Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten Media Partner
Jejak Undang-Undang Tarif AS pada Tahun 1930 yang Memicu Resesi Ekonomi Global dan Memperburuk Depresi Besar
8 April 2025 10:45 WIB
Jejak Undang-Undang Tarif AS pada Tahun 1930 yang Memicu Resesi Ekonomi Global dan Memperburuk Depresi Besar

Serangan tarif Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, baru-baru ini menempatkan dunia di ambang perang dagang baru yang penuh dengan ketidakpastian.
Sejak kembali ke Gedung Putih pada 20 Januari silam, Trump sudah memberlakukan tarif terhadap berbagai negara dan produk.
Namun pada 2 April lalu, pada hari yang disebutnya sebagai "Hari Pembebasan," Trump mengumumkan penerapan tarif sebesar 10% pada semua produk impor yang masuk ke AS.
Selain itu, dia juga menerapkan tarif yang lebih tinggi untuk puluhan negara, termasuk China (34%) dan Uni Eropa (20%), yang diklaim Trump menyebabkan AS mengalami defisit perdagangan yang besar.
Tindakan Trump memicu gelombang kritik terhadap Washington, dan tindakan balasan tarif telah mulai bermunculan dari sejumlah negara, termasuk China.
Bagi sejumlah analis, apa yang terjadi saat ini mengingatkan kita pada momen kritis dalam ekonomi global yang terjadi hampir 100 tahun lalu.
Nasionalisme
Pada tahun 1930, era proteksionisme perdagangan dimulai.
Pada Juni tahun itu, Undang-Undang Tarif—juga dikenal sebagai Undang-Undang Smoot-Hawley—diberlakukan di AS setelah dipromosikan oleh Senator Reed Smoot dan politikus Willis Hawley.
Kebijakan penerapan tarif yang diatur dalam undang-undang ini dianggap memperburuk Depresi Besar—merujuk pada krisis ekonomi global yang terjadi sejak 1929 dan memengaruhi banyak negara.
Pada akhirnya Depresi Besar terjadi selama satu dekade ke depan, memicu resesi ekonomi—penurunan tajam dalam pertumbuhan ekonomi—dan menyebabkan jutaan orang menganggur.
BBC News Indonesia hadir di WhatsApp.
Jadilah yang pertama mendapatkan berita, investigasi dan liputan mendalam dari BBC News Indonesia, langsung di WhatsApp Anda.
Sebuah anekdot yang dilaporkan dalam sebuah artikel mahjalah The Economist menggambarkan dampak undang-undang tersebut.
"Saya hampir berlutut memohon Herbert Hoover (Presiden AS kala itu) untuk memveto undang-undang tersebut. Undang-undang itu mengintensifkan nasionalisme di seluruh dunia," kata Thomas Lamont, penasihat presiden dan pemegang saham di bank investasi JP Morgan.
Beberapa pihak meyakini undang-undang tersebut memainkan peran penting dalam dimulainya Perang Dunia II karena memperkuat posisi seperti yang diambil oleh Adolf Hitler.
Proteksionisme
Undang-Undang Smoot-Hawley menaikkah tarif impor sekitar 40% hingga 60% terhadap sekitar 900 produk dalam upaya melindungi petani dan sektor bisnis Amerika, menurut sebuah artikel yang diterbitkan oleh Corporate Finance Institute (CFI).
Editor Encyclopedia Britannica, Adam Augustyn, menjelaskan bahwa pada1920-an, para petani Eropa mulai pulih dari kehancuran yang disebabkan oleh Perang Dunia I.
Persaingan dan turunnya harga pangan muncul kemudian.
Baca juga:
Di sisi lain, para petani terlilit utang dalam upaya meningkatkan produksi mereka.
Sementara itu, sebagian besar tenaga kerja AS saat itu berada di pedesaan—sekitar 20%, menurut angka CFI.
Selama kampanye presiden dalam Pilpres 1928, Herbert Hoover berjanji akan menaikkan harga impor pertanian.
Namun, begitu ia menjabat, petani Amerika dan pemilik bisnis lainnya mulai melobi pemerintah untuk menerapkan tindakan perlindungan bagi para petani lokal.
Undang-Undang Smoot-Hawley diperkenalkan ke Kongres pada Mei 1929 dan ditandatangani oleh Presiden Hoover setahun kemudian, pada 17 Juni 1930.
Kenaikan tarif ini memengaruhi berbagai macam impor: telur, pakaian, minyak mentah, dan gula.
Sulit untuk menghitung persentase kenaikan pajak karena perkiraannya bergantung pada volume atau berat produk, tetapi para ekonom memperkirakan kenaikannya berkisar antara 15% hingga 60%.
Konsekuensi dari kebijakan tarif AS
Selama dua tahun setelah penerapan Undang-Undang Smoot-Hawley, impor dan ekspor AS turun sekitar 40%.
Kanada dan Eropa membalas aksi AS dengan menaikkan tarif pada produk AS.
Tak hanya itu, beberapa bank mulai bangkrut, dan perdagangan global turun sekitar 65%, menurut beberapa data. Situasi ini menempatkan ekonomi dunia pada titik kritis.
Sulit untuk mengetahui bagaimana babak baru perang dagang antara AS dan mitra dagang utamanya ini akan berakhir, tetapi studi terkini menunjukkan bahwa tarif akan merugikan pertumbuhan ekonomi dan mendorong inflasi di negara-negara yang terlibat.
Tarif yang diberlakukan Trump dalam periode pertama pemerintahannya, selain memengaruhi perusahaan non-AS, juga merugikan perusahaan lokal dan konsumen lokal, menurut beberapa studi akademis.
Alih-alih membuat warga AS lebih kaya, mereka harus membayar harga yang lebih tinggi.
Selain itu, penerimaan pajak dari pengenaan tarif sangat rendah dibandingkan dengan apa yang dikumpulkan pemerintah melalui pajak individu dan perusahaan.