Gempa Afghanistan: Kami Tak Punya Sekop untuk Keluarkan Bayi dari Reruntuhan

Konten Media Partner
14 Oktober 2023 7:00 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Shaima (25 tahun) kehilangan bayi perempuannya dalam salah satu gempa bumi yang terjadi di Afganistan pekan lalu.
zoom-in-whitePerbesar
Shaima (25 tahun) kehilangan bayi perempuannya dalam salah satu gempa bumi yang terjadi di Afganistan pekan lalu.
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Ma'souma hendak keluar untuk memberi makan domba-dombanya ketika dia terlempar ke udara. Dia kemudian melihat rumah keluarganya runtuh.
Hal berikutnya yang diingat oleh wanita berusia 45 tahun itu adalah ibu mertuanya yang menariknya menjauh dari reruntuhan.
“Rumah itu berputar di sekitar saya dan saya terlempar tiga hingga empat kali sebelum saya terkubur di bawah tumpukan tanah,” ujarnya, menggambarkan gempa bumi yang melanda rumahnya di Nayeb Rafi di Afghanistan pada Sabtu (07/10).
Ma'souma sangat terpukul saat mengetahui bencana tersebut merenggut nyawa bayi perempuannya. “Anak perempuanku yang sedang menyusui sudah tiada,” katanya dengan suara sedih.
Dia tidak tahu di mana keenam anaknya yang lain berada. “Saya tidak tahu apakah mereka bersama seseorang atau berada di kamp,” ucapnya.
“Ada 300 hingga 400 rumah di desa itu dan semuanya hilang,” tuturnya.
Tiga gempa bumi besar telah melanda Afghanistan barat dalam waktu kurang dari seminggu, menewaskan lebih dari 2.000 orang dan melukai hampir 1.800 orang, menurut PBB.
Semua gempa tersebut berdampak pada Provinsi Herat, yang berada 1.000 kilometer di sebelah barat ibu kota Kabul.
Perempuan dan anak-anak adalah korban utama gempa bumi di Afganistan.
Gempa bumi telah memblokir rute ke wilayah tersebut, menghambat aliran bantuan. Di beberapa desa, masyarakat terpaksa menggunakan tangan kosong untuk mencari korban selamat dan menemukan jenazah.
“Kami bahkan tidak punya sekop untuk mengeluarkan bayi perempuan saya. Kami kehilangan dia,” kata Shaima, warga berusia 25 tahun, yang diselamatkan oleh seorang tetangga di Desa Sia Aab. "Rumah itu baru saja runtuh menimpa kami."
Sebuah makalah tahun 2021 yang diterbitkan dalam Journal of Disaster Risk Studies menemukan bahwa sebagian besar rumah di pedesaan Afghanistan terbuat dari batu bata yang dibakar dengan mortar semen atau batu bata yang dijemur. Konsekuensinya, rumah-rumah di pedesaan Afganistan sangat rentan terhadap aktivitas seismik.
Lebih dari 90% korban tewas dalam gempa bumi ini adalah perempuan dan anak-anak, menurut PBB.
“Perempuan dan anak-anak seringkali berada di rumah, mengurus rumah tangga dan merawat anak-anak. Jadi ketika bangunan runtuh, merekalah yang paling berisiko terdampak,” kata Siddig Ibrahim, petugas lapangan yang bekerja untuk UNICEF.
Hal itulah yang terjadi pada keluarga Kubra di Desa Keshkak. Remaja berusia 17 tahun itu kehilangan 13 kerabatnya, termasuk ibu, seorang saudara perempuan, seorang bibi, dan tiga keponakan laki-laki. Pinggul dan kaki Kubra patah akibat bencana tersebut.
“Kami semua berada di dalam rumah dan tidak punya kesempatan untuk menyelamatkan diri,” katanya kepada BBC dari ranjang rumah sakit di kota Herat.
Mina menempelkan telinganya ke tanah untuk mencari orang yang selamat meski tertimbun reruntuhan.
Keluarga Mina, yang tinggal di desa yang sama dengan Ma'souma, juga ikut terpukul akibat bencana tersebut.
Rumah-rumah milik mereka runtuh jadi dia mengelilingi permukiman itu sambil menempelkan telinganya ke tanah untuk mencoba menemukan tanda-tanda kehidupan.
“Saya menemukan orang-orang dari suara tangisan mereka,” ucapnya.
“Anak-anak saya berada di bawah reruntuhan dan tidak ada seorang pun yang membantu mereka,” tuturnya.
Pada akhirnya keponakannya datang membantu dan mereka berhasil menarik 10 anak dari reruntuhan. Namun tiga putranya, dua cucunya, dan ayah mertuanya kehilangan nyawa.
Mina dan keluarganya telah dipindahkan ke kamp pengungsi di kota Herat. Dua putrinya dirawat di rumah sakit karena cedera tulang belakang dan salah satu putranya berada dalam kondisi kritis.
Wilayah ini hanya memiliki satu rumah sakit milik pemerintah yang kewalahan menangani jumlah korban jiwa, kata seorang perawat muda bernama Sahar. Dia berkata kepada BBC, kamar mayat penuh dengan cepat sehingga staf rumah sakit harus meletakkan jenazah di lantai, bahkan menumpuknya.
“Jumlah jenazah terlalu banyak. Dari bayi hingga usia 70 tahun, semua orang tergeletak di sana. Bertumpuk-tumpuk,” kata Sahar.
Sahar mengatakan, rumah sakit tersebut kesulitan menyediakan air minum untuk semua pasien. Meskipun kekacauan pekan lalu mulai mereda, staf rumah sakit kelelahan.
Satu-satunya rumah sakit milik pemerintah di wilayah tersebut kewalahan menangani bencana ini.
“Bekerja tanpa kenal lelah selama beberapa hari dan melihat begitu banyak orang tewas dan terluka telah berdampak buruk pada kesehatan mental kami,” ujar Sahar.
"Setiap orang yang datang ke sini mempunyai kisah menyakitkan tentang tragedi yang telah merenggut orang yang mereka cintai. Mereka menceritakannya kepada kami dan kami menangis bersama mereka," ucapnya.
Dalam sebuah pernyataan pada 9 Oktober lalu, Wakil Perdana Menteri Urusan Perekonomian dari pemerintahan Taliban, Abdul Ghani Baradar, mengatakan pemerintah memberikan "bantuan segera", tetapi kelompok tersebut telah meminta lebih banyak bantuan dari komunitas internasional.
Sejumlah organisasi kemanusiaan mengatakan respons yang mereka salurkan lambat karena banyak negara enggan berhubungan langsung dengan pemerintah Taliban. Perhatian juga terfokus pada konflik di Israel dan Gaza.