Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Harapan Ramadan Pengikut Ahmadiyah di Lombok yang Belasan Tahun Mengungsi – “Rumah Itu Surga di Dunia”
19 April 2023 8:40 WIB
Harapan Ramadan Pengikut Ahmadiyah di Lombok yang Belasan Tahun Mengungsi – “Rumah Itu Surga di Dunia”
Bulan Ramadan tahun ini tidak ada bedanya dengan belasan Ramadan sebelumnya. Pengikut Ahmadiyah di Wisma Transito, Mataram, Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB) masih ‘mengungsi di kampung halaman sendiri’ akibat perbedaan keyakinan.
Janji-janji pemerintah yang akan memberikan mereka tempat tinggal yang layak, disebut penanggung jawab pengungsi Syahidin, hanyalah retorika semata. Sejak mengungsi hingga sekarang, dia mengatakan, tidak ada satupun dari mereka yang mendapat rumah dari pemerintah.
Bahkan beberapa di antara pengungsi terlahir dan besar di aula Transito yang disulap dengan triplek menjadi ruang-ruang tinggal antarkeluarga. Satu di antaranya mengaku tidak mengenal arti privasi dan rumah sebagai ruang keluarga.
Setara Institute, organisasi pembela kebebasan beragama, meminta pemerintah pusat maupun daerah untuk membuat jalan keluar bagi para korban dengan menyediakan tempat tinggal yang layak dan mengintegrasikan pengungsi dengan masyarakat luas.
Di sisi lain, Kepala Dinas Sosial Provinsi NTB, Ahsanul Khalik, mengaku bahwa pengurusan sertifikat bagi para pengungsi yang memiliki tanah di luar wilayah konfik sedang berproses, untuk kemudian dibangun rumah oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
Kementerian Agama mengatakan bahwa Pusat Kerukunan Umat Beragam (PKUB) telah bekerja sama dengan kementerian terkait untuk membangun rumah sementara yang layak huni bagi pengungsi Ahmadiyah tersebut.
Kekerasan terhadap jemaat Ahmadiyah di Lombok, setidaknya tercatat, telah terjadi sejak 1999, 2001, dan 2006. Kini, terdapat 30 kepala keluarga (KK), dengan total 115 jiwa yang tinggal di Wisma Transito yang menunggu uluran tangan pemerintah mencari jalan pulang kembali ke rumah.
Asa pengungsi, “Rumah itu surga di dunia”
Sekelompok anak-anak terlihat bermain bola di sebuah lapangan, di depan Asrama Transito, Majeluk, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), pada Selasa sore (18/04).
Sementara di sekitar aula asrama, yang telah berdiri selama 16 tahun, sebagian anak-anak sedang bermain kejar-kejaran.
Kompleks ini adalah tempat tinggal bagi ratusan pengikut Ahmadiyah yang terusir dari kampung halaman mereka belasan tahun yang lalu.
Di dalam aula, terdapat kamar-kamar berukuran 2x3 meter yang disekat oleh triplek kayu di mana sejumlah orang tua terlihat tengah beristirahat. Dulu, sekat antarkeluarga menggunakan kain hingga spanduk.
Di samping asrama, beberapa perempuan tengah sibuk menyiapkan makanan untuk berbuka puasa di dapur umum yang dibangun dari triplek dan seng.
Di ujung asrama, Munikah sedang berjaga di depan warungnya yang menjual kebutuhan pokok. Ibu lima anak itu berasal dari Desa Ketapang, Lombok, yang terusir dari kampungnya pada 2006 lalu karena memeluk Ahmadiyah.
“Di sini rasanya aman, Salat Jumat, Salat Ied, beribadah aman, tidak ada yang ganggu. Warga sekitar baik-baik,” kata Munikah di Wisma Transito, Selasa (18/04).
“Tidak mau [kembali ke Ketapang] kalau tidak ada jaminan keamanan. Kalau ada jaminan, bebas seperti orang lain, mungkin [mau]. Tapi kalau tidak ada, tidak berani, sudah trauma,” ujarnya kepada wartawan Abdul Latief Apriaman yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
Di tengah kesibukannya menutup toko untuk berbuka puasa, Munikah menuturkan bahwa ibadah Ramadan tahun ini berbeda dari sebelumnya, bahkan lebih sepi dibandingkan saat pandemi Covid-19 lalu.
“Kami tidak buat kue Lebaran, lagi sepi. Pas Corona kemarin tidak sebegini ekonominya. Sekarang Corona sudah berakhir, ekonomi merosot,” katanya yang memberikan nama salah satu anaknya yang lahir di pengungsian, Sinta.
Munikah memberikan nama anaknya Sinta karena pada tahun 2007, puasa pertama di pengungsian, istri Presiden Indonesia Gus Dur, Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid, mengunjungi mereka.
Selain perekonomian yang lesu, dia menambahkan bahwa pengungsi mendapatkan beras 10kg dari pemerintah daerah, jauh lebih kecil dari tahun sebelumnya.
Di sela-sela aktivitasnya, Munikah menceritakan harapan terbesar dalam hidupnya, yaitu memiliki rumah sendiri.
“Saya melahirkan di sini, anak saya menikah di sini, dan sampai punya cucu di sini. Tempatnya segitu saja. Kalau kami punya rumah sendiri itu seperti surga. Rumah itu surga di dunia, kami ingin hidup tenang dan bahagia,” katanya.
Namun, dia tidak mampu membeli rumah karena simpanan mereka telah hilang akibat kekerasan yang lalu. Harapan satu-satunya adalah pemerintah.
“Uang kami tidak ada lagi karena habis di jalan. Kami punya uang sedikit dan diam di sana, sebentar digusur, dibakar, kan habis jadinya. Sekarang sudah tangan kosong, tidak punya modal untuk beli tanah, rumah,” ujarnya yang kini suaminya sudah tidak bekerja lagi.
Anak yang terlahir di pengungsian: “Saya minder kalau ajak teman main ke rumah”
Kini, terdapat sekitar 30 kepala keluarga (KK) - yang terdiri dari 115 pengikut Ahmadiyah dari berbagai daerah di pulau Lombok - yang mendiami asrama Transito, termasuk puluhan anak-anak yang terlahir dan tumbuh remaja di sana.
Salah satunya adalah Maryam, 16 tahun, putri Syahidin, penanggung jawab para pengungsi di wisma itu.
Dengan seizin dan didampingi Syahidin, BBC News Indonesia mewawancarai Maryam untuk menceritakan pengalaman hidupnya yang terlahir di pengungsian.
Pada Ramadan tahun ini, Maryam bercerita jarang bermain di luar rumah. “Pagi saya kadang tidur, lalu mengaji. Jarang mau main karena takut capek nanti,” katanya diiringi tawa.
Di sela tawa itu, Maryam membagikan kesedihannya sebagai anak yang lahir dan besar di pengungsian.
“Saya suka minder kalau ajak teman-teman sekolah main ke rumah karena tahu ini bukan rumah kami, bukan tanah kami. Saya jadi malu,” katanya.
Maryam pun mengaku tidak mengenal arti privasi dan rumah sebagai ruang keluarga karena di sepanjang hidupnya dia selalu hidup bersama dengan keluarga lain.
Dia menyimpan harapan sederhana. Dia ingin keluarganya memiliki rumah dan tanah sendiri agar bisa mengajak teman-temannya bermain di kamar pribadinya.
“Saya ingin cepat-cepat bisa keluar dari sini, punya rumah, tanah sendiri, kamar sendiri. Semoga pemerintah bisa sadar bahwa masih ada warga mengungsi tidak punya rumah. Saya ingin pemerintah peduli sama kami,” ujarnya.
Wakil Ketua Setara Institute, Bonar Tigor Naipospos, mengatakan, apa yang diungkapkan Maryam merupakan satu dari beragam dampak negatif yang muncul akibat terampasnya hak dasar seorang warga negara, khususnya anak, yaitu memiliki tempat tinggal.
“Anak-anak yang ada di asrama itu tentu akan mengalami kondisi psikologis tertentu yang menimbulkan rasa diskriminiasi. Apalagi kondisi di sana buruk, dapur di luar, mereka ditempatkan di ruang yang disekat triplek, kardus,” katanya.
Untuk itu, Bonar mengatakan, anak-anak itu perlu diintegrasi dengan masyarakat luas sehingga merasa menjadi bagian dari warga negara Indonesia.
“Beragama ini bukan toleransi semata, tapi juga kesetaraan. Mereka harus dilihat sebagai warga negara yang punya kewajiban dan hak yang sama, jangan dilihat berdasarkan agamanya saja. Apakah pemerintah mempunyai kepedulian dan keberanian politik untuk memberikan terobosan yang terlihat selalu tidak ada,” ujarnya.
‘Mengungsi di kampung halaman sendiri’
Penanggung jawab Wisma Transito, Syahidin, mengatakan, hingga kini belum ada tindak lanjut atas janji-janji pemerintah yang akan merelokasi mereka.
Sebaliknya, Syahidin menjelaskan, komunikasi terakhir dengan pemerintah adalah pengungsi akan diberikan bantuan pembangunan rumah, namun itu hanya diperuntukkan bagi mereka yang memiliki sertifikat tanah di luar wilayah yang konflik.
Padahal, kata Syahidin, setiap pengungsi berharap agar diberikan rumah karena banyak di antara mereka yang tidak memiliki tanah.
“Memberikan rumah itu hanya retorika, tidak pernah terlaksana sampai saat ini. Dari tahun 2008 hingga sekarang hanya rencana-rencana saja,” katanya.
Syahidin mengatakan saat ini terdapat sekitar 30 KK yang tinggal di pengungsian dengan total 115 jiwa.
Jumlahnya semakin berkurang, ujar Syahidin, namun bukan karena mendapat bantuan rumah dari pemerintah. Para pengungsi secara mandiri mencicil rumah mereka atau merantau ke kota lain.
“Hingga kini, belum ada satu KK yang menempat rumah sendiri dari pemerintah. Bahkan, mereka yang punya tanah sendiri saja tidak ada, apalagi yang tidak punya tanah,” ujarnya.
Dia pun berharap semoga pemerintah yang akan datang bisa menyelesaikan masalah yang dihadapi, yaitu memindahkan mereka dari lokasi pengungsian Transito.
“Kami ini mengungsi di kampung halaman sendiri, aneh sekali. Kami tidak diberikan kebebasan seperti warga negara Indonesia yang lain, seperti saudara-saudara kami sesama Lombok, untuk menjalankan keyakinan di rumah masing-masing,” katanya.
Melihat hal tersebut, menurut Bonar Tigor, seharusnya pemerintah pusat maupun daerah memiliki jalan keluar bagi mereka yang telah belasan tahun dirampas hak dasarnya sebagai warga negara.
“Kuncinya sekarang ada di tangan pemerintah dan banyak cara yang bisa dilakukan. Hal ini terus berlarut belasan tahun karena pemerintah tidak ada inisiatif, seakan-akan belum tahu mau diapakan mereka ini,” katanya.
Upaya pemerintah pusat dan provinsi
Kepala Dinas Sosial Provinsi NTB, Ahsanul Khalik mengatakan, pemerintah pusat maupun daerah tengah melakukan pengurusan sertifikat bagi para pengungsi yang memiliki tanah, untuk kemudian dibangun rumah oleh Kementerian PUPR.
“Kalau sudah ada hak atas tanah yang mereka miliki maka Kementerian PUPR akan membangunkan mereka rumah. Kita di daerah hanya membantu bagaimana penyelesaian administratif. Posisi tanah tidak bermasalah dan harus steril dari persoalan sosial mereka,” kata Khalik.
“Itu yang sedang dikuatkan, kalau yang lain, kami sesungguhnya menunggu perkembangan saja,” kata Khalik.
Sementara itu, terkait pelaksanaan Ramadan tahun ini, Khalik mengatakan, Pemprov terus berkomunikasi dengan para pengungsi Ahmadiyah, walau dia mengakui tidak ada penanganan khusus bagi mereka.
Juru Bicara Kementerian Agama, Anna Hasbie, mengatakan, sejak beberapa tahun lalu, PKUB bekerja sama dengan beberapa kementerian terkait untuk membangun rumah sementara layak huni bagi para pengungsi Transito.
“Jadi ada program, memang tidak bisa langsung semua karena kalau tidak salah awalnya beberapa ratus [orang], tapi sekarang sudah jauh berkurang. Itu dilakukan secara bertahap pemindahannya ke rumah sementara,” ujarnya.
“Pada prinsipnya Kementerian Agama menganggap bahwa beribadah itu hak warga negara yang memang harus dilindungi, dan kita memastikan agar hak-hak sipil warga ini tetap ada,” tambah Anna.
Selain bantuan rumah sementara, dia mengatakan, Kementerian Agama juga secara reguler memberikan bantuan sosial kepada para pengungsi melalui PKUB.
Contoh jalan damai penyelesaian konflik
Pengikut Ahmadiyah adalah salah satu kelompok minoritas di Indonesia yang paling rentan dan sering mengalami diskriminasi dan persekusi, merujuk data Setara Institute.
Selain di Lombok, menurut Juru Bicara Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) Yendra Budiana, jemaat Ahmadiyah Parakansalak di Sukabumi, Nyalindung di Garut, dan Sintang di Kalimantan Barat masih berada dalam tekanan dalam menjalankan keyakinannya.
Untuk jemaat di Wisma Transito, kata Yendra, mereka dapat melaksanakan ibadah dengan baik, walau di sisi lain dengan kondisi yang menyedihkan karena belum kunjung memiliki rumah.
“Tantangan saat ini lebih pada eksekusi saja oleh pemerintah untuk segera membangun rumah yang layak bagi para pengungsi setelah hampir 17 tahun hidup dalam pengungsian di tanah air sendiri,” katanya.
Yendra mengatakan terdapat contoh penyelesaian konflik ketika semua pihak membuka diri menjalin toleransi antarumat beragama, yaitu di Kuningan, Jawa Barat.
Dia menceritakan, pada tahun 2010, jemaat Ahmadiyah Manislor di Kuningan diserang oleh sekelompok massa yang mengatasnamakan berbagai organisasi anti-Ahmadiyah.
Pasca peristiwa tersebut, lanjutnya, hak layanan publik pengikut Ahmadiyah juga dicabut, seperti tidak bisa mendapatkan e-KTP, tidak dicatatkan buku pernikahan di KUA dan tidak bisa menunaikan Ibadah Haji ke Mekah.
Setelah melakukan upaya advokasi formal dan pendekatan kultural ke tokoh agama hingga masyarakat di Kuningan, akhirnya pada 2016, jemaat Ahmadiyah mendapatkan e-KTP, dan hak dasar warga negara lainnya.
“Bahkan saat ini Pemerintah Kabupaten Kuningan banyak melakukan kolaborasi dengan jemaat Ahmadiyah Manislor seperti Kampung Siaga Donor Darah, Siaga Donor Mata dan Kampung Siaga Bencana untuk membantu program pemda dan juga masyarakat Kuningan,” katanya.
Bahkan, ujarnya, bupati Kuningan kini menjadi penasehat di Komunitas Donor Mata Ahmadiyah Manislor (KDMI), yang meraih rekor MURI sebagai desa terbesar komunitas donor mata di Indonesia.
“Banyak tokoh masyarakat yang dulunya menentang keberadaan Ahmadiyah kini sering hadir berkunjung ke komunitas Ahmadiyah untuk mendukung kolaborasi gerakan sosial kemanusiaan bersama,” ujarnya.
Wartawan di Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, Abdul Latief Apriaman, berkontribusi dalam laporan ini.