Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten Media Partner
‘Kalau Ada Keadilan di Papua, Tak Perlu Digelar Pengadilan Rakyat di London’ – Apa Itu Permanent Peoples’ Tribunal dan Lima Hal Penting yang Perlu Diketahui
3 Juli 2024 14:36 WIB
‘Kalau Ada Keadilan di Papua, Tak Perlu Digelar Pengadilan Rakyat di London’ – Apa Itu Permanent Peoples’ Tribunal dan Lima Hal Penting yang Perlu Diketahui
Pemerintah Indonesia dituduh melakukan kekerasan dan perusakan lingkungan di Papua yang merugikan Orang Asli Papua demi kepentingan investasi asing dan nasional, demikian dakwaan dalam Permanent Peoples’ Tribunal (PPT) yang tengah berlangsung di London, Inggris.
Namun pemerintah Indonesia melalui Kantor Staf Presiden (KSP) mengatakan itu bukanlah dakwaan hukum, melainkan opini yang belum tentu menggambarkan apa yang terjadi sebenarnya di Papua.
Secara terpisah, Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di London mengatakan acara itu digelar mendekati hari ‘peringatan West Papua’ pada 1 Juli 2024, sehingga KBRI di London menuduh PPT dilakukan untuk “membangun persepsi publik”.
Sebaliknya, seorang pegiat HAM mengatakan acara PPT di London yang menyoroti masalah pelanggaran HAM dan kerusakan lingkungan di Papua membuktikan bahwa masih ada “ketidakadilan bagi orang asli Papua”.
Dan, Amnesty International Indonesia meminta pemerintah Indonesia agar melihat dakwaan PPT itu sebagai kritik agar dapat mengubah kebijakan keamanannya terkait Papua.
PPT digelar oleh Pusat Kajian Kejahatan Iklim dan Keadilan Iklim di Queen Mary University of London. Acara ini digelar sejak Kamis (27/06) dan berakhir Sabtu (29/06) malam Waktu Indonesia Barat.
Delapan orang hakim tribunal memimpin persidangan ini. Mereka mendengarkan kesaksian sejumlah korban hingga pegiat LSM terkait dua dakwaan itu.
Dakwaan dalam PPT diakui oleh penyelenggaranya tidak memiliki konsekuensi hukum apapun. Namun acara ini semata bertujuan menyuarakan persoalan di Papua di dunia internasional.
Berikut beberapa hal yang perlu Anda ketahui tentang Permanent Peoples’ Tribunal (PPT) dan reaksi pemerintah Indonesia atas acara itu.
Apa itu Permanent Peoples’ Tribunal (PPT)?
Seperti diakui sendiri oleh penyelenggaranya , PPT adalah satu ‘pengadilan opini’ internasional.
Di dalamnya, ada panel-panel hakim. Merekalah yang akan memutuskan seperti apa kejahatan serius yang terjadi di suatu negara, dan sejauh mana itu merugikan masyarakat dan kelompok minoritas.
Ini didasarkan berbagai keterangan saksi dan bukti-bukti.
Dalam situs resminya, keberadaan PPT tidak terlepas dari pembentukan Russell Tribunal on Vietnam (1966-1967) dan Russell Tribunal on the dictatorship in Latin America (1973-1976).
Lembaga ini dibentuk sebagai lembaga permanen dengan tujuan mengungkap kejahatan serius, “yang belum ditanggapi secara memadai oleh komunitas internasional,” kata David Whyte, Direktur Pusat Kajian Kejahatan dan Kajian Iklim di Queen Mary University of London, Inggris.
Menurut Papang Hidayat, aktivis HAM asal Indonesia, inisiatif acara ini dari masyarakat sipil di tingkat internasional yang dipimpin oleh sebuah perguruan tinggi.
“Mereka sudah mengembangkan model-model pengadilan rakyat atau pengadilan non-formal, walau metodeloginya persis dengan pengadilan formal,” kata Papang yang pernah aktif di LSM Kontras dan Amnesty International Indonesia.
Panel hakimnya bisa hakim aktif, atau mantan hakim, atau praktisi hukum, katanya.
Ada pula jaksa penuntut, yang menurutnya, bisa dari masyarakat sipil, pengacara, atau praktisi hukum.
“Mereka lah yang memberi data terkait Papua, yang sudah banyak pelaporan alternatif dari masyarakat sipil, misalnya dari LSM Tapol. Informasi inilah yang diambil oleh jaksa penuntut,” jelas Papang yang menjadi pemantau dalam PPT Papua ini.
Pengadilan rakyat itu tak semata membahas masalah di Papua, tapi mereka pernah menyoal isu Palestina, Chile atau perang sipil di Srilanka.
“Mereka menggunakan instrumen hukum level internasional,” jelas Papang.
Mengapa sebuah kampus di London gelar PPT Papua?
Bagi pusat kajian kampus itu, Papua penting bagi Inggris karena di Papua ada investasi dari perusahaan minyak bumi yang bermarkas di London.
Selain itu, menurut Whyte, sebagian besar cadangan emas, tembaga, dan logam lainnya yang sangat besar di Papua diperdagangkan di London.
Sebuah perusahaan lainnya yang berbasis di London juga menjadi alasan di balik digelarnya PPT Papua. Mereka disebut sebagai salah-satu pembeli minyak sawit terbesar di dunia.
“Dan sebagian besar dipasok dari Indonesia,” jelasnya seraya menyebut Papua sedang mengalami ekspansi minyak sawit yang pesat.
Alasan kedua, misi mereka adalah mengungkap aktor-aktor politik dan ekonomi yang melalui tindakannya memperburuk krisis iklim. Tanah Papua adalah rumah bagi hutan hujan terbesar ketiga di dunia.
“Dan karena percepatan pembangunan industri, seperti halnya Amazon, Papua juga terancam,” kata Whyte. “Dan kita perlu menjelaskan dinamika politik dan ekonomi yang mengakibatkan rusaknya hutan.”
Apa reaksi pemerintah Indonesia atas PPT Papua?
Tuan rumah PPT Papua mengeklaim telah memberitahukan isi dakwaan kepada pemerintah Indonesia.
Mereka juga mengeklaim telah memberi hak kepada pemerintah Indonesia untuk melakukan pembelaan.
Allessandro Bernama, Kepala Bidang politik Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di London, mengatakan surat pemberitahuan itu dicoba dikirimkan ke Presiden Joko Widodo. Di dalamnya ada tembusan kepada sejumlah duta besar.
“Tidak ada orang KBRI yang hadir di situ,“ kata Allessandro saat dihubungi BBC News Indonesia pada Jumat (28/06) malam. Hal itu dia utarakan saat ditanya apakah KBRI mengirimkan utusannya ke acara PPT.
Menurut Allessandro, KBRI di London menilai acara PPT Papua itu bukanlah peradilan formal, tapi semata “mendengarkan opini dan tidak berkompeten mengeluarkan putusan hukum”.
Penyataan senada juga dilontarkan Kantor Staf Presiden (KSP) melalui salah-seorang tenaga ahli utamanya, Theo Litaay. Dia mengatakan itu bukanlah dakwaan hukum, melainkan opini yang belum tentu menggambarkan apa yang terjadi di Papua.
“Kalau itu dikatakan sebagai kebenaran [di Papua] tentu tidak,” kata Theo Litaay kepada BBC News Indonesia, Kamis (27/06). Dia menyebutnya sebagai tuduhan yang belum tentu valid.
Anggapan acara itu lebih sebagai pengadilan non-formal tidak dibantah oleh Queen Mary University of London.
“Ini bukan pengadilan dan tidak akan menawarkan upaya hukum apa pun kepada masyarakat West Papua,” kata David Whyte, Direktur Pusat Kajian Kejahatan Iklim dan Keadilan Iklim di Queen Mary University of London, Inggris.
Acara itu, kata Whyte, lebih sebagai medium bagi masyarakat Papua untuk bersuara mengenai apa yang mereka klaim sebagai “kekerasan brutal” yang telah dilakukan terhadap mereka.
“Dan sudah sepantasnya kita melakukan hal ini di kota yang banyak menerima keuntungan dari kerusakan lingkungan di Papua,” kata Whyte.
Tuduhan kekerasan brutal oleh TNI-Polri dalam sejumlah kasus dugaan pelanggaran HAM masa lalu di Indonesia sudah diakui oleh pemerintah Indonesia.
Pada awal Januari 2023, Presiden Joko Widodo mengatakan sebagai kepala negara, dia mengakui dan menyesalkan terjadinya pelanggaran HAM berat pada 12 peristiwa .
Di antaranya adalah peritiwa Wasior di Papua (2001-2002) dan peristiwa Wamena (2003).
“Jadi pemerintah bukan mengabaikan atau menutup mata,” ujar Theo Litaay.
Presiden Joko Widodo kemudian mengeluarkan instruksi presiden khusus untuk menyelesaikan rekomendasi tim penyelesaian non-yudisial pelanggaran HAM berat masa lalu. Semuanya ini sedang berproses, katanya. Upaya ini kemudian diklaim tidak akan menutup penyelesaian hukumnya.
Theo Litaay tidak memungkiri sejumlah kasus pelanggaran HAM berat di Papua yang masuk meja hijau, putusan akhirnya dianggap mengecewakan para korban. Di sini pemerintah tidak bisa mencampuri urusan hukum.
“Ada masalah yang masuk pengadilan dan diselesaikan pengadilan, sehingga pemerintah tidak selalu harus iku campur dalam prosesnya,” ujarnya.
Terduga pelaku kasus kekerasan di Paniai, Papua (7 Desember 2014), misalnya, dibebaskan oleh Pengadilan HAM di Makassar. Hal yang sama juga terjadi dalam kasus kekerasan Abepura, Papua (7 Desember 2000), di mana terdakwanya juga dibebaskan dari pengadilan yang sama.
Bagaimanapun, tuan rumah PPT Papua di situs resminya menyebutkan, sumber konflik yang sedang terjadi di Papua dapat ditelusuri dari apa yang mereka sebut sebagai pemindahan paksa wilayah tersebut dari bekas kekuasaan kolonial Belanda ke Indonesia pada akhir 1960-an.
Dalam sejarah resmi Indonesia, pengalihan itu dilalui melalui jajak pendapat yang diawasi PBB pada 1969. Hasilnya menyatakan Papua menjadi bagian dari Indonesia.
Namun dokumen PPT Papua menyebutkan legitimasi proses demokrasi yang mendasari proses itu tidak pernah diterima Masyarakat Papua. Penilaian seperti ini sejak awal ditolak oleh pemerintah Indonesia.
Sikap penyelenggara PPT Papua seperti ini yang sepertinya membuat pemerintah Indonesia meragukan niat baiknya.
Allessandro Bernama, Kepala Bidang Politik Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di London, mengatakan, waktu penyelenggaraan acara ini berdekatan dengan ‘Hari Proklamasi West Papua’ pada 1 Juli 2024.
“Jadi kita melihat ada pola mengapa sesuatu yang ujug-ujug ini dilakukan pada tanggal 27-29 Juni? Itu juga perlu ditelurusi, apa maknanya?” kata Allesdandro.
“Bagi kami ada keperluan buat mereka untuk mengisi peringatan hari proklamasi West Papua untuk membangun persepsi publik tentang peringatan ini,” tambahnya.
BBC News Indonesia belum mendapatkan klarifikasi dari pihak penyelenggara PPT Papua atas tuduhan ini.
Apa isi dakwaan PPT Papua?
Secara ringkas, seperti dituliskan dalam situs resminya, tuan rumah PPT Papua mengatakan bahwa pokok dakwaan “berakar pada hubungan sosial dan ekonomi yang tidak setara”.
Hal ini disebut memungkinkan kebijakan industri Indonesia dipaksakan kepada masyarakat Papua.
Sementara, demikian pokok dakwaan PPT Papua , teknik kontrol sosial dan militerisasi yang menyertainya “memastikan kelanjutan hubungan sosial dan ekonomi yang tidak setara tersebut.”
Dalam penjelasannya, mereka membeberkan berbagai persoalan yang selama ini sudah diberitakan media, laporan penelitian, atau hasil investigasi organisasi HAM serta lingkungan.
Mulai kekerasan bersenjata terhadap warga asli Papua yang disebut makin meningkat belakangan; nasib tahanan politik; tuduhan makar dan kriminalisasi terhadap aktivis.
Hingga kasus-kasus kerusakan lingkungan dan pelanggaran HAM akibat aktivitas industri penambangan skala besar.
“Ada perampasan lahan yang diambil tanpa persetujuan masyarakat adat, ada juga polusi atau kerusakan lingkungan akibat praktek penambangan, dan juga peran faktor bisnis baik internacional maupun nasional dalam isu HAM,” jelas Papang, aktivis HAM yang jadi pemantau dalam PPT Papua ini.
“Juga ada gugatan yang lebih umum yaitu represi negara lewat kekerasan seperti penyiksaan, pembunuhan di luar proses hukum,” tambahnya.
Seperti apa kesaksian selama persidangan?
Selama tiga hari pelaksanaan PPT Papua, majelis hakim mendengarkan kesaksian dari sejumlah orang dan lembaga.
Selain beberapa orang yang disebut sebagai korban pelanggaran HAM berat di masa lalu, ada pula sejumlah orang warga Papua untuk kasus-kasus yang terjadi belakangan.
Misalnya saja kasus pengungsian warga sipil di Kabupaten Maybrat, Papua Barat Daya, pada 2021. Ini dampak dari konflik bersenjata antara TNI-Polri dan Tentara Organisasi Papua Merdeka. Seorang saksi warga sipil dihadirkan di sini.
Ada pula kesaksian dari kasus mutilasi empat orang warga sipil di Mimika yang melibatkan sejumlah anggota TNI.
Pada hari terakhir, Sabtu (29/06), dihadirkan pula para saksi dari kasus-kasus kerusakan lingkungan dan HAM akibat industri penambangan.
Kesaksian dari warga Papua dilakukan melalui aplikasi Zoom. Ada beberapa tidak ditampilkan jati dirinya. Namun ada pula yang membeberkan identitasnya dan tampil terbuka di depan vídeo.
Salah-satunya adalah Tineke Rumkabu, korban peristiwa yang kerap disebut di media sebagai 'Biak Berdarah', pada 6 Juli 1998.
Saat itu, menurut Tineke kepada PPT Papua, sejumlah orang di Pulau Biak mengibarkan bendera Bintang Kejora di sebuah menara air serta menyanyikan lagu-lagu rohani.
Tineke mengeklaim, aparat memaksa massa bubar namun ditolak. Tineke juga mengeklaim dirinya mendengar bunyi tembakan aparat TNI sehingga massa ketakutan. Kepolisian, klaim Tineke, melakukan penangkapan.
Tineke Rumbaku salah satu orang yang ditangkap. Dia mengeklaim dirinya dan sejumlah orang lain diangkut ke mobil truk dengan mata tertutup. Mereka dibawa ke suatu tempat. Di sanalah, Tineke membuat klaim bahwa dirinya dan sejumlah orang lain mengalami penyiksaan.
“Tentara bakar lilin dan dimasukkan ke lubang vagina,” klaim Tineke dengan intonasi suaranya tercekat dalam kesaksiannya melalui Zoom PPT, Kamis (27/06) malam.
“Pada saat itu, kami sudah berpikir kami akan dibunuh,” tuturnya. Belakangan ada yang menyelamatkan dia dan beberapa lainnya.
Mereka kemudian menyelamatkan diri ke dalam hutan. Selama satu bulan Tineke dan beberapa lainnya bertahan di sana. “Kami ketakutan.”
BBC tidak bisa memverifikasi secara independen kesaksian Tineke.
Baca juga:
Setahun kemudian, LSM Elsham mengumumkan hasil investigasi dalam kejadian kekerasan di Biak, Papua. Mereka mengungkapkan ada delapan orang meninggal, tiga orang hilang, empat orang luka berat, serta 150 orang ditangkap dan disiksa. Dan setelahnya, ditemukan 32 jenazah di perairan Biak.
“Banyak korban sudah beri testimoni, tapi tidak ada perhatian pemerintah untuk selesaikan kasus ini,” ujar Tineke.
Dia menyayangkan tidak pernah ada upaya hukum untuk menjerat pelaku kasus kekerasan di Biak pada 1998.
“Sehingga kami minta sidang mulai ini menjadi harapan kami agar para hakim dan komunitas global dapat terlibat membantu kami rakyat Papua dorong pemerintah Indonesia bertanggungjawab memberi keadilan bagi kami,” ungkapnya.
Apakah hasil PPT Papua bakal didengar dan berdampak?
Seperti dijelaskan di atas, putusan apapun dari Permanent Peoples’ Tribunal (PPT) Papua ini tidak akan memiliki dampak hukum apapun terhadap Indonesia maupun para korban kekerasan dari warga sipil Papua.
“Ini bukan pengadilan dan tidak akan menawarkan upaya hukum apa pun kepada masyarakat West Papua,” kata David Whyte, Direktur Pusat Kajian Kejahatan Iklim dan Keadilan Iklim di Queen Mary University of London, Inggris.
Acara itu, menurut Whyte, lebih sebagai medium bagi masyarakat Papua untuk bersuara mengenai apa yang mereka klaim sebagai “kekerasan brutal” yang telah dilakukan terhadap mereka.
Walaupun tidak memiliki konsekuensi hukum, aktivis HAM Papang Hidayat mengatakan hasil acara PPT Papua di London dapat dijadikan bahan kritik bagi pemerintah Indonesia bahwa masih ada persoalan di Papua.
“Ini membuktikan pemerintah Indonesia gagal menghadirkan keadilan bagi orang Papua,” kata Papang.
Dia lalu mengingatkan pemerintah bahwa ada beberapa pekerjaan rumah tekait pelanggaran HAM berat di Papua yang belum direalisasi.
Bagaimanapun dia meragukan apakah hasil PPT Papua itu dapat diterima sebagai masukan atau kritikan bagi pemerintah Indonesia.
“Kalau isu Papua dibicarakan oleh orang lain, pemerintah Indonesia selalu menuduh ini internasionalisasi,” kata Papang.
Baca juga:
Sementara itu, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengatakan pemerintah Indonesia harus menerima kritikan dari PPT Papua secara terbuka.
“Tentu saja dengan melakukan tindakan-tindakan yang kongkrit. Misalnya, mengubah kebijakan pendekatan militeristik di Papua,” kata Usman kepada BBC News Indonesia, Kamis (27/06).
Selain itu, pemerintah Indonesia diminta untuk membuka ruang dialog dengan kelompok pembebasan di Papua.
“Lalu menyelesaikan pelanggaran HAM di Papua, serta mengembalikan otonomi khusus untuk Papua,” tegasnya.
Karena kalau itu tidak dilakukan, ongkosnya sangat mahal ke depan. Dari mulai kerusakan lingkungan sampai kematian anggota TNI-Polri, ujar Usman.
Dalam kesaksiannya, Tineke Rumbaku, salah seorang korban peristiwa kekerasan di Biak, Papua Barat pada 6 Juli 1998, menyuarakan sebuah harapan. Dia menyampaikannya ketika memberikan kesaksian melalui Zoom pada hari pertama PPT Papua di London.
“Kami minta sidang mulai ini menjadi harapan kami agar para hakim dan komunitas global dapat terlibat membantu kami rakyat Papua dorong pemerintah Indonesia bertanggung jawab memberi keadilan bagi kami,” tandas Tineke Rumbaku.