penerus takhta yang disuruh putar gasing. Siapa yang memutar lebih baik, tenang, tanpa gerak, dan uri-nya lama, dia dipilih," kata Agus.
Ramalan hingga senjata magis
Gasing telah menjadi tradisi dan budaya masyarakat Indonesia. Buktinya, di Sumatera dan Kalimantan, kata antropolog Semiarto, gasing erat dengan upacara peramalan.
"Seperti ke arah mana harus berjalan untuk berhasil dalam pekerjaan, itu diramal dengan gasing, berapa lama putarannya dan ke arah mana berhentinya," katanya.
Di budaya Sumatera Barat, kata Semiarto, gasing bahkan menjadi senjata magis. Dikenal dengan nama gasing tengkorak atau gasiang tangkurak, yang juga diangkat dalam sebuah film.
"Konon gasingnya dibuat dari tengkorak manusia dan digunakan untuk membuat orang susah, gelisah dan tidak nyaman, tapi bukan mematikan," kata Semiarto.
Kemudian di Bangka Belitung, kata Agus, pemain gasing memiliki pegangan ilmu.
"Walaupun sampai naik pohon, gasingnya tetap berputar. Katanya dioles kapur dan kunyit, tapi kalau lewat sela kaki perempuan akan kalah," kata Agus.
Dari berbentuk jantung, pipih, hingga bersuara
Itulah ragam cerita gasing di Indonesia. Tapi, apa sebenarnya gasing itu sendiri?
Gang berarti lorong atau lokasi, dan Sing berarti suara, sehingga artinya adalah permainan yang dimainkan di tempat kosong dan mengeluarkan bunyi.
Gasing memiliki nama yang beragam, seperti gangsing atau panggal (Jakarta dan Jawa Barat), pukang (Lampung), gasing (Jambi, Bengkulu Tanjungpinang, dan wilayah kepulauan Riau, Sumatra Barat), dan begasing (Kalimantan Timur).
Lalu megangsing (Bali), maggasing (Nusa Tenggara Barat), apiong (Maluku), paki (di Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara) dan maggasing atau agasing di Masyarakat Bugis, Sulawesi Selatan.
Kenapa begitu beragam? Permainan tradisional seperti gasing memiliki sifat adaptif dengan alam dan manusia, sehingga antar tempat berbeda-beda, kata Semiarto.
Selain penamaan, bentuknya pun berbeda-beda, dan secara umum dapat dibagi dalam tiga kategori.
Pertama adalah gasing jantung, yang bentuknya menyerupai jantung manusia atau jantung pisang, dan tersebar di mayoritas wilayah Indonesia.
Kedua gasing pipih, berbentuk seperti dua piring yang ditangkupkan atau piring terbang. Gasing jenis ini pun juga dapat ditemukan di banyak tempat.
Ketiga, gasing yang terbuat dari bambu berbentuk tabung dan mengeluarkan bunyi yang tersebar di pulau Jawa.
Kemudian, secara umum gasing memiliki dua jenis permainan, yaitu untuk adu pukul dan adu putar.
Cara bermainnya hampir sama di semua tempat, kata Dani. Gasing dililit dengan tali lalu dihempaskan atau dilempar sehingga menciptakan putaran - kemudian diadu atau dihitung lama berputar.
Indonesia telah memiliki buku pedoman pertandingan gasing nasional, yang mengatur dari bahan gasing, ukuran, aturan pertandingan hingga wasit.
Filosofi dan manfaat gasing, 'keseimbangan hidup' untuk Tuhan dan manusia
Gasing menyimpan "sejuta" pesan moral yang membentuk karakter masyarakat Indonesia.
Wakil Sekretaris Jenderal Komite Permainan Rakyat dan Olahraga Tradisional Indonesia (KPOTI) Chairul Umam mengatakan, gasing - satu dari total sekitar 2600 permainan tradisional Indonesia - mengajarkan tentang ketuhanan.
Poros gasing melambangkan Sang Pencipta dan manusia adalah putarannya.
"Manusia harus terus bergerak yang berpegang pada Tuhan, jika tidak bergerak maka akan selesai di dunia," katanya.
Kemudian, menurut Semiarto, gasing mengajarkan keseimbangan dan harmoni dalam hidup.
"Kita mengalami putaran - baik dan buruk - dalam hidup, tapi kita harus tetap berdiri tegak di satu sikap sehingga tercipta keseimbangan antara masalah, kebutuhan, dan keinginan," ujarnya.
Gasing juga mengajarkan tentang pentingnya ketenangan jiwa, kata Agus MD.
"Gasing terbaik adalah yang uri [berputar] lama, tenang, tidak bergerak, dan saat dipukul gasing lawan tidak mati," kata Agus.
"Untuk menciptakan itu, bermain gasing harus tenang karena jika emosi akan kacau, putarannya tidak baik," imbuh Agus.
Agus menambahkan, secara horizontal, gasing juga mengajarkan kebersamaan dan mempererat hubungan antar manusia.
Jadi bermain gasing adalah bentuk pengabdian generasi muda untuk melanjutkan budaya leluhur, kata Dani.
'Hilang, lestari, hingga Squid Game'
Beberapa menjawab gasing sudah tidak dimainkan di daerah mereka, dan sebaliknya, masih lestari. Inilah beberapa tanggapan mereka.
Febriana Sapulete bercerita, "Di tempat saya namanya Apiong, sudah jarang anak-anak memainkannya, pada sibuk main handphone."
Kemudian, muhammadFerari01 menuliskan, "Di daerah kami, Sumatra, Kabupaten Langkat sudah jarang main ini. Ya paling tunggu orang dewasa memainkannya dan memperkenalkannya dan alhasil anak-anak ikut main. Jadi kangen masa lampau."
Senada, Djarco mengatakan, "Di daerah saya gasing dinamai Kawongga. Sudah puluhan tahun saya tidak pernah melihatnya lagi".
Apa penyebabnya, Taufik Hidayat mengatakan, "Semenjak ada hp anak-anak jarang bermain permainan tradisional."
Namun di beberapa tempat gasing masih eksis. Tabulangox mengatakan, "Alhamdulillah, di Kalimantan masih dilestarikan. Setiap Gawai Dayak pasti ada pertandingannya."
Begitu juga di Nusa Tenggara Barat, seperti diungkapkan Lirik Channel, "Sekarang di NTB khususnya Lombok sudah ramai lagi gasing, setiap dusun atau desa sekarang lagi banyak peminatnya, bahkan sedang dipertandingkan."
Beberapa juga menghubungkan gasing dengan serial Netflix, Squid Game. Seperti diungkapkan Marta Tan, "Kalo gasing dimasukkan ke ajang permainan Squid Game season 2 mungkin akan populer lagi."
Dan juga Afrizal Dwi Ananto, "Bikin Squid Game ala Indonesia, nanti ada permainan gasingnya. Kayaknya keren buat memperkenalkan permainan tradisional Indonesia."
Chairul Umam dari KPOTI bercerita, saat mensosialisasikan permainan tradisional, banyak anak-anak yang baru melihat gasing, dan tidak tahu cara mainnya.
"Dipikir mainan buah-buahan. Usia SMP, SMA baru pertama kali lihat gasing."
"Bisa dibayangkan kalau misalnya usia segitu tidak tahu, lalu generasi seperti kami sudah lewat, siapa lagi yang akan kasih tahu? Akan habis pastinya," kata Umam.
Padahal saat diperkenalkan, kata Umam, anak-anak sangat antusias dan senang bermain gasing.
Kini 'bersembunyi' di mana?
Antropolog Semiarto Aji mengatakan, suatu budaya dan tradisi akan meredup, bersembunyi hingga punah, jika sudah tidak memiliki fungsi dan relevansi dalam kehidupan manusia.
"Puluhan tahun bahkan ratusan tahun yang lalu, gasing berjaya, tapi ketika ada segudang alternatif, gasing kehilangan fungsi dan tempat aktualisasinya. Sama seperti berbagai tradisi dan praktik tradisional lainnya," kata Semiarto.
Semiarto melakukan penelitian pada tahun 2004 tentang gasing bambu di Magelang, Jawa Tengah.
Hasilnya, gasing sebagai permainan rakyat tidak berkembang, dan berubah menjadi sekedar souvenir di tempat wisata.
"Gasing tidak adaptif, lama-lama tidak dipraktikan, dilupakan tidak, hilang tidak, tapi hidup sebagai kenangan, souvenir, benda-benda di museum saja, sayang," kata Semiarto.
Agus MD memandang, meredupnya gasing tidak lepas dari lambatnya respon dan kepedulian pemerintah pada gasing.
"Saat ada kepentingan politik baru direspon, kalau tidak ada, hanya didiamkan, kurang didukung pemerintah. Kalau didukung, sudah masuk PON gasing sekarang," katanya.
Kedua, adalah industri pembuatan gasing tradisional yang masih jarang sehingga sulit menemukan alat permainan ini.
Dari perspektif berbeda, Chairul Umam menyoroti komunitas gasing yang tidak diberdayakan.
"Dari tahun 2005 hingga sekarang, popularitas gasing menurun, bisa dibilang hampir punah. Sebabnya, komunitas bergerak sendiri dengan daya yang terbatas," katanya.
"Seperti di Kalimantan Timur, Babel, Riau, Betawi, komunitasnya itu-itu saja, tidak berkembang. Kalau meninggal, siapa yang meneruskan? Ada regenerasi tidak? Itu yang terjadi dengan Bapak Endi Aras [almarhum], kami sangat kehilangan," katanya.
Endi Aras adalah salah satu tokoh yang membawa gasing ke dunia. Pendiri Gudang Dolanan yang memiliki sekitar 600 gasing dari seluruh Indonesia itu pernah memamerkan gasing ke London, Inggris.
Apakah ada solusinya?
Mencari fungsi baru gasing dalam kehidupan masyarakat di tengah modernisasi zaman dan teknologi adalah kuncinya.
"Masyarakat modern di Jepang, Taiwan, China mengkombinasikan penggunaan teknologi tinggi dengan tradisi yang sudah ada ribuan tahun," kata Semiarto.
"Kita dalam bertransformasi menuju modernisasi meninggalkan ragam keindahan budaya masa lalu, bahkan tradisi itu sering diberi stigma ketinggalan zaman. Stigmatisasi itu yang harus dihilangkan dan memberikan fungsi baru dari budaya masa lalu," ujar Semiarto.
Chairul Umam mengatakan, masyarakat Indonesia senang dengan tantangan dan ada target yang dicapai.
Untuk itu, perlu adanya kompetisi berjenjang dari tingkat kelurahan hingga nasional seperti masuk dalam cabang olahraga di PON.
Gasing akan menjadi pencak silat dan sepak takraw yang kini menjadi olahraga internasional.
'Gasing tidak terancam punah'
Sebaliknya, pemerintah melalui Kemendikbud Ristek menolak anggapan jika gasing disebut terancam punah.
Menurut Direktur KTM Kemendikbud Ristek, Sjamsul Hadi, gasing masih memiliki tempat di masyarakat.
"Cuma karena gerakan [komunitas] menyebar, jadi tidak terlalu tampak ke permukaan," katanya.
Sjamsul mengatakan, pemerintah telah melakukan beragam upaya untuk melestarikan dan mengembangkan gasing, seperti melaksanakan kegiatan Gasing Nusantara dengan tema "Permainan Gasing dalam Tantangan" tahun 2005 di Jakarta.
"Dari pertemuan ini muncul lima butir rekomendasi, di antaranya membuat standarisasi permainan gasing secara nasional," katanya.
Setahun kemudian, dilaksanakan lokakarya yang menghasilkan dua keputusan. Pertama, mempertahankan gasing sebagai permainan tradisional dan mengembangkannya sebagai cabang olahraga. Kedua, mempertahankan keanekaragaman variasi gasing nusantara.
Tahun 2007 dilakukan Uji Petik Pedoman Pertandingan Permainan Gasing Tingkat Nasional yang kemudian disosialisasikan di delapan daerah tahun berikutnya.
Tidak berhenti, tahun 2009 diadakan pertandingan gasing, yaitu Festival Gasing Nusantara - untuk mengembangkan gasing sebagai cabang prestasi.
"Dan di tiap tahun nya kami selalu bekerja sama dengan komunitas pelestari budaya untuk memamerkan, mengedukasi dan mensosialisasikan permainan gasing," kata Sjamsul.
Kini, kata Sjamsul, Kemendikbud Ristek terus mendorong dan berupaya agar gasing masuk dalam cabang PON.
Sjamsul pun berpesan, "memainkan permainan rakyat dan olahraga tradisional bukan berarti kampungan, tapi bagaimana anak muda melatih berpikir dan menciptakan inovasi dari produk kearifan lokal bangsa Indonesia."
* Lamela, wartawan di Kalimantan Timur, dan Heru, wartawan di Bangka Belitung, berkontribusi untuk liputan ini.