Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Kasus Pelanggaran HAM Berat masa Lalu, Genosida, KKR dan Kontroversi Pernyataan Yusril – Tujuh Hal yang Perlu Diketahui
24 Oktober 2024 12:00 WIB
Kasus Pelanggaran HAM Berat masa Lalu, Genosida, KKR dan Kontroversi Pernyataan Yusril – Tujuh Hal yang Perlu Diketahui
Upaya penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu kembali diperbincangkan. Pernyataan Menteri Koordinator bidang Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra tentang hal itu menjadi polemik panjang. BBC News Indonesia merangkum tujuh hal seputar pelanggaran HAM berat di masa lalu, istilah genosida, UU KKR hingga janji Prabowo Subianto.
Pernyataan Yusril Ihza Mahendra terkait pelanggaran HAM berat masa lalu, khususnya kasus 1998 telah menuai kontroversi.
Namun, dalam keterangan terbaru, Yusril mengklarifikasi soal kasus 1998 yang sebelumnya ia sebut "bukan" pelanggaran HAM berat.
"Kemarin tidak begitu jelas apa yang ditanyakan kepada saya. Apakah terkait dengan genocide atau ethnic cleansing? Kalau memang dua poin itu yang ditanyakan, memang tidak terjadi pada waktu 1998," kata Yusril di Istana Kepresidenan Jakarta, Selasa (22/10).
Kemarin itu Senin (21/10), seorang wartawan mengajukan pertanyaan pada Yusril apakah tragedi 1998 masuk pelanggaran HAM berat. Saat itu, Yusril menjawab singkat: "bukan". Namun, belum selesai memberikan keterangan lebih lanjut, wartawan lain kemudian mengajukan pertanyaan lainnya.
Yusril mengaku cukup paham mengenai Undang Undang Pengadilan HAM. "Karena memang saya sendiri yang pada waktu itu mengajukan RUU Pengadilan HAM itu ke DPR dan tentu saya paham hal-hal yang dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat yang diatur di dalam Undang-Undang Pengadilan HAM," katanya.
Sebelum mengutarakan klarifikasinya, sejumlah organisasi masyarakat sipil mengkritik pernyataan Yusril, dengan menyebutnya sebagai “upaya Negara untuk memutihkan pelanggaran berat HAM yang pernah terjadi .”
Berikut adalah hal-hal yang perlu diketahui tentang konteks pelanggaran dan penanganan HAM berat masa lalu:
Apa itu genosida, ethnic cleansing dan pelanggaran HAM berat?
Genosida (genocide) dipahami sebagian besar orang sebagai kejahatan paling serius terhadap kemanusiaan. Istilah genosida mulai dikenalkan pada 1943 yang berasal dari kata Yunani "genos" (ras atau suku) dengan kata Latin "cide" (membunuh).
Ini merupakan definisi dari Konvensi Genosida PBB 1948. Namun definisi ini problematik dalam penerapannya.
Sejak diadopsi, konvensi PBB ini menuai kritik dari pelbagai pihak lantaran konvensi ini mengecualikan kelompok politik dan sosial yang menjadi sasaran, terbatas pada tindakan manusia bukan pada sistem dan kerusakan lingkungan, sampai kesulitan mendefinisikan atau mengukur "sebagian", dan menentukan beberapa banyak kematian yang setara dengan genosida.
Oleh karena itu, genosida adalah salah satu kejahatan internasional yang paling sulit dibuktikan.
Namun, sejumlah kalangan mengatakan terdapat tiga kasus genosida internasional yang merujuk pada definisi konvensi PBB 1948:
Dalam konteks kekinian, Israel sedang menghadapi tuduhan melakukan genosida terhadap kematian puluhan ribu warga Palestina di Gaza.
Di Indonesia, tragedi kemanusiaan pembunuhan massal yang pada 1965/1966 ada yang mengindetifikasinya sebagai genosida. Hal ini termuat dalam penelitian yang dirilis oleh sejarawan Australia, Jess Melvin: The Army and The Indonesian Genocide: Mechanics of Mass Murder (2018).
Dalam salah satu wawancaranya , ia mengatakan terdapat keterlibatan militer Indonesia dalam pembunuhan massal 1965-1966 yang terkoordinasi dengan "tingkat tinggi dan terpusat". Artinya, ada dugaan pembunuhan terhadap ratusan ribu hingga jutaan orang saat itu bermotif politik untuk memberangus kelompok kelompok politik tertentu.
Namun, ada pendapat lainnya yang mengatakan secara hukum tragedi 1965/1966 belum bisa dikategorikan sebagai objek genosida secara internasional , karena definisi genosida masih sebatas sekolompok orang berdasarkan etnis, ras, kewarganegaraan serta agama.
Ethnic cleansing atau pembersihan etnis belum dikategorikan sebagai kejahatan yang berdiri sendiri berdasarkan hukum internasional, menurut PBB . Oleh karena itu, tidak ada definisi pasti mengenai konsep ini atau tindakan pasti yang dapat dikategorikan sebagai pembersihan etnis.
Istilah ini kemungkinan muncul dalam konflik 1990an di bekas wilayah Yugoslavia. Kata Ethnic cleansing berasal dari terjemahan harfiah ungkapan Serbia-Kroasia “etničko čišćenje”.
Komisi Ahli PBB yang diberi mandat untuk menyelidiki pelanggaran hukum humaniter internasional yang dilakukan di wilayah bekas Yugoslavia mendeskripsikan pembersihan etnis sebagai:
“...sebuah kebijakan yang disengaja yang dirancang oleh suatu kelompok etnis atau agama untuk menyingkirkan penduduk sipil dari kelompok etnis atau agama lain dengan cara-cara yang penuh kekerasan dan teror dari wilayah geografis tertentu.”
Menurut UU No.26/2000 tentang Pengadilan HAM , pelanggaran HAM berat adalah kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Kejahatan terhadap kemanusiaan, yakni salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan itu ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil.
Baca Juga:
Kejahatan kemanusiaan yang dilakukan secara luas dan sistematis ini berupa pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran, penyiksaan, perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa.
Merujuk aturan ini kejahatan kemanusiaan juga termasuk penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional; penghilangan orang secara paksa, atau kejahatan apartheid.
Apa saja daftar pelanggaran HAM Berat di Indonesia?
Setidaknya terdapat 19 kasus dugaan pelanggaran HAM berat masa lalu, 17 di antaranya telah rampung diselidiki dan ditetapkan sebagai peristiwa pelanggaran HAM berat oleh Komnas HAM.
Hampir seluruh kasus pelanggaran HAM berat masa lalu ini melibatkan militer dan kepolisian, menurut penyelidikan Komnas HAM, di antaranya:
Sudah diadili:
Ada empat perkara yang sudah diadili oleh Pengadilan HAM, total 35 terdakwa akhirnya dibebaskan.
Perkara Tanjung Priok 1984, Timor Timur 1999, Abepura 2000 sudah disidang hingga tingkat kasasi. Semua terdakwa perkara Tanjung Priok dan Abepura diputus bebas oleh Mahkamah Agung (MA), seperti dikutip dari Litbang Kompas .
Dalam kasus Timor Timur, hanya satu terdakwa dinyatakan bersalah, dan pada 13 Maret 2006, MA memvonis Eurico Guterres 10 tahun penjara. Mantan Wakil Panglima Pasukan Pejuang Prointegrasi Timor Timur ini diyakini melakukan kejahatan HAM berat di Timor Timur.
Kasus Paniai 2014 juga telah diproses di Pengadilan HAM di Makassar. Pada 8 Desember 2022, Pengadilan Negeri Kelas IA Khusus Makassar memvonis bebas terdakwa satu-satunya yang dituntut hukuman 10 tahun penjara , yaitu Mayor Infantri (Purnawirawan) IS.
Dari proses pengadilan empat kasus pelanggaran HAM berat masa lalu ini, Komnas HAM mengatakan “hasilnya belum memberikan keadilan bagi para korban” .
Keluarga korban dalam kasus Paniai 2014 yang terdakwanya dibebaskan oleh pengadilan menyebut “orang Papua tidak bernilai di mata negara” . Dalam tragedi ini, empat warga sipil tewas dan 21 lainnya luka akibat penganiayaan.
Bagaimana negara menangani kasus pelanggaran HAM berat masa lalu?
Selama era reformasi, negara tak pernah secara resmi mengakui adanya kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.
Sampai 11 Januari 2022, Presiden Joko Widodo menyampaikan hal bersejarah , "Saya sebagai Kepala Negara Republik Indonesia mengakui bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat memang terjadi di berbagai peristiwa dan saya sangat menyesalkan".
“Pengakuan” dan “penyesalan” dari kepala negara ini beriringan dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden (Keppres) No.17/2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu (Tim PPHAM).
Tim PPHAM ini memiliki sejumlah tugas yakni mengungkap penyebab terjadinya pelanggaran HAM berat masa lalu, mengusulkan rekomendasi pemulihan bagi korban, serta pencegahan agar peristiwa serupa tidak terulang.
Salah satu rekomendasi dari Tim PPHAM ini adalah merinci bentuk-bentuk pemulihan kepada korban pelanggaran HAM berat masa lalu. Hal ini dituangkan dalam Inpres nomor 2 tahun 2023 tentang Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Nonyudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat.
Namun, Pegiat HAM, Wahyu Djafar menilai Inpres ini seakan menempatkan korban sebagai penerima bantuan sosial, bukan korban pelanggaran HAM berat yang patut diberikan pemulihan. Di atas kertas, program pemulihan ini meliputi bantuan jaminan kesehatan, beasiswa pendidikan, bantuan renovasi rumah, dan lain-lain.
"Kalau yang di Inpres kesannya korban adalah penerima bansos. Karena mereka miskin, diberikan bantuan. Tapi tidak melihat mereka sebagai korban pelanggaran HAM," kata Wahyu.
Di sisi lain, Wakil Ketua Tim Pelaksana Pemantau Penyelesaian Nonyudisial Pelanggaran HAM berat, Makarim Wibisono mengatakan Inpres ini sudah sejalan dengan rekomendasi Tim PPHAM.
"Iya betul sudah sejalan, sudah ada usaha dari pemerintah dengan menugaskan 16 menteri, Jaksa Agung, Panglima TNI, dan Kapolri," imbuhnya, "Termasuk pembiayaan oleh kementerian terkait."
Bagaimana reaksi korban dan keluarganya atas langkah nonyudisial era Jokowi?
Bagaimanapun, kebijakan nonyudisial yang diterapkan era Jokowi ini menuai pro dan kontra di antara korban dan keluarga korban pelanggaran HAM berat masa lalu.
Salah satu keluarga korban dari peristiwa Jambo Keupok di Aceh Selatan, Saburan mengucapkan terima kasih dengan langkah nonyudisial pemerintah.
Saburan kehilangan ayah dan adiknya dalam tragedi Jambo Keupok pada 2003, di mana belasan warga desa disiksa, ditembak mati, dan dibakar hidup-hidup oleh tentara Indonesia karena dituduh sebagai simpatisan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
"Kalau pemerintah telah mengakui itu sebagai pelanggaran HAM berat, kami dari ahli waris korban, mengharapkan pemerintah memperhatikan keluarga korban yang dari tahun 2003 terkatung-katung menuntut keadilan dan pemenuhan [hak]," kata Saburan .
Dia mengharapkan pemenuhan hak berupa bantuan rumah dan modal usaha yang bisa dikelola oleh ahli waris korban.
Sementara itu, Fauzi Nurhamzah, 49, yang merupakan anak dari korban tragedi Rumah Geudong berharap upaya nonyudisial ini sekaligus menjadi pengingat agar kasus-kasus pelanggaran HAM serupa tidak terulang lagi di masa depan.
"Saya sudah memaafkan secara yudisial, semoga orang tua saya tenang," katanya.
Bagi Maria Catarina Sumarsih, ibu dari korban peristiwa Semanggi 1, penuntasan janji Jokowi "tidak cukup" hanya dengan upaya nonyudisial seperti ini.
"Kalau tujuan dari Keppres itu adalah penuntasan janji Jokowi, bawalah kasus-kasus pelanggaran HAM berat ini ke pengadilan ad-hoc," tutur Sumarsih, yang sejak awal menentang penerbitan Keppres tersebut.
"Tidak bisa hanya sekadar negara mengakui, tidak seperti itu, tapi harus ada tindak lanjutnya ke proses pengadilan," kata dia .
Apa saja yang sudah dilakukan pemerintahan sebelumnya?
Dari kacamata Sumarsih, setidaknya ia mengaku sudah berkali-kali dijanjikan presiden Indonesia untuk penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, khususnya Tragedi Semanggi I.
Pada 2007, Sumarsih mengatakan pernah dijanjikan Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.
Kemudian, pada 2014, ia mengaku terpincut dengan salah satu Nawa Cita Jokowi-Jusuf Kalla untuk menegakkan supremasi hukum dalam kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.
Saat Jokowi-JK menang dalam hitung cepat Pemilu 2014, Sumarsih bahkan sempat berkampanye memenangkan pasangan ini , dan berniat untuk menghentikan Aksi Kamisan.
Tapi rencananya itu diurungkan karena saat pertengahan pemerintahannya, Jokowi-JK merangkul mantan para pejabat militer orde baru masuk ke dalam kabinet.
Di Pilpres 2024, dengan kemenangan Prabowo-Gibran, ia mengatakan ke depan, “semakin sulit untuk menuntut penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat”.
Namun, ia tetap yakin kepala negara nantinya akan mengambil sumpah jabatan. Dalam sumpah jabatan ini, presiden dan wakilnya wajib mematuhi konstitusi dan Undang Undang Dasar 1945.
Sumarsih menyinggung UUD 1945, Pasal 28I ayat (5) yang berbunyi:
“Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur dan dituangkan dalam peraturan perundang- undangan”.
“Siapapun yang jadi presiden itu harus mempertanggungjawabkan pelanggaran HAM,” jelas Sumarsih.
Upaya yang dilakukan pemerintah, setidaknya sejak runtuhnya orde baru adalah melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Ini merupakan penyelesaian lewat mekanisme non-yudisial.
Indonesia sempat memiliki aturan khusus tentang KKR melalui UU No.27/2004. Tapi Mahkamah Konstitusi membatalkan aturan ini di 2006 karena terdapat pasal mengenai amnesti bagi para pelaku pelanggar HAM.
KKR pertama kali dipraktikkan Argentina dan Uganda pada 1980an, sebagai mekanisme yang dibentuk era transisi pemerintahan otoriter ke demokratis.
Afrika Selatan menjadi salah satu negara yang bisa dibilang sukses melaksanakan KKR untuk menangani pelanggaran HAM terkait Apartheid.
Komisi itu bertugas menginvestigasi pelanggaran HAM yang terjadi, merestorasi martabat korban, hingga memberi amnesti pada pelaku pelanggaran HAM yang memenuhi persyaratan.
Namun 17 tahun setelah dibatalkan oleh MK, UU ini tak pernah ada kemajuan pembahasan antara DPR dan pemerintah.
Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Mahfud MD saat itu mengatakan pembahasan UU KKR yang baru "menghadapi banyak hambatan yang rumit".
Bagaimana pun, kata dia, aturan ini masih diperlukan untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, "Karena hal itu diperlukan untuk masa-masa yang akan datang, sehingga terus diusahakan untuk dibuat," kata Mahfud MD .
Apa yang akan dilakukan pemerintahan Prabowo-Gibran?
Beberapa bulan setelah Prabowo-Gibran ditetapkan sebagai presiden dan wakil presiden terpilih oleh KPU, terdapat pertemuan antara petinggi Gerindra dengan 14 keluarga korban penculikan aktivis 1997-1998.
Ketua Harian Partai Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad menyebut pertemuan ini sebagai “silaturahmi kebangsaan”.
“Cuma kita sepakat bahwa ke depan kita akan sama-sama memikirkan bagaimana kemajuan Indonesia," kata Dasco di Gedung DPR RI, Senin, 05 Agustus 2023 seperti dikutip Kompas .
Salah satu keluarga korban yang hadir dalam pertemuan itu, Paian Siahaan – ayah Ucok Siahaan, aktivis yang hilang pada 1998 – mengaku menerima sejumlah uang, namun dia mengeklaim kegiatan itu merupakan inisiatif dari keluarga korban untuk bertemu Prabowo.
Namun, Wahyu Susilo, adik kandung Wiji Thukul – aktivis dan penyair yang dihilangkan secara paksa pada 1998 – menyebut pertemuan itu sebagai "manuver yang culas dari segelintir orang yang sudah tidak konsisten dalam upaya perjuangan orang hilang".
Pertemuan ini disebut-sebut dimediasi oleh Mugiyanto Sipin, korban selamat penculikan 1998 yang saat itu menjadi tenaga ahli utama di Kantor Staf Presiden (KSP).
“Nanti kalau waktunya pas, dalam waktu dekat, kami akan sampaikan klarifikasi,” kata Mugiyanto ketika dikonfirmasi BBC News Indonesia. Belakangan, ia ditunjuk Prabowo sebagai Wakil Menteri HAM .
"Sebagai seorang prajurit, kami melakukan tugas kami sebaik-baiknya," kata dia dalam debat capres pertama pada putaran Pilpres 2014. Sambil menambahkan, "Itu merupakan perintah atasan saya."
Sepanjang tahun 1997-1998, terdapat 23 aktivis prodemokrasi yang mengalami penculikan. Dari jumlah itu hanya sembilan orang yang kembali dengan selamat, satu ditemukan tewas dan 13 lainnya hilang hingga sekarang.
“Saya yang sangat keras membela hak asasi manusia. Nyatanya orang-orang yang dulu ditahan, tapol-tapol (tahanan politik) yang katanya saya culik, sekarang ada di pihak saya, membela saya.
Jadi, masalah HAM jangan dipolitisasi. Jadi kalau memang keputusan mengadakan Pengadilan HAM ya kita adakan pengadilan HAM. Tidak ada masalah.”
Isu HAM masuk dalam visi-misi Prabowo dan wakilnya, Gibran Rakabuming Raka, yang mereka komplisi dengan sebutan Asta Cita : “Memperkokoh ideologi Pancasila, demokrasi dan HAM”. Ini merupakan misi yang mereka tempatkan pada urutan pertama, dari total delapan misi.
Namun, dari penjabarannya, tak ada satupun yang memuat isu tentang penyelesaian pelanggaran HAM berat .
Dalam keterangan terbaru, Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra mengeklaim pemerintah akan mengkaji kembali tentang hal-hal terkait pelanggaran HAM berat masa lalu.
"Termasuk juga apa-apa yang sudah diserahkan oleh tim-tim yang dibentuk oleh pemerintah pada waktu-waktu yang lalu dan juga rekomendasi-rekomendasi yang diberikan oleh Komnas HAM," katanya.