Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.1
Konten Media Partner
'Harusnya Gajinya Dolar Amerika Tapi Digaji Pakai Uang Mauritius' – Derita ABK Indonesia di Kapal Taiwan
17 Desember 2024 9:25 WIB
'Harusnya Gajinya Dolar Amerika Tapi Digaji Pakai Uang Mauritius' – Derita ABK Indonesia di Kapal Taiwan
Sejumlah anak buah kapal (ABK) Indonesia yang bekerja di kapal berbendera Taiwan mengalami kondisi yang disebut Greenpeace dan Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) sebagai "eksploitasi finansial". Mengapa eksploitasi terhadap ABK Indonesia yang bekerja di kapal asing terus berulang?
Pada Maret 2023, untuk kesekian kalinya Firman—bukan nama sebenarnya—mencoba peruntungan bekerja di luar negeri sebagai anak buah kapal (ABK) di kapal berbendera asing. Berulang kali, nasib membawanya bekerja di kapal berbendera Taiwan.
Ia menggambarkan pengalamannya bekerja di kapal berbendera Taiwan pada 2023 sebagai "pengalaman pahit". Kala itu, dia dan kawan-kawan ABK lainnya sempat terpaksa bertahan hidup dengan cadangan makanan berupa mie instan yang telah kadaluwarsa.
Belum lagi, kapal tempat Firman bekerja beberapa kali dikejar perompak di perairan Somalia, yang membuatnya trauma.
Setelah bekerja di kapal tersebut selama beberapa bulan, ia mendapati gajinya tak utuh sampai di tangan. Padahal awalnya, ia dijanjikan mendapat gaji US$600 (setara Rp9,5 juta) per bulan.
Sementara, setelah ia hitung gaji yang diperolehnya selama tiga bulan kerja, ia hanya mendapat sekitar US$400 (Rp6,3 juta) per bulan. Firman tak mendapat kejelasan soal potongan gajinya oleh pihak kapal.
"Gaji kan US$600 [per bulan], Saya kerja berangkat sampai pulang kan tiga bulan, hampir empat bulan. Gaji yang diterima itu cuma [senilai] US$1.200 (setara Rp19 juta)," ujar Firman kepada Johanes Hutabarat yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Selasa (10/12).
Alih-alih mendapat gaji dalam dolar Amerika Serikat seperti yang semula dijanjikan agen yang merekrutnya, Firman menerima gajinya dalam bentuk rupee Mauritius.
"Harusnya gajinya dolar Amerika, tapi digaji pakai uang Mauritius," aku Firman.
Di samping itu, pihak perekrut meminta Firman membayar biaya proses pemberangkatan sebesar Rp19 juta, meliputi biaya dokumen dan sejumlah utang pribadinya.
"Kemarin waktu pulang itu kan dituduh punya utang US$1.200 (sekitar Rp19 juta). Itu saja masih masuk kasus, malah mau nyamperin saya ke desa. Itu bawa polisi segala," kata Firman.
KTP, ijazah, dan sertifikat basic safety training (BST) milik Firman sempat ditahan pihak agen. Dokumen-dokumen penting tersebut akhirnya bisa dia dapatkan kembali setelah proses negosiasi dengan agen yang merekrutnya.
BBC News Indonesia hadir di WhatsApp .
Jadilah yang pertama mendapatkan berita, investigasi dan liputan mendalam dari BBC News Indonesia, langsung di WhatsApp Anda.
Ketua SBMI wilayah Pemalang, Fredi Seprizal, mengaku pernah mengalami "eksploitasi finansial" serupa saat menjadi ABK di kapal berbendera China.
Fredi mengeklaim agen membebaninya dengan biaya potongan untuk mengurus sejumlah dokumen seperti paspor, sertifikat basic safety training (BST), juga pemeriksaan kesehatan, tanpa mengetahui detail potongan-potongan tersebut.
"Potongan itu kan tidak secara rinci, misalnya [biaya] pembuatan paspor berapa? Terus [biaya] BST berapa? Medical check-up berapa?" kata Fredi.
Adapun untuk membiayai biaya pengurusan dokumen tersebut ia diminta membayar US$870 (setara Rp13,8 juta), lewat mekanisme pemotongan gaji sebesar US$100 (Rp1,5 juta) tiap bulan.
Apa saja 'eksploitasi finansial' yang dialami ABK Indonesia?
Pengalaman Firman adalah satu dari sekian banyak ABK Indonesia yang disebut mengalami eksploitasi, tidak hanya secara fisik, namun juga ekonomi.
Investigasi Greenpeace Indonesia dan SBMI pada kurun waktu 2019-2024 menunjukkan setumpuk masalah yang dialami para ABK Indonesia di kapal bendera asing, seperti Taiwan.
Para ABK yang bekerja di kapal Taiwan ini dibebani dengan biaya-biaya tambahan tanpa sepengetahuan mereka, yang oleh Greenpeace dan SBMI klaim sebagai "eksploitasi finansial".
Laporan investigasi Greenpeace Indonesia dan SBMI mengungkap bagaimana sejumlah ABK Indonesia secara ilegal diminta membayar biaya perekrutan senilai satu hingga empat kali gaji per bulan yang dijanjikan pada mereka.
Rata-rata mereka bisa membayar pengeluaran tak resmi itu sebesar US$491 hingga US$1950 atau sekitar Rp7 juta hingga Rp31 juta. Padahal gaji rata-rata mereka sekitar US$400 (sekitar Rp6 juta) hingga US$600 (sekitar Rp9,5 juta).
Kerap kali mekanisme pembayarannya dilakukan dengan memotong gaji mereka setiap bulannya.
Kondisi ini diperparah dengan penahanan dokumen pribadi, seperti KTP, ijazah oleh pihak perekrut sebelum para ABK berangkat ke luar negeri. Penahanan dokumen ini agar di kemudian hari para ABK melunasi jaminan mereka selama kerja.
Selain itu, investigasi juga menemukan upah para ABK ditahan hingga 20 bulan, mengakibatkan mereka tak memiliki penghasilan dalam jangka waktu lama dan menempatkan ekonomi keluarga dalam kondisi kritis.
Dalam satu kasus, seorang pekerja dengan cedera mata tak menerima kompensasi asuransi medis yang setara dengan nilai 25 kali lipat gaji per bulannya.
Baca juga:
Direktorat Jenderal Perikanan di Kementerian Pertanian Taiwan mengaku telah menerima laporan ABK Indonesia yang diduga mengalami eksploitasi finansial di kapal-kapal berbendera Taiwan dan menyebut akan mendalaminya.
"Direktorat Jenderal Perikanan akan secara aktif menyelidiki bukti-bukti spesifik, ditangani sesuai dengan hukum, dan tidak membiarkan terjadinya kerugian terhadap hak-hak awak kapal," bunyi pernyataan Direktorat Jenderal Perikanan Taiwan lewat perwakilan otoritas Taiwan di Indonesia, Taipei Economic Trade Office yang diterima BBC News Indonesia.
Terkait gaji yang diterima tak sesuai yang dijanjikan dan biaya yang tak selayaknya dibebabankan pada para ABK, pihak berwenang Taiwan menegaskan bahwa sudah ada perubahan aturan yang mewajibkan pemilik kapal membayar langsung gaji awak kapal secarapenuh.
"Pembayaran gaji tidak dapat melalui agensi perantara luar negeri (negara asal awak kapal)," tegas pernyataan tersebut.
Sementara itu, Wakil Sekretaris Jenderal Indonesia Ship Manning Agents Association (ISMAA), Nuridin, tidak memungkiri praktik pembebanan biaya kepada ABK masih terjadi.
Kendati begitu, dia mengeklaim anggota asosiasinya tidak melakukan praktik serupa.
Praktik pembebanan biaya, kata Nuridin, dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang mendapat pembiayaan dengan skema kredit usaha rakyat (KUR) dari bank.
Perusahaan-perusahaan ini mematok Rp30 juta sampai Rp40 juta untuk calon ABK yang hendak mendaftarkan diri.
Menurut Nuridin, uang ini digunakan untuk menanggung beragam biaya dokumen seperti paspor, kartu pelaut, sertifikat basic safety training, pemeriksaan kesehatan, juga visa.
Pinjaman yang dibebankan kepada para ABK, dengan mekanisme pengembalian lewat pemotongan gaji setiap bulannya.
"Rp30 [juta] itu angka yang ngeri-ngeri sedap, dapatnya di depan, leluasa untuk merekrut sebanyak-banyaknya kan," kata Nuridin.
"Tetapi itu dampaknya ABK stres di sana karena itu kan [gaji] dipotong otomatis," kata Nuridin.
Beban pinjaman yang besar ini, menurut Nuridin, kerap membuat ABK melarikan diri dari tugasnya di kapal.
"Cuma kejadiannya itu menjadikan beban ABK potongannya besar atau utangnya besar, segitu ya banyak juga kejadian hal ini yang menyebabkan kabur di khususnya yang masuk Taiwan, itu kan, menjadi imigran gelap," kata Nuridin.
Sementara itu Nuridin mengeklaim perusahaan-perusahaan di bawah naungan ISMAA mengenakan biaya tidak setinggi itu.
Biaya ini dimaksudkan sebagai biaya yang dikenakan untuk membantu proses sejumlah dokumen seperti paspor, sertifikat basic safety training, juga buku pelaut, dan akomodasi perjalanan.
"Di asosiasi kami hanya menyentuh Rp10 juta sampai maksimal Rp15 juta," kata Nuridin.
Baca juga:
Ia pun menjelaskan upaya retensi dokumen sebatas pada sertifikat basic safety training agar para ABK yang sudah menuntaskan masa kerjanya melapor kembali ke agensi perekrut.
"Pulang, karena apa? Finish, karena sakit, [atau] karena apa? Nah, kita harus membuat berita acara itu agar sudah clear. Ini Pak, hak dan kewajiban setelah menyatakan laporan pulang itu," tambahnya.
Perihal biaya jaminan, Nuridin memilih menggunakan istilah living cost.
"Sifatnya deposit yang jumlahnya itu setara mungkin dengan tiket kepulangan," kata Nuridin.
Jaminan ini yang dimaksudkan bila para ABK tidak menyelesaikan pekerjaan sesuai durasi kontrak yang sudah diteken.
"Biasanya diperbolehkan pulang dengan catatan dalam tanda kutip, biayanya itu ditanggung kepulangannya oleh si pelaut itu sendiri," kata Nuridin.
Eksploitasi ABK di kapal asing yang terus berulang
Eksploitasi yang dialami ABK Indonesia di kapal asing terus berulang, bahkan beberapa di antaranya mengalami kondisi kerja yang keras. Seperti yang dialami Fredi Seprizal.
Pada 2018 silam, Fredi berangkat melaut di Samudera Hindia di atas kapal berbendera China. Ia menceritakan saat itu ia harus menjalani jam kerja yang panjang.
"Rata-rata itu 16-18 jam per hari," kata Fredi.
Selain jam kerja yang panjang, Fredi mengaku harus bekerja tanpa menghiraukan kondisi cuaca.
"Ketika badai, hujan, kita tetap kerja," tuturnya.
Dia sempat mengalami kecelakaan kerja saat kuku telunjuk tangan kanannya tercerabut saat sedang menggunakan alat pancing. Insiden itu terjadi karena dia kurang mendapat pelatihan kerja, klaim Fredi.
"Karena memang sebelum diberangkatkan, enggak ada pelatihan," ungkap Fredi.
Pada 2024, Environmental Justice Foundation mengungkap ABK Indonesia yang mengalami kondisi memprihatinkan saat bekerja di kapal berbendera China .
Mereka melaporkan mengalami kekerasan fisik, intimidasi, penahanan dokumen, penipuan, dan jam kerja yang panjang.
Salah satu di antaranya mengaku mengalami kondisi jam kerja yang panjang, dengan waktu tidur hanya tiga jam dalam sehari.
Mereka juga mengaku terpaksa makan umpan ikan dan minum sulingan air laut karena ketersediaan makanan dan minuman yang terbatas di kapal.
Bahkan, mereka terpaksa melarung kawan sesama ABK yang meninggal ke laut.
Apa akar masalahnya?
Pengkampanye isu kelautan Greenpeace Indonesia, Fildza Nabila mengungkapkan permasalahan eksploitasi, terutama eksploitasi finansial oleh agen dan operator kapal Taiwan, tidak lepas dari ketidakselarasan antar satu peraturan dengan peraturan lainnya.
Fildza menjelaskan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI) dan Peraturan Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Nomor 9 Tahun 2020 memiliki semangat zero cost bagi pekerja migran.
Semangat dari zero cost yang ada di UU PPMI, kata Fildza, bertujuan mengadvokasi sistem pembiayaan yang lebih berpihak pada pekerja migran.
"Tapi sayangnya dalam pengimplementasiannya kebijakan zero cost ini tidak segampang itu untuk diterapkan," ujar Fildza.
Hal ini tak lepas dari keberadaan peraturan teknis yang mengatur biaya-biaya yang ditanggung para ABK, seperti pada Keputusan Kepala BP2MI Nomor 786 Tahun 2022 Tentang Biaya Penempatan Pekerja Migran Indonesia yang Ditempatkan oleh Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia untuk Sektor Nelayan di Taiwan.
Baca juga:
Aturan tersebut memuat biaya-biaya yang ditanggung para pekerja di sektor nelayan Taiwan, meliputi pemeriksaan kesehatan hingga biaya buku pelaut.
"Akhirnya bisa direfleksikan melalui cost structure yang masih ada di dalam peraturan pelaksana ini yang akhirnya memberikan jalan untuk manning agency, atau bahkan recruiter untuk membebankan biaya yang jauh lebih tinggi lagi," kata Fildza.
Sementara itu, Dhios Lumban Gaol dari Divisi Advokasi SBMI Nasional mendesak pemerintah Indonesia meratifikasi konvensi nomor Konvensi ILO Nomor 188 Tahun 2007 Tentang Pekerjaan di Bidang Penangkapan Ikan—disebut sebagai K-188.
"Ini penting untuk segera diratifikasi oleh pemerintah Indonesia untuk memperkuat tata kelola terutama perekrutan penempatan, perlindungan, hingga pengawasan nelayan kita atau kapal perikanan kita yang bekerja di kapal berbendera asing," kata Dhios.
Menurutnya, sekitar 10 tahun lalu Indonesia sudah menyatakan berkomitmen untuk meratifikasi K-188, namun hingga kini urung terwujud.
Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia di Kementerian Luar Negeri, Judha Nugraha menyatakan bahwa kementeriannya mendukung agar Indonesia bisa meratifikasi Konvensi ILO Nomor 188.
"Kemlu mendukung upaya agar Indonesia bisa melakukan aksesi terhadap C188. Bahkan dalam pertanyaan Menlu RI beberapa tahun lalu, Kemlu mendorong pembahasan peta jalan menuju aksesi C188," kata Judha kepada BBC News Indonesia.
Menteri Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI) Abdul Kadir Karding menjelaskan bahwa pemerintah kini masih menyusun peta jalan menuju ratifikasi Konvensi ILO Nomor 188 Tahun 2007.
"Proses ratifikasi ini masih berlanjut dan memerlukan dukungan dari berbagai pihak untuk segera disahkan menjadi hukum nasional," kata Karding melalui jawaban tertulis kepada BBC News Indonesia.
Upaya ratifikasi, kata Karding masih menghadapi tantangan soal ketidakpastian hukum.
"Salah satu kendala utama adalah adanya ketidakpastian hukum yang ditinggalkan oleh peraturan nasional yang ada, yang belum sepenuhnya mencakup perlindungan bagi pekerja di sektor perikanan," katanya.
Ia mencontohkan gugatan yudisial terhadap Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia di Mahkamah Konstitusi (MK) yang diajukan Asosiasi Pekerja Perikanan Indonesia, Untung Dihako, dan PT Mirana Nusantara Indonesia.
Gugatan itu menunjukkan upaya pergeseran status anak buah kapal niaga dan awak kapal perikanan sebagai buruh migran. Pada November 2024, MK menolak gugatan tersebut.
Karding mengungkapkan tantangan lain terhadap upaya ratifikasi itu ada kekhawatiran soal dampak ekonomi yang ditimbulkan.
"Ada risiko bahwa penerapan konvensi ini dapat meningkatkan biaya operasional bagi perusahaan-perusahaan perikanan, yang pada gilirannya dapat mempengaruhi lapangan kerja dan pendapatan pekerja di sektor tersebut."
"Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk mempertimbangkan semua aspek ini sebelum mengambil keputusan mengenai ratifikasi," kata Karding.
Meski begitu, Karding mengungkapkan Indonesia sebenarnya tetap bisa mengadopsi prinsip-prinsip konvensi tersebut tanpa ratifikasi formal.
"Hal ini dapat dilakukan melalui peraturan pemerintah yang mengimplementasikan standar perlindungan pekerja di industri perikanan sesuai dengan konvensi tersebut," kata Karding.
Karding mencontohkan dengan keberadaan Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2021 Tentang Pelaksanaan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, yang salah satunya meliputi awak kapal perikanan migran.
"Dengan cara ini, meskipun tidak meratifikasi secara formal, Indonesia tetap dapat memberikan perlindungan yang lebih baik kepada Anak Kapal Pekerja (AKP) melalui regulasi yang lebih ketat dan pengawasan yang lebih efektif terhadap praktik perekrutan dan penempatan PMI," katanya.
Sementara itu, Karding mengaku mendengar dari otoritas Taiwan mengenai isu pembebanan pinjaman terhadap ABK Indonesia yang bekerja di kapal yang melaut di perairan internasional oleh perusahaan penempatan di Indonesia.
Karding mengaku, otoritas Taiwan pun meminta pemerintah Indonesia mensosialisasikan perusahaan penempatan di Indonesia agar tidak meminta jaminan kepada ABK.
"Terkait hal ini memang selama ini ada kekosongan aturan. Bila ada permasalahan, kita sangat agak sulit melakukan upaya pelindungan karena sejak awal berangkat tidak terdata, tidak ada jaminan sosial dan lain sebagainya," kata Karding.