Konten Media Partner

Kabupaten Garut Sahkan Peraturan Anti-homoseksual, Awasi Kos dan Libatkan Ormas

12 Juli 2023 20:05 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
6
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kabupaten Garut Sahkan Peraturan Anti-homoseksual, Awasi Kos dan Libatkan Ormas
zoom-in-whitePerbesar
Pemerintah Kabupaten Garut, Jawa Barat, mengesahkan aturan yang melarang aktivitas Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) di wilayah tersebut. Peraturan Bupati (Perbup) bernomor 47 tahun 2023 itu disebut sebagai implementasi dari Peraturan Daerah (Perda) Nomor 13 Tahun 2015 tentang Anti Perbuatan Maksiat yang menggolongkan perilaku gay, lesbian, biseksual, dan pedofilia, sebagai perbuatan maksiat.
Bupati Garut, Rudy Gunawan, menyebut peraturan itu diterbitkan menyikapi banyaknya kasus pelecehan seksual, meningkatnya kasus pengidap HIV/AIDS, dan keberadaan grup homoseksual pada laman Facebook.
Rudy kemudian menghubungkan kaum homoseksual dengan 26 kasus sodomi yang ditangani oleh Dinas Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kabupaten Garut pada Mei 2023.
Kasus itu yang menjadi alasan Pemkab Garut untuk segera mengeluarkan kebijakan anti-LGBT yang disebut "lebih menitikberatkan pencegahan dan pemulihan perilaku menyimpang."
"Perilaku menyimpang sebagaimana dimaksud dilakukan oleh penyuka sesama jenis, yang sebagian besar dilatarbelakangi pada awalnya pelaku merupakan korban kekerasan tersebut dan sekarang menjadi pelaku. Berdasarkan hasil konsultasi dengan psikolog, perilaku menyimpang tersebut merupakan penyakit menular yang harus disembuhkan," kata Rudy dalam jawaban tertulis kepada wartawan Yuli Saputra yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Rabu (12/7).

Pengawasan di kos oleh dinas kabupaten dan ormas

Rudiy menyebut bahwa peraturan itu menegaskan perilaku LGBT dilarang di wilayah pemerintahannya. Namun, ia berdalih, Perbup Nomor 47/2023 dibuat sebagai langkah preventif dan bukan untuk menghukum.
"Dalam Perda Antimaksiat ada LGBT yang kita juga klasifikasikan bahwa itu adalah perbuatan yang dilarang di Kabupaten Garut. Dari sisi apapun dilarang. Tapi kita tidak bisa menyatakan bahwa itu dihukum, kan perda tidak bisa (menghukum), perbup juga tidak bisa," kata Rudy.
Rudy menjabarkan bahwa upaya preventif yang dimaksud adalah pengawasan dengan melibatkan dinas dan organisasi massa alias ormas seperti Dinas Pendidikan, Dinas Sosial, Satpol PP, MUI, KNPI. Tim itulah yang nanti akan melakukan pengawasan di lokasi-lokasi yang diduga terjadinya perilaku LGBT, antara lain di sekolah dan di kos—yang seharusnya menjadi ranah privat.
"Kami melihat ada beberapa dari pergaulan, mulai dari sekolah maupun di lingkungan, termasuk di tempat-tempat kos. Setiap informasi yang menyatakan itu tempat berlangsungnya pertemuan antara dua jenis yang sama dan bercinta oleh kita diawasi dengan ketat."
Pengawasan itu diakui Rudy karena pihaknya tidak berhak menjerat dengan sanksi pidana.
"Kalau ada yang terjaring akan dibina oleh kami. Kalau mau menghukum, [pakai] pasal apa? Kami tidak bisa berharap seperti itu, kami harus menyadarkan," ujar politisi Gerindra itu.

Bantah aturan anti-LGBT diskriminatif

Menanggapi sejumlah pihak yang menilai aturan tersebut bersifat diskriminatif, Rudy membantahnya. Ia berkilah, peraturan tersebut bersifat universal, yakni tentang pelarangan perbuatan maksiat.
Rudy berkeras Perbup ini juga ditujukan untuk melindungi masyarakat dari perilaku menyimpang dengan cara pencegahan dan rehabilitasi.
"Nggak ada masalah [dikritik]. Saya harus melindungi masyarakat bahwa LGBT itu merupakan bagian yang bertentangan dengan hukum agama."
"Karena dampak dari perilaku menyimpang tersebut bisa mengakibatkan pelaku atau korban mendapatkan penyakit HIV/AIDS, risiko kanker, kanker anus, dan penyakit akibat gangguan hormon," pungkasnya.
Perbub anti-LGBT di Garut timbulkan kekhawatiran
Terbitnya Perbup Nomor 47/2023 menimbulkan kekhawatiran di kelompok minoritas seksual di Garut. Salah satunya, Awan (nama samaran). Awan khawatir Perbup tersebut akan memicu tindakan kekerasan terhadap kelompoknya. Selain itu, kegiatan komunitasnya yang aktif dalam edukasi pencegahan penularan HIV/AIDS bakal terhambat.
"Banyak yang dikhawatirkan. Takutnya kerja saya di lapangan ada hambatan," ucapnya.
Ketika ditanya apakah dia merasa khawatir terjadi persekusi, Awan mengakui dirinya khawatir dan sedikit merasa terancam keselamatannya,
Awan menyebut akan mempelajari isi Perbub tersebut untuk menentukan langkah selanjutnya.
"Kami pantau, baca, dan pelajari. Menunggu dulu situasinya tenang," kata Awan yang mengaku kelompoknya tidak pernah dilibatkan dalam proses penyusunan Perbup tersebut.
Saat Perbub itu masih dibahas, kelompok LGBT Arus Pelangi menilai rancangan aturan itu akan menambah panjang daftar aturan yang dinilai diskriminatif di Indonesia.
Pada Januari lalu, Arus Pelangi mencatat terdapat 45 regulasi anti-LGBT di Indonesia, dan sepanjang 2006 hingga 2018 terdapat 1.840 LGBT yang menjadi korban persekusi.
Pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti, menduga maraknya pembahasan isu anti-LGBT, termasuk dalam bentuk pembahasan raperda, sebagai sebuah "tren menjelang tahun politik".
"Apalagi ketika calon pemimpin itu tidak memiliki visi misi dan program kerja yang baik, mereka pakai saja isu itu [LGBT]. Saya duga ini mungkin ada kaitannya dengan itu," kata Bivitri.