Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Keluarga Koban Penculikan 97-98 Diklaim Diberi ‘Uang Rp1 Miliar’ oleh Petinggi Gerindra - ‘Upaya Sistematis Menutup Pertanggungjawaban Prabowo’
10 Agustus 2024 15:00 WIB
Keluarga Koban Penculikan 97-98 Diklaim Diberi ‘Uang Rp1 Miliar’ oleh Petinggi Gerindra - ‘Upaya Sistematis Menutup Pertanggungjawaban Prabowo’
Pertemuan petinggi Partai Gerindra dengan sejumlah keluarga korban kasus penculikan dan penghilangan paksa 1997-1998 yang diduga disertai pemberian uang pada awal Agustus lalu, diklaim organisasi hak asasi manusia sebagai upaya "sistematis menutup pertanggungjawaban Prabowo Subianto" yang disebut terlibat dalam aksi itu.
“Pertemuan tersebut hanya merupakan ajang cuci tangan untuk menghapuskan dosa terkait keterlibatannya [Prabowo] dalam kasus penghilangan orang secara paksa 1997-1998,” kata Wakil Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Andi Muhammad Rezaldy, saat dihubungi BBC News Indonesia, Kamis (08/08).
Laporan penyelidikan Komnas HAM dan surat keputusan dari Dewan Kehormatan Perwira (DKP) Agustus 1998 menyatakan Prabowo Subianto – saat itu menjabat sebagai Danjen Kopassus – diklaim terlibat dalam kasus penghilangan orang secara paksa pada periode 1997-1998.
Wiji Thukul, adik kandung Wiji Thukul – aktivis dan penyair yang dihilangkan secara paksa pada 1998 – menyebut pertemuan itu sebagai "manuver yang culas dari segelintir orang yang sudah tidak konsisten dalam upaya perjuangan orang hilang".
Sekretaris Umum Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (Ikohi) Zaenal Muttaqin mengeklaim keluarga korban yang hadir ‘dijebak’ oleh Mugiyanto Sipin, korban selamat penculikan 1998 yang kini menjadi tenaga ahli utama di Kantor Staf Presiden (KSP).
BBC News Indonesia telah mengonfirmasi tudingan tersebut kepada Mugiyanto, namun dia enggan memberikan respons, dengan mengatakan "nanti kalau waktunya pas, dalam waktu dekat, kami akan sampaikan klarifikasi".
Zaenal mengeklaim bahwa dalam pertemuana itu terjadi apa yang dia sebut sebagai "penyuapan untuk perdamaian". Jumlahnya sebesar Rp1 miliar per keluarga, menurut Zaenal dan keterangan keluarga korban yang lain.
Salah satu keluarga korban yang hadir dalam pertemuan itu, Paian Siahaan – ayah Ucok Siahaan, aktivis yang hilang pada 1998 – mengaku menerima sejumlah namun dia mengeklaim kegiatan itu merupakan inisiatif dari keluarga korban untuk bertemu Prabowo.
Dalam akun Instagramnya, Ketua Harian Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad, membagikan beberapa foto hasil pertemuannya dengan 14 keluarga korban kasus penculikan dan penghilangan paksa 1997-1998. Dasco yang didampingi Habiburokhman menyebut pertemuan itu sebagai silaturahmi kebangsaan.
BBC News Indonesia telah menghubungi Dasco dan Habiburokhman terkait dugaan pembagian uang tersebut, namun hingga berita ini diterbitkan yang bersangkutan tidak memberikan jawaban. BBC telah menghubungi sejumlah pengurusi Partai Gerindra lain namun tidak mendapat respons.
Sepanjang tahun 1997-1998, terdapat 23 aktivis prodemokrasi yang mengalami penculikan. Dari jumlah itu hanya sembilan orang yang kembali dengan selamat, satu ditemukan tewas dan 13 lainnya hilang hingga sekarang.
Pembagian uang ‘Rp1 miliar per keluarga‘
Pada awal Agustus 2024, Sekjen Ikohi Zaenal Muttaqin mengatakan dia dihubungi oleh Fajar Merah, anak kedua Wiji Thukul.
Fajar, kata Zaenal, menanyakan keberadaan kakaknya Fitri Nganthi Wani yang tidak bisa dihubungi saat berada di Jakarta bersama Mugiyanto Sipin, Ketua Ikohi 2000-2014 dan aktivis korban penculikan 1998 yang selamat. Mugiyanto kini menjabat sebagai tenaga ahli utama di KSP.
“Karena tidak bisa dikontak dua hari, Fajar panik. Lalu saya dan kawan-kawan Ikohi mengontak semua keluarga korban, mencari tahu apakah benar atau tidak, ada pertemuan dengan Mugiyanto,” cerita Zaenal.
“Kemudian tanggal 2 [Agustus] malam, saya mendapat info dari korban [yang tinggal di] Depok dan Malang yang mengaku berada di hotel mewah di Senayan bersama Mugiyanto. Kami curiga pasti ada pertemuan penting dengan orang besar,” kata Zaenal.
Zaenal belum mengetahui secara pasti isi pertemuan itu hingga pada Senin (05/08) lalu, anak kandung korban penculikan 1998 Yadin Muhidin, Novridaniar Dinis, bercerita bahwa tantenya telah bertemu dengan petinggi Partai Gerindra.
“Dinis bilang ditawari uang oleh tantenya yang mendapatkan Rp1 miliar dari Pak Prabowo, tapi pesan Mugiyanto jangan bilang siapa-siapa,” ujar Zaenal.
Selain Dinis, Zaenal juga mendapat informasi dugaan pemberian uang itu dari Fajar Merah. “Fajar dikasih tahu Wani kalau dapat Rp1 miliar dari pertemuan kemarin.”
Zaenal mengatakan uang itu diberikan secara tunai, “Ketika Pak Dasco datang, di depan [meja] masing-masing [keluarga] sudah ada satu kantong uang gede.”
Zaenal mengatakan, keluarga korban yang hadir terpecah. Ada beberapa yang mengatakan harus menerima uang tersebut, ada juga yang menolak.
“Tapi yang menolak tidak berani bertindak karena minor di sana. Ini kan akhirnya mengadu domba, apalagi uang besar.”
Dia memandang uang itu seperti bentuk upaya penyuapan agar para korban mau berdamai.
“Uang itu seperti untuk perdamaian yang dipaksakan, atau bahasa kami penyuapan untuk perdamaian. Tujuannya untuk menghambat secara psikologis dalam melanjutkan perjuangan korban."
"Foto-foto ini jadi alat Gerindra atau pihak Prabowo, sudah damai kok masih menuntut,” ujar Zaenal.
BBC News Indonesia pun mengonfirmasi keterangan Zaenal ke pendamping Dinis Muhidin, Syahar Banu, yang membenarkan adanya pemberian uang.
“Penerima [uang] adik Yadin, diberikan dalam bentuk cash [tunai]. Semua korban dapat jumlah yang sama menurut pengakuan tante Dinis. Setiap keluarga korban penculikan menerima uang Rp1 miliar,” kata Banu.
Banu mengatakan, Dinis meminta tantenya untuk mengembalikan uang tersebut, namun “tantenya belum mau". Menurut Dinis, harusnya uang tersebut dikembalikan saja karena "sumbernya belum jelas dan nasib bapaknya juga belum jelas.”
“Dinis takut apabila uang itu diperoleh dari sumber yang tidak benar, nanti akan ada konsekuensi hukum, misal harus terlibat sama KPK dan sebagainya."
"Dinis juga tidak ingin merasa malu atau teralienasi dari kawan-kawan seperjuangan yang teguh pendiriannya dalam pencarian keadilan,” tambah Banu.
Salah satu keluarga korban yang hadir dalam pertemuan itu, Paian Siahaan – ayah Ucok Siahaan, aktivis yang hilang pada 1998 – mengakui bahwa dirinya dan keluarga lain menerima uang. Namun, Paian enggan mengatakan jumlahnya.
”Memang dikasih [uang], artinya itu kan ada hati nuraninya Pak Prabowo, mungkin melihat kasihan orang ini sudah lama berjuang, 25 tahun, ada yang sudah rentan, sakit-sakitan.”
“Seperti saya sendiri, istri saya kan baru meninggal. Itu adalah dampak daripada kasus ini kan. [Uang] ini adalah seperti tali asih. Kasihan lah orang ini sudah lama berjuang kok tidak ada apa namanya pemberian, perjuangannya belum jelas,” ujar Paian.
Selain itu, dia menegaskan walaupun diberi uang tidak ada kesepakatan agar keluarga berhenti menuntut keadilan.
”Tidak ada juga seperti menandatangani sesuatu bahwa dengan adanya ini [uang] menjadi kasus ini tidak dilaksanakan, atau keluarga tidak ada lagi menuntut kasus ini,” ujarnya.
‘Dijebak, memanfaatkan kemiskinan korban’
Zaenal menegaskan bahwa Ikohi tidak mengetahui dan terlibat dalam pertemuan di sebuah hotel elit di Jakarta itu.
Dia menjelaskan para keluarga korban dihubungi dan diundang secara langsung oleh Mugiyanto satu per satu, dengan mengatasnamakan acara ‘temu kangen Ikohi’. Setiap keluarga pun difasilitasi keberangkatan hingga kepulangannya.
“Mugiyanto yang berperan dari pengundangan, kedatangan, hingga pertemuan. Keluarga korban ini tahunya pertemuan itu kepanjangan program PP HAM dan Mugiyanto sebagai bagian dari Kantor Staf Presiden,” katanya.
“Tapi keluarga ini dijebak, mereka tidak tahu kalau diundang untuk bertemu dan diberikan uang oleh tim Prabowo. Motifnya saya duga Mugiyanto memanfaatkan kemiskinan keluarga korban untuk mendapatkan sesuatu,” katanya.
Mantan aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD), Wilson, mengatakan tidak menyalahkan keluarga korban yang menerima apa yang dia sebut sebagai ‘mahar perdamaian‘.
“Perjuangan panjang yang melelahkan, ketidakpastian, usia yang makin menua dan sakit sakitan, serta biaya hidup semakin tinggi membuat korban tak bisa menolak ketika diberi ‘mahar perdamaian‘".
“Tanggung jawab harus ditujukan pada broker politik yang memanfaatkan kemiskinan ini dalam politik transaksional… Celah kerentanan struktural keluarga korban ini lalu dimanfaatkan oleh Mugi [Mugiyanto] untuk dijadikan transaksi ‘politik impunitas’ dengan Dasco, Ketua Harian Partai Gerindra, yang dipimpin Prabowo Subianto,” katanya.
Wilson mengatakan, pola transaksional seperti ini bukanlah hal baru dalam penyelesaiaan pelanggaran HAM berat. Dia merujuk juga ke kasus Tragedi Talangsari, Lampung, dan tragedi Tanjung Priok.
Baca juga:
Senada, Adik kandung Wiji Thukul, Wahyu Susilo, mengatakan pertemuan itu adalah “manuver yang culas dari segelintir orang yang sudah tidak konsisten dalam upaya perjuangan orang hilang seperti Mugiyanto.”
“Dari investigasi yang dilakukan oleh teman-teman Ikohi, Ikohi juga dicatut namanya."
"Keluarga-keluarga itu diberangkatkan secara diam-diam, diintimidasi untuk tidak boleh menginformasikan bahkan kepada keluarganya sendiri dan tentu kepada Ikohi karena pertemuan ini memang tidak masuk akal membicarakan persoalan rekonsiliasi dengan Prabowo,“ kata Wahyu.
Wahyu pun menegaskan, pertemuan tersebut tidak merepresentasikan konsistensi keluarga korban yang terus menuntut pertanggungjawaban Prabowo dalam kasus orang hilang.
Namun tudingan itu dibantah oleh Paian Siahaan, yang sekitar sebulan lalu menggugat Presiden Joko Widodo ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, terkait penganugerahan pangkat istimewa, berupa Jenderal TNI Kehormatan Bintang Empat kepada Prabowo Subianto.
Paian menjelaskan bahwa dia dan keluarga yang hadir di pertemuan itu lah yang meminta ke Mugiyanto untuk dipertemukan dengan Prabowo.
“Itu keinginan kami untuk bertemu Pak Prabowo. Kami ingin menanyakan apakah kebijakan Pak Jokowi yang dituangkan dalam Keppres dan Inpres untuk menyelesaikan kasus ini, salah satunya secara non-yudisial, dilanjutkan [Prabowo] atau tidak… Jadi tidak relevan kalau menganggap kami mengkhianati perjuangan,” kata Paian.
Dalam pertemuan itu, katanya, juga dibicarakan proses penyelesaian non-yudisial, seperti pemberian bantuan pendidikan, kesehatan, pekerjaan, dan perumahan.
Baca juga:
”Kami sebagai keluarga korban yang telah jungkir balik minta keadilan. Bayangkan, dia [Prabowo] lima tahun ke depan memerintah. Kalau dia tidak ada kebijakan nanti atau pun tidak melaksanakan apa yang telah dibuat Pak Jokowi, kan kami juga yang menderita,” tambahnya.
Saat ditanya BBC News Indonesia terkait tudingan itu, Mugiyanto tidak memberikan jawaban yang konkret namun melalui pesan singkat dia menulis: “Sebentar ya Mas. Nanti kalau waktunya pas, dalam waktu dekat, kami akan sampaikan klarifikasi,” ujarnya.
BBC News Indonesia juga telah menghubungi sejumlah pengurus Partai Gerindra, termasuk Dasco dan Habiburokhman, untuk meminta tanggapan terkait dugaan pembagian uang tersebut. Namun hingga artikel ini diterbitkan mereka tidak memberikan tanggapan.
‘Silaturahmi kebangsaan‘
Dalam akun Instagramnya, Dasco membagikan beberapa foto hasil pertemuannya dengan 14 keluarga korban kasus penculikan dan penghilangan paksa 1997-1998. Dasco menyebut pertemuan itu sebagai silaturahmi kebangsaan.
Dasco juga menyebut 14 keluarga korban yang hadir, yaitu “Fitri Wani (anak Wiji Tukul), Keluarga Aan Rusdianto, aktivis 98, Ibu Heni (kakak Herman Hermawan, aktivis 98), Ibu Hera (kakak Herman Hermawan, aktivis 98), Ibu Fatah (ibunda Gilang, aktivis 98), Aan Rusdianto (aktivis 98).
“Pak Utomo (ayah Bimo Petrus, aktivis 98), Hakim (anak Dedi Hamidun, Aktivis 98) 9. Suyadi (kakak Suyat, aktivis 97), Paiyan Siahaan (Ayah Ucok Siahaan, aktivis Mei 98), Ayah Mugiyanto dan Mugiyanto (aktivis '98), Nina (adik Yadin, aktivis 98), dan Navila (anak Nova Alkatiri, aktivis 97).“
Sehari setelah unggahan itu, Dasco menjelaskan pertemuan itu dalam rangka silaturahmi untuk memperkuat tali persaudaraan. Dia juga mengeklaim tidak ada pembicaraan mengenai persoalan tertentu.
“Cuma kita sepakat bahwa ke depan kita akan sama-sama memikirkan bagaimana kemajuan Indonesia," kata Dasco di Gedung DPR RI, Senin (05/08).
Dasco juga menyampaikan bahwa pelanggaran HAM berat masa lalu sudah diselesaikan oleh pemerintah, dan mengeklaim bahwa pihak keluarga korban yang hadir sependapat dengan itu.
Pada Rabu (07/08), Dasco kembali buka suara. Dia mengaku heran atas keberatan yang disampaikan sekelompok keluarga korban lain.
"Saya tuh bingung ya. Itu kan keluarga korban bertemu kita kan soal silaturahmi, kenapa kemudian organisasi-organisasi yang mengatasnamakan keluarga korban merasa keberatan? Yang namanya silaturahmi itu kan biasa," ujar Dasco kepada Kompas.com .
Baca juga:
Dasco mengaku hanya diundang ke acara silaturahmi keluarga korban hilang tersebut.
"Saya dikasih tahu oleh kawan-kawan aktivis '98, korban '98, di situ ada Mugiyanto, ada Aan, ada Faisol Reza, itu mereka mengadakan pertemuan dengan keluarga korban yang lain. Saya ditanya, 'mau hadir enggak?' Saya bilang, 'ya kalau cuma silaturahmi kita hadir'," sambung Dasco.
"Nah di pertemuan itu saya dengan Habiburakhman, boleh ditanya, kita enggak ada ngomong soal mesti begini, mesti begitu. Kita cuma ngomong ya kita silaturahmi. Ya semoga penyelesaian non-yudisial bisa berjalan dengan bagus, kita saling komunikasi, kami turut prihatin atas ini segala macam," tuturnya.
Menurut Dasco, keluarga korban hilang '98 justru mengaku mereka sudah menanti lama untuk bersilaturahmi dengan Gerindra.
"Saya mau datang enggak ada yang nolak. Waktu saya datang juga enggak ada yang nolak. Jadi kalau merasa dijebak, loh sebelumnya sudah dikasih tahu," katanya.
‘Upaya cuci tangan Prabowo’
Namun, KontraS memiliki pandangan yang berbeda. Wakil Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Andi Muhammad Rezaldy menduga pertemuan itu merupakan upaya sistematis untuk menutup pertanggungjawaban Prabowo.
“Pernyataan tersebut memiliki indikasi adanya upaya dari pihak Prabowo Subianto untuk mendorong keluarga korban agar tidak lagi menuntut pertanggungjawaban kasus darinya, atau dengan kata lain pertemuan tersebut hanya merupakan ajang cuci tangan untuk menghapuskan dosa terkait keterlibatannya dalam kasus Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998,“ klaim Andi.
Andi menambahkan, upaya itu juga telah menyalahi prinsip penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang berat sesuai dengan standar internasional dan mengambil jalan pintas dalam mewujudkan rekonsiliasi sosial.
Idealnya, menurut Andi,harus ada upaya pengungkapan kebenaran terlebih dahulu terkait dengan kasus penculikan dan penghilangan paksa 1997-1998.
"Ada pengakuan, permintaan maaf, dan reparasi tanpa menegasikan proses pertanggungjawaban hukum maupun jaminan ketidakberulangan peristiwa.“
“Selain itu, apabila benar dalam pertemuan tersebut ada upaya memberikan sesuatu dengan nilai tertentu yang diberikan oleh Prabowo Subianto, maka secara tidak langsung dirinya mengakui dan peristiwa ini mengafirmasi serta memperkuat keterlibatannya dalam kasus Penculikan dan Penghilangan Paksa 1997-1998,“ kata Andi.
Baca juga:
Mantan aktivis reformasi Wilson juga menegaskan bahwa pengusutan kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu tidak mengenal kadaluarsa. Dia merujuk pada Pasal 46 UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
“Jadi gerakan HAM dan keluarga korban yang tak setuju dengan kejadian perdamaian di hotel ini masih tetap relevan untuk terus menuntut tanggung jawab Prabowo melalui pengadilan HAM Ad Hoc dan membentuk tim pencarian atas aktivis yang masih hilang sesuai empat rekomendasi DPR RI tahun 2009,“ katanya.
BBC News Indonesia telah menghubungi Dasco, Habiburokhman, dan beberapa pengurus Partai Gerindara, untuk mengonfirmasi terkait tudingan 'cuci tangan'. Namun hingga artikel ini diterbitkan, mereka belum memberikan jawaban.
Benarkah Prabowo ‘tidak ada kaitan’ dengan penculikan aktivis ’98?
Pada 2018 lalu, dokumen rahasia Amerika Serikat yang dirilis ke publik oleh lembaga Arsip Keamanan Nasional (NSA) menyebut bahwa Prabowo memerintahkan Kopassus untuk menghilangkan paksa aktivis ’98.
Salah satu arsip tanggal 7 Mei 1998 mengungkap catatan staf Kedutaan Besar AS di Jakarta mengenai nasib para aktivis yang hilang. Hasil percakapan seorang staf politik Kedutaan Besar AS di Jakarta dengan seorang pemimpin organisasi mahasiswa memunculkan nama Prabowo Subianto.
Narasumber tersebut mengaku mendapat informasi dari Kopassus bahwa penghilangan paksa dilakukan Grup 4 Kopassus. Informasi itu juga menyebutkan bahwa terjadi konflik di antara divisi Kopassus bahwa Grup 4 masih dikendalikan Prabowo.
"Penghilangan itu diperintahkan Prabowo yang mengikuti perintah dari Presiden Soeharto," sebut dokumen tersebut.
Prabowo saat itu menjabat sebagai Danjen Kopassus.
Mengutip laporan Majalah Tempo edisi 16 Juni 2014 , Dewan Kehormatan – yang dibentuk oleh ABRI terkait kasus ini – menyatakan Prabowo bersalah pada 21 Agustus 1998.
Prabowo disebut terbukti memerintahkan Komandan Grup 4/Sandi Yudha Kopassus dan anggotanya dari Satuan Tugas Mawar dan Satuan Tugas Merpati karena “merampas kemerdekaan orang lain”.
Ketika diperiksa, anak buah Prabowo meyakini penculikan itu sebagai “operasi resmi” karena Prabowo mengatakan “sudah melaporkan ke pimpinan” dan “atas perintah pimpinan”. Padahal operasi itu tidak pernah dilaporkan ke pimpinan.
Rekomendasi dari Dewan Kehormatan adalah agar Prabowo diberhentikan dari dinas keprajuritan, namun hal itu mesti disahkan melalui keputusan presiden.
Setelah itu, Presiden B.J. Habibie menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 62 Tahun 1998 yang menyebut Prabowo diberhentikan “dengan hormat”, yang berbeda dengan rekomendasi Dewan Kehormatan.