Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten Media Partner
Kasus Penjual Bubur Ayam 'Setor' Uang Ratusan Juta dan 'Ditipu' Oknum Polisi
20 Juni 2023 8:00 WIB
·
waktu baca 7 menitTerungkapnya kasus penipuan rekrutmen Polri yang melibatkan eks Kapolsek di Cirebon hingga setoran ratusan juta seorang anggota Brimob kepada atasannya di Riau, dinilai hanya menggambarkan "sebagian kecil" dari praktik suap yang “telah mengakar”, kata pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISSES) Bambang Rukminto.
Bambang mengatakan kedua kasus itu menambah rentetan kasus yang terungkap terkait praktik suap, setoran, dan pungli di Polri.
Menurutnya, praktik ini terjadi di berbagai sektor kepolisian, mulai dari pada tahap rekrutmen, penanganan kasus, hingga promosi jabatan.
Polri menyatakan 'akan menindak tegas' laporan masyarakat terkait temuan kasus-kasus itu.
Namun Bambang menilai Polri sejauh ini "belum banyak berbenah" dan lebih banyak bertindak "karena tekanan publik" setelah kasus-kasus itu viral di media sosial.
Suap pada rekrutmen polisi
Pada Minggu (18/6), Polda Jawa Barat menetapkan Kapolsek Mundu berinisial SW dan seorang PNS di Mabes Polri berinisial N sebagai tersangka kasus dugaan penipuan. SW juga telah dimutasi dari jabatannya sebagai kapolsek.
Kasus ini bermula ketika W, yang merupakan penjual bubur di Cirebon, menginginkan anaknya untuk menjadi polisi.
“Saya tanya-tanya [kepada SW] awalnya gimana caranya masuk polisi, saya tanya sekedar prosedur. Kemudian dia telepon temannya di Mabes, itulah mereka bekerja sama,” kata W mengenang peristiwa yang terjadi pada 2021 itu dalam wawancara dengan Kompas TV.
Sejak saat itu, W mengaku diminta mentransfer uang secara bertahap sebanyak enam kali kepada N. Total uang yang dia transfer mencapai Rp310 juta dengan alasan yang beragam, mulai dari “untuk bintara Polri, psikotes, hingga tes seleksi”.
Tetapi setelah mentransfer uang, yang dia dapat dari menggadaikan sertifikat rumahnya, W merasa tidak ada hasil.
Dia sempat melaporkan kasus itu kepada SW pada 2021, namun laporan itu mandek. Baru belakangan, SW mengadukan kasus ini kepada sejumlah pengacara yang membantunya angkat bicara.
“Saya mengharapkan uang saya kembali, sebab masa depan dia [anak W] adalah untuk melanjutkan cita-citanya. Saya menggantungkan pada uang itu untuk melanjutkan cita-citanya,” kata W.
Kepala Bidang Humas Polda Jawa Barat Komisaris Besar Ibrahim Tompo mengatakan dalam kasus ini, N diduga sebagai pelaku utama. Sementara SW dia nilai turut serta secara “pasif”.
“Kejadian ini sebenarnya karena keterbatasan pemahaman dari anggota tersebut. Dia kan pada posisi pasif, didatangi sama orang, kebetulan orangnya dia kenal, tidak enak kalau tidak memberi informasi, tidak memberikan informasi dan pelayanan, diberikanlah bahasa seperti itu, ‘nanti saya hubungkan dengan orang’,” kata Tompo kepada BBC News Indonesia.
“Nah orang tersebut menyampaikan ‘oke, dibantu tapi konsekuensinya ada materi’. Dia [SW] larut dalam permainan orang itu [N],” sambung dia.
Terkait kasus ini, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigjen Ahmad Ramadhan mengatakan bahwa “siapapun yang menjadi calo dalam rekrutmen penerimaan anggota Polri akan mendapatkan sanksi yang tegas”.
“Laporan-laporan terkait dengan penyimpangan maupun pelanggaran yang dilakukan oleh anggota Polri kami pastikan akan direspons ya,” kata Ramadhan dalam konferensi pers di Mabes Polri pada Senin.
Dia juga menegaskan bahwa proses rekrutmen Polri “tidak dipungut biaya”.
Kasus itu bukan satu-satunya praktik suap yang terungkap terkait rekrutmen Polri. Pada Maret lalu, Polda Jawa Tengah mengungkap lima anggotanya terjaring operasi tangkap tangan karena menjadi calo penerimaan bintara.
Kelima tersangka merupakan panitia penerimaan anggota Polri periode 2022. Mereka menerima uang suap mulai dari Rp350 juta hingga Rp2,5 miliar.
Terjadi di ‘hampir semua sektor kepolisian’
Bambang Rukminto dari ISSES mengatakan praktik suap, setoran, maupun pungli terjadi di “hampir semua sektor di kepolisian”.
“Suap ini hanya hilirnya, hulunya adalah setoran kepada atasan-atasan. Ini terjadi di hampir semua satuan, tentunya dengan pola berbeda,” kata Bambang.
“Di reserse misalnya, terkait penegakan hukum dengan memainkan pasal, menakut-nakuti masyarakat dengan pasal. Di Satlantas [Satuan Lalu Lintas] melakukan pungutan di jalanan dan penerbitan SIM. Bahkan di internal juga, terkait promosi jabatan misalnya, itu berbiaya mahal. Kalau ingin penempatan di tempat yang lebih ‘basah’ atau jabatan penting ya setor lagi ke SDM. Sudah mengakar ya,” sambungnya.
Pada awal Juni lalu, media sosial digegerkan oleh pengakuan seorang anggota Brimob Polda Riau, Bripka Andry bahwa dia telah menyetorkan uang Rp650 juta kepada Komandan Batalyon B Pelopor Manggala Rokan Hilir, Kompol Petrus Hottiner. Kekecewaan itu dilontarkan Andry yang mengaku kecewa dimutasi meski telah menyetor uang kepada komandannya.
Sejauh ini, Petrus telah dicopot dari jabatannya dan Andry telah melaporkan kasus ini kepada Divisi Propam Mabes Polri. Andry bahkan datang ke Mabes Polri, Jakarta pada Senin (19/6) demi menanyakan perkembangan kasusnya.
Kasus lainnya di Riau, anggota Polres Bengkalis, Bripka MK ditetapkan sebagai tersangka setelah diduga menerima suap dari terdakwa kasus narkoba. BA diduga meminta uang hingga Rp2,6 miliar kepada terdakwa. Dia juga bekerja sama dengan istrinya yang merupakan jaksa di Kejaksaan Negeri Bengkalis.
Dari Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, seorang pejabat Polri, AKBP Bambang Kayun didakwa telah menerima suap sebesar Rp57,1 miliar dalam kurun 2016-2021 karena mempermainkan penyidikan dan pengurusan surat perlindungan hukum tersangka dari perkara pemalsuan surat ahli waris PT Aria Citra Mulia. Bambang Kayun bahkan disebut membagikan uang suap yang dia terima kepada beberapa penyidik di Bareskrim Polri.
Pengawasan ‘longgar’, penyelesaian kasus ‘tak jelas’
Menurut Bambang Rukminto, maraknya praktik suap di Polri terjadi karena kontrol dan pengawasan yang “sangat longgar”.
“Di polisi itu sudah banyak peraturan yang mencegah terjadinya suap, tapi aturan itu nyaris tidak berjalan karena minim pengawasan dan kontrol, tidak ada sistem yang menjamin peraturannya dijalankan dengan benar, sehingga mereka bisa bermain-main melakukan pelenggaran seperti itu,” kata Bambang.
Dia mengatakan bahwa praktik suap dan setoran ini “sudah menjadi semacam kultur yang dimaklumi”. Pihak-pihak yang semestinya mengawasi pun “menjadi bagian” dari praktik itu, sehingga sulit mengharapkan ada penindakan dan sanksi yang tegas.
Dia mencontohkan kasus dugaan setoran dari tambang ilegal untuk petinggi Bareskrim Polri yang dihembuskan oleh mantan anggota Polres Samarinda, Ismail Bolong.
Ismail sempat mengklaim pernah menyetor Rp6 miliar kepada Kabareskrim Polri Komjen Agus Andrianto. Ismail kemudian mencabut pernyataan itu. Pada akhirnya, Ismail Bolong ditetapkan sebagai tersangka.
Tetapi isu soal setoran yang mulanya disampaikan oleh Ismail Bolong itu, kata Bambang, menguap begitu saja tanpa penyelesaian yang jelas.
“Bahkan yang terkait tidak diapa-apakan dan tidak mendapatkan sanksi. Jadi sistem di dalam Polri itu longgar sekali sehingga pelanggaran seperti itu terus terulang,” paparnya.
Butuh pengawasan eksternal
Komisioner Kompolnas Poengki Indarti mengatakan bahwa Polri perlu memperkuat pengawasan internal untuk merespons temuan kasus-kasus ini.
“Kapolri tegas memerintahkan proses hukum bagi anggota yang menerima suap, sehingga hal ini harus menjadi pedoman bagi seluruh Kasatwil dan Kasatker, dan melaksanakan perintah Kapolri dengan sebaik-baiknya. Kami juga berharap ke depannya agar para Kasatwil dan Kasatker melaksanakan Reformasi Kultural Polri secara konsisten. Jangan sampai membebani Kapolri dan menunggu perintah beliau,” kata Poengki ketika dihubungi.
Sebaliknya, Bambang menilai pengawasan internal tidak lagi cukup untuk mereformasi Polri.
“Pengawasan internal Polri adalah bagian dari sistem yang sudah rusak itu. Kalau mau membenahi Polri, harus ada pengawasan yang kuat dari eksternal,” tutur Bambang.
Sejauh ini, tumpuan utama ada pada pengawasan dari masyarakat. Namun pada sejumlah kasus, Bambang pun menilai respons Polri untuk menindak laporan-laporan dari masyarakat terkait suap, pungli, dan sejenisnya terjadi karena ada desakan masyarakat setelah kasus-kasus tersebut viral atau mengemuka ke publik.
“Sekarang itu tampak masif hanya karena ada perubahan sosial, ada media sosial yang menjadi saluran keluhan masyarakat. Jadi transparansi berkeadilan seperti yang digaungkan Kapolri itu karena ada desakan masyarakat saja. Begitu situasinya reda, tidak ada kejelasan soal kelanjutan penanganannya,” ujar dia.
Itu pula yang terjadi pada penanganan kasus penipuan yang menimpa W di Cirebon.
Sementara itu, peran pengawasan dari pemerintah dan lembaga eksternal dinilai juga lemah. Kompolnas, sebagai lembaga yang bertugas mengawasi kinerja Polri secara fungsional, dinilai belum cukup bergigi.
“Dengan struktur Kompolnas yang sekarang, mereka tidak akan mampu mengawasi keseluruhan kepolisian. Ada lebih dari 400.000 anggota Polri di Indonesia, diawasi oleh enam orang komisioner, sementara tiga di antaranya mantan polisi. Tidak akan efektif,” tutur Bambang.