Konten Media Partner

Inggris Selidiki Dugaan Impor Minyak Jelantah Oplosan, Salah Satunya dari Indonesia – Bagaimana Duduk Persoalannya?

15 April 2025 14:30 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical

Inggris Selidiki Dugaan Impor Minyak Jelantah Oplosan, Salah Satunya dari Indonesia – Bagaimana Duduk Persoalannya?

Pemerintah Inggris tengah menginvestigasi dugaan kecurangan pada proses produksi bahan bakar nabati HVO (hydrotreated vegetable oil) yang diduga berbahan baku minyak jelantah oplosan.
Menurut sumber anonim yang berbicara kepada BBC, HVO yang digunakan di Inggris bukan berasal dari limbah minyak nabati atau minyak jelantah, melainkan dari minyak sawit murni.
Seorang pakar menyebut Indonesia sebagai salah satu negara pengekspor minyak jelantah yang mengandung oplosan minyak sawit murni tersebut. Namun tuduhan ini dibantah Asosiasi Eksportir Minyak Jelantah Indonesia.
Minyak sawit murni (virgin palm oil) kerap dikaitkan dengan penggundulan hutan di negara tropis, termasuk Indonesia. Deforestasi diyakini berbagai kalangan telah memperburuk perubahan iklim dan mengancam biodiversitas.
Dugaan campuran minyak sawit murni dalam bahan baku HVO dipersoalkan karena HVO selama ini dianggap sebagai bahan bakar yang lebih ramah lingkungan. Alasannya, HVO dapat diproduksi dari bahan seperti limbah minyak goreng bekas alias minyak jelantah.
Penggunaan HVO diperkirakan dapat memangkas emisi hingga 90%.
Pakar bidang biofuel dari Jerman, Christian Bickert, mengatakan sebagian besar HVO dibuat dari produk limbah minyak "palsu".
"Secara kimia, minyak jelantah dan minyak sawit murni benar-benar sama karena berasal dari pabrik yang sama dan juga dari fasilitas produksi yang sama di Indonesia," kata Christian kepada BBC News.
Ketua Asosiasi Eksportir Minyak Jelantah Indonesia, Setiady Goenawan, membantah tuduhan itu. Dia membuat klaim, ekspor minyak jelantah dari Indonesia tidak bercampur bahan lain, termasuk minyak sawit murni karena yang mereka ekspor sudah tersaring "melalui uji laboratorium" sebelum dilempar ke pasar internasional.
Sementara itu Ketua Asosiasi Pengumpul Minyak Jelantah Indonesia, Matias Tumanggor, menyebut minyak bekas yang dikumpulkan anggota lembaganya merupakan minyak goreng yang digunakan di hotel, restoran, dan rumah tangga alias "tidak tercampur bahan lain".
BBC News Indonesia telah meminta respons pejabat di Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan, tapi belum mendapatkan jawaban.
Pakar energi, Putra Adhiguna, menyebut pemerintah Indonesia harus berhati-hati terkait transparansi ekspor barang-barang yang berkaitan dengan isu keberlanjutan.
Selain karena isu ini kerap menjadi sorotan, pintu perdagangan untuk barang serupa berisiko tertutup untuk Indonesia.
Para pekerja memindahkan minyak sawit mentah ke truk tangki di pelabuhan Tanjung Emas, Semarang, 2022. Pemerintah saat ini tengah memperketat ekspor minyak jelantah dan produk turunan sawit lain guna menjaga ketersediaan minyak goreng.
Pada Januari 2025, Kementerian Perdagangan memperketat ekspor minyak jelantah. Kebijakan itu diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 2 Tahun 2025.
Selain minyak jelantah, regulasi itu juga berlaku untuk ekspor limbah minyak sawit asam tinggi (High Acid Palm Oil Residue/HAPOR) dan limbah industri kelapa sawit (Palm Oil Mill Effluent/POME).
Namun tujuan utama pengetatan itu tidak berkaitan dengan dugaan ekspor minyak jelantah oplosan.
Kebijakan ini adalah respons pemerintah terhadap praktik pencampuran minyak POME dan HAPOR dengan sawit mentah (CPO) serta pengolahan buah dari tandan buah segar (TBS) yang dibusukkan menjadi POME dan HAPOR.
Keterangan itu dikatakan Direktur Ekspor Produk Pertanian dan Kehutanan Kemendag, Farid Amir, seperti dilansir Kompas.com.
Secara umum, Kementerian Perdagangan menyebut pengetatan demi menjaga ketersediaan bahan baku minyak kelapa sawit. Targetnya, "melindungi industri minyak goreng dalam negeri".

Apa temuan soal dugaan kecurangan jelantah oplosan?

Temuan soal dugaan penggunaan minyak sawit murni (virgin palm oil) sebagai bahan pembuatan HVO terjadi di tengah makin maraknya penggunaan bahan bakar tersebut di Inggris, seperti untuk kendaraan bermotor.
HVO semestinya dibuat dari bahan limbah, seperti minyak goreng bekas, bukan minyak sawit murni yang belum terpakai.
Sejumlah pelaku industri yang mengetahui isu ini berbicara kepada BBC News. Menurut mereka, bahan baku HVO masuk ke Inggris dalam jumlah yang besar.
Mereka juga yakin, bahan baku yang masuk itu bukanlah minyak jelantah, melainkan minyak kelapa sawit murni yang dilabeli sebagai limbah.
Seorang narasumber yang juga mantan pedagang bahan bakar nabati ini mengatakan kepada BBC mengenai contoh pasokan minyak kelapa sawit murni.
"Saya yakin bahwa apa yang saya beli adalah beberapa kargo minyak kelapa sawit murni yang secara keliru diklasifikasikan sebagai limbah sawit," ujar narasumber yang meminta namanya disembunyikan itu.
"Saya menelepon salah satu anggota dewan perusahaan dan memberitahu mereka mengenai situasi ini, dan kemudian saya diberitahu bahwa mereka tidak mau melakukan apa-apa, karena barang bukti akan dibakar," tuturnya.
Selain kesaksian tersebut, data dari lembaga pemantau Transport & Environment—yang telah dianalisis oleh BBC—menunjukkan bahwa jumlah limbah minyak sawit lebih sedikit ketimbang bahan bakar nabati untuk transportasi yang diproduksi secara global.
Berdasarkan data Eurostat dan Departemen Transportasi Inggris, Inggris dan negara-negara di Uni Eropa menggunakan sekitar dua juta ton limbah endapan sawit untuk HVO dan bahan bakar nabati lainnya pada tahun 2023.
Analisis BBC terhadap data statistik PBB dan industri, menunjukkan bahwa secara global hanya akan ada sekitar satu juta ton limbah sawit per tahun.
Merujuk statistik itu pula, menurut peneliti dan pelaku industri, muncul dugaan kuat bahwa bahan baku non-limbah seperti minyak kelapa sawit murni digunakan untuk memenuhi tuntutan produksi bahan bakar nabati di Eropa.
"Ini adalah permainan yang sangat mudah," ujar Christian Bickert, pakar bahan bakar nabati.
"Secara kimiawi, minyak jelantah dan minyak sawit murni benar-benar sama karena berasal dari pabrik yang sama, dan juga dari fasilitas produksi yang sama di Indonesia," ujarnya kepada BBC News.
"Tidak ada dokumen yang membuktikan penipuan, tidak ada dokumen sama sekali, tetapi angka-angka tersebut berbicara secara jelas," tuturnya.
Pihak berwenang di Inggris pun menindaklanjuti temuan ini.
Departemen Transportasi Inggris mengatakan bahwa mereka "menanggapi kekhawatiran yang muncul dengan serius dan bekerja sama dengan para pemangku kepentingan dan mitra internasional untuk mengumpulkan informasi lebih lanjut."
Pengamat energi dari The Energy Shift Institute, Putra Adhiguna, mengatakan contoh kasus ini berpotensi merusak citra Eropa, yang selama ini dianggap memiliki "standar emas" untuk banyak hal, termasuk soal standar produk ramah lingkungan.
"Saya rasa akan menjadi, ada domino efeknya ya terhadap kredibilitas dari berbagai sertifikasi-sertifikasi," kata Putra.

Asosiasi eksportir di Indonesia membantah

Ketua Asosiasi Eksportir Minyak Jelantah Indonesia, Setiady Goenawan, memimpin 13 pebisnis di lembaganya. Dia menyatakan, produk yang diekspor oleh anggota asosiasinya tidak tercampur minyak sawit murni.
Setiady berkata, pengekspor minyak jelantah harus lolos "penyaringan dari pemerintah Indonesia" sebelum mengapalkan barang mereka.
"Untuk mendapatkan HS-Code, barang kami harus dicek oleh bea cukai melalui uji laboratorium. Uji lab ini kriterianya lebih ketat dibanding kriteria yang dibikin oleh Eropa," kata Setiady.
HS-Code atau Harmonized System Code merujuk sistem klasifikasi di dunia internasional untuk barang yang diperdagangkan lintas negara.
Menurutnya, salah satu keunggulan pengujian laboratorium di Indonesia untuk ekspor ini adalah pengujian total polar compound atau tingkat degradasi minyak.
"Jadi kalau pemerintah luar menuduh minyak jelantah ada campuran sawit murni, itu saya bisa pastikan tidak benar. Dan itu pasti salah," kata Setiady.
Dia menyebut produk ekspor turunan sawit di luar minyak jelantah yang pernah menjadi tren adalah POME dan HAPOR.
HAPOR adalah salah satu jenis produk sampingan sawit, yang menurut Setiady, muncul karena buah-buah sawit yang dikumpulkan petani tidak diserap pabrik akibat usia buah yang terlalu muda atau terlalu tua.

Baca juga:

Menurut Setiady buah-buah ini kemudian dijadikan komoditi untuk dilakukan pengepresan.
"Jadi barang-barang yang tidak dipakai ini kalau dibuang kan merusak lingkungan. Oleh pabrik lalu diolah menjadi minyak. Minyak ini disebut sebagai HAPOR," ucapnya.
Belakangan HAPOR ini mulai populer. "Karena harganya menggiurkan, banyak orang berbondong-bondong lari untuk membuat HAPOR," kata Setiady.
Setiady menuding, sejumlah eksportir minyak jelantah mencoba mencampurkan komoditas mereka dengan HAPOR.
"Pada tahun 2017 sudah ada yang mau mencoba untuk melakukan pencampuran," kata Setiady.
"Makanya ada beberapa pemain eksportir itu dari tahun 2018, 2019, 2020 itu bisa mengekspor UCO lebih dari 4.000 ton," tuturnya.
Sementara menurut Setiady, sejak 2021 sampai 2024, para pemain HAPOR ini mulai beralih mencampurkan HAPOR dan POME.
Seiring itu, menurut Setiady muncul pabrik kelapa sawit (PKS) brondolan. Brondolan ini dimaksud sebagai buah kelapa sawit yang sudah lepas dari tandan buahnya.
Setiady menyebut banyak produk POME dan HAPOR itu tersalur ke Eropa. "[Ekspor]Eropa ya itu kebanyakan digunakan untuk biofuel," kata Setiady.

Tren ekspor HAPOR dan POME

Cerita Setiady selaras dengan data yang diungkap Kemendag, dalam pernyataan resmi terkait pengetatan ekspor HAPOR, POME dan minyak jelantah.
Sebuah keterangan pada 9 Januari 2025, Kementerian Perdagangan mengungkap sepanjang Januari-Oktober 2024 ekspor POME dan HAPOR mencapai 3,45 juta ton.
"Volume ekspornya lebih besar daripada ekspor CPO [Crude Palm Oil] pada periode yang sama yang hanya sebesar 2,70 [juta] ton," bunyi pernyataan tersebut.
Adapun pada 2023, ekspor POME dan HAPOR mencapai 4,87 juta ton, melebihi ekspor CPO di periode yang sama, yang mencapai 3,6 juta ton.
Selama 2019-2023, Kemendag mencatat ekspor HAPOR dan POME tumbuh sebesar 20,74%, sementara ekspor CPO 19,54% pada periode yang sama.
Kementerian Perdagangan menyebut "ekspor POME dan HAPOR tercatat jauh melebihi kapasitas wajar yang seharusnya atau hanya sekitar 300 ribu ton."
"Hal ini menjustifikasi bahwa POME dan HAPOR yang diekspor bukan yang murni dari residu atau sisa hasil olahan CPO saja, tetapi juga merupakan pencampuran CPO dengan POME atau HAPOR asli," bunyi pernyataan tersebut.
Kementerian Perdagangan menyebut peningkatan ekspor POME dan HAPOR "juga dapat diakibatkan oleh pengolahan buah dari Tandan Buah Segar yang dibusukkan langsung."
Dalam keterangan itu, Menteri Perdagangan Budi Susanto menyebut volume ekspor ini dapat terus meningkat di masa mendatang.
"Jika kondisi ini terus terjadi, maka akan mengkhawatirkan bagi ketersediaan CPO sebagai bahan baku industri di dalam negeri," kata Mendag Budi.

Peraturan pengetatan ekspor

Berbasis makin maraknya ekspor POME dan HAPOR, pemerintah melakukan pengetatan dengan menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 2 Tahun 2025.
Dalam pernyataan Kementerian Perdagangan, penerbitan aturan ini ditujukan untuk "menjamin ketersediaan bahan baku bagi industri minyak goreng", serta "mendukung implementasi penerapan biodiesel berbasis minyak sawit sebesar 40 persen".
Meski begitu, pemerintah menjelaskan para eksportir yang terlanjur mendapatkan persetujuan ekspor HAPOR, POME, dan minyak jelantah, maka ekspor akan diizinkan sampai masa pesetujuanya habis.
Ilustrasi seorang pekerja memeriksa area penyaringan selama pembukaan kilang minyak sawit di Marunda, Jakarta.

Minyak goreng baru dicampur minyak jelantah?

Sementara itu, Ketua Pengumpul Minyak Jelantah untuk Energi Terbarukan Indonesia, Matias Tumanggor, mengeklaim anggotanya tak terlibat dalam pencampuran minyak jelantah dengan minyak sawit murni.
Ia mengeklaim asosiasinya—yang berisi lima anggota pengumpul minyak jelantah— akan menindak tegas anggotanya yang ketahuan melakukan pelanggaran.
"Kami sendiri yang akan melaporkan ke pihak berwajib, enggak usah repot-repot. Bukan orang lain yang kita akan melaporkan, dan yang pasti kami blacklist," kata Matias.
Walau begitu, Matias mengaku pernah melihat pencampuran minyak jelantah dengan minyak goreng baru, untuk diekspor pada 2022.
Matias mengaku kaget dengan warna minyak yang menurutnya begitu bening.
"Secara kasat mata, tidak perlu periksa di laboratorium, kita bisa tahu, mana minyak baru, mana minyak bekas," kata Matias.
Matias bercerita bahwa periode 2022 tersebut adalah momen ketika terjadi kelangkaan minyak goreng. Saat itu, pemerintah sempat melakukan pelarangan ekspor minyak sawit mentah dan produk-produk turunannya.
Kelangkaan minyak goreng ini berujung pada terungkapnya kasus korupsi izin ekspor impor minyak goreng, yang menyangkut Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri saat itu, Indra Sari Wisnu.
Kala itu, Wisnu diduga menerima suap terkait pemberian persetujuan ekspor minyak sawit mentah.
Petinggi sejumlah perusahaan sawit besar yang terlibat dalam kasus itu juga ditindak Kejaksaan Agung.

'Tetap berhati-hati'

Putra Adhiguna mengatakan Indonesia "harus tetap berhati-hati" dalam hal transparansi ekspor barang, terutama untuk barang-barang yang memiliki keterkaitan dengan isu keberlanjutan.
"Kalau Indonesia mau terlibat di dalam global biofuel sustainable value chain, pemerintah harus tetap menggunakan standar yang tinggi," kata Putra.
"Masalah sustainability seperti ini akan terus menjadi sorotan," kata Putra.
Putra juga mengingatkan pelaku industri yang berusaha untuk melakukan kecurangan agar lolos ekspor.
"Pihak-pihak yang mencoba mencari celah-celah itu tetap harus beranggapan bahwa bisnis mereka tidak akan sustainable," kata Putra.
Kalau tidak, kata Putra, dunia internasional akan "menutup diri" dari produk Indonesia.
Reportase oleh Johanes Hutabarat