Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.1
Konten Media Partner
'Jika Sebulan Ada 31 Hari, Maka Kami akan Bekerja 31 Hari' – Kesaksian Para Pekerja China di Balik Merek Fesyen Shein
18 Januari 2025 8:40 WIB
'Jika Sebulan Ada 31 Hari, Maka Kami akan Bekerja 31 Hari' – Kesaksian Para Pekerja China di Balik Merek Fesyen Shein
Para pekerja yang membuat pakaian untuk perusahaan raksasa mode Shein mengatakan kepada BBC bahwa mereka bekerja hingga 75 jam seminggu.
Deru mesin-mesin jahit terus terdengar di sejumlah sudut Guangzhou, kota pelabuhan yang berkembang pesat di China bagian selatan.
Deru itu terdengar melalui jendela-jendela pabrik yang terbuka dari pagi hingga larut malam, saat mereka menyelesaikan kaus, celana pendek, blus, celana panjang, dan pakaian renang yang akan dikirim untuk memenuhi lemari pakaian di lebih dari 150 negara.
Suara-suara itu bersumber dari Distrik Panyu, satu lingkungan yang dikenal sebagai "desa Shein", lokasi serangkaian pabrik yang menggerakkan pengecer mode cepat terbesar di dunia.
"Jika ada 31 hari dalam sebulan, saya akan bekerja 31 hari," kata seorang pekerja kepada BBC.
Sebagian besar mengatakan mereka hanya memiliki satu hari libur dalam sebulan.
BBC menghabiskan sekian hari di sini: kami mengunjungi 10 pabrik, berbicara dengan empat pemilik dan lebih dari 20 pekerja. Kami juga menghabiskan waktu di pasar tenaga kerja dan pemasok tekstil.
Kami menemukan di jantung perusahaan raksasa ini terdapat para tenaga kerja di belakang mesin jahit sekitar 75 jam seminggu, yang melanggar undang-undang ketenagakerjaan China.
Jam kerja seperti ini bukan hal yang aneh di Guangzhou, pusat industri bagi para pekerja pedesaan yang mencari penghasilan lebih tinggi; atau di China, yang telah lama menjadi pusat industri yang tak tertandingi di dunia.
Namun, jam kerja seperti ini menambah daftar pertanyaan tentang Shein , yang dulunya merupakan perusahaan yang didirikan di China dan kurang dikenal, tetapi telah menjadi raksasa global hanya dalam waktu lima tahun.
BBC News Indonesia hadir di WhatsApp.
Jadilah yang pertama mendapatkan berita, investigasi dan liputan mendalam dari BBC News Indonesia, langsung di WhatsApp Anda.
Perusahaan yang masih dimiliki secara pribadi ini diperkirakan bernilai sekitar £36 miliar (sekitar Rp715 miliar) dan saat ini mengincar pencatatan di Bursa Efek London .
Namun, pertumbuhannya yang pesat dibayangi kontroversi tentang perlakuannya terhadap para pekerja dan tuduhan adanya kerja paksa.
Tahun lalu, perusahaan ini mengakui adanya temuan kasus pekerja anak-anak di sejumlah pabriknya di China.
Perusahaan tersebut menolak untuk diwawancarai tetapi mengatakan kepada BBC dalam sebuah pernyataan bahwa "Shein berkomitmen untuk memastikan perlakuan yang adil dan bermartabat bagi semua pekerja dalam rantai pasokan kami" dan menginvestasikan puluhan juta dolar untuk memperkuat tata kelola dan kepatuhan".
Perusahaan ini menambahkan: "Kami berusaha keras untuk menetapkan standar tertinggi untuk gaji dan kami mengharuskan semua mitra rantai pasokan mematuhi kode etik kami. Lebih jauh, Shein bekerja sama dengan auditor untuk memastikan kepatuhan."
Keberhasilan Shein terletak pada kuantitas—pasokan barang yang mencapai ratusan ribu—dan diskon besar-besaran: gaun seharga £10 (sekitar Rp200 ribu), sweter seharga £6, serta barang-barang lain yang rata-rata berkisar di bawah £8.
Pendapatan mereka melonjak drastis, melampaui perusahaan-perusahaan terkenal seperti H&M, Zara, dan Primark di Inggris.
Penjualan dengan harga murah ini didorong oleh tempat-tempat seperti desa Shein, yang menjadi rumah bagi sekitar 5.000 pabrik, di mana sebagian besar adalah pemasok bagi Shein.
Bangunan-bangunan dilubangi untuk memberi jalan bagi mesin-mesin jahit, gulungan kain, dan tas yang penuh potongan kain.
Pintu-pintu ke ruang bawah tanah mereka selalu terbuka untuk siklus pengiriman dan pengambilan yang tampaknya tak berujung.
Seiring berlalunya hari, rak-rak terisi dengan kantong plastik bening yang terikat gudang yang diberi label dengan kata benda lima huruf yang kini menjadi ciri khas.
Namun, bahkan setelah pukul 22:00, aktivitas mesin-mesin jahit—dan orang-orang yang membungkuk di atasnya—tidak berhenti karena lebih banyak kain tiba, dalam truk yang begitu membludak sehingga gumpalan kain warna-warni itu terkadang berjatuhan ke lantai pabrik.
"Kami biasanya bekerja 10, 11, atau 12 jam sehari," kata seorang perempuan berusia 49 tahun dari Jiangxi. Dia tidak mau namanya disebutkan.
"Pada hari Minggu, kami bekerja sekitar tiga jam lebih sedikit."
Dia berada di sebuah gang, tempat belasan orang berkerumun di sekitar deretan papan pengumuman.
Mereka membaca iklan lowongan kerja di papan tersebut, sambil memeriksa jahitan pada celana chino yang menutupinya.
Ini adalah rantai pasokan Shein. Pabrik-pabrik dikontrak untuk membuat pakaian sesuai pesanan—ada yang berukuran kecil, ada yang berukuran besar.
Jika celana chino laris, pesanan akan meningkat, begitu pula produksinya.
Pabrik-pabrik kemudian mempekerjakan pekerja tidak tetap untuk memenuhi permintaan yang tidak dapat dipenuhi oleh para pekerja tetap.
Pekerja migran asal Jiangxi itu mencari kontrak jangka pendek - dan celana chino adalah pilihannya.
"Penghasilan kami sangat sedikit. Biaya hidup sekarang sangat tinggi," katanya, seraya berharap dapat menghasilkan cukup uang untuk dikirim kepada kedua anaknya yang tinggal bersama kakek-nenek mereka.
"Kami dibayar per potong," jelasnya.
"Tergantung seberapa sulit barangnya. Sesuatu yang sederhana seperti kaus oblong harganya satu-dua Yuan [kurang dari satu Dollar] per potong dan saya bisa membuat sekitar selusin dalam satu jam."
Memeriksa jahitan pada celana chino sangat penting untuk membuat keputusan itu.
Di sekelilingnya, para pekerja menghitung berapa banyak yang akan mereka dapatkan untuk membuat setiap potong pakaian dan berapa banyak yang bisa mereka buat dalam satu jam.
Gang-gang di Panyu berfungsi sebagai pasar tenaga kerja, penuh sesak di pagi hari saat para pekerja dan deru motor skuter bergegas melewati gerobak pangsit sarapan, cangkir-cangkir susu kedelai yang mengepul, dan petani yang penuh harapan menjual telur ayam dan bebek.
Jam kerja standar tampaknya mulai pukul 08:00 hingga lewat pukul 22:00, demikian temuan BBC.
Hal ini sesuai dengan laporan dari kelompok advokasi Swiss Public Eye , yang didasarkan pada wawancara dengan 13 pekerja tekstil di pabrik-pabrik yang memproduksi pakaian untuk Shein.
Mereka menemukan sejumlah staf bekerja lembur secara berlebihan.
Disebutkan, upah pokok tanpa lembur adalah 2.400 Yuan (sekitar Rp5 juta 300 ribu)—di bawah 6.512 Yuan yang menurut Asia Floor Wage Alliance diperlukan untuk "upah layak".
Tetapi, para pekerja yang kami ajak bicara mendapat penghasilan antara 4.000 hingga 10.000 Yuan per bulan.
"Jam-jam ini tidak biasa, tetapi jelas bahwa itu ilegal dan melanggar hak asasi manusia," kata David Hachfield dari kelompok tersebut.
"Ini adalah bentuk eksploitasi yang ekstrem dan ini perlu ditegakkan."
Rata-rata kerja selama sepekan tidak boleh melebihi 44 jam, menurut undang-undang ketenagakerjaan China, yang juga menyatakan pengusaha wajib memastikan pekerja memiliki setidaknya satu hari libur dalam seminggu.
Jika pengusaha ingin memperpanjang jam kerja ini, hal itu harus dilakukan jika ada alasan khusus.
Walaupun kantor pusat Shein kini berada di Singapura, tidak dapat disangkal sebagian besar produknya dibuat di China.
Dan keberhasilan Shein menarik perhatian Washington, yang semakin waspada terhadap perusahaan-perusahaan China.
Pada Juni, Marco Rubio, yang disiapkan calon presiden AS Donald Trump sebagai menteri luar negeri, mengatakan bahwa dia "sangat mengkhawatirkan soal etika" tentang "hubungan mendalam Shein dengan China":
"Perbudakan pekerja, eksploitasi di pabrik-pabrik, dan tipu daya dagang adalah rahasia kotor di balik keberhasilan Shein," tulisnya.
Tidak semua orang akan setuju dengan pilihan kata-kata Rubio untuk menggambarkan kondisi di pabrik-pabrik pemasok Shein.
Namun kelompok-kelompok hak asasi manusia mengatakan jam kerja yang panjang, yang menjadi cara hidup bagi banyak orang di Guangzhou, tidak adil dan eksploitatif.
Mesin-mesin menentukan ritme harian.
Mereka berhenti untuk makan siang dan makan malam ketika para pekerja, dengan piring logam dan sumpit di tangan, berbaris ke kantin untuk membeli makanan. Jika tidak ada lagi tempat untuk duduk, mereka berdiri di jalan.
"Saya telah bekerja di pabrik-pabrik ini selama lebih dari 40 tahun," kata seorang perempuan yang hanya menghabiskan waktu 20 menit untuk menyantap makanannya. Ini sesuatu yang lazim baginya.
Di dalam, pabrik-pabrik yang kami kunjungi tidaklah sempit. Ada cukup cahaya dan kipas angin berukuran industri telah dipasang untuk menjaga agar para pekerja tetap sejuk.
Pesan-pesan yang tertulis di poster-poster besar meminta para pekerja agar melaporkan apabila ditemukan adanya pekerja di bawah umur—kemungkinan sebagai tanggapan atas ditemukannya dua kasus pekerja anak dalam rantai pasokan pada tahun lalu.
BBC memahami bahwa perusahaan tersebut mengawasi lebih ketat para pemasoknya sebelum berencana untuk melantai di Bursa Efek London.
"Ini tentang reputasi mereka," kata Sheng Lu, profesor studi mode dan pakaian di Universitas Delaware.
"Jika Shein berhasil mencapai IPO, itu berarti mereka diakui sebagai perusahaan yang baik. Namun, jika mereka ingin menjaga kepercayaan investor, mereka harus bertanggung jawab."
Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi Shein adalah tuduhan bahwa mereka mengambil sumber kapas dari wilayah Xinjiang, China .
Kapas Xinjiang yang pernah disebut-sebut sebagai salah satu kain terbaik di dunia, tidak lagi disukai setelah tuduhan bahwa kapas tersebut diproduksi menggunakan kerja paksa oleh orang-orang dari minoritas Muslim Uighur—tuduhan yang terus-menerus dibantah Beijing.
Satu-satunya cara untuk mengatasi kritik ini adalah dengan bersikap lebih transparan, kata Prof Sheng.
"Kecuali jika Anda merilis daftar pabrik Anda sepenuhnya, kecuali jika Anda membuat rantai pasokan Anda lebih transparan kepada publik, maka saya pikir ini akan menjadi tantangan yang sangat besar bagi Shein."
Keunggulan utamanya, imbuhnya, adalah rantai pasokan Shein berada di China: "Sangat sedikit negara yang memiliki rantai pasokan lengkap. China memilikinya— dan tidak ada yang dapat bersaing."
Negara-negara pesaing seperti Vietnam dan Bangladesh mengimpor bahan baku dari China untuk membuat pakaian.
Tapi pabrik-pabrik China sepenuhnya bergantung pada sumber-sumber lokal untuk segala hal, mulai dari kain hingga ritsleting dan kancing.
Jadi, mudah untuk membuat berbagai macam pakaian, dan mereka dapat melakukannya dengan cepat.
Hal itu terutama berlaku untuk Shein yang algoritmanya menentukan pesanan.
Jika pembeli berulang kali mengklik gaun tertentu, atau menghabiskan waktu lebih lama untuk melihat sweater wol, perusahaan mengetahuinya dan meminta pabrik membuat lebih banyak—dan cepat.
Bagi para pekerja di Guangzhou, ini dapat menjadi sebuah tantangan.
"Shein memiliki kelebihan dan kekurangan," kata seorang pemilik pabrik kepada kami.
"Hal baiknya adalah pesanan akhirnya banyak, tetapi laba rendah dan itu sudah pasti."
Shein, mengingat ukuran dan pengaruhnya, adalah penawar yang tangguh. Jadi pemilik pabrik harus memangkas biaya di tempat lain, yang sering kali mengakibatkan upah staf yang lebih rendah.
"Sebelum Shein, kami memproduksi dan menjual pakaian sendiri," kata seorang pemilik tiga pabrik.
"Kami dapat memperkirakan biaya, memutuskan harga, dan menghitung laba. Sekarang Shein mengendalikan harga, dan Anda harus memikirkan cara untuk mengurangi biaya."
Namun, ketika pesanan mencapai puncaknya, itu adalah keuntungan besar.
Perusahaan mengirimkan sekitar satu juta paket sehari rata-rata, menurut data dari ShipMatrix, sebuah perusahaan konsultan logistik.
"Shein adalah pilar industri mode," kata Guo Qing E, salah-satu pemasok Shein.
"Saya mulai saat Shein pertama kali muncul. Saya menyaksikan kebangkitannya. Sejujurnya, Shein adalah perusahaan yang luar biasa di China. Saya pikir perusahaan ini akan menjadi lebih kuat, karena membayar tepat waktu. Di sinilah perusahaan ini paling dapat dipercaya.
"Jika pembayaran barang kami jatuh tempo pada tanggal 15, tidak peduli apakah itu jutaan atau puluhan juta, uang akan dibayarkan tepat waktu."
Shein, dengan jam kerjanya yang melelahkan dan terkadang upah yang lebih rendah, barangkali tidak menjadi sumber kenyamanan bagi semua pekerjanya. Namun, perusahaan ini menjadi sumber kebanggaan bagi sebagian orang.
"Inilah kontribusi yang dapat kami, orang China, berikan kepada dunia," kata seorang supervisor berusia 33 tahun dari Guangdong, yang tidak ingin menyebutkan namanya.
Di luar sudah gelap dan para pekerja kembali ke pabrik setelah makan malam untuk menyelesaikan pekerjaan. Ia mengakui jam kerjanya panjang, tetapi "kami saling berhubungan dengan baik. Kami seperti keluarga".
Beberapa jam kemudian, setelah banyak pekerja pulang ke rumah untuk bermalam, lampu di beberapa gedung tetap menyala.
Sebagian orang bekerja hingga tengah malam, kata seorang pemilik pabrik kepada kami. Mereka ingin mendapatkan lebih banyak uang, katanya.
Lagipula, di London, Chicago, Singapura, Dubai, dan banyak tempat lainnya, seseorang sedang berburu barang murah berikutnya.