Konten Media Partner

Imane Khelif dan Lin Yu-ting Meraih Medali Emas Tinju Putri, Bagaimana Sains Memandang Kontroversi Gender di Olimpiade Paris 2024?

11 Agustus 2024 8:15 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical

Imane Khelif dan Lin Yu-ting Meraih Medali Emas Tinju Putri, Bagaimana Sains Memandang Kontroversi Gender di Olimpiade Paris 2024?

Petinju Aljazair, Imane Khelif, meraih medali emas pada cabang olahraga tinju putri kelas 66kg di Olimpiade Paris 2024.
zoom-in-whitePerbesar
Petinju Aljazair, Imane Khelif, meraih medali emas pada cabang olahraga tinju putri kelas 66kg di Olimpiade Paris 2024.
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Petinju Taiwan, Lin Yu-ting, meraih medali emas pada cabang olahraga tinju putri kelas 57 kg setelah mengalahkan Julia Szeremeta, petinju Polandia berusia 20 tahun.
Kemenangan Lin diraih sehari setelah petinju Aljazair, Imane Khelif, meraih medali emas pada kelas 66kg.
Detik-detik tatkala Imane Khelif dan Lin Yu-ting menaiki podium medali akan menjadi salah satu momen tak terlupakan dalam Olimpiade Paris 2024.
Komite Olimpiade Internasional (IOC) membuka jalan bagi kedua atlet untuk berkompetisi dalam tinju putri di Paris, walau Khelif dan Lin didiskualifikasi dari Kejuaraan Dunia tahun lalu setelah dilaporkan gagal dalam tes kelayakan gender.
Di tengah perdebatan sengit ini, sains semakin menyoroti perbedaan susunan kromosom manusia dan dampaknya terhadap performa dalam olahraga kompetitif.
Namun, penelitian masih belum usai. Para ahli yang meneliti hal ini pun tidak satu suara sehingga terdapat perbedaan interpretasi.
Yang diketahui sejauh ini adalah proses penentuan jenis kelamin dimulai ketika janin berkembang. Sebagian besar perempuan mendapatkan dua kromosom X (XX), sedangkan sebagian besar laki-laki mendapatkan satu kromosom X dan satu kromosom Y (XY).
Petinju asal Aljazair, Imane Khelif.
Kromosom mempengaruhi jenis kelamin seseorang. Namun, hormon juga berperan penting sejak sebelum lahir kemudian selama masa pubertas. Saat bayi masih tumbuh di dalam rahim, hormon membantu perkembangan organ reproduksi.
Akan tetapi, pada satu titik selama masa kehamilan, organ reproduksi di beberapa bayi tidak berkembang seperti kebanyakan orang.
Ini dikenal sebagai DSD (differences of sex development) atau perbedaan perkembangan seks.
DSD terdiri dari sekitar 40 kondisi yang melibatkan gen, hormon, dan organ reproduksi yang berkembang di dalam rahim. Ini artinya perkembangan jenis kelamin seseorang dengan DSD berbeda dari kebanyakan orang.
Kelainan kromosom ini jarang terjadi, tetapi perdebatan dalam tinju putri di Olimpiade menjadikannya topik yang menjadi sorotan.

Apa yang kita tahu tentang kedua petinju di tengah perselisihan gender?

Kepala Eksekutif Asosiasi Tinju Internasional (IBA), Chris Roberts, mengatakan kepada BBC Sport bahwa kedua atlet memberikan persetujuan mereka untuk menjalani tes. “Kedua tes” menemukan kromosom XY.
Namun, kenyataannya tidak sesederhana itu
Beberapa ahli menyebut variasi genetik ini begitu banyak dan beragam. Sehingga, tidaklah mungkin untuk menetapkan bahwa setiap orang dengan kromosom Y adalah laki-laki dan setiap orang tanpa kromosom Y adalah perempuan.
“Sekadar melihat keberadaan kromosom Y semata tidaklah menjawab pertanyaan apakah seseorang itu laki-laki atau perempuan,” kata Prof Alun Williams.
Peneliti faktor genetik dalam performa olahraga di Manchester Metropolitan University Institute of Sport itu menambahkan: “[Kromosom Y] jelas penanda yang sangat bagus, karena kebanyakan orang dengan kromosom Y adalah laki-laki ... tetapi itu bukan indikator yang sempurna.”
Kromosom Y di sebagian orang dengan DSD bukanlah kromosom Y jantan yang sepenuhnya terbentuk. Beberapa materi genetik di kromosom Y ini bisa hilang, rusak, atau ditukar dengan kromosom X – tergantung variannya.
Petinju Taiwan, Lin Yu-ting, meraih medali emas pada cabang olahraga tinju putri kelas 57 kg.
Ketika berbicara tentang laki-laki atau perempuan, yang biasanya krusial adalah gen spesifik yang disebut SRY alias 'wilayah penentu seks dari kromosom Y'.
“Gen SRY inilah yang disebut gen pembuat laki-laki. Ini adalah saklar utama perkembangan seks,” kata Dr Emma Hilton, pakar biologi yang mempelajari kelainan genetik.
Hilton adalah wali amanat dari badan amal Sex Matters. Dia berpandangan Imane Khelif dan Lin Yu-ting seharusnya tidak mengikuti kompetisi sampai dilakukan pengujian lebih lanjut.
Dr Hilton menyebut beberapa orang yang lahir dengan kromosom XY kehilangan “pembuat laki-laki” ini.
“Orang-orang ini tidak menghasilkan testosteron. Mereka mengembangkan anatomi perempuan yang sangat khas,” imbuhnya.
Tes yang mengidentifikasi kromosom XY tidaklah memberikan gambaran komprehensif. Dalam kasus Imane Khelif dan Lin Yu-ting, IBA pun belum mengungkapkan metode pengujian mereka secara rinci.

Baca juga:

Di sisi lain, Dr Hilton menekankan bahwa gen SRY “pembuat laki-laki” ini hadir di kebanyakan orang dengan kromosom XY.
Orang-orang ini biasanya memiliki testis yang seringnya berada di dalam tubuh mereka.
“Ketika mereka memasuki masa pubertas, mereka mulai menghasilkan testosteron – faktor inilah yang mendasari keuntungan pria di bidang olahraga,” ucap Dr Hilton.
Contoh paling terkenal adalah Caster Semenya. Atlet lari Afrika Selatan itu dua kali meraih medali emas Olimpiade untuk nomor 800 meter. Semenya juga sudah tiga kali menjadi juara dunia.
Meskipun begitu, Prof Alun Williams mengatakan tidak ada bukti langsung yang mengatakan bahwa atlet DSD memiliki keuntungan yang sama dengan pria biasa.
Kendalanya terdapat di gen yang diperlukan untuk menghasilkan alat kelamin luar. Gen inilah yang dibutuhkan anak laki-laki untuk menumbuhkan penis.
Siapa pun yang memiliki kondisi yang sama dengan Caster Semenya mengalami mutasi dalam gen tersebut sehingga fungsi normalnya berhenti.
Saat masih berada di dalam rahim, orang-orang ini mengembangkan anatomi laki-laki sampai tahap akhir pertumbuhan penis. Ketika “tahap akhir” ini tidak terjadi, mereka mengembangkan vulva dan klitoris.
Meskipun begitu, mereka dengan kondisi ini tidak mengembangkan organ reproduksi perempuan yaitu serviks atau rahim.
Mereka tidak mengalami menstruasi dan tidak bisa hamil. Berhubungan seks dengan laki-laki pun bisa sulit.
Siapa pun bisa terkejut ketika mengetahui jenis mutasi genetik terjadi pada mereka.
“Perempuan terakhir yang menurut diagnosa kami memiliki kromosom XY berumur 33 tahun,” kata Claus Højbjerg Gravholt – profesor endokrinologi di Universitas Aarhus yang menghabiskan 30 tahun terakhir menangani DSD.
Pasien Gravholt itu membuat janji temu karena tidak habis pikir kenapa dia tidak hamil-hamil.

Baca juga:

“Temuan kami menunjukkan dia tidak punya rahim. Jadi dia tidak akan pernah bisa hamil. Hatinya benar-benar hancur mengetahui hal ini.”
Menurut Prof Gravholt, kondisi psikis pasien-pasien yang mendatanginya dengan pertanyaan ihwal identitas gender dapat terganggu. Dia pun sering merujuk pasiennya ke psikolog.
“Kalau saya menunjukkan foto pasien tadi, Anda akan berkata: itu perempuan. Dia memiliki tubuh perempuan, dia menikah dengan seorang pria. Dia merasa seperti perempuan. Sebagian besar pasien saya mengalami hal serupa,” ujar Prof Gravholt.
Gravholt sempat bertanya ke pasien tadi mengapa dirinya tidak pernah berkonsultasi dengan dokter lain tentang kondisinya yang tidak pernah menstruasi.
Pasien itu mengaku ada saudara perempuannya yang tidak pernah menstruasi. Dia pun berpikir itu normal-normal saja.
Prof Gravholt juga menemukan mutasi genetik lain.
Dia mendiagnosis laki-laki dengan kromosom XX – yang biasanya ditemukan di perempuan.
“Pria-pria ini tidak subur. Mereka terlihat seperti pria normal, tetapi testis mereka lebih kecil dari rata-rata dan tidak menghasilkan sperma."
"Mereka begitu hancur begitu mengetahui kondisi ini. Seiring bertambahnya usia, mereka berhenti menghasilkan testosteron seperti kebanyakan pria.”
Setelah kalah dari Lin Yu-ting, petinju Turki, Esra Yildiz Kahraman, membuat tanda 'X' dengan dua jari yang sama. Lawan Lin sebelumnya, Svetlana Staneva, melakukan hal yang sama. Tanda 'X' dianggap melambangkan kromosom XX perempuan.
Beberapa budaya tidak menerima pembicaraan terbuka mengenai menstruasi dan anatomi perempuan. Di sejumlah belahan dunia, perempuan bisa jadi kurang edukasi dalam dalam memahami bahwa ada sesuatu yang tidak biasa di tubuh mereka.
Itulah kenapa para ahli meyakini banyak kasus DSD tidak pernah didiagnosis. Dengan kata lain, data komprehensif tentang DSD pun langka.
Akan tetapi, Prof Gravholt berpendapat data dari Denmark merupakan indikator yang baik.
“Denmark mungkin adalah negara terbaik di dunia dalam mengumpulkan data ini. Kami memiliki data nasional untuk semua orang yang pernah menjalani pemeriksaan kromosom.”
Prof Gravholt mengatakan kromosom XY di perempuan sangatlah jarang. Di Denmark, perbandingannya sekitar satu dari 15.000.
Namun, dia meyakini bahwa sekitar satu dari 300 orang terpengaruh ketika semua kondisi genetik ditambahkan.
“Kami belajar bahwa variasi ini lebih umum daripada yang kami kira,” kata Prof Gravholt.
“Banyak pasien didiagnosis pada usia lanjut. Orang tertua yang saya diagnosis adalah seorang pria berusia 60-an.”

Akankah kontroversi gender mengubah keadaan di Olimpiade?

Apakah orang-orang dengan perkembangan seks yang berbeda mempunyai keuntungan dalam olahraga yang membuat situasinya berat sebelah?
Jawaban singkatnya: tidak ada cukup data untuk menarik kesimpulan pasti.
“Saya tidak akan terkejut jika beberapa orang dengan jenis DSD memiliki sejumlah keuntungan fisik dibandingkan perempuan,” ujar Prof Alun Williams.
Keuntungan tersebut antara lain bisa termasuk massa otot yang lebih besar, tulang yang lebih besar dan lebih panjang, serta organ yang lebih besar seperti paru-paru dan jantung.
Prof Williams mengatakan orang-orang ini bisa jadi mempunyai kadar hemoglobin darah yang lebih tinggi. Kondisi ini meningkatkan pengiriman oksigen dalam otot yang bekerja.
“Sebagian orang dengan beberapa jenis DSD kemungkinan mendapat keuntungan dari beberapa atau semua elemen tersebut, mulai dari 0-100%, tergantung jenis DSD dan penyebab genetik spesifiknya.”
Prof Williams meyakini opininya mewakili para ahli di bidangnya. Namun, dia menekankan diperlukannya lebih banyak bukti.
Angela Carini dari Italia meninggalkan pertandingan Olimpiade melawan petinju Aljazair, Imane Khelif, dalam waktu 46 detik
Kembali ke Imane Khelif dan Lin Yu-ting.
Kita tidak punya cukup informasi untuk mengetahui apakah kedua petinju ini memiliki kondisi DSD yang perlu diatur.
Penerapan peraturan dalam olahraga elite, yang biasanya bergantung kepada kategori biner laki-laki dan perempuan dalam kompetisi, adalah sesuatu yang rumit.
Rumit karena biologi seks itu sendiri kompleks dan tidak secara eksklusif biner.
Dr Shane Heffernan memiliki gelar PhD dalam genetika molekuler dalam olahraga elit. Saat ini, dia sedang mengerjakan sebuah studi tentang apa yang dipikirkan para atlet tentang pesaing dengan DSD.
Dia mengatakan ini semua tergantung kepada nuansa kondisi genetik individu.
Misalnya saja pada perempuan dengan kondisi DSD yang dikenal sebagai sindrom insensitivitas androgen memiliki kromosom XY. Perempuan-perempuan ini menghasilkan testosteron; tetapi tubuh mereka tidak dilengkapi untuk memprosesnya.
Dengan kata lain, mereka tidak mendapatkan keuntungan apa pun dari testosteron yang dimiliki – berbeda dengan pria.
Dr Heffernan mengatakan bahwa tidak ada cukup banyak atlet yang diketahui memiliki DSD kemudian diikutkan ke dalam studi untuk membuat kesimpulan ilmiah yang valid tentang apakah mereka pasti memiliki keuntungan.
Selain itu, tidak ada pula kesimpulan ilmiah mengenai apakah atlet-atlet DSD harus memenuhi syarat atau tidak memenuhi syarat untuk berkompetisi dalam kategori putri.

Baca juga:

Dr Heffernan meyakini bahwa Komite Olimpiade Internasional tidak mendasarkan kriteria kelayakannya pada ilmu pengetahuan terbaik yang tersedia.
“Ini mengkhawatirkan. IOC membuat ‘asumsi’ bahwa ‘tidak ada keuntungan'. Akan tetapi, tidak ada bukti langsung untuk ini. Di sisi lain, tidak ada kesimpulan bahwa atlet DSD memiliki keuntungan genetik semata-mata karena karena variasi genetik mereka.
“Kami cuma tidak punya cukup data. Banyak orang mengambil sudut pandang emosional mengenai inklusivitas dalam kategori putri. Tapi di sisi lain, bagaimana IOC bisa membenarkan posisi mereka tanpa data pendukung?”
Dr Heffernan adalah salah satu dari sekian banyak orang yang mendesak komite Olimpiade, federasi internasional, dan dewan pendanaan untuk berinvestasi dalam penelitian tentang atlet dengan DSD.
Walaupun demikian, Dr Heffernan menyadari bahwa implementasinya tidaklah gampang. Penelitian tentang atlet dengan DSD sulit karena bisa memicu banyak stigma terhadap atlet dengan kondisi ini.

Baca juga:

Beberapa pihak, termasuk Reem Alsalem, pelapor khusus PBB untuk kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan, menyerukan tes seks wajib pada Olimpiade berikutnya.
“Pemeriksaan DNA sekarang sangat mudah,” ujar Dr Emma Hilton.
“Swab [usapan[ pipi sederhana sudah cukup, dan minim invasif.”
Hilton mengatakan tes usap harus dilakukan ketika atlet pertama kali mendaftar untuk kompetisi afiliasi pertama mereka. Tes ini harus dilakukan sebelum mereka mulai memenangkan medali dan menjadi sorotan supaya menghindari apa yang terjadi pada Imane Khelif.
Namun, tidak semua ilmuwan sepakat tentang tes swab DNA ini dalam konteks pengujian jenis kelamin atlet.
“Usapan pipi tidak akan memberikan kesimpulan yang kuat tentang jenis kelamin seseorang dan potensi keuntungan dalam olahraga,” ujar Prof Williams.
Dia berpendapat tes seks yang komprehensif harus mencakup tiga kategori ini:
Genetika (termasuk mencari kromosom Y dan gen "pembuat laki-laki" SRY).
Hormon (termasuk testoteron, tetapi tidak terbatas pada, testosteron saja).
Responsivitas tubuh terhadap hormon seperti testosteron. Beberapa orang mungkin memiliki kromosom Y, tetapi sama sekali tidak sensitif terhadap testosteron.
Prof Williams meyakini uji komprehensif ini sekarang ini tidak dilakukan karena biayanya yang mahal. Tes ini membutuhkan orang-orang dengan keahlian yang sangat spesifik,
Selain itu, ada kekhawatiran etis tentang prosedur pengujian.
“Penilaian ini bisa memalukan dalam prosesnya. Pengujian termasuk pengukuran bagian tubuh yang paling intim, seperti ukuran payudara dan klitoris Anda, kedalaman suara Anda, dan panjang rambut tubuh Anda.”
Satu hal yang pasti: kontroversi ini tidak akan hilang.
Untuk saat ini, sains belum mampu memberikan pandangan definitif tentang bagaimana atlet-atlet olahraga elit dengan susunan kromosom yang berbeda harus dikategorikan.
Bagi mereka yang mengabdikan hidup untuk mencoba memahami sains, perselisihan terbaru ini diharapkan memicu penelitian yang amat dibutuhkan.