Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.98.1
Konten Media Partner
'Kami Dibilang Kena Kutuk' – Kisah Para Penyintas Kusta Berjuang Melawan Stigma
26 Januari 2025 10:00 WIB
'Kami Dibilang Kena Kutuk' – Kisah Para Penyintas Kusta Berjuang Melawan Stigma

Ketika Prima Gharti Magar turun dari bus setelah dirawat selama 18 bulan di rumah sakit untuk memulihkan diri dari kusta, ia berharap keluarganya dapat menghibur.
Namun, Prima justru menghadapi kesunyian. Meskipun staf rumah sakit meyakinkan keluarga Prima bahwa ia telah sembuh dan tidak lagi menular, sanak saudaranya masih terasa takut.
"Saya pikir keadaan akan berubah saat saya sembuh," kenang Prima. "Namun, rasa takut dan stigma masih ada. Rasanya tidak seperti di rumah lagi."
Kusta, yang merupakan salah satu penyakit tertua yang diderita manusia, bukan sekadar penyakit fisik. Bagi banyak orang, kusta adalah penolakan sosial yang harus diderita selama sisa hidup mereka.
Prima sekarang berusia 42 tahun dan dia telah sembuh dari kusta selama lebih dari 25 tahun.
Namun, ia tidak dapat melupakan masa-masa tergelapnya, yaitu saat pertama kali mengetahui bahwa dia menderita kusta.
Kala itu, dia mengira dirinya akan menjalani sisa hidup diasingkan di kandang sapi.
Stigma
Kusta, yang juga dikenal sebagai penyakit Hansen, tercatat mencapai 200.000 kasus baru setiap tahun, menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Penyakit ini masih ada di sekitar 120 negara.
Kusta disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae.
Penyakit itu diyakini dapat menular melalui percikan ludah dari hidung dan mulut saat sering berkontak dekat dengan pengidap yang belum diobati, menurut WHO.
Mengenai penularan, WHO menjelaskan: "Penyakit ini tidak menyebar melalui kontak biasa dengan pengidap kusta seperti berjabat tangan atau berpelukan, berbagi makanan atau duduk bersebelahan."
WHO mencatat bahwa setelah pengobatan dimulai, pasien akan berhenti menularkan kusta.
BBC News Indonesia hadir di WhatsApp .
Jadilah yang pertama mendapatkan berita, investigasi dan liputan mendalam dari BBC News Indonesia, langsung di WhatsApp Anda.
Meskipun dapat disembuhkan dengan antibiotik, penyakit ini masih diselimuti mitos dan ketakutan, terutama di daerah terpencil seperti daerah pedesaan di Nepal.
"Ada beberapa kesalahpahaman, seperti percaya bahwa kusta adalah kutukan, konsekuensi dosa, atau hukuman dari Tuhan. Atau [bahwa] ini adalah penyakit yang sangat menular dan tidak dapat disembuhkan," kata Dr. Mahesh Shah, yang telah merawat pengidap kusta selama lebih dari 30 tahun di Nepal.
Kisah Prima mencerminkan kisah banyak orang lain di Nepal.
Di negara tersebut penyakit ini tidak hanya menimbulkan dampak fisik—tetapi juga pengucilan.
Pada usia 10 tahun, ketika gejala kusta muncul di kulit Prima, keluarganya mengurungnya di kandang sapi selama tiga bulan karena takut tertular.
"Mereka bilang saya dikutuk," kenang Prima. "Saya tidur di tanah yang dingin, ketakutan, dan kelaparan. Bahkan ibu saya tidak mau mendekati saya."
Sejarah keluarganya sangat terluka oleh kusta.
Kakek Prima mengidap kusta dan tidak mendapat perawatan medis. Akibatnya sang kakek ditinggalkan sendirian sampai meninggal dunia di hutan terpencil.
Tragedi itu terulang ketika ayah Prima, Tula Gharti Magar, mulai menunjukkan gejala serupa. Mimpi buruk keluarga itu kembali lagi.
Karena putus asa mencari kesembuhan, keluarga Prima beralih ke tabib tradisional di desa mereka. Namun, tidak ada yang dapat memberikan kesembuhan secara sempurna.
Saat kondisi ayahnya memburuk, ia juga dikurung di kandang sapi, dipisahkan dari keluarga dan masyarakatnya. Sang ayah akhirnya meninggal tanpa pemakaman yang layak dan ditolak oleh warga desa.
"Setelah menyaksikan kematian ayah saya, saya yakin saya ditakdirkan untuk nasib yang sama dan ingin mengakhiri hidup saya sendiri saat berada di kandang sapi. Namun kemudian tanah longsor terjadi, mengubur saya hidup-hidup. Saat itu, saya ingin berjuang untuk hidup saya."
Kisah Prima bukanlah kisah yang unik.
Bagi Amar Timalsina, yang didiagnosis mengidap kusta pada usia 12 tahun, stigma mengikutinya ke mana-mana. Amar dikeluarkan dari sekolahnya hanya satu tahun setelah didiagnosis.
"Selama bertahun-tahun, saya merasa tidak terlihat," kata Amar. "Saya tidak hanya melawan penyakit itu; saya juga melawan rasa takut masyarakat terhadap saya."
Perjuangan mendapat perawatan medis
Ketika gempa bumi mengguncang Nepal, bencana itu menjadi berkah tersembunyi bagi Prima. Dia dibawa ke pusat kesehatan setempat sehingga bisa mendapatkan perawatan yang lebih baik.
Namun, pusat kesehatan tersebut hanya dapat menyediakan persediaan obat untuk satu bulan sekali tebus. Sehingga Prima harus sering bepergian untuk menebus resep obatnya.
Setiap perjalanan ia harus menempuh perjalanan selama sehari penuh dengan bus yang dilanjut dengan berjalan kaki pada hari kedua.
Musim hujan membawa bahaya tambahan karena banjir dan tanah longsor sering kali menghambat dirinya mendapatkan obat tepat waktu.
Akhirnya, Prima bisa meyakinkan pusat kesehatan setempat untuk mengizinkannya menjalani observasi selama seminggu.
Dia kemudian dirawat di sana selama 18 bulan setelah dapat meyakinkan staf medis bahwa jika ia pulang, ia akan dikurung di kandang sapi lagi.
"Itulah pertama kalinya saya merasa memiliki harapan," katanya. "Para dokter memperlakukan saya seperti manusia, bukan penyakit."
Selama periode tersebut, hanya dua orang kerabat jauh yang mengunjunginya sekali. Bahkan, sekembalinya ke rumah, ia tidak disambut oleh keluarganya sendiri.
Perawatannya menyakitkan dan menimbulkan efek samping yang parah.
Dr. Mahesh Shah menjelaskan, "Dapson [antibiotik] dapat menyebabkan reaksi alergi parah dan perawatan yang tepat sangat penting. Jika tidak, pasien dapat meninggal. Klofazimin [obat kusta] dapat menyebabkan diare dan pigmentasi gelap, sehingga pasien mungkin tidak menyelesaikan pengobatan secara tuntas dan ini dapat menjadi salah satu faktor yang menyebabkan munculnya stigma."
Memberantas stigma
Meskipun sempat mendapat penolakan, Prima dan Amar akhirnya menemukan jalan untuk berobat.
Perjalanan Amar membawanya ke Rumah Sakit Kusta Anandaban, tempat ia dirawat lebih dari 40 kali selama enam tahun. Rasa sakit fisik akibat pengobatannya sangat luar biasa.
"Tantangan terbesar yang saya hadapi adalah isolasi sosial, rasa sakit emosional, dan masalah kesehatan fisik akibat reaksi eritema nodosum leprosum (ENL) terhadap obat-obatan. Efek samping yang saya alami sangat parah sehingga terkadang terasa seperti tubuh saya terpotong-potong," kenang Amar.
"Tetapi dikucilkan lebih buruk."
"Teman-teman saya berubah menjadi orang asing. Tetangga saya menjauhi saya. Dan keluarga saya tidak tahu bagaimana menghadapinya," kata Amar.
Rasa penolakan dan putus asa menjadi begitu kuat sehingga ia mencoba bunuh diri dua kali.
Setelah Amar pulih sepenuhnya, ia menikah. Tetapi istrinya menceraikannya ketika mengetahui bahwa suaminya dulunya menderita kusta. Hal ini semakin membuat Amar trauma.
"Saya pikir tidak ada jalan keluar," aku Amar.
Di tengah perjuangan mereka, saat-saat penuh harapan mulai muncul.
Titik balik Amar datang ketika seorang dokter Belanda di Anandaban menawarinya kesempatan untuk belajar di Kathmandu.
"Itulah pertama kalinya seseorang melihat jauh melampaui penyakit saya dan melihat potensi saya," kenang Amar.
Kesempatan ini memungkinkan Amar untuk membangun kembali hidupnya. Pada 1998, ia mendirikan IDEA Nepal , sebuah organisasi yang didedikasikan untuk memberdayakan orang-orang yang terkena kusta.
"Kemandirian ekonomi sangat penting," jelas Amar. "Itulah kunci untuk menghilangkan stigma."
Begitu juga dengan yang dilakukan Prima. Dengan keberanian, dia mengambil jalur yang tidak konvensional untuk mengejar pendidikannya, bekerja di restoran dan lokasi konstruksi.
Uang yang diperoleh ditabung untuk memulai studinya. Setelah empat tahun menjalani perawatan kusta, ia mendaftar di kelas satu di sebuah sekolah, pada usia 21 tahun.
Selama enam tahun berikutnya, ia menyelesaikan pendidikan menengahnya dengan dukungan dari Nepal Leprosy Relief Association (NELRA) , IDEA Nepal, dan The Leprosy Mission Nepal (TLMN).
Kemudian Prima memperoleh gelar pascasarjana di bidang farmakologi dan sekarang menjalankan apoteknya sendiri.
"Ini bukan hanya tentang mencari nafkah," kata Prima. "Ini tentang membuktikan kepada diri sendiri dan orang lain bahwa saya lebih dari sekadar penyakit ini."
Dr Mahesh Shah mengatakan kepada BBC bahwa dengan menghilangkan mitos dan mendorong pengobatan dini, kita dapat mengurangi penularan penyakit dan stigma.
"Tantangan sebenarnya bukan hanya penyakit itu sendiri tetapi stigma sosial yang mengisolasi individu dan menghambat produktivitas mereka," catat dokter tersebut.
"[Pasien] tidak ingin bersosialisasi, bahkan tidak mau berbagi masalah medis mereka dengan keluarga atau kerabat," tegas Dr Mahesh Shah.
'Kami bukan penyakit'
Kini, Amar dan Prima menjadi contoh bagi banyak orang di Nepal.
Anak-anak Amar menempuh pendidikan tinggi di luar negeri, bukti kehidupan yang dibangun kembali setelah sembuh dari penyakitnya.
Ia tetap berkomitmen penuh pada misinya, yaitu agar pengidap kusta bisa diterima masyarakat.
"Masih ada daerah-daerah di mana orang-orang pengidap kusta dikurung," katanya. "Itu perlu diubah. Setiap orang berhak mendapatkan martabat."
"Hidup bukan tentang apa yang terjadi pada Anda; tetapi tentang bagaimana Anda mengatasinya," ungkapnya.
Prima sepakat dengan Amar.
Mengelola apotek telah membuatnya menjadi sosok yang disegani di komunitasnya. Ia terus membantu orang lain yang terkena kusta.
"Orang-orang perlu melihat kami lebih dari sekadar masa lalu. Kami bukan penyakit - kami adalah individu dengan mimpi dan potensi."
Prima menegaskan, "Kami didefinisikan, bukan oleh perjuangan kami, tetapi oleh bagaimana kami bangkit darinya."