Konten Media Partner

Iwao Hakamada, Narapidana Hukuman Mati Terlama di Dunia Akhirnya Dibebaskan

27 September 2024 9:25 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical

Iwao Hakamada, Narapidana Hukuman Mati Terlama di Dunia Akhirnya Dibebaskan

Iwao Hakamada telah menunggu momen eksekusi hukuman matinya selama 56 tahun.
zoom-in-whitePerbesar
Iwao Hakamada telah menunggu momen eksekusi hukuman matinya selama 56 tahun.
Seorang pria berusia 88 tahun yang merupakan narapidana hukuman mati terlama di dunia telah dibebaskan oleh pengadilan Jepang setelah bukti yang digunakan dalam kasusnya ternyata palsu.
Iwao Hakamada—yang menunggu eksekusi hukuman matinya selama hampir setengah abad—dinyatakan bersalah pada 1968 karena membunuh bosnya beserta istri dan kedua anak remaja mereka.
Pada 2014 dia diberikan kesempatan untuk diadili ulang di tengah kecurigaan bahwa penyelidik kala itu mungkin telah merekayasa bukti yang menyebabkannya dihukum atas pembunuhan empat orang tersebut.
Waktu 46 tahun yang dihabiskan di penjara telah berdampak buruk pada kesehatan mental Hakamada, yang berarti dia tidak layak menghadiri sidang yang berujung pada putusan pembebasannya.
Kasus Hakamada adalah salah satu kisah hukum terpanjang dan paling terkenal di Jepang dan telah menarik minat publik yang luas, dengan sekitar 500 orang mengantre untuk mendapatkan tempat duduk di ruang sidang di Shizuoka pada Kamis (26/09).
Saat putusan dibacakan, para pendukung Hakamada di luar pengadilan bersorak “banzai"—seruan dalam bahasa Jepang yang berarti "hore".
Hakamada, yang absen sepanjang sidang karena kondisi mentalnya yang memburuk, telah hidup di bawah asuhan saudara perempuannya yang berusia 91 tahun, Hideko, sejak 2014, ketika ia dibebaskan dari penjara dan diberikan kesempatan untuk diadili ulang.
Hideko berjuang selama puluhan tahun untuk membersihkan nama adik laki-lakinya dan mengatakan sangat tersentuh mendengar kata-kata "tidak bersalah" di pengadilan.
"Ketika saya mendengarnya, saya sangat terharu dan bahagia, saya tidak bisa berhenti menangis," ungkapnya kepada wartawan.
Adiknya sebelumnya mengatakan perjuangan untuk mendapatkan keadilan bagaikan "bertarung setiap hari".
"Begitu Anda berpikir tidak bisa menang, tidak ada jalan menuju kemenangan," katanya kepada kantor berita AFP pada tahun 2018.

Pakaian 'bernoda darah' di tangki miso

Hakamada—mantan petinju profesional—bekerja di pabrik pengolahan miso pada tahun 1966 ketika jasad majikannya, istri pria tersebut, dan dua anak ditemukan dalam kebakaran di rumah mereka di Shizuoka—sebelah barat Tokyo.
Keempatnya ditikam hingga tewas.
Pihak berwenang menuduh Hakamada membunuh keluarga tersebut, membakar rumah mereka, dan mencuri uang tunai sebesar 200.000 yen (sekitar Rp20 juta dengan nilai tukar saat ini).
Hakamada semula membantah telah merampok dan membunuh para korban, namun kemudian memberikan apa yang ia gambarkan sebagai pengakuan yang dipaksakan setelah dipukuli dan diinterogasi selama 12 jam sehari.
Pada 1968, ia divonis bersalah atas kasus pembunuhan dan pembakaran, dan dijatuhi hukuman mati.
Para pendukung Hakamada di luar pengadilan bersorak “banzai”, sebuah seruan dalam bahasa Jepang yang berarti “hore”, saat putusan dijatuhkan.
Setahun setelah penangkapan Hakamada, beberapa pakaian yang ditemukan di tangki miso di rumah bekas majikannya. Pakaian-pakaian itu—yang konon berlumuran darah—digunakan untuk memberatkannya.
Namun, selama bertahun-tahun, pengacara Hakamada berpendapat bahwa DNA yang ditemukan dari pakaian tersebut tidak cocok dengan DNA Hakamada sehingga muncul kemungkinan bahwa barang-barang tersebut milik orang lain.
Pengacara tersebut juga menduga bahwa polisi mungkin telah merekayasa bukti tersebut.
Argumen mereka cukup untuk meyakinkan Hakim Hiroaki Murayama, yang pada tahun 2014 menyatakan bahwa "pakaian itu bukan milik terdakwa".
"Tidak adil untuk menahan terdakwa lebih lama, karena kemungkinan dirinya tidak bersalah semakin jelas,” kata Murayama.
Hakamada kemudian dibebaskan dari penjara dan diberikan kesempatan untuk diadili ulang.

Baca juga:

Proses hukum yang berlarut-larut menyebabkan butuh waktu hingga tahun lalu untuk memulai persidangan ulang dan akhirnya pada Kamis (26/09) pagi pengadilan mengumumkan putusannya.
Rincian yang menjadi dasar persidangan ulang dan pembebasannya adalah noda merah pada pakaian yang menurut jaksa adalah miliknya.
Namun pengacara Hakamada mempertanyakan bagaimana noda tersebut bisa bertahan lama.
Fakta bahwa noda tersebut tetap berwarna merah dan tidak berubah gelap setelah terendam saus kedelai dalam waktu lama berarti bukti tersebut direkayasa.
Putusan pengadilan pada Kamis (26/09) menemukan bahwa "para penyidik merusak pakaian dengan menumpahkan darah ke pakaian tersebut" yang kemudian mereka sembunyikan di tangki miso, menurut AFP.
Hakamada dinyatakan tidak bersalah.
Kakak Hakamada yang berusia 91 tahun, Hideko, telah merawatnya sejak ia dibebaskan dari penjara pada tahun 2014.
Puluhan tahun dalam penahanan—sebagian besar dalam sel isolasi dengan ancaman eksekusi yang selalu ada—telah berdampak buruk pada kesehatan mental Hakamada, menurut pengacara dan keluarganya.
Kakaknya telah lama memperjuangkan pembebasannya.
Tahun lalu, ketika persidangan ulang dimulai, Hideko mengungkapkan rasa lega dan berkata "akhirnya beban di pundak saya terangkat".
Sidang ulang bagi terpidana mati jarang terjadi di Jepang. Sidang Hakamada merupakan yang kelima dalam sejarah Jepang pascaperang.
Bersama dengan Amerika Serikat, Jepang adalah satu-satunya negara G7 yang masih menerapkan hukuman mati. Kerap kali, narapidana hukuman mati diberitahu mengenai waktu eksekusi mereka hanya beberapa jam sebelumnya.