Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten Media Partner
Kasus ISPA di Jakarta Melonjak, Apa Dampak Jangka Panjang Polusi Udara?
24 Agustus 2023 7:30 WIB
·
waktu baca 6 menitRumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Persahabatan mencatat terjadi peningkatan kunjungan terkait infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) dan pneumonia pada tahun ini.
Direktur Utama RSUP Persahabatan, Agus Dwi Susanto, mengatakan lonjakannya mencapai 20% - 30% jika dibandingkan pada Maret - Juli tahun lalu.
Kendati demikian, dia belum bisa memastikan apakah lonjakan kasus ISPA dan pneumonia tersebut ada kaitannya dengan kualitas udara yang memburuk baru-baru ini.
"Memang ada lonjakan dengan keluhan asma, perburukan gejala lebih banyak datang ke emergency. Tapi untuk mendapatkan data yang komprehensif perlu ada pengolahan data lebih detail," ujar Dirut RSUP Persahabatan, Agus Dwi Susanto dalam konferensi pers virtual di Jakarta, Rabu (23/08).
Sementara itu dokter spesialis paru di RSUP Persahabatan, Dr.dr. Feni Fitriani Taufik, menjelaskan bahwa kalau merujuk pada Indeks Kualitas Udara (AQI) Jakarta yang rata-rata masuk kategori tidak sehat, maka polusi udara di ibu kota bisa disebut "berbahaya untuk semua orang".
Apalagi untuk kelompok rentan seperti ibu hamil dan lansia.
Itu mengapa, Dirut RSUP Persabahatan Agus Dwi Susanto menyebut kebijakan kerja dari rumah (work from home) yang saat ini diberlakukan Pemprov DKI Jakarta sebetulnya "sedikit bermanfaat" bagi kelompok rentan terutama yang memiliki penyakit dasar dan risiko tinggi.
Meskipun, menurutnya, secara keseluruhan pemberlakuan kerja dari rumah tidak bisa sepenuhnya mengurangi dampak polusi.
"Pada lebaran 2023 kemarin banyak yang mudik, tapi polutan masih tinggi. Bahwa ketika sebagian warga DKI tidak ada, kadar polutan tinggi. Jadi tidak bisa sepotong-sepotong kebijakannya."
"Regulasi lain harus disiapkan."
Kebijakan lain yang dimaksud seperti pembatasan kendaraan atau memperbanyak penggunaan transportasi massal.
Bagaimana cara mengukur tingkat polusi udara?
Secara sederhana menggunakan pandangan mata, kata Direktur Utama RSUP Persahabatan, Agus Dwi Susanto.
Kalau kita bisa melihat dengan jelas dari jarak 15 km lebih, maka udara bisa dikatakan baik.
Jika jarak pandang nampak jelas dari jarak 10 km, disebut sedang.
"Tapi kalau jarak pandang hanya 2,4 km sampai 4 km, sudah tidak sehat. Apalagi kalau hanya 1,5 km sampai 2,4 km itu sangat tidak sehat."
Kota paling berpolusi di dunia?
Jakarta adalah kota paling berpolusi di dunia.
Data dari Indeks Kualitas Udara (AQI) menempatkan Jakarta sebagai kota nomor satu sebagai kota dengan udara paling tidak sehat atau paling berpolusi di dunia.
Disusul Kuwait, Dubai, Doha, dan Baghdad.
Untuk diketahui kualitas udara di wilayah DKI Jakarta pada Rabu (23/08) tergolong tidak sehat dengan nilai 169.
Apa akibat polusi udara terhadap masyarakat?
Dokter spesialis paru di RSUP Persahabatan, Dr.dr. Feni Fitriani Taufik, memaparkan 90% penduduk dunia tinggal di daerah yang polusi udaranya tinggi.
Akibatnya terjadi tujuh juta kematian akibat polusi di dalam maupun luar ruangan, dan dua juta di antara kematian dunia tersebut berasal dari Asia Tenggara.
"Tujuh juta kematian akibat polusi itu terbesar menyebabkan penyakit jantung iskemik sebesar 34 persen, pneumonia, dan stroke," ucap Dr.dr. Feni Fitriani Taufik.
Ia kemudian menjelaskan, polusi udara paling rentan menyerang paru-paru dan menyebabkan berbagai penyakit.
Semisal pneumoni sebesar 21%, penyakit paru obstruktif kronis atau ppok sebesar 19%, kanker paru sebesar 7%.
Apa akibat jangka panjang terpapar polusi?
Dr.dr. Feni Fitriani Taufik menjelaskan efek jangka pendek dari paparan polusi udara di antaranya iritasi atau keluhan mata merah, bersin-bersin, batuk, hingga tenggorokan yang terasa tidak nyaman.
Dalam jangka panjang, efeknya penurunan fungsi paru, mudah terkena risiko asma, alergi, risiko terkena penyakit jantung dan kanker akan meningkat.
Tapi lebih dari itu, sambungnya, penyakit tuberkulosis (TB) berkolerasi dengan kualitas udara yang buruk. Sementara seperti diketahui Indonesia termasuk negara dengan jumlah penderita TB tertinggi di dunia.
"Tidak ada polusi saja, TB belum bisa diatasi apalagi dengan adanya polusi udara?"
Kelompok mana yang paling rentan terpapar polusi udara?
Ibu hamil adalah yang paling berisiko karena menyebabkan janin lahir dengan berat badan rendah dan panjang tubuh menjadi lebih pendek.
Kemudian balita karena menyebabkan terjadinya penyakit asma, gangguan pertumbuhan paru, bahkan stunting kata Dr.dr. Feni Fitriani Taufik dikaitkan dengan adanya polusi udara.
"Mudah terjadi gejala batuk-batuk serta keluhan asma dan mulai terjadi pengerasan pembuluh darah karena dari kecil polutan sudah memengaruhi pembuluh darah anak-anak itu."
Lantas saat dewasa, sambungnya, karena masa kecil terpengaruh polusi akan semakin berisiko menimbulkan penyakit jantung, risiko stroke dini, kanker paru, penyakit paru obstruktif kronis, dan diabetes.
Dan ketika lansia, akan terjadi perburukan kondisi dari penyakit yang diderita sebelumnya.
"Asma akan memburuk, fungsi paru turun, risiko kanker paru juga meningkat. Bahkan diabetes, demensia, gagal ginjal, gagal jantung."
"Sekarang makin banyak pasien-pasien yang sehat-sehat saja tapi kemudian terjadi batuk dan pilek berkepanjangan lama sekali baru bisa sembuh."
Apakah ada masker anti polusi?
Direktur Utama RSUP Persahabatan, Agus Dwi Susanto, berkata ada beberapa masker yang direkomendasikan kepada masyarakat karena punya tingkat penyaringan yang bagus untuk Particulate Matter (PM2.5) - polutan udara berukuran sangat kecil daripada 3% diameter rambut manusia.
Semisal N95, KN95, KF94, juga termasuk masker bedah.
Selain data penyaringnya baik, masker-masker itu juga tidak menyebabkan kebocoran partikel.
N95 adalah masker anti polusi yang tingkat kebocorannya paling rendah yaitu 9% sedangkan masker bedah tingkat kebocorannya 35%.
Solusi termurah, katanya, dengan memodifikasi masker kain yang diberi lapisan filter PM2.5.
"Filter PM2.5 banyak dijual di toko-toko online. Kemampuan masker modifikasi ini bisa menyaring sampai 99%."
PM2.5 kebal antibiotik
Dr.dr. Feni Fitriani Taufik mengatakan ada hubungan antara polusi udara PM2.5 dengan resistensi antibiotik atau kekebalan terhadap antibiotik.
Penelitian tahun ini dilakukan analisis kepada univariat dan multivariat terhadap 11,5 juta kuman yang diisolasi.
Hasil analisis menjukkan sembilan jenis patogen (penyebab penyakit) yang diuji menggunakan 43 antibiotik menunjukkan kaitan PM2.5 dan kekebalan antibiotik di sekitar kita.
Dia juga memaparkan bahwa setiap peningkatan 10 mikrogram per meter kubik PM2,5 maka risiko kanker paru juga makin meningkat.
Penelitian di Jakarta terhadap 300 penderita kanker di RSUP Persahabatan memperlihatkan ada faktor paparan polutan.
"Jadi tidak semata-mata karena rokok, polutan berperan besar," imbuhnya.
"Ada 12 kasus dan 4 persen dari kasus kanker paru berkaitan dengan polusi udara."