Konten Media Partner

Gempa Afghanistan: Sejumlah Pria Tolak Sentuh Perempuan Terluka atau Meninggal

21 Oktober 2023 8:30 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Seorang perempuan Afghanistan mengalami luka di kedua matanya akibat gempa, namun dia baru mendapat perawatan beberapa hari kemudian.
zoom-in-whitePerbesar
Seorang perempuan Afghanistan mengalami luka di kedua matanya akibat gempa, namun dia baru mendapat perawatan beberapa hari kemudian.
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) mengonfirmasi bahwa 90% dari korban meninggal dunia akibat gempa bumi di Afghanistan pada 7 Oktober silam adalah perempuan dan anak-anak.
Gempa di Provinsi Herat di bagian barat Afghanistan itu, menewaskan hampir 1.300 orang, menurut PBB.
BBC berbicara dengan para dokter, saksi mata, dan aktivis yang menuding pembatasan besar-besaran yang diberlakukan oleh Taliban adalah penyebab tingginya angka kematian perempuan.
Salma*, dokter perempuan dari Herat, mampu menjangkau daerah-daerah yang terkena dampak terburuk untuk memberikan pertolongan pertama kepada perempuan-perempuan yang terluka. Ia menjadi saksi penyebab tingginya angka kematian.
“Saya mengunjungi sebuah desa tempat tinggal anggota Taliban. Beberapa pria menolak menyentuh perempuan yang terluka atau meninggal,” ungkapnya.

Diskriminasi

Distrik Zenda Jan, terletak 40 km sebelah barat Herat, merupakan pusat gempa pertama dan paling dahsyat.
Penduduk setempat mengatakan kepada BBC bahwa tidak ada satu pun bangunan yang bertahan di 20 desa terpencil di pegunungan.
Mayoritas warga yang berada di dalam rumah ketika gempa terjadi adalah perempuan dan anak-anak.
Kaum perempuan di wilayah pedesaan Afghanistan memang lebih banyak berada di rumah pada siang hari, tetapi ketika Taliban merebut kekuasaan pada tahun 2021, mereka memberlakukan serangkaian tindakan yang melarang perempuan melakukan sebagian besar pekerjaan dan menempuh pendidikan setelah sekolah dasar.
Hal ini membuat sebagian besar perempuan harus menjalani aktivitasnya di dalam rumah.
"Para laki-laki berada di ladang atau mengawasi ternak mereka atau bermigrasi ke Iran untuk bekerja. Para perempuan di rumah melakukan pekerjaan rumah dan menjaga anak-anak. Mereka terjebak di bawah reruntuhan," kata Salma kepada BBC.
Mariam*, aktivis perempuan berusia 23 tahun, mengatakan dia juga melihat Taliban memperingatkan petugas pertolongan pertama untuk tidak menyentuh perempuan yang terdampak gempa.
“Laki-laki setempat tidak mempunyai masalah apa pun dalam menyelamatkan perempuan, namun beberapa anggota Taliban yang bersenjata tidak mengizinkan laki-laki mendekati mereka,” kata Mariam.
Seluruh bangunan berubah menjadi tumpukan puing-puing akibat gempa besar yang terjadi.
“Mereka juga melarang perempuan pergi ke daerah tersebut dalam dua atau tiga hari pertama, karena mereka tidak ingin adanya percampuran gender.”
Petugas lembaga kemanusiaan bernama Abdul* mengatakan kepada BBC bahwa Taliban tidak mengizinkan laki-laki memegang jenazah perempuan.
Saksi mata mengatakan kepada BBC bahwa sebagian besar perempuan yang meninggal dikuburkan pada hari yang sama tanpa dimandikan sebagaimana diatur dalam Islam.
Tugas tersebut harus dilakukan oleh seorang perempuan, dan banyak keluarga tidak dapat menemukan seorang pun untuk melakukannya.

Bantuan dibatasi

Para aktivis juga mengatakan bahwa pembatasan yang dilakukan Taliban menghambat pertolongan medis terhadap korban luka.
Di bawah pemerintahan Taliban, perempuan tidak diizinkan bepergian tanpa didampingi oleh kerabat laki-laki.
Fariba*, sukarelawan berusia 21 tahun, bekerja di unit gawat darurat di rumah sakit Herat dengan kapasitas 500 tempat tidur.
Dia ingin segera kembali bekerja begitu mendengar gempa tersebut. Dia mengenakan mantel panjang dan jilbabnya, lalu meninggalkan rumah menuju rumah sakit.
Namun supir taksi menolak membawanya ke sana karena dia tidak mengenakan burqa dari kepala hingga kaki dan juga tidak ditemani oleh seorang pria.
“Sopir taksi mengatakan departemen kebajikan dan kejahatan akan menyita mobil mereka dan mengenakan denda besar sebesar 10.000 Afghani (sekitar Rp2 juta) jika mereka memberi saya tumpangan. Saya berjalan selama satu jam untuk sampai ke rumah sakit,” tambahnya.
Fariba mengatakan bahwa beberapa pekan sebelum gempa terjadi, Taliban mulai menghukum pengemudi yang membawa penumpang perempuan sendirian atau mereka yang tidak mengenakan burqa.
"Taliban melarang dokter pria merawat pasien perempuan," tutur Fariba.
BBC mengetahui bahwa beberapa pejabat Taliban memang mengunjungi rumah sakit utama dan mendesak para dokter perempuan untuk bekerja – mengingat ada begitu banyak perempuan yang terluka dan dokter pria tidak dapat mengatasinya. Namun, tidak jelas bagaimana para dokter perempuan dapat melakukannya.
Saksi mata di rumah sakit mengatakan ada banyak perempuan yang terluka setelah gempa, namun sangat sedikit staf medis yang bisa memenuhi kebutuhan mereka.
Fariba menyalahkan milisi Taliban atas kejadian ini.
“Taliban melarang dokter laki-laki merawat pasien perempuan. Hal ini memberikan banyak tekanan pada sekelompok kecil dokter dan perawat perempuan,” katanya.
Dr Salma juga mengatakan Taliban mencegahnya membantu satu korban.
“Saya melihat seorang perempuan yang kepalanya bengkak tiga kali lipat dari ukuran normal – dia ada di sana bersama putranya yang berusia 10 tahun. Para dokter menyuruhnya pergi dan memeriksa kepalanya sehingga mereka dapat melihat apa yang terjadi padanya ," kata Dr Salma.
“Tetapi dia dan putranya tidak tahu ke mana harus pergi atau apa yang harus dilakukan. Terjadi kekacauan dan saya memohon kepada Taliban di rumah sakit untuk mengizinkan saya masuk sehingga saya dapat membantu, namun mereka tidak mau.”

Tanggapan Taliban

BBC menghubungi Taliban untuk meminta komentar. Juru bicara Taliban membantah anggapan bahwa kelompoknya telah menyebabkan banyak kematian, dan mengatakan bahwa tuduhan tersebut berkaitan dengan norma budaya di Afghanistan, bukan aturan yang diberlakukan kelompoknya.
“Gempa terjadi sekitar pukul 11.00: laki-laki sedang bekerja dan perempuan ada di rumah,” kata juru bicara Taliban, Zabiullah Mujahid.
“Siapa pun yang memiliki pemahaman menyeluruh tentang masyarakat Afghanistan tahu bahwa hampir 80 hingga 90% perempuan tidak bekerja dan berada di rumah.”
Mujahid mengeklaim tim bantuan Taliban tiba dalam beberapa jam dan beberapa diterbangkan dengan helikopter, namun mengakui bahwa bantuan belum menjangkau semua orang yang membutuhkan.
“Ini jelas merupakan bencana yang sangat besar dan berdampak pada banyak orang. Perekonomian Afghanistan tidak cukup baik untuk memenuhi kebutuhan semua orang sekaligus, namun kami melakukan yang terbaik,” katanya.
Ketika ditanya apakah mereka telah mengirimkan pekerja bantuan perempuan ke wilayah tersebut, dia tidak menjawab.
Bayi ini lahir tak lama setelah gempa terjadi, tanpa bantuan dari dokter dan perawat
Dr Salma mengatakan lembaga bantuan telah berhasil menyediakan makanan dan selimut, namun masih banyak yang harus dilakukan.
Puluhan perempuan yang terluka akibat gempa bumi di Afghanistan masih berjuang untuk mendapatkan pertolongan medis yang layak dua minggu kemudian.
“Banyak perempuan hamil kehilangan bayinya, dan beberapa melahirkan di tempat terbuka dan mengalami pendarahan hebat,” kata Dr Salma.
"Gadis-gadis muda terkejut dan tidak memiliki pakaian dalam atau pembalut yang bersih. Mereka sangat membutuhkan perhatian medis."
(* Nama narasumber telah diubah demi keamanan mereka.)