Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
‘Keluarga Saya Tewas di Depan Mata Saya’ - Kisah Pilu Penyintas Pembantaian di Myanmar
25 Agustus 2024 15:00 WIB
‘Keluarga Saya Tewas di Depan Mata Saya’ - Kisah Pilu Penyintas Pembantaian di Myanmar
Peringatan: Artikel ini mengandung detail yang mungkin mengganggu beberapa pembaca.
Baru saja Fayaz dan istrinya bisa bernapas lega dan yakin sebentar lagi mereka akan selamat – tiba-tiba bom mulai berjatuhan.
“Kami sedang naik perahu satu per satu. Saat itulah mereka mulai mengebom kami,” ungkap Fayaz*.
Tangisan dan teriakan pecah sekitar pukul 5 sore waktu setempat pada tanggal 5 Agustus. Ribuan orang Rohingya yang ketakutan bergegas menuju tepi Sungai Naf di Kota Maungdaw.
Bagi ratusan keluarga yang desa-desanya diserang – termasuk keluarga Fayaz – satu-satunya opsi untuk menyelamatkan nyawa mereka: bagi ratusan keluarga adalah melarikan diri dari Myanmar barat ke tepian Bangladesh yang lebih aman .
Fayaz memanggul tas-tas yang dipenuhi berbagai barang yang sempat terbawa. Sang istri membopong putrinya yang berusia enam tahun, sementara anak sulung Fayaz berlari di samping mereka.
Adik ipar Fayaz berjalan di depan dengan menggendong putra mereka yang berusia delapan bulan.
Bom pertama langsung menewaskan kakak iparnya. Si bayi terluka parah, tetapi masih hidup.
“Saya segera menghambur dan membawanya pergi... Tapi buah hati saya meninggal saat kami menunggu bom berhenti.”
Nisar* juga berhasil mencapai tepi sungai sekitar pukul 5 sore. Dia sebelumnya memutuskan untuk angkat kaki bersama ibu, istri, anak laki-laki, anak perempuan, dan saudara perempuannya.
“Kami mendengar drone di atas kepala diikuti suara ledakan yang keras,” kenangnya. “Kami semua terlempar ke tanah. Mereka menjatuhkan bom ke menggunakan drone.”
Nisar adalah satu-satunya anggota keluarganya yang selamat.
Fayaz, istri, dan kedua putrinya berhasil melarikan diri dan menyeberangi sungai. Meski dirinya sudah memohon berkali-kali, tukang perahu menolak mengizinkan Fayaz membawa jenazah bayinya.
“Dia bilang tidak ada gunanya membawa mayat, jadi saya menggali lubang di tepi sungai dan buru-buru mengubur bayi saya.”
Mereka semua kini tergolong aman di Bangladesh. Namun, kalau sampai tertangkap pihak berwenang setempat, mereka bisa dideportasi.
Tangan Nisar menggenggam Al-Qur'an. Dia masih belum dapat memproses bagaimana dunianya bisa hancur dalam sehari.
“Seandainya tahu apa yang akan terjadi, saya tidak akan pernah mencoba lari hari itu,” kata Nisar.
Merangkai gambaran lengkap tentang apa yang terjadi dalam perang sipil Myanmar merupakan sesuatu yang pelik. Akan tetapi, BBC berhasil menyusun kronologi malam tanggal 5 Agustus melalui serangkaian wawancara eksklusif dengan sedikitnya selusin penyintas Rohingya yang kabur ke Bangladesh. Mereka juga membagikan video-video.
Semua korban selamat – warga sipil Rohingya yang tidak bersenjata – mengaku mendengar banyak bom meledak selama dua jam. Sebagian besar korban mendeskripsikan bom dijatuhkan drone – senjata yang semakin banyak digunakan di Myanmar. Namun, beberapa dari mereka mengaku terkena mortir dan tembakan.
Klinik MSF yang beroperasi di Bangladesh menyebut jumlah korban Rohingya yang terluka melonjak dalam beberapa hari berikutnya – setengah dari jumlah itu adalah perempuan dan anak-anak.
Video-video dari korban selamat yang dianalisis oleh BBC Verify memperlihatkan tepi sungai dipenuhi dengan tubuh yang berlumuran darah. Banyak di antaranya adalah perempuan dan anak-anak.
Tidak ada penghitungan yang terverifikasi mengenai jumlah korban tewas,. Akan tetapi, banyak saksi mata mengeklaim kepada BBC bahwa mereka melihat puluhan mayat.
Baca juga:
Para korban selamat mengaku diserang Tentara Arakan (Arakan Army – AA), salah satu kelompok pemberontak terkuat di Myanmar. Dalam beberapa bulan terakhir, AA mengenyahkan militer dari hampir seluruh Negara Bagian Rakhine.
Korban-korban orang Rohingya mengatakan awalnya mereka diserang di desa-desa mereka. Kondisi memaksa mereka untuk melarikan diri ke tepi sungai untuk menyeberang ke Bangladesh. Namun, mereka ternyata diserang lagi di tepi sungai ketika berusaha kabur.
AA menolak diwawancarai. Namun, juru bicara mereka, Khaing Tukha, membantah tuduhan tersebut dan menanggapi pertanyaan BBC dengan pernyataannya: “insiden itu tidak terjadi di daerah yang dikuasai oleh kami”. Khaing Tukha juga menuduh aktivis Rohingya merekayasa pembantaian dan secara salah menuduh AA berada di baliknya.
Namun, Nisar tetap berpegang kukuh terhadap ceritanya.
“Tentara Arakan berbohong," katanya. “Mereka melakukan serangan itu. Cuma mereka yang ada di daerah kami pada hari itu. Dan mereka sudah menyerang kami selama berminggu-minggu. Mereka tidak ingin ada Muslim yang hidup.”
Sebagian besar Muslim Rohingya di Myanmar hidup sebagai minoritas di Rakhine — sebuah negara bagian mayoritas Buddha. Hubungan kedua komunitas sudah lama tegang.
Pada tahun 2017, ketika militer Myanmar membunuh ribuan Rohingya yang oleh PBB digambarkan sebagai “contoh klasik pembersihan etnis”, penduduk Rakhine setempat juga ikut serta dalam serangan tersebut.
Sekarang, di tengah konflik yang semakin meluas antara junta dan AA – yang memiliki dukungan kuat di kalangan penduduk etnis Rakhine, Rohingya sekali lagi terjebak.
Para korban selamat Rohingya berisiko tertangkap dan dikembalikan ke Myanmar apabila terlacak pihak berwenang Bangladesh. Namun, para penyintas ingin membagikan rincian tentang kekerasan yang menimpa mereka kepada BBC. Harapan mereka adalah supaya insiden tersebut bisa terdokumentasikan – apalagi daerah tempat kejadian tidak lagi bisa diakses kelompok hak asasi ataupun jurnalis.
“Hati saya hancur. Saya kehilangan segalanya. Saya tidak tahu bagaimana saya bisa selamat,” ucap Nisar.
Nisar tadinya seorang saudagar Rohingya nan kaya. Namun, dia menjual tanah dan rumahnya seiring meningkatnya penembakan di area rumahnya di Rakhine. Eskalasi konflik meningkat lebih cepat dari yang diduganya. Nisar dan keluarganya pun memutuskan untuk angkat kaki dari Myanmar pada pagi hari tanggal 5 Agustus,
Nisar menangis seraya menunjuk tubuh putrinya dalam salah satu video:
“Putri saya meninggal di pelukan saya sembari menyebut nama Allah. Dia terlihat sangat damai, seperti sedang tidur. Buah hatiku sangat menyayangi saya.”
Dalam video yang sama, Nisar memperlihatkan istri dan saudara perempuannya yang terluka parah tetapi masih hidup ketika video itu diambil. Nisar tidak mampu menggotong keduanya sendirian tatkala bom masih berjatuhan. Dia pun membuat pilihan yang menyakitkan untuk meninggalkan mereka – belakangan, Nisar mendapat kabar bahwa istri dan saudara perempuannya telah meregang nyawa.
Baca juga:
“Tidak ada lagi tempat yang aman. Kami pun berlari ke sungai untuk menyeberang ke Bangladesh,” ucap Fayaz.
Tembakan dan bom mengiringi pelarian mereka dari desa ke desa. Fayaz akhirnya menyerahkan semua kekayaannya kepada seorang tukang perahu supaya mereka dibawa menyeberangi sungai.
Dengan hati hancur dan marah, Fayaz menunjukkan foto jenazah putranya yang berlumuran darah.
“Jika Tentara Arakan tidak menembak kami, lalu siapa lagi pelakunya?” tanyanya.
“Dari arah datangnya bom, saya tahu Tentara Arakan ada di sana. Mana mungkin itu guntur yang jatuh dari langit?”
Tuduhan ini menimbulkan pertanyaan serius tentang Tentara Arakan, yang menyebut dirinya sebagai gerakan revolusioner yang mewakili seluruh rakyat Rakhine.
Sejak akhir tahun lalu, AA, bagian dari pemberontak bersenjata Aliansi Tiga Persaudaraan di Myanmar, telah membuat kemajuan besar melawan rezim militer.
Namun, kerugian militer telah membawa bahaya baru bagi orang Rohingya. Kepada BBC, mereka mengaku sempat direkrut junta secara paksa untuk melawan AA.
Hal ini memperparah hubungan yang sudah buruk antara kedua komunitas dan membuat warga sipil Rohingya rentan terhadap pembalasan. Belum lagi keputusan kelompok militan Rohingya ARSA untuk bersekutu dengan junta melawan pemberontak Rakhine
Salah satu korban selamat dari serangan 5 Agustus mengatakan kepada BBC bahwa militan ARSA yang telah bersekutu dengan junta berada di antara orang-orang yang melarikan diri.
Dia berspekulasi barangkali itu yang memprovokasi serangan tersebut.
“Kalaupun target militer memang ada, kekuatan yang digunakan tidaklah proporsional. Ada anak-anak, perempuan, dan orang tua yang terbunuh pada hari itu. Serangannya tidak pandang bulu,” ucap John Quinley, direktur kelompok hak asasi manusia Fortify Rights yang menyelidiki insiden itu.
“Karena itu, kami meyakini bahwa alasan yang masuk akal untuk percaya bahwa telah terjadi kejahatan perang pada 5 Agustus. Tentara Arakan harus diselidiki atas kejahatan ini dan komandan senior Tentara Arakan harus bertanggung jawab.”
Baca juga:
Ini adalah momen yang genting bagi komunitas Rohingya. Lebih dari satu juta orang Rohingya kabur ke Bangladesh pada tahun 2017. Para pengungsi semakin memenuhi kamp-kamp terbatas yang padat dan kumuh.
Semakin banyak orang Rohingya yang tiba di Bangladesh dalam beberapa bulan terakhir seiring perang di Rakhine. Akan tetapi, ini bukan lagi tahun 2017 ketika Bangladesh masih membuka perbatasannya.
Kini, pemerintah mengatakan tidak dapat mengizinkan lebih banyak orang Rohingya masuk ke negara itu.
Para penyintas yang mampu pun membayar tukang perahu dan penyelundup – BBC diberitahu bahwa biayanya 600.000 kyat Myanmar ($184; Rp 2,8 juta) per orang.
Mereka kemudian harus melewati penjaga perbatasan Bangladesh dan mengadu nasib mereka dengan penduduk setempat – atau bersembunyi di kamp-kamp Rohingya.
Ketika Fayaz dan keluarganya tiba di Bangladesh pada tanggal 6 Agustus, penjaga perbatasan memberi mereka makanan. Namun, tak lama kemudian, mereka ditempatkan di sebuah kapal dan dikirim kembali.
“Kami menghabiskan dua hari terapung tanpa makanan atau air,” katanya.
“Saya memberi putri saya air dari sungai untuk minum, dan meminta-minta kepada orang lain di kapal untuk berbagi sedikit biskuit yang mereka miliki.”
Keluarga Fayaz berhasil masuk ke Bangladesh pada upaya kedua. Namun setidaknya dua kapal terbalik karena kelebihan muatan. Seorang janda dengan 10 anak mengaku berhasil menyembunyikan keluarganya selama pemboman.
Namun, lima anaknya tenggelam ketika perahu mereka terbalik.
“Anak-anak saya adalah belahan hati saya. Ketika mereka terbersit di benak saya, ingin mati saja rasanya,” tuturnya sambil terisak tangis.
Cucunya, seorang anak laki-laki berusia delapan tahun dengan mata lebar, duduk di sampingnya. Orang tua dan adik laki-lakinya juga meninggal.
Bagaimana dengan mereka yang tidak berhasil melarikan diri?
Jaringan telepon dan internet di Maungdaw telah padam selama berminggu-minggu. Setelah mencoba beberapa kali, BBC berhasil menghubungi seorang pria yang ingin tetap anonim demi keselamatannya.
“Tentara Arakan memaksa kami keluar dari rumah kami dan menahan kami di sekolah-sekolah dan masjid-masjid,” katanya. “Saya ditahan bersama enam keluarga lainnya di sebuah rumah kecil.”
Tentara Arakan mengatakan kepada BBC bahwa mereka menyelamatkan 20.000 warga sipil dari kota itu di tengah pertempuran melawan militer.
Pihak Tentara Arakan mengaku menyediakan makanan dan perawatan medis bagi warga sipil. Mereka mengeklaim bahwa “operasi-operasi ini dilakukan untuk keselamatan dan keamanan individu-individu ini, bukan sebagai pemindahan paksa”.
Pria di ujung telepon tadi menolak klaim ini.
“Tentara Arakan mengancam akan menembak kami kalau mencoba kabur. Kami kehabisan makanan dan obat-obatan. Saya sakit, ibu saya sakit. Banyak orang mengalami diare dan muntah-muntah.”
Dia menangis, memohon bantuan: “Puluhan ribu orang Rohingya berada dalam ancaman di sini. Jika Anda bisa, tolong selamatkan nyawa kami.”
Di seberang sungai di Bangladesh, Nisar memandang kembali ke Myanmar. Dia bisa melihat pantai tempat keluarganya terbunuh.
“Saya tidak sudi kembali ke sana.”
Aamir Peerzada dan Sanjay Ganguly turut berkontribusi untuk artikel ini.
Nama-nama telah diubah atas permintaan narasumber.