Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten Media Partner
Kasus Perempuan yang Dibius Suaminya dan Diperkosa Puluhan Pria Guncang Desa Kecil di Prancis
16 September 2024 13:40 WIB
Kasus Perempuan yang Dibius Suaminya dan Diperkosa Puluhan Pria Guncang Desa Kecil di Prancis
Gelegar frustrasi terdengar di kursi-kursi yang penuh sesak di ruang sidang “Voltaire” di pengadilan Avignon. Saat itu hakim ketua, yang mengenakan jubah merah, mengumumkan sidang ditunda—sesuatu yang tak terduga, tapi juga tak bisa dihindarkan—dalam pengadilan yang menggemparkan di Prancis.
“Dia sakit,” kata Hakim Ketua Roger Arata, mengindikasikan bahwa kasus luar biasa yang melibatkan 51 tersangka pemerkosa ini akan ditunda selama “satu, dua, tiga hari” atau bahkan lebih lama lagi, setelah terungkap bahwa Dominique Pelicot tak bisa hadir dalam sidang karena sakit.
Pengacaranya mengatakan bahwa kliennya yang menjadi terdakwa, telah dibawa ke rumah sakit.
Di tepi kanan ruang sidang, Gisèle Pelicot menyandarkan kepalanya ke dinding berpanel kayu. Ia tidak menunjukkan emosi saat mendengar kabar bahwa dia tidak akan menyaksikan suaminya memberikan kesaksian pada hari itu.
Pekan lalu, Gisèle Pelicot, 72, mengatakan kepada pengadilan bahwa sikapnya yang tenang ini menyembunyikan “medan kehancuran”, yang dipicu kejadian empat tahun lalu.
Saat itu, seorang polisi Prancis memberitahunya bahwa si suami yang tampaknya penyayang ternyata telah membiusnya selama satu dekade dan mengundang orang asing—lebih dari 80 pria setempat—untuk masuk ke rumah dan kamar tidurnya, guna memperkosa sambil merekamnya.
Gisèle Pelicot telah melepas hak penyembunyian identitasnya demi mengungkap bahaya bagi perempuan yang dibius dan diserang secara seksual—dikenal sebagai “penundukan secara kimiawi”.
Perjalanan dari gedung pengadilan Avignon ke desa kuno abad pertengahan, Mazan—kediaman Gisèle Pelicot—dapat ditempuh dalam waktu setengah jam dengan kendaraan.
Jalurnya melalui melewati perbukitan dan kebun anggur yang mengelilingi lanskap Mont Ventoux yang menjulang tinggi.
Desa ini pernah dikenal sebagai tuan rumah pernikahan aktris Inggris, Keira Knightley.
Di sinilah keluarga Pelicot tinggal sekaligus tempat Dominique Pelicot memfilmkan para pria yang ia hubungi secara online.
Suasana hati di desa terhadap kasus yang dialami Gisèle Pelicot ini sulit untuk digambarkan.
“Sejujurnya, tak seorang pun di sini yang peduli,” kata seorang penjual katering lokal, Evan Tuvignon, sambil bersandar di konter tokonya dan mengatakan bahwa orang-orang sudah muak dengan seluruh kasus ini.
Namun beberapa perempuan mengatakan kepada kami bahwa penduduk Mazan tidak hanya terkejut tetapi juga menyebabkan ketegangan baru hingga ke desa-desa sekitar lantaran pengungkapan fakta-fakta di pengadilan.
Baca juga:
Nama-nama terdakwa baru-baru ini dibagikan secara luas di media sosial. Akibatnya, beberapa dari mereka telah mengadu ke pengadilan bahwa mereka, keluarga, dan anak-anaknya sekarang menghadapi perundungan di jalanan dan di sekolah.
Dua perempuan lokal, yang sedang mengendarai mobil mereka di sebuah jalan sempit di Mazan, mengatakan bahwa mereka telah melihat nama-nama itu dan mengenali setidaknya tiga di antaranya.
“Ini menciptakan ketegangan, bisa Anda bayangkan. Anda tidak tahu siapa yang harus dipercaya di lingkungan ini. Saya lega karena saya akan segera pindah dari desa ini,” kata Océane Martin, 25 tahun.
Berada di sampingnya, ibu Océane, Isabelle Liversain, 50 tahun, memiliki kekhawatiran yang lebih mendalam.
Meskipun polisi telah mengidentifikasi dan menahan 50 orang yang wajahnya muncul di komputer milik Dominique Pelicot, tapi 30 tersangka lainnya—yang belum diketahui namanya dan belum terlacak—masih buron.
“Jadi, kami tahu 30 dari 80 orang masih belum tertangkap. Ada ketegangan di sini karena orang-orang tidak tahu apakah mereka bisa mempercayai tetangga mereka," kata Isabelle Liversain dengan suara yang tajam dan penuh rasa frustrasi.
"Anda bertanya pada diri sendiri—apakah dia salah satu dari 30 orang itu? Apa yang dilakukan tetangga Anda dari balik pintu yang tertutup?”
Namun, walikota Mazan yang berusia 74 tahun, Louis Bonnet, berusaha meredam ketegangan tersebut, dengan mengatakan bahwa sebagian besar terdakwa pemerkosa berasal dari desa lain dan berusaha memojokkan keluarga Pelicot sebagai orang luar yang belum lama tinggal di sana.
Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa ancaman terhadap para tertuduh dan keluarga mereka sudah dapat diduga.
“Jika mereka berpartisipasi dalam pemerkosaan ini, maka wajar jika mereka dianggap sebagai sasaran. Harus ada transparansi tentang semua yang terjadi,” katanya, seraya mengutuk para terdakwa dan tindakan mereka.
Dalam wawancaranya dengan kami, Bonnet berbicara tentang kasus tersebut, dan dengan melakukan hal itu, ia menyinggung tentang sikap yang telah memicu kemarahan di Prancis serta kekaguman yang mendalam terhadap keberanian Gisèle Pelicot dalam menghadapi mereka.
“Orang-orang di sini mengatakan 'tidak ada yang terbunuh'. Akan jauh lebih buruk jika [Pelicot] membunuh istrinya. Tapi itu tidak terjadi dalam kasus ini,” kata Bonnet.
Kemudian dia melanjutkan dengan membahas pengalaman Gisèle Pelicot.
“Dia pasti akan mengalami kesulitan untuk bangkit kembali,” ujarnya.
Namun ia berpendapat bahwa pemerkosaan yang dialami Gisèle Pelicot tidak terlalu merisaukan jika dibandingkan dengan korban lain di kota terdekat, Carpentras, yang “masih dalam keadaan sadar saat diperkosa...dan akan mengalami trauma fisik dan mental dalam waktu yang lama, yang bahkan lebih serius”.
“Ketika ada anak-anak yang terlibat, atau perempuan yang dibunuh, maka itu sangat serius karena tidak ada jalan untuk kembali. Dalam hal ini, keluarga harus membangun kembali dirinya sendiri. Itu akan sulit. Tetapi mereka tidak mati, jadi mereka masih bisa melakukannya.”
Ketika saya berpendapat bahwa dia berusaha mengerdilkan kasus Pelicot, dia setuju.
“Ya, benar. Apa yang terjadi sangat serius. Tapi saya tidak akan mengatakan bahwa desa ini harus menanggung kenangan akan kejahatan yang melampaui batas-batas yang bisa diterima,” katanya.
Ungkapannya tampak kikuk. Ia mengutuk kasus tersebut. Dia tidak ingin desanya dicap dengan hal itu selamanya.
Tapi dia juga tampak meremehkan trauma Gisèle Pelicot.
Saya mencecarnya sekali lagi. Banyak perempuan meyakini kasus ini telah mengekspos jenis perilaku laki-laki tertentu yang perlu diubah, kata saya.
“Kita selalu bisa berharap untuk mengubah perilaku, dan memang seharusnya begitu. Namun pada kenyataannya, tidak ada rumus ajaib."
"Orang-orang yang bertindak dengan cara ini tidak mungkin dimengerti dan tidak boleh dimaafkan atau dipahami. Namun, mereka tetap ada,” jawab Bonnet.
Di dalam ruang sidang di Avignon, beberapa terdakwa—18 orang yang kini ditahan—duduk di ruang khusus berdinding kaca untuk menyaksikan jalannya persidangan.
Seorang pria kulit putih dengan rambut beruban dan berantakan mengelus-elus dagunya yang berjanggut. Di dekatnya, seorang pria kulit hitam yang lebih muda tampak tertidur.
Sebelumnya, puluhan puluhan terdakwa—yang tidak ditahan—berdesak-desakan di samping para jurnalis dalam antrean besar di luar ruang sidang.
Sebagian besar dari mereka berusaha menyembunyikan wajahnya dengan masker, tetapi beberapa tidak. Seorang pria bertubuh lebih besar berjalan dengan tongkat. Seseorang lainnya menarik tudung hijau untuk menutupi wajahnya.
Hukum Prancis menawarkan perlindungan kepada terdakwa untuk tidak diidentifikasi di media. Tetapi Gisèle Pelicot telah menolak hak untuk disamarkan identitasnya, dan lebih memilih menjadi simbol pembangkangan bagi banyak perempuan Prancis.
“Dia telah menunjukkan martabat, keberanian, dan kemanusiaan. Ini adalah hadiah besar bagi [perempuan Prancis] bahwa dia memilih untuk berbicara kepada seluruh dunia di depan pemerkosanya".
"Mereka bilang dia sudah hancur. Tapi dia sangat menginspirasi,” kata Blandine Deverlanges, seorang aktivis setempat yang hadir di pengadilan.
Dia dan rekan-rekannya, baru-baru ini melukis slogan-slogan di dinding-dinding di sekitar Avignon. Salah satunya berbunyi: “Manusia biasa. Kejahatan yang mengerikan.”
Duduk di samping ibunya, Caroline, 45 tahun, tidak dapat menyembunyikan emosinya.
Baru-baru ini ia diperlihatkan bukti bahwa ayahnya diam-diam mengambil foto dirinya, tanpa sepengetahuan atau izin darinya. Dia percaya bahwa dia juga dibius olehnya.
Caroline telah menjadi juru kampanye tentang masalah pemerkosaan dan narkoba—masalah yang menurut banyak ahli kurang dilaporkan dan kurang diselidiki di Prancis.
Kadang-kadang, di pengadilan, Caroline mengerutkan kening atau mengangkat tangan ke wajahnya sebagai tanda frustrasi atau jijik, karena berbagai pengacara pembela mengajukan keberatan atau memperdebatkan masalah prosedural.
Seorang petugas polisi mulai memberikan kesaksian, berbicara dengan aksen Prancis selatan yang kental. Sinar matahari yang cerah membanjiri melalui jendela atap di atas kepala para hakim.
Suasana di pengadilan yang didekorasi dengan elegan itu tenang, tetapi tetap saja terasa mengejutkan melihat satu keluarga—ibu, anak perempuan, dan setidaknya dua anak laki-laki—duduk hanya beberapa meter dari banyaknya terdakwa pemerkosa, yang kini semua telah membuka topengnya.