Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten Media Partner
Hantu-Hantu 'Toko Wong' dan Pembantaian Massal 1965-1966 di Bali – 'Ratusan Orang Ditembak Senapan Mesin'
2 Oktober 2024 9:10 WIB
Hantu-Hantu 'Toko Wong' dan Pembantaian Massal 1965-1966 di Bali – 'Ratusan Orang Ditembak Senapan Mesin'
Di Pulau Bali diyakini ada banyak kuburan massal pembantaian orang-orang komunis pada 1965-1966. Tapi masalah ini tidak pernah diselidiki dan diteliti secara resmi. Negara melupakannya dan kebanyakan masyarakat memilih bungkam. BBC News Indonesia mendatangi situs-situs kuburan massal di Bali dan mewawancarai korban, saksi dan pelaku.
Liputan ini kami bagi menjadi tiga tulisan.
Tulisan pertama memaparkan sebuah lokasi aksi kekerasan di Kota Negara, Jembrana, yang dikenal sebagai 'Toko Wong'.
Latar belakang pembantaian 1965-1966 di Bali akan menutup tulisan pertama ini.
Inilah kisahnya:
“Trataat, trataat, traaat…”
Suara rentetan tembakan senapan mesin dari dalam gedung berlantai dua di sudut Kota Negara, Jembrana, di ujung Barat Pulau Bali itu, tidak pernah hilang dari ingatannya.
Erangan orang-orang kesakitan akibat disiksa hingga suara truk-truk militer yang membawa mayat hilir mudik di depan bangunan tersebut pada malam-malam gelap, pun sulit dia enyahkan dari pikirannya.
“Kalau berbicara soal itu [pembantaian terhadap orang-orang yang dituduh anggota PKI di Bali] susah diterima akal,” kata Mustawi, kini berusia 85 tahun, setelah berjarak sekitar 59 tahun dari horor pembantaian itu.
Dia lalu menarik napas panjang.
“Tapi kenyataannya [pada 1965-1966] seperti itu.”
Intonasi suara Mustawi terdengar lirih. Dia menarik napas dalam-dalam.
Pria yang leluhurnya berasal dari Sulawesi Selatan ini lalu mencoba mengingat lagi detil-detil ‘kenyataan’ yang dia alami, saksikan atau dengar saat itu.
Begini ceritanya.
Hari itu, di malam jahanam, 2 Desember 1965, Mustawi berada tak jauh dari bangunan itu.
Ketika itu usianya 26 tahun dan berseragam Ansor, organisasi pemuda Nahdlatul Ulama (NU).
Dia lahir dan tumbuh besar di Desa Loloan Timur di sudut Kota Negara, Jembrana, Provinsi Bali.
Kebanyakan warga yang tinggal di desanya adalah Muslim. Leluhur mereka berasal dari Sulawesi Selatan, Madura dan Jawa. Mereka bertetangga dengan desa atau kampung yang mayoritas Hindhu.
Seperti dialami kebanyakan orang-orang di masa itu. Mustawi tak bisa mengelak dari pusaran gejolak politik setelah kudeta politik yang gagal di Jakarta.
Mustawi pun terseret dalam atmosfer pertarungan politik kekuasaan yang digerakkan dari Jakarta.
Setelah Presiden Sukarno berangsur-angsur kehilangan legitimasinya, lahir keputusan dari markas Angkatan Darat di ibu kota untuk "memberantas PKI sampai ke akar-akarnya".
Dalam sekejap, sebagai tertuduh utama peristiwa kekerasan itu, PKI kemudian menjadi pesakitan. Partai itu hancur lebur dalam waktu singkat—termasuk di Bali.
Didukung negara-negara Barat yang antikomunis, Angkatan Darat seperti menemukan dalih untuk menghancurkan orang-orang komunis—musuh bebuyutannya.
Para pentolan hingga simpatisan partai berlogo palu dan arit itu pun diburuh dan dibantai.
Pada pekan-pekan pertama setelah gerakan kudeta yang gagal itu, Jawa Tengah, Jawa Timur menjadi ladang pembantaian terbesar.
Dua bulan kemudian, terutama setelah pimpinan Angkatan mengirim 'pasukan elitenya'—Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD)—ke pulau itu, giliran orang-orang yang dicap komunis di Bali dibantai habis-habisan.
Konflik lama tingkat lokal antara elite Partai Nasional Indonesia (PNI) dengan pentolan dan simpatisan PKI, pun ikut mewarnai.
Di Bali, bukan rahasia lagi, tuan-tuan tanah identik dengan PNI, sementara petani melarat banyak berlabuh ke partai berlambang palu arit.
Semuanya berkelindan menjadi satu, dan korban orang-orang komunis pun berjatuhan.
Sejak Desember 1965 hingga beberapa bulan kemudian, diperkirakan korban tewas yang dibantai di Bali mencapai 80.000 orang.
“Atau sekitar 5% penduduk Bali yang berjumlah kurang dari dua jiwa [saat itu],” tulis Geoffrey Robinson dalam bukunya Sisi Gelap Pulau Dewata, Sejarah Kekerasan Politik (2006).
Dan sosok Mustawi tak bisa mengelak dari semua itu.
Tumbuh besar di komunitas Muslim di kampungnya, yang dilatari konflik lokal dan barangkali fanatisme agama, dia berada di barisan antikomunis dan mendukung langkah-langkah Angkatan Darat.
"Kita bantu ABRI [Angkatan Bersenjata Republik Indonesia] lah. Ansor dan ABRI itu laksana kuku dan daging," kata Mustawi kepada saya dan videografer Oki Budi, di rumahnya, Jumat, 6 September 2024.
Tugasnya tidak main-main: Mulai membunuh, menjemput dan menahan paksa, hingga melakukan penjagaan.
Dan di malam itu, dia bersama anggota Ansor lainnya, juga kelompok milisi antikomunis lainnya, serta militer, berjaga-jaga di depan gedung tersebut.
Lokasinya terletak di pusat keramaian Kota Negara, Jembrana. Di sana banyak tinggal orang-orang Tionghoa dan peranakan Arab.
Nama gedung itu kelak terkenal dengan sebutan 'Toko Wong'.
Sebelum disulap oleh militer menjadi tempat tahanan bagi orang-orang yang dicap Partai Komunis Indonesia (PKI), dulu adalah toko kelontong milik seorang Tionghoa.
Pemilik sebelumnya disebutkan bernama Wi Bian Chie.
Dia disebut berafiliasi dengan PKI dan melarikan diri setelah kudeta yang gagal di Jakarta.
Dan sehari sebelum pembantaian, Mustawi dan barisan antikomunis lainnya menyerahkan 27 orang yang dicap PKI kepada petugas militer.
Mereka dijemput dari kampung atau desa-desa terdekat.
Para tentara itu kemudian membawa para pesakitan itu dengan dinaikkan ke truk-truk untuk digelandang menuju Toko Wong.
Orang-orang PKI yang dicokok di desa-desa lainnya juga sebagian dibawa oleh kelompok milisi lainnya ke gedung itu.
Di ruang-ruang di dalamnya, sudah ada lebih dari 200 orang tahanan. Mereka
Lalu pembantaian sekitar 300 orang yang dituduh PKI itu pun dimulai…
“Ditembak semua orang-orang PKI [Partai Komunis Indonesia] di dalam Toko Wong ini,” seru Mustawi, bola mata dan tangannya mengarah ke arah bangunan di depan rumahnya.
Mereka mulai diberondong dengan senapan mesin sekitar pukul sembilan malam.
Dua jam kemudian, menurutnya, mayat-mayat sudah diangkut dengan truk-truk militer untuk dikubur atau dibuang di sejumlah tempat di Jembrana.
“Saya tidak tahu dibawa ke mana,” akunya.
Penelitian Ngurah Suryawan dalam buku Ladang Hitam Di Pulau Dewa: Pembantaian Massal di Bali 1965 (2007) menyebutkan ratusan mayat itu sebagian ditanam di setra (kuburan) Kota Negara, sumur-sumur penduduk di wilayah Melaya dan Pantai Candikusuma.
Mustawi menyebut sebagian tahanan yang tewas dimasukkan ke dalam sumur di halaman belakang Toko Wong.
“Memang ada sumur. Taruh [mayatnya] sumur di sana. Karena penuh [sumurnya], [mayat lainnya] di bawah keluar,” bebernya.
Cerita lisan yang tersebar dari mulut ke mulut, menyebutkan, setelah pembantaian itu, ceceran darah di beberapa ruangan Toko Wong mencapai tumit kaki dan bahkan lutut.
Apakah benar seperti itu? Kami bertanya kepada Mustawi.
“Ndak, darah mengalir biasa sampai keluar. Tidaklah sampai selutut.”
Mustawi mengeklaim tidak ikut membantai orang-orang tertuduh PKI di dalam bangunan itu. Dia mengaku tidak boleh masuk ke dalam toko tersebut.
Saat ditanya apakah tindakan aparat militer memberondong sampai mati para tahanan di Toko Wong itu lantaran para tertuduh PKI itu dianggap memberontak dan hendak kabur, Mustawi meragukannya.
“Memang sudah direncanakan [oleh militer], karena sudah penuh [ruangan tahanan di Toko Wong]. Mau dibawa ke mana lagi?” ujarnya.
Keterangan Mustawi ini berbeda dengan catatan sejarah Wayan Reken yang dikutip I Ngurah Suryawan di bukunya.
Dalam buku itu, Reken disebut mengeklaim bahwa Front Pancasila—gabungan berbagai milisi PNI, NU dan beberapa organisasi lainnya—menemukan dokumen milik PKI di rumah salah-seorang simpatisannya di Desa Kebon-Dewa, Jembrana.
Klaim penemuan dokumen milik PKI ini muncul setelah terjadi insiden terbunuhnya seorang intel Angkatan Darat dan dua pemuda Ansor di Desa Tegalbadeng, Jembrana, 30 November 1965, oleh para anggota PKI.
Ini terjadi akibat bentrokan setelah pihak berwenang yang didukung kelompok milisi PNI dan Ansor mencurigai sejumlah simpatisan PKI menggelar rapat gelap.
Kelak peristiwa Tegalbadeng ini diklaim sebagai pemicu kemarahan yang bersifat spontan terhadap PKI di seantero Bali.
Namun sejumlah sejarawan, dalam penelitiannya yang terbaru, menganggap klaim itu minim bukti.
Penelitian sejarawan Geoffrey Robinson pada 1995 dan 2018 dan John Roosa pada 2020 justru mengindikasikan bahwa Angkatan Darat dan pimpinan partai mendalangi dan menghasut kekerasan di pulau itu.
Bagi sejarawan John Roosa dalam bukunya Riwayat Terkubur: Kekerasan antikomunis 1965-1966 di Indonesia (2024), insiden Tegalbadeng menjadi dalih untuk pembunuhan massal di Bali.
"Sama seperti G30S menjadi dalih untuk pembunuhan massal di seluruh Indonesia," kata Roosa.
Kembali lagi ke dokumen yang diklaim milik PKI.
Intinya, menurut Reken, dokumen itu membeberkan rencana PKI untuk menyerang kampung-kampung muslim, markas tentara, hingga membebaskan orang-orang PKI yang ditahan di Toko Wong.
Dalam catatan Wayan Reken, sekitar pukul 18.00, 2 Desember 1965, para tahanan PKI yang berjumlah 276 orang di Toko Wong bikin ulah.
Mereka disebutkan melakukan mogok makan. Ujungnya, mereka dilaporkan hendak kabur dengan cara menerobos penjagaan.
“Penerobosan ini diadang oleh tembakan-tembakan bren (senapan mesin ringan) yang telah disiapkan,“ tulis Suryawan, mengutip catatan Reken. Disebutkan 276 orang itu tewas.
Tetapi saksi lain, Ketut Reden, yang diwawancarai Suryawan, meragukan keterangan Wayan Reken. Dia mempertanyakan alasan para tawanan itu ditembak di Toko Wong lantaran melawan.
Menurutnya, mustahil apabila tawanan melawan para penjaga. Sejak awal, bagi Reden, para tawanan itu tidak pernah melawan saat ditangkap.
Namun Reken tidak membantah bahwa para tahanan yang berjumlah sekitar 200 anggota dan simpatisan PKI akan dibantai.
Dia tidak tahu alasannya, tetapi dia sering mendengar suara jeritan dan bunyi tembakan berulang. Rumahnya memang berdekatan dengan Toko Wong.
“Ada keyakinan umum ketika itu, orang yang masuk ke dalam Toko Wong tidak akan pernah keluar,” ujar Reken seperti dikutip Ngurah Suryawan.
Sejarawan John Roosa, dalam bukunya Riwayat Terkubur: Kekerasan antikomunis 1965-1966 di Indonesia (2024), menyebut apa yang melatari pembantaian di Toko Wong.
Roosa menulis, sekitar tiga ratus pendukung PKI yang telah berminggu-minggu ditahan oleh polisi dan Angkatan Darat di Toko Wong "dibawah keluar secara berkelompok dan dieksekusi di dekat pantai yang sepi..."
"Mereka sama-sekali tidak terkait dengan kejadian di Tegalbadeng dan tidak merencanakan pemberontakan: mereka tidak mencoba melarikan diri dari Toko Wong dan justru berlindung di sana, karena menduga akan dilindungi polisi dan Angkatan Darat," papar Roosa.
Walaupun mengaku tidak dibolehkan masuk ke dalam Toko Wong, Mustawi mengetahui di dalamnya ada ruang-ruang kecil.
Satu ruangan tahanan diisi sampai 50-an orang, kali ini kata Ketut Reden.
“Jadi orang untuk duduk sudah tidak bisa, sudah penuh,“ ungkap Mustawi.
Dia memperkirakan ada sekitar 300 orang yang ditahan di rumah berlantai dua itu. Mereka semua diminta membuka baju, tapi tidak diikat tangannya.
Apakah ada tahanan anggota Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) yang ditempatkan di sana? Tanya saya.
“Ndak ada, semua laki.”
Dalam menjawab pertanyaan kami, sesekali Mustawi tertawa kecil, termasuk ketika saya bertanya apakah dirinya sempat masuk ke Toko Wong setelah pembantaian berakhir.
“Tidak, jijik, tidak mau ke sana.”
Sambil tertawa kecil, Mustawi lalu tiba-tiba teringat ada kejadian salah tangkap. Pria itu bernama Syamsuri asal Desa Gilimanuk, Jembrana.
Dia diciduk dan digelandang ke Toko Wong. “Salah ambil, [ternyata] dia Ansor,” ungkapnya lalu tergelak.
“Panjang umur dia.”
Namun saat wawancara, mimik Mustawi kadang berubah serius, lalu terlontar kata-kata “saya menyayangkan”.
Dia beberapa kali mengeluarkan kata "menyayangkan" ketika ada kasus-kasus pembantaian yang dilatari sentimen pribadi.
“Orang-orang yang diambil banyaklah [yang didasari] sentimen. Luar biasa di sini,” ungkapnya singkat.
Juga Mustawi tak kuasa menahan sedih ketika melihat tentara menembaki orang-orang yang dituduh PKI tanpa dibuktikan terlebih dahulu.
Sejumlah anggota Angkatan Darat mencegat sebuah kendaraan dari Denpasar dan penumpang diminta turun, lalu ditembak semua.
Tindakan keji ini dilatari insiden di Desa Tegalbadeng, beberapa hari sebelumnya.
Di desa itu, massa PKI dilaporkan bentrok dengan massa antikomunis.
Korban tewas dua orang di pihak Ansor dan satu orang intel Angkatan Darat. Kemarahan pun menggelegak di pihak antikomunis.
Dan inilah momen tepat untuk mulai membantai orang-orang komunis di Bali. Aksi bengis tentara Angkatan Darat di sudut Kota Negara itu tadi adalah satu buktinya.
Dan Mustawi berada di sana.
“Bagaimana mereka [tentara] itu tahu kalau mereka PKI, wong mereka masih di dalam mobil,” kata Mustawi. “Kok jadi begini.”
Dia kemudian merasa tidak nyaman untuk melanjutkan cerita itu. "Sudahlah."
Sekitar 59 tahun setelah kejadian berdarah-darah di kotanya, Mustawi tak juga mampu menghilangkan pengalaman mengerikan itu.
'Inilah sumur tempat mayat-mayat dibuang'
Ega Tapakut Tirta, kelahiran 1968, bersama istri, satu anaknya, serta dua orang keponakannya, sudah tinggal bertahun-tahun di rumah yang dikenal sebagai Toko Wong di Kota Negara, Jembrana, Bali.
Ruang-ruang yang dulu dijadikan ruang tahanan orang-orang yang dituduh anggota Partai Komunis Indonesia (PKI), mereka ubah menjadi kamar tidur. Di siang dan malam hari, mereka tidur di sana.
Rumah itu dibeli oleh ayahnya, Wayan Santiada Tirta (kelahiran 1930) pada 1975 setelah lama dibiarkan kosong. Tiga tahun sebelumnya mereka menyewanya.
Semenjak 1972, mereka menempati rumah berlantai dua tersebut. Bangunan itu masih menyisakan interior masa lalunya yang sebagian tidak terurus, walaupun sebagian kecil sudah diubah.
“Ada empat kamar yang masih kami tempati,” kata Ega kepada saya dan videografer Oki Budi, Jumat, 6 September 2024 lalu.
Kami diizinkan masuk ke dalam beberapa ruangan di dalam Toko Wong. Kami diperbolehkan mengambil foto dan video serta wawancara.
Ega mewarisi kisah-kisah lisan dari ayahnya, para tetangga, serta orang-orang di sekitarnya, tentang sejarah kelam dan segala hal tindak kekerasan terkait rumah tersebut.
Ada sudut-sudut di rumah itu yang menjadi pengingat bahwa di sana pernah terjadi tindakan bengis.
Sumur tua yang dulu untuk membuang setidaknya delapan atau 10 jenazah tahanan PKI masih bisa dijumpai, walau atapnya sudah ditutupi beton.
Di dalamnya, kamar-kamar kecil yang dulu disulap menjadi ruang tahanan masih ditempati Ega dan keluarganya.
Adapun tangga besi yang dulu dijadikan lokasi penembakan seorang tahahan yang berusaha kabur sudah dibongkar.
Setelah diberi izin untuk masuk ke dalam Toko Wong, tentu saja, kami penasaran keberadaan sumur tua—tempat mayat-mayat itu dibuang.
“Ini bekas sumur. Makanya diberi tanda untuk sembahyang,“ kata Ega saat mengajak kami mendatangi lokasi sumur itu. Letaknya di sisi kanan di halaman belakang rumah itu.
Ketika mereka pindah ke Toko Wong pada 1972, sumur itu sudah diuruk dengan tanah dan ditutup beton.
“Kayaknya ada 10 tahanan yang dibuang di sini,“ ungkapnya. “Mungkin pentolan-pentolannya yang dikubur di sini. “
Tulang-belulang jenazahnya sudah diambil oleh keluarganya sebelum 1980-an.
Sebelum tulang-tulangnya diambil dan diaben (diperabukan), mereka rajin memasang sesajen di atas sumur tersebut.
“Dulu anak dan cucunya sering sembahyang di sini," Ega berkisah.
Setelahnya, keluarga para korban kekerasan 1965 itu tak pernah datang lagi ke Toko Wong.
Ega kemudian mengajak kami ke bekas lokasi tangga vertikal di sudut ruangan tengah.
“Ada yang lari dari sana, lalu ditembak,“ ungkapnya. Saat ini tangga yang terbuat dari besi itu sudah dibongkar.
"Terlalu curam, sehingga susah naiknya.“
Kami lantas mengajukan pertanyaan: Apakah Anda pernah pernah mengalami peristiwa aneh selama tinggal di Toko Wong?
Ega sempat diam beberapa detik, lalu menjawab. “Ndak ada sih.“
“Biasa sih. Mungkin saya nurun bapak ya [yang disebutnya pemberani]. Ndak tahu kalo orang lain ke sini,“ Ega kemudian tertawa.
Sampai tahun 1970-an, rumah ini dibiarkan atau sengaja dikosongkan. Konon, pemilik rumah sebelumnya tidak berani menempatinya.
“Takut mungkin ya.”
Dia lalu melanjutkan: “Dulu [Toko Wong] sempat dijadikan gereja Pantekosta di sini.”
Sang pendeta, lanjutnya, sempat melakukan apa yang disebutnya semacam ritual di sudut-sudut Toko Wong.
“Biar tidak ada yang menganggu.”
Ketika ayah Ega memboyong istri dan anak-anaknya untuk tinggal di Toko Wong, aktivitas gereja itu sudah tidak ada lagi.
Tapi mengapa rumah ini disebut Toko Wong?
Ega tak memiliki jawaban pasti.
“Wong itu kan artinya manusia dalam bahasa Bali dan Jawa. Barangkali itu merujuk pada orang-orang yang dibunuh di sini.”
Seperti yang dikisahkan Mustawi, Ega juga memiliki warisan cerita lisan yang relatif sama tentang masa lalu Toko Wong.
Para tahanan itu dicap sebagai anggota PKI. Mereka diambil dari sejumlah desa di Kota Negara dan sekitarnya, lalu setelah terkumpul banyak, mereka dihabisi di sana.
Mayat-mayatnya kemudian dinaikkan ke dalam truk untuk dibuang atau dikubur di tempat lain. Ada pula mayat tahanan yang dibuang di sumur di rumah itu.
Setelah tragedi pembantaian itu, tidak ada yang berani lewat di depan Toko Wong. Jam lima sore sudah sepi, aku Ega.
“Setelah bapak saya pindah ke sini, baru orang-orang berani lewat di depannya,” ungkapnya.
“Bapak saya kan bukan penakut. Malah dia suruh cari mana arwah gentayangannya,” Ega lalu tertawa kecil.
Kesaksian adanya pembantaian di Toko Wong pun dibenarkan oleh orang yang dulu menjadi 'tukang jagal'.
Anak-anak tukang jagal itu, ternyata, menjadi teman anak-anaknya. Merekalah yang kemudian berkisah.
“Bapaknya cerita, ‘Wuuih, dulu bapak tukang ‘habisi’ orang-orang di sana."
“Ya soalnya dulu bapak tentara disuruh pimpinan untuk nembak. Bapak menjalankan tugas,” ungkap Ega mengisahkan ulang cerita dari anak-anak eks algojo Toko Wong
Dari cerita sang bapak itulah, diduga ada lebih dari 100 orang tahanan yang dibantai di Toko Wong.
Ketika kami diizinkan masuk ke ruangan dalam Toko Wong, kami bertemu Suanjaya Tirta. Pria kelahiran 1999 ini adalah keponakan Ega. Dia salah-satu anak kakaknya.
Suan—demikian panggilannya—tinggal bersama keluarga Ega di rumah itu. Dia menempati di salah satu ruangannya. Kami diajak masuk ke dalamnya.
Dari cerita kakeknya, juga para tetangga, dan algojo Toko Wong (bapak temannya), Suen mengajak kami ke ruangan yang dulu dijadikan lokasi penembakan.
“Di area tengah, di sekitar ini,“ Suan menunjuk ruangan tengah yang luas.
Sebelum dicat ulang, menurutnya, di sudut-sudut tembok ruangan tengah dulu ada lubang-lubang kecil bekas tembakan.
Tentang jumlah tahanan yang ditembak dan mayatnya dibuang di sumur di belakang rumahnya, Suan menyebut delapan orang. Lima lelaki dan sisanya perempuan.
“Salah-satunya anggota PKI di sekitar sini. Dia dieksekusi di sini,” ungkapnya.
Dari cerita lisan yang diwariskan secara turun temurun, Suan, mendapat cerita ada seorang tahanan berusaha kabur. Dia melalui tembok belakang. “Ketahuan, langsung ditembak.”
Kami lantas diajak Suan ke kamarnya. Luasnya sekitar tiga kali empat meter. Ada jendela dengan terali besi. Ada pula patung kecil Bunda Maria dan salib. Temboknya terlihat kokoh dan tebal.
”Ini dulu bekas ruang tahanan,” ungkapnya.
”Dan saya tidur di sini. Sudah biasa.”
Suan lalu bercerita, ketika berumur sekitar empat tahun, dia pernah melihat sosok perempuan yang berdarah-darah dengan jalan kakinya diseret.
Di lain waktu, dia mengaku mendengar suara orang minta "tolong" di belakang rumah.
Pada momen berbeda, Suan mengaku pernah mendengar suara sepatu lars tentara dari lantai dua.
”Sekarang tidak ada lagi,” aku Suanjaya dengan kalimat datar.
'Pembantaian dimulai setelah RPKAD dikirim ke Bali'
Setelah telunjuk diarahkan oleh pimpinan Angkatan Darat ke arah PKI sebagai pihak tertuduh dalam kudeta yang gagal pada 1 Oktober 1965, gelombang pembantaian massal terhadap orang-orang yang dicap ‘merah’, simpatisan, anggota, atau pimpinan partai itu, pun dimulai.
Dimulai dari Aceh , lalu meledak di Jawa Tengah, Jawa Timur, hingga Bali.
Sebagian sejarawan memperkirakan korban pembantaian massal antikomunis di Indonesia antara 500.000 hingga 1.000.000 orang.
Adapun di Bali, jumlah korban diperkirakan sampai 80.000 orang.
“Atau sekitar 5% penduduk Bali yang berjumlah kurang dari dua jiwa [saat itu],” tulis Geoffrey Robinson dalam Sisi Gelap Pulau Dewata, Sejarah Kekerasan Politik (2006).
Kekerasan di Bali, menurut salah-satu laporan pertama yang ditulis seorang mahasiswa sejarah, Soe Hok Gie, pada akhir 1967, “rentetan pembantaian yang tidak tertandingi di masa modern.”
“Karena terjadi dalam waktu yang begitu singkat, dan begitu banyak yang terbunuh,” tulisnya.
Soe Hok Gie menulis artikel ini dengan menggunakan nama samaran ‘Dewa‘. Semula akan diterbitkan di Surat Kabar Mahasiswa Indonesia, namun tidak pernah benar-benar dipublikasikan.
Belakangan, tulisan itu dimuat sejarawan Robert Cribb dalam bukunya The Indonesian Killings of 1965-1966: Studies from Java and Bali (1990)—10 tahun kemudian, buku ini diterjemahkan ke Bahasa Indonesia.
“Apakah ini perang? Bukan,” tulis Soe Hok Gie dalam artikel berjudul Pembantaian di Bali di buku itu. Pembantaian itu bukanlah akibat dari perang, tambahnya.
Dalam perang, meskipun kedua pihak yang berhadapan tidak seimbang, mereka akan selalu berusaha menyerang atau paling tidak mempertahankan diri dengan berbagai cara.
“Apa yang terjadi di Bali tidak seperti itu,” ujarnya.
“Penyembelihan atau pembantaian adalah istilah yang tepat untuk menggambarkan apa yang terjadi,” demikian kesimpulan Soe Hok Gie.
Namun berbeda dengan pembunuhan massal di Jawa Tengah dan Jawa Timur yang digelar sejak awal Oktober 1965, pembantaian di Bali justru baru di mulai pada Desember 1965, kata sejarawan Geoffrey Robinson.
Yaitu, “ketika persekutuan politik dan militer di tingkat nasional maupun lokal sudah semakin telak berubah menentang PKI,” tulisnya dalam buku Sisi Gelap Pulau Dewata, Sejarah Kekerasan Politik (2006).
Dalam dua pertama, Oktober dan November 1965, di Bali, kampanye gencar oleh pimpinan Angkatan Darat dalam menentang PKI berdampak pada perimbangan kekuatan-kekuatan politik di pulau itu.
Robinson berujar, kerja sama yang diperbarui antara komando militer lokal dan PNI menyudutkan Gubernur Bali Suteja, PKI, dan partai-partai kiri lainnya.
“Perubahan ini merupakan salah-satu prakondisi struktural bagi pembantaian yang dimulai pada bulan Desember, tapi tak cukup untuk memicu pembunuhan yang merajela,“ paparnya.
Sebelum kedatangan RPKAD yang dikirim dari Jawa pada awal Desember 1965, sambungnya, kekerasan politik di Bali hingga batas tertentu masih tertahan oleh “ketegangan yang mengalami kebuntuan antara berbagai kekuatan politik yang bersaing di tingkat lokal“.
Insiden di Desa Tegalbadeng, Jembrana, 30 November 1965, antara simpatisan PKI dan penentangnya, mengakibatkan seorang intel Angkatan Darat dan dua pemuda Ansor tewas, dianggap sebagai penyulut pembantaian di Bali di bulan-bulan berikutnya.
Di sinilah muncul analisa bahwa pembantaian di Bali sebagai kekerasan spontan. Interpretasi seperti ini banyak didasarkan liputan sejumlah media asing tidak lama setelah pembantaian di Bali, menyebut, apa yang terjadi di sana sebagai dendam kesemat terhadap kaum komunis.
Mereka lalu meyakini kehadiran RPKAD untuk menghentikan pembunuhan oleh massa yang kalap. Laporan-laporan seperti inilah yang dipertanyakan sejarawan John Roosa.
Dalam bukunya Riwayat Terkubur: Kekerasan Antikomunis 1965 di Indonesia (2024), Roosa menyebut hal itu menyiratkan “betapa buruk kualitas literatur mengenai kekerasan 1965-1966.”
Sebaliknya, dalam temuan Roosa, setelah Gubernur Bali Sutedja tersingkir dan Panglima Kodam Udayana Brigjen Sjafiuddin tergeser, pasukan RPKAD yang dikirim ke Bali “bebas bekerjasama dengan personel Angkatan Darat di bawah Komando Teritorial dan PNI.
“Khususnya dengan milisinya, para tameng, untuk mengatur pembunuhan besar-besaran terhadap para anggota PKI [di Bali],” jelasnya.