Kasus Andibachtiar ‘Hanya Puncak Gunung Es‘ Kekerasan di Industri Film Indonesia

Konten Media Partner
3 September 2022 8:37 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
(Ilustrasi) Pekerja perempuan di industri film Indonesia disebut rentan mengalami kekerasan fisik maupun kekerasan seksual.
zoom-in-whitePerbesar
(Ilustrasi) Pekerja perempuan di industri film Indonesia disebut rentan mengalami kekerasan fisik maupun kekerasan seksual.
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kasus dugaan kekerasan yang disebut-sebut dilakukan oleh sutradara Andibachtiar Yusuf terhadap seorang kru perempuan di lokasi syuting disebut hanya sebagai "puncak gunung es" dari maraknya kasus kekerasan yang dialami pekerja perfilman Indonesia, terutama perempuan, kata sejumlah aktivis.
Peneliti kebijakan dari Koalisi Seni, Ratri Ninditya, mengatakan bahwa pekerja seni perempuan menjadi yang paling rentan mengalami kekerasan fisik, verbal, hingga seksual.
Dugaan kekerasan yang disebut-sebut dilakukan oleh Andibachtiar telah direspons oleh asosiasi sutradara - Indonesian Film Directors Club (IFDC) - serta rumah produksi yang menaungi proyek serial yang dia tangani, Paragon Pictures.
IFDC mengeluarkan Andibachtiar dari keanggotaan IFDC, sedangkan Paragon memutus hubungan dalam kurun waktu tidak sampai sehari sejak dugaan kekerasan itu viral di media sosial.
Menurut Ratri, sanksi sosial dari komunitas dan lembaga itu bagaikan "pedang bermata dua" dalam penanganan isu kekerasan.
Di satu sisi, sanksi itu menunjukkan kemajuan yang baik soal keberpihakan kepada korban. Namun di sisi lain, itu juga menunjukkan adanya "kekosongan hukum" bagi korban untuk mendapat keadilan, sehingga satu-satunya cara adalah dengan memviralkan apa yang dia alami.
Pendapat serupa juga disampaikan oleh aktris sekaligus aktivis perempuan, Hannah Al Rashid.
"Tiga tahun lalu pembahasan [mengenai isu kekerasan dan pelecehan] nggak ada sama sekali, tapi karena kita terus membahasnya, sekarang orang melihat tidak bisa lagi ditolerir kekerasan dalam bentuk apa pun," kata Hannah kepada wartawan BBC News Indonesia, Nicky Aulia Widadio.
"Ini kemajuan yang positif, tapi sistem (perlindungan korban) itu memang sudah harus tercipta supaya korban tidak perlu lagi menaruh diri mereka di baris depan di media sosial, yang justru bisa membuat mereka bisa menjadi korban lagi," sambung dia.
Dugaan kekerasan itu mengemuka ketika akun Instagram @juandini membeberkan dugaan tindak kekerasan oleh seorang sutradara.
Sutradara itu dia sebut menampar, mendorong, hingga melontarkan kata-kata kasar kepada korban. Korban yang dimaksud, yang juga pada akhirnya ikut bersuara, adalah Cut Qitha.
Cut mengatakan pelaku pun tidak merasa bersalah dengan kejadian itu, sehingga dia berharap "ini bisa ditindaklanjuti dengan jalur yang benar".
BBC News Indonesia telah mencoba menghubungi Cut, namun belum mendapat respons sampai berita ini ditulis.
Sebaliknya, Andibachtiar, juga melalui akun Instagram-nya, mengakui bahwa yang terjadi adalah "dorongan", namun bukan "tamparan".
Menurut dia, kekesalannya dipicu oleh kurangnya jumlah figuran saat syuting.
"Saya kesal dan memaksa talent coordinator (sebut saja "kru") untuk melengkapi jumlah, saya dorong agar menjauh karena saya sangat kesal," tulisnya.

Iklim kerja penuh tekanan dan tak aman

Tia, bukan nama sebenarnya, merupakan seorang pekerja perempuan di industri film yang pada akhirnya memilih keluar dari rumah produksi tempat dia bekerja karena merasa "tidak ada ruang aman bagi perempuan".
Lingkungan kerja yang didominasi oleh laki-laki, ditambah iklim kerja dengan tekanan tinggi, tanpa jaminan perlindungan, dan jam kerja yang tidak jelas membuat pekerja perempuan berada di dalam posisi rentan mengalami kekerasan.
"Ada yang bilang memang lingkungan (film) itu keras, tapi kalau menurutku, itu nggak perlu dimutlakin, nggak harus diwajarkan bahwa industri film keras, terus boleh melakukan kekerasan. Kan bisa dikomunikasikan dengan cara yang lebih baik," kata Tia kepada BBC News Indonesia.
Kekerasan verbal, fisik, pelecehan seksual, hingga perundungan kerap terjadi, namun banyak korban tidak serta merta melaporkan pelaku karena timpangnya relasi kuasa.
Penyebab lainnya, tindakan yang dilakukan kerap "dianggap normal" oleh lingkungan itu.
"Karena orang (di industri perfilman) itu-itu doang, dia (korban) juga pasti takut nanti nggak dipanggil lagi di film lain, di proyek lain, khawatir diomongin jelek, seolah dia yang lebay," tutur dia.
Menurut Tia, ada sejumlah pihak yang berupaya mewujudkan ruang aman. Misalnya dengan memasukkan klausul mengenai sanksi atau penalti dalam kontrak kerja, sehingga yang bersangkutan paham konsekuensi apabila melakukan kekerasan atau pelecehan.
Penerapan sistem seperti itu menjadi lebih diterima oleh banyak pihak setelah mengemukanya kasus dugaan pelecehan seksual oleh penulis skenario Penyalin Cahaya. Sejumlah kampanye juga telah diupayakan.
Namun Tia mengatakan, pada faktanya kasus-kasus kekerasan dan pelecehan masih terus menghantui para pekerja perempuan di industri film. Itu lah yang membuat Tia akhirnya memilih menjauh.
"Kasus-kasus seperti ini nggak bisa langsung diselesaikan mau itu diberi penalti, dibeberkan, rasanya nggak ada sanksi yang cukup karena banyak orang-orang di dalam yang seperti itu, jadi untuk menyelamatkan diri aku mau menjaga jarak aja," kata Tia.

Survei: 25% pekerja perempuan pernah alami kekerasan

Survei yang dilakukan Koalisi Seni pada akhir tahun lalu terhadap 202 responden perempuan yang bekerja di bidang seni menunjukkan bahwa lebih dari 25% pernah mengalami kekerasan fisik, pelecehan seksual, maupun perundungan di tempat kerja.
Khusus di industri film, dari 41 orang responden yang disurvei menunjukkan bahwa 7% pernah mengalami kekerasan fisik, 26% mengalami pelecehan seksual, dan 34% mengalami perundungan.
"Kami meyakini bahwa sebetulnya masalah itu besar sekali, seperti data-data lain dalam kasus serupa, nggak semua korban melapor, jadi ini [kasus Andibachtiar] hanya puncak dari gunung es saja," kata Ratri.
Menurut Ratri, rata-rata korban merupakan pekerja level junior hingga menengah, sedangkan pelaku biasanya memiliki kedudukan atau kekuasaan yang lebih tinggi.
"Dan ketika ada hal-hal yang membuat dia merasa tidak nyaman, dia tidak tahu harus melapor ke mana karena mereka nggak ada serikat pekerja, enggak ada sistem pendukung ketika mengalami itu harus melapor kemana," jelas dia.

Viral sebagai jalan menuju keadilan

Foto ilustrasi kru film sedang mengambil gambar.
Sejumlah kasus kekerasan, baik fisik dan seksual di industri perfilman mendapat perhatian publik setelah ada pihak-pihak yang menyuarakannya di media sosial.
Pada awal tahun lalu, penulis skenario film Penyalin Cahaya, Henricus Pria, dituduh sebagai pelaku pelecehan seksual. Padahal film yang dia tulis juga bercerita tentang pelecehan seksual.
Setelah itu, namanya dihapus oleh pihak produksi dari kredit film.
Sanksi sosial juga telah dijatuhkan kepada Andibachtiar, tidak sampai sehari setelah unggahan itu viral.
Ratri mengatakan reaksi seperti ini mulai marak sejak gerakan #MeToo pada 2018 membuat kesadaran banyak orang mengenai kekerasan dan ketimpangan gender terangkat.
Di satu sisi, reaksi itu menunjukkan keberpihakan kepada korban cenderung membaik, namun fakta bahwa korban harus memviralkan peristiwa yang dia alami untuk bisa mendapat keadilan juga bukan lah sesuatu yang ideal.
"Hukum soal kekerasan di tempat kerja lemah sekali, kebanyakan melemahkan korban. Jalan satu-satunya membuat viral sehingga sanksinya lebih ke sanksi sosial lewat kebijakan komunitas atau lembaga yang bersangkutan," jelas Ratri.
Padahal menurut Ratri, memviralkan kasus-kasus seperti ini justru menambah risiko korban mengalami penghakiman yang berdampak terhadap kondisi psikisnya.
Sementara itu, Hannah mengatakan angkat bicara melalui media sosial, hingga menjadi viral, adalah dampak yang muncul akibat "kekosongan hukum" yang dirasakan oleh korban kekerasan.
"Memang seharusnya nggak perlu viral dulu, tapi faktanya kita berhadapan dengan kekosongan hukum, jadi yang penting korban setidaknya bisa akses pendampingan yang dibutuhkan dan pelaku mendapat sanksi sosial," ujar Hannah.

Mendorong ruang dialog

Hannah mengatakan kasus kekerasan fisik, verbal, serta pelecehan seksual "sudah lama dan sering terjadi di industri perfilman" dan sudah "menjadi rahasia umum".
Banyak korban tidak bisa angkat bicara dengan leluasa karena khawatir ancaman pencemaran nama baik lewat Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Selain itu, belum seluruh rumah produksi memiliki prosedur operasional standar (SOP) untuk menangani isu kekerasan.
Namun dengan adanya korban yang berani bersuara hingga menjadi sorotan publik, Hannah mengatakan situasi itu mendorong munculnya dialog soal bagaimana menciptakan ruang kerja yang aman. Dan untuk hal itu, dia menuturkan bahwa asosiasi harus menjadi pelopornya.
"Di perfilman banyak rahasia umum bahwa si A, si B, si C, si D memang problematik dari dulu, melakukan kekerasan dan pelecehan dari dulu, tapi semua orang diam. Sekarang mereka nggak bisa begitu lagi," kata Hannah.
Salah satu kemajuan yang mulai terlihat, lanjut dia, adalah dimasukkannya klausul mengenai pelecehan dalam kontrak kerja dan pelibatan koordinator keintiman (intimacy coordinator) dalam proses syuting adegan intim oleh beberapa rumah produksi.
"Sekarang harapannya nggak hanya pada beberapa production house, yang kami harapkan adalah standardisasi, yang tergabung dalam asosiasi harus gunakan itu, sediakan hotline ketika mengalami pelecehan," tutur Hannah.