Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.1
Konten Media Partner
Jerat Sengketa Tunda Rehabilitasi Lumba-Lumba Eks Pertunjukan, Bagaimana Nasib Mereka?
16 Januari 2025 7:25 WIB
Jerat Sengketa Tunda Rehabilitasi Lumba-Lumba Eks Pertunjukan, Bagaimana Nasib Mereka?
Suatu pagi di awal September 2022, laut tampak tenang, langit berwarna biru cerah dengan matahari bersinar hangat dan suara burung berkicau di Teluk Banyuwedang, Bali.
Lumba-lumba senior bernama Johnny—diperkirakan berusia lebih dari 30 tahun—menjadi yang pertama bergegas ke luar ketika jaring seapen di pusat rehabilitasi lumba-lumba di perairan Singaraja, Buleleng, dibuka.
Rambo dan Rocky, dua lumba-lumba yang lebih muda menyusul di belakangnya. Mereka tetap berenang berdekatan ketika beradaptasi dengan lingkungan baru.
Sempat muncul ke permukaan, ketiganya kembali meluncur di dalam air dan berenang menuju lautan bebas.
Ketiganya adalah lumba-lumba yang dilepasliarkan ke habitat aslinya setelah tiga tahun direhabilitasi di Umah Lumba, pusat rehabilitasi pertama di dunia untuk lumba-lumba yang sebelumnya terlibat dalam sirkus atau pertunjukan lumba-lumba.
Rocky, Rambo, dan Johnny, serta kawan mereka Dewa—yang mati tak lama setelah dipindahkan—adalah lumba-lumba pertama yang dibawa ke pusat rehabilitasi di Teluk Banyuwedang ini.
Keempatnya diselamatkan dari kolam sebuah resor di Lovina, Bali, pada 2019 silam.
Sebelum menjadi atraksi pertunjukan di resor yang mengalami pailit itu, mereka menghabiskan bertahun-tahun tampil di sirkus lumba-lumba keliling.
Indonesia adalah satu dari segelintir negara yang masih menggelar pertunjukan lumba-lumba keliling kala itu, dan pada awal 2020, sirkus lumba-lumba keliling secara resmi ditutup oleh pemerintah.
Lumba-lumba masih dapat digunakan dalam pertunjukan—namun tidak untuk pertunjukan satwa keliling.
Setahun sesudahnya, tujuh lumba-lumba direlokasi dari Dolphin Lodge Bali di Sanur, Denpasar, usai video seorang selebritas Indonesia berenang dengan memegang sirip lumba-lumba viral di dunia maya pada April 2021 dan menuai kecaman.
BBC News Indonesia hadir di WhatsApp .
Jadilah yang pertama mendapatkan berita, investigasi dan liputan mendalam dari BBC News Indonesia, langsung di WhatsApp Anda.
Wisata pertunjukan lumba-lumba ini dinilai menyalahi regulasi peragaan satwa dilindungi.
Lumba-lumba hidung botol adalah salah satu mamalia yang dilindungi berdasarkan PP Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa serta Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 106 Tahun 2018.
Oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Bali, tujuh lumba-lumba itu dititipkan ke kolam Bali Exotic Marine Park, lembaga konservasi eksitu di Denpasar.
Dua dari tujuh lumba-lumba itu dilaporkan mati.
Hampir empat tahun berlalu, hingga kini lima lumba-lumba itu masih di sana, berbagi ruang di kolam dengan empat lumba-lumba lain.
Lumba-lumba yang diselamatkan semestinya direhabilitasi dan dilepasliarkan, namun mengapa lima lumba-lumba itu masih berada di fasilitas komersial padahal ada pusat rehabilitasi lumba-lumba pertama di Bali?
Mengapa lima lumba-lumba ini tak bernasib sama seperti Rambo, Rocky dan Johnny?
Nasib lumba-lumba eks sirkus keliling
Pada awal Agustus 2019, seekor lumba-lumba bernama Gombloh ditemukan mati di kolam sebuah hotel resor di Lovina, Buleleng, Bali.
Kala itu, hotel tersebut sedang tersangkut sengketa hukum dan pengadilan memerintahkan merelokasi sekitar 20 satwa di hotel tersebut—termasuk empat ekor lumba-lumba.
Johnny, Rimbo, Rocky, dan Dewa kemudian dibawa ke pusat rehabilitasi Umah Lumba yang ada di Teluk Banyuwedang, sekitar satu jam perjalanan dari Lovina, beberapa hari sesudahnya.
Femke Den Haas, direktur Jakarta Animal Aid Network (JAAN) Indonesia—juga dikenal sebagai Jaringan Satwa Indonesia—yang turut dalam proses evakuasi bersama BKSDA Bali, mengungkapkan saat pertama melihat lumba-lumba tersebut "kondisinya cukup memprihatinkan".
"Saat melihat mereka pada pemeriksaan pertama, syok sekali. Kondisi mereka sangat parah, kolamnya kotor," ungkap Femke kepada BBC.
Bahkan, kata Femke, Dewa tampak frustrasi dan menyakiti dirinya sendiri dengan membenturkan badannya ke dinding kolam yang terbuat dari keramik.
"Bisa dibilang seperti gila karena benar-benar menyakiti diri, sampai ada luka, sampai gores-gores berdarah badannya," ungkap Femke.
Diakui Femke, pada saat itu Dewa mengalami masalah pernafasan. Selama hidupnya di hotel tersebut, penyakit kronis ini disebut hanya diobati dengan antibiotik namun tak kunjung sembuh.
"Sangat sulit menyaksikan itu tanpa bisa menolong karena dia masih di kolam renang. Untungnya dari Kementerian [LHK] sudah memberikan lampu hijau untuk melakukan relokasi," ujarnya kemudian.
Dewa dibawa ke resor itu setelah terdampar di pesisir Lovina, menurut Femke, ketika menjelaskan asal-usul lumba-lumba ini.
Sementara Johnny, Rambo dan Rocky adalah lumba-lumba yang ditangkap di Laut Jawa untuk kemudian tampil dalam sirkus lumba-lumba keliling.
Dalam sirkus satwa keliling, lumba-lumba ini dipaksa melakukan beragam trik di kolam-kolam yang dibuat seadanya dengan ukuran kecil.
Mereka dilatih untuk melompati lingkaran, melakukan salto ke belakang, dan berpose dengan penonton untuk foto-foto kenang-kenangan.
Lumba-lumba ini—bersama satwa lainnya—diangkut dari kota satu ke kota yang lain, kerap kali dengan kondisi yang memprihatinkan.
Kehidupan mereka di kolam resor hotel, tak jauh beda.
Belasan tahun tinggal di kolam hotel, menyebabkan kerusakan pada kulit dan sirip dada sebelah kanan Johnny. Giginya aus hingga batas gusi dan badannya pun sangat kurus.
Johnny juga menderita cedera kornea parah pada mata kirinya di masa lalu.
Penyebab umum cedera mata pada lumba-lumba adalah gesekan traumatis terhadap kain atau jaring saat ditangkap atau diangkut.
Kedua kejadian ini umum terjadi di kehidupan Johnny sebelumnya sebagai bagian dari sirkus lumba-lumba keliling.
Setelah bertahun-tahun menjadi pemain sirkus, Johnny, Rocky, dan Rambo kemudian dijual ke resor tersebut.
Selama lebih dari 10 tahun mereka berada di kolam renang kecil dan berinteraksi dengan arus wisatawan yang tiada habisnya dengan iming-iming "terapi lumba-lumba".
Pada September 2019, berawal dari ide yang digagas oleh BKSDA Bali dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), bekerja sama dengan Jakarta Animal Aid Network dan Dolphin Project, Umah Lumba dibentuk.
Umah Lumba Rehabilitation, Release and Retirement Center merupakan fasilitas rehabilitasi, pelepasan, dan pensiun lumba-lumba permanen pertama dan satu-satunya bagi para lumba-lumba eks pertunjukan.
Pendiri dan direktur Dolphin Project, Richard O'Barry—pelopor readaptasi lumba-lumba eks pertunjukan—yang turut dalam proses evakuasi tiga lumba-lumba itu mengatakan rehabilitasi dimaksudkan untuk mengembalikan mereka pada habitat asli mereka: lautan lepas.
"Setelah melakukan proses rehabilitasi menggunakan protokol yang telah kami tetapkan di Guatemala, Nikaragua, Kolombia, Brasil, Haiti, dan Korea Selatan, kami ingin menerapkan protokol tersebut pada lumba-lumba ini," ujar pria yang akrab disapa Ric ini.
"Kami hanya memberikan kembali kepada mereka apa yang diambil dari mereka ketika ditangkap di [perairan] Jawa Tengah dan dibawa ke kolam renang di dalam sebuah gedung [hotel]."
Beberapa bulan kemudian, pada 5 Februari 2020, KLHK menghentikan kegiatan peragaan lumba-lumba di luar lingkungan lembaga konservasi (LK) —sirkus atau pertunjukan lumba-lumba keliling.
Keputusan KLHK menandai akhir 10 tahun perjuangan para aktivis perlindungan hewan menyetop sirkus lumba-lumba keliling yang diklaim sebagai eksploitasi.
Pertunjukan lumba-lumba keliling sebenarnya dilarang di hampir seluruh dunia karena dianggap mengancam hewan tersebut secara psikis dan fisik.
Kendati sirkus lumba-lumba keliling tidak lagi diizinkan beroperasi, sejumlah lembaga konservasi masih dapat melanjutkan pertunjukan lumba-lumba di fasilitas mereka.
Lumba-lumba di tengah sengketa
Beberapa bulan kemudian, pada 4 April 2021, Dolphin Lodge Bali, kolam keramba di perairan Pantai Mertasari, Sanur, Bali, dikecam publik setelah video seorang selebritas Indonesia berenang sambil memegang sirip lumba-lumba viral di dunia maya.
Pengelola Dolphin Lodge, PT Piayu Samudra Bali, memiliki tujuh lumba-lumba yang dirawat di dalam kandang laut dengan kedalaman 8 meter tersebut.
Tak lama kemudian, Dolphin Lodge Bali dinyatakan ditutup pada 15 April 2020, menurut Kepala Seksi Konservasi Wilayah I BKSDA Bali, Sumarsono.
Sebanyak tujuh lumba-lumba dievakuasi oleh tim BKSDA pada 27 April 2021 dan dititipkan ke Benoa Exotic Marine Park (BEMP).
BEMP—lembaga konservasi yang dibuka pada 19 Desember 2019 oleh Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) saat itu, Wiratno—berlokasi di Denpasar, sekitar 6km dari Pantai Mertasari.
Alasan pemindahan ke lokasi itu, menurut Sumarsono, karena fasilitasnya "paling dekat" dengan Dolphin Lodge Bali dan "paling siap".
"Sebenarnya bisa saja kita bawa ke Singaraja, ke tempatnya Yayasan Jaringan Satwa Indonesia, tapi kita enggak berani ambil risiko karena terlalu jauh," jelas Sumarsono kepada wartawan Ade Mardiyati yang melaporkan untuk BBC pada September lalu.
"Kalau mati di jalan nanti repot lagi."
Adapun Umah Lumba di Teluk Banyuwedang, Singaraja, berjarak sekitar 4 jam perjalanan darat dari Pantai Mertasari.
Sumarsono menjelaskan, pihak Dolphin Lodge Bali sudah lama diperingatkan karena masih menampilkan pertunjukan lumba-lumba kendati tak berizin.
Dalam dokumen pengadilan yang diakses BBC, BKSDA Bali menerbitkan Surat Peringatan I pada 5 November 2019, meminta perusahaan itu agar tidak mengadakan pertunjukan dan peragaan lumba-lumba yang bersifat komersial di kolam apung lumba-lumba di Pantai Mertasari.
BKSDA melayangkan Surat Peringatan II pada 15 November 2019, dan pada Januari 2020, Surat Peringatan III dilayangkan, dengan alasan: penggugat tak memiliki izin peragaan di luar area lembaga konservasi.
Piayu Samudra Bali sebelumnya punya izin lembaga konservasi tapi lokasinya di Kabupaten Jembrana, sementara Dolphin Lodge Bali berlokasi di Sanur.
Baca juga:
Pada 12 Oktober 2021, Piayu Samudra Bali menggugat BKSDA Bali, Dirjen KSDAE dan Menteri LHK di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Denpasar terkait pemindahan tujuh lumba-lumba dari keramba apung Dolphin Lodge di Sanur.
Terlepas dari adanya ketidaklengkapan perizinan dalam kegiatan peragaan lumba-lumba, Piayu Samudra Bali beralasan pihaknya melayangkan gugatan karena tindakan pemindahan tersebut "bukan atas perintah suatu putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap".
Gugatan Piayu Samudra Bali dikabulkan PTUN Denpasar pada 21 Maret 2022.
"Menyatakan batal atau tidak sahnya tindakan administrasi pemerintahan berupa pemindahan 7 (tujuh) ekor Lumba-Lumba Hidung Botol (Tursiops Truncatus) oleh Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam Bali," ujar hakim PTUN Denpasar dalam putusannya.
Akan tetapi, dalam putusan tingkat banding di PTUN Surabaya pada 7 Juli 2022, gugatan Piayu Samudra Bali meminta lumba-lumba tersebut dikembalikan ditolak oleh PTUN Surabaya.
Di tingkat kasasi putusan tersebut dikuatkan oleh Mahkamah Agung dengan putusan Nomor 590 K/TUN/2022, pada 6 Desember 2022 yang menolak peninjauan kembali Piayu Samudra Bali .
Di tengah sengketa antara Piayu Samudra Bali dan pemerintah, dua lumba-lumba yang direlokasi ke BEMP dilaporkan mati .
"Penyebabnya radang paru-paru. Rata-rata lumba-lumba itu mati karena radang paru-paru," ujar Sumarsono dari BKSDA Bali.
Dia menjelaskan lumba-lumba dari Dolphin Lodge Bali sebagian sudah dalam keadaan tidak sehat ketika dipindahkan.
"Kematiannya kan tidak sepenuhnya kesalahan mereka (BEMP). Karena sakit dari awal, ketika dievakuasi sudah sakit," cetusnya.
Berenang bebas di laut lepas
Ketika lumba-lumba yang dipindahkah dari Dolphin Lodge terhimpit di tengah sengketa—bahkan dua di antaranya mati—Johnny, Rocky dan Rambo bersiap untuk dilepasliarkan.
Selama tiga tahun ketiganya menjalani rehabilitasi di Umah Lumba, berkat kerja sama pemerintah Indonesia dengan JAAN dan Dolphin Project.
"Yang kita bangun adalah fasilitas dengan beberapa gate atau pintu di antaranya dan lumba-lumba bisa bergerak antara setiap fasilitas," terang Femke dari JAAN, yang juga berperan sebagai direktur kampanye Dolphin Project.
"Setiap wilayahnya itu berbeda. Jadi ada yang punya ikan hidup di dalamnya, terus ada yang lebih dalam dan di situlah terjadi perubahan yang sangat signifikan sekali," ujar Femke kemudian.
Pada saat penyelamatan, Johnny, Rocky, dan Rambo kekurangan berat badan, kurang gizi, dan menderita sejumlah cedera fisik serius.
Secara bertahap, di bawah perawatan tim rehabilitasi, kondisi mereka kembali prima.
"Selama mereka di kolam renang mata mereka sangat merah, kena obat kimia dan sangat menyakitkan sekali. Setelah mereka kembali ke laut, kulitnya jadi terang, bagus, matanya sudah tidak sakit," ungkap Femke.
Akan tetapi, Dewa mati pada Maret 2020, beberapa bulan setelah dipindahkan ke Umah Lumba.
Femke mengungkapkan bahwa Dewa punya penyakit kronis yakni keracunan amoniak—yang dia alami selama hidup di kolam renang hotel. Selain itu, Dewa juga mengalami pneumonia.
Selama proses rehabilitasi, Johnny—lumba-lumba paling senior sekaligus pemimpin kawanan—tidak dapat menggigit ikan akibat kondisi giginya yang aus. Ketika menangkap ikan, ikan-ikan itu sering terlepas kembali.
"Di seapen, dia frustasi karena dia memang ingin sekali berburu. Dia berusaha tapi ikannya lepas terus," ujar Femke.
Dia mengatakan, semua lumba-lumba yang hidup di kolam pasti ada masalah dengan gigi karena obat keras yang ada di kolam yang sangat merusak gigi.
"Kadang mereka juga terlalu bosan, jadi mereka gigit-gigit keramik dan itu sangat merusak gigi juga. Dan juga ada faktor manusia, manusia yang menggunakan mereka dalam hiburan, dalam sirkus, mereka memotong gigi lumba-lumba dengan alat."
Tim dokter kemudian memasang mahkota gigi palsu pada Johnny agar bisa mandiri ketika menangkap ikan di lautan lepas.
"Pertama kali dia menangkap ikan sendiri dia seperti bangga sekali, kelihatan sekali. Dan setelah itu dia nyaman bisa kembali berburu ikan sendiri," ungkap Femke.
"Jadi Johnny dipasang 22 mahkota gigi dan setelah itu bisa ikut proses pelepasliaran."
Susilo, yang melatih Rambo, Rocky dan Johnny di kolam resor, menjadi bagian dari tim yang merehabilitasi dan melepas ketiganya ke habitat aslinya.
"Dulu kita latih lumba-lumba untuk berenang, [melakukan trik] sirkus, program touching, banyak lah," jelas Susilo, menjelaskan aktivitasnya ketika menjadi pelatih lumba-lumba di resor.
"Kalau sekarang programnya cuma sederhana saja, kita latih supaya bisa lepas dan berburu sendiri. Setelah sudah bisa kita lepas ke alamnya."
Pada 3 September 2022, bertepatan dengan Hari Konservasi Alam Nasional, tiga lumba-lumba itu dilepas ke habitat asilnya—lautan lepas.
Pelepasliaran ketiga lumba-lumba itu adalah momen bersejarah sebab menandai kali pertama peristiwa tersebut dilakukan di Indonesia, menurut Femke.
"Indonesia bisa menjadi contoh dengan program ini. Kita berharap sekali kita diberikan kesempatan yang sama karena jelas lumba-lumba tidak bahagia, tidak bisa hidup di dalam kolam renang."
Setelah pelepasliaran, Femke bilang Rambo masih kerap berkunjung ke seapen bersama Johnny. Mereka juga kerap berada di perairan Taman Nasional Bali Barat.
Sementara Rocky, yang jauh lebih muda dan paling lincah, diketahui sudah berada di perairan Australia, hanya beberapa hari setelah pelepasan.
"Kita bisa mengikuti jejaknya lewat GPS dan kita melihat dia mencapai jarak yang super jauh dan punya pola jalur yang alami. Dia ketemu kelompok [lumba-lumba] di alam, di mana mereka sudah tahu lokasi banyak ikan berada."
Akan tetapi, tak sampai dua bulan setelah pelepasliaran, Johnny dilaporkan mati pada 1 November 2022 . Temuan mengungkap Johnny mengalami infeksi saluran pernapasan yang fatal.
'Habitat lumba-lumba buatan terbesar di Indonesia'
Lebih dari setahun setelah pelepasliaran Johnny, Rambo, dan Rocky, kasus sengketa yang melibatkan lima lumba-lumba dari Dolphin Lodge Bali terus bergulir.
Kendati Mahkamah Agung menolak peninjauan kembali yang diajukan Piayu Samudra Bali pada 21 Desember 2023, lumba-lumba itu masih berada di kolam Bali Exotic Marine Park (BEMP), hingga kini.
Selain lima lumba-lumba dari Dolphin Lodge Bali, ada empat lumba-lumba lain menempati kolam BEMP—yang terdiri dari tiga bagian—sejak 2019.
Animal welfare manager BEMP, Ida Bagus Nararya Primastana Adnyana, mengungkapkan kolam utama berukuran sekitar 1.000 meter persegi, sementara dua kolam yang lebih kecil berukuran 10x5 meter.
"Ini habitat lumba-lumba buatan terbesar di Indonesia. Jadi kalau nanya kapasitas, ini jelas sudah yang paling besar," klaimnya.
Dua kolam kecil tersebut menempel dengan kolam utama, dan masing-masing dilengkapi dengan pagar pembatas sebagai pengaman agar lumba-lumba tidak masuk ke dalam kolam utama jika belum waktunya.
"Untuk kedalamannya di tiga meter. Ini sesuai dengan standar yang diberikan," ujar Ida Bagus kepada wartawan Ade Mardiyati yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
Standar yang dimaksud Ida Bagus adalah Peraturan Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Nomor P.16 Tahun 2014 tentang pedoman peragaan lumba-lumba .
Kolam-kolam itu menampung air laut dengan volume hingga 2,5 juta liter yang dikelola untuk memastikan kesehatan lumba-lumba.
Merujuk pada observasi yang dilakukan BBC pada Mei dan Agustus silam, lumba-lumba titipan BKSDA Bali dari Dolphin Lodge Bali—terdiri dari empat jantan dan satu betina—ditempatkan di salah satu kolam kecil yang disebut
Ida Bagus, yang bertugas sebagai dokter hewan di BEMP, mengatakan kolam-kolam kecil itu berfungsi sebagai holding area—tempat pemisahan dan peristirahatan.
"Pada saat aktivitas itu memang dipisahkan. Tapi aktivitas sudah kami rancang agar mereka bisa mengekspresikan normal behavior-nya."
Lumba-lumba yang dikelompokkan berdasar koloni dilepas di kolam utama secara bergantian sebanyak empat kali per hari, dengan durasi masing-masing 40 menit.
Secara total, mereka punya waktu 2,5 jam berada di kolam utama dalam sehari.
"Masalah pergantian, ganti-gantian itu sudah ada manajemennya," ujar Ida Bagus.
"[Misalnya], sekarang [lumba-lumba] yang ini yang keluar, besok yang ini yang keluar. Tapi dalam artian mereka harus balance dan juga memastikan mereka tidak stres."
Ketika lumba-lumba berada di kolam utama, BEMP menyediakan sesi bagi para pengunjung untuk berinteraksi dengan para lumba-lumba.
Selama kurang lebih 40 menit, pengunjung berkesempatan untuk berinteraksi langsung dengan lumba-lumba—termasuk memegang, membelai, mencium, dan bermain dengan mereka.
"Hanya ada enam pengunjung yang boleh ada di dalam kolam itu. Enam [orang] per dolphin. Tentu saja kalau dolphin-nya tidak mau beraktivitas, kita tidak paksa," tegasnya.
Ida Bagus menampik tudingan bahwa kolam BEMP melebihi kapasitas, karena menurutnya, "hitung-hitungan kapasitasnya sudah sesuai".
Sementara itu, lumba-lumba juga harus membiasakan diri dengan kandungan klorin—yang salah satu fungsinya untuk menjernihkan air—di kolam.
Jika terpapar klorin secara berlebihan bisa menyebabkan iritasi dan gangguan pernafasan.
Namun Ida Bagus memastikan bahwa kandungan klorin di kolam BEMP selalu dipantau dan tak pernah melebihi ambang batas 1,5 ppm.
"Selalu kurang [dari 1,5 ppm]. Jadi menurut saya aman-aman saja dan tidak pernah ada masalah pada lingkungannya."
Kepada wartawan Ade Mardiyati yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Sumarsono dari BKSDA Bali mengakui bahwa kondisi di BEMP "kurang memenuhi syarat" bagi lima lumba-lumba yang dititipkan lembaganya.
"[Mereka] ditempatkan di satu kolam khusus walaupun sebenarnya kurang menuni syarat, kolamnya kurang lebar," aku Sumarsono.
Kendati BEMP adalah fasilitas komersial, dia menegaskan bahwa lumba-lumba sitaan dari Piayu Samudra Bali yang dititipkan di BEMP tidak untuk diperagakan.
"Kita mengawasi terus itu. Kita tidak izinkan yang hasil sitaan dari Piayu itu diperagakan. Apalagi diperagakan komersil. Itu kita tidak izinkan dan tidak boleh," tegasnya.
"Mutlak sama sekali tidak boleh."
Lantas, mengapa lumba-lumba ini tak bernasib sama seperti Rambo, Rocky dan Johnny yang bisa hidup di lautan?
Sumarsono beralasan sengketa dengan Piayu Samudra Bali membuat status lima lumba-lumba ini tak menentu.
Kepastian status legalitas satwa ini baru didapat pada Juli silam, menurut Sumarsono.
"Status ini baru kira-kira dua bulan ini jelas ya. Jadi sudah sepenuhnya punya pemerintah walaupun sudah di PTUN-kan," ujarnya September lalu.
Selain itu, dia mengeklaim masih menunggu kesiapan dari pusat rehabilitasi tempat lumba-lumba itu nantinya dipindahkan.
"Jadi di samping menunggu status legalitas lumba-lumba, juga menunggu status legalitas dari kolam rehabilitasi lumba-lumba itu sendiri."
Kematian Johnny, menurut Sumarsono, membuat pemerintah lebih berhati-hati dalam melepasliarkan satwa—terutama yang mengalami cacat fisik.
"Di pengalaman selanjutnya kita tidak bisa sembarangan melepas liar karena lumba-lumba yang cacat, yang giginya kropos dan sebagainya itu tidak bisa dilepas," terangnya.
"Jadi teori bahwa lumba-lumba harus dilepas liar itu tidak sepenuhnya benar. Itu lihat-lihat kondisi lumba-lumbanya."
Di sisi lain, tambah Sumarsono, perpindahan lumba-lumba dari BEMP ke pusat rehabilitasi "tidak bisa serta merta" karena menunggu administrasi dari KLHK di Jakarta.
Itulah mengapa, relokasi lumba-lumba ini "tidak bisa secepat yang kita bayangkan karena berbagai macam situasi dan kondisi yang belum mengizinkan," kata Sumarsono.
"Segera setelah administrasi di Jakarta terpenuhi, dan menteri dan direktur memberikan lampu hijau, segera kita relokasi, kita pindahkan. Tapi ya tidak terlalu lama karena masa-masa sulitnya sudah berakhir."
Hingga saat itu tiba, lima lumba-lumba yang telah bertahun-tahun berada di kolam harus bersabar dalam ketidakpastian.
Laporan tambahan oleh Ade Mardiyati