Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.0
Konten Media Partner
Kesaksian Warga China yang Diangkut ke Rumah Sakit Jiwa oleh Aparat Setelah Ikut Demonstrasi
29 Januari 2025 8:45 WIB
Kesaksian Warga China yang Diangkut ke Rumah Sakit Jiwa oleh Aparat Setelah Ikut Demonstrasi
Pada usia 17 tahun, Zhang Junjie melakukan aksi protes di depan kampusnya mengenai kebijakan pemerintah China. Beberapa hari kemudian, dia diangkut ke rumah sakit jiwa dan menjalani perawatan untuk skizofrenia.
Berdasarkan temuan BBC, Junjie merupakan satu dari puluhan warga yang dirawat di rumah sakit setelah berunjuk rasa atau mengajukan keluhan kepada pihak berwenang.
Banyak orang yang berhasil diwawancarai mengaku diberikan obat antipsikotik. Beberapa bahkan mesti menjalani terapi kejut listrik (ECT) tanpa persetujuan.
Laporan tentang penggunaan rawat inap sebagai cara untuk menahan warga yang membangkang tanpa melibatkan pengadilan sudah ada selama beberapa dekade.
Meskipun demikian, seorang pengacara terkemuka di China mengatakan persoalan ini belakangan kembali muncul. Padahal, sudah ada undang-undang yang melarangnya.
Junjie mengaku diikat dan dipukul staf rumah sakit kemudian dipaksa menenggak obat.
Pada tahun 2022, dia berunjuk rasa menentang kebijakan karantina China yang begitu ketat.
Dia mengaku dosen-dosen di universitasnya langsung mengenali dirinya di antara para demonstran. Segera saja mereka menghubungi ayah Junjie yang kemudian menjemputnya pulang.
Ayah Junjie kemudian menelepon pihak berwenang.
Keesokan harinya, tepat pada hari ulang tahunnya yang ke-18, dua laki-laki membawa Junjie ke tempat yang mereka klaim sebagai pusat tes Covid-19.
Kenyataannya, fasilitas itu adalah rumah sakit.
"Para dokter mengatakan bahwa saya mengidap gangguan jiwa yang sangat serius…Saya lalu diikat di tempat tidur," ujar Junjie kepada BBC World Service.
"Para perawat dan dokter berulang kali mengatakan saya pasti sakit jiwa karena pandangan saya terhadap partai dan pemerintah. Mengerikan betul rasanya."
Junjie menjadi pasien di rumah sakit itu selama 12 hari. Dia yakin ayahnya terpaksa menyerahkannya kepada pihak berwenang karena pekerjaannya sebagai pegawai pemerintah daerah.
Dalam kurun satu bulan setelah keluar dari rumah sakit, Junjie kembali berurusan dengan pihak berwenang. Kali ini, dia ditangkap setelah seseorang mengunggah videonya menyalakan kembang api pada Tahun Baru Imlek.
Hal ini melanggar peraturan setempat yang melarang kembang api untuk mengatasi polusi udara. Polisi berhasil menemukan Junjie setelah menelaah video tadi.
BBC News Indonesia hadir di WhatsApp .
Jadilah yang pertama mendapatkan berita, investigasi dan liputan mendalam dari BBC News Indonesia, langsung di WhatsApp Anda.
Junjie menghadapi tuduhan "menyulut pertikaian dan berbuat onar". Tuduhan ini sering digunakan untuk membungkam orang-orang yang mengkritik pemerintah China. Dia pun kembali dirawat secara paksa di rumah sakit selama lebih dari dua bulan.
Setelah keluar dari rumah sakit, Junjie diresepkan antipsikotik bernama Aripiprazole, obat skizofrenia dan gangguan bipolar.
"Mengonsumsi obat itu membuat otak saya terasa sangat kacau," tuturnya.
Junjie mengatakan polisi datang ke rumahnya secara berkala untuk mengecek apakah dia meminum obat tersebut.
Junjie memutuskan untuk angkat kaki dari China karena takut akan dirawat inap untuk ketiga kalinya.
Kepada orang tuanya, Junjie mengaku dia perlu kembali ke universitas untuk mengemasi barang-barangnya. Kenyataannya, dia melarikan diri ke Selandia Baru.
Dia tidak mengucapkan selamat tinggal kepada keluarga atau teman-temannya.
Baca juga:
Junjie adalah salah satu dari 59 orang yang dikonfirmasi BBC dirawat di rumah sakit jiwa dengan alasan kesehatan mental setelah melakukan protes atau menantang pihak berwenang.
Proses verifikasi dilakukan melalui wawancara dengan mereka atau kerabat, serta pemeriksaan dokumen pengadilan.
China sudah mengakui adanya persoalan ini di negara mereka. Pada tahun 2013, Undang-Undang Kesehatan Mental diterbitkan sebagai payung hukum untuk menghentikan kasus-kasus seperti ini.
Undang-undang menyatakan bahwa merawat seseorang yang tidak sakit jiwa adalah ilegal. Selain itu, rawat inap psikiatri harus bersifat sukarela kecuali jika pasien membahayakan diri sendiri atau orang lain.
Faktanya, jumlah orang yang ditahan di rumah sakit jiwa tanpa persetujuan mereka baru-baru ini meningkat tajam.
Hal ini dipaparkan Huang Xueto, ahli hukum terpandang di China, kepada BBC World Service.
Huang, yang terlibat dalam penyusunan undang-undang, menyebut melemahnya masyarakat sipil dan kurangnya pengawasan membuat persoalan ini kembali mengemuka.
"Saya telah menemukan banyak kasus seperti ini. Polisi menghendaki kekuasaan sambil menghindari tanggung jawab," ujarnya.
"Siapa pun yang mengetahui kekurangan sistem dapat menyalahgunakannya."
Pada tahun 2018, aktivis bernama Jie Lijian menjalani perawatan untuk gangguan jiwa tanpa persetujuannya.
Dalam wawancara terpisah, Lijian mengaku dirinya saat itu ditangkap karena mengikuti unjuk rasa menuntut kenaikan gaji di sebuah pabrik. Selama tiga hari, polisi menginterogasinya sebelum membawanya ke rumah sakit jiwa.
Sama seperti Junjie, Lijian diresepkan obat antipsikotik yang mengganggu pemikiran kritisnya.
Setelah seminggu di rumah sakit, Lijian bertengkar dengan petugas kesehatan setelah menolak mengonsumsi obat.
Staf rumah sakit mengatakan kepada Lijian bahwa dia membuat masalah. Lijian lalu dipaksa menjalani ECT, suatu terapi yang melibatkan pemberian arus listrik melalui otak pasien.
"Rasa sakitnya terasa dari kepala hingga ujung kaki. Seluruh tubuh saya terasa seperti bukan milik saya sendiri. Sangat menyakitkan. Kejutan listrik menyala. Kemudian mati. Kejutan listrik menyala. Kemudian mati. Saya pingsan beberapa kali. Rasanya seperti akan mati," ujarnya.
Lijian mengaku akhirnya diizinkan pulang setelah menjadi pasien selama 52 hari. Saat ini, Lijian bekerja paruh waktu di Los Angeles, AS dan sedang mencari suaka.
Baca juga:
Pada tahun 2019—satu tahun setelah Lijian menjalani terapi kejut—Ikatan Dokter China memperbarui pedoman ECT mereka.
Pedoman yang baru menyatakan menyatakan bahwa ECT hanya boleh dilakukan dengan persetujuan pasien dan menggunakan anestesi umum.
BBC News berupaya mendalami lebih lanjut tentang keterlibatan para dokter dalam kasus-kasus seperti yang dialami Lijian.
Para dokter dapat tersandung masalah apabila ketahuan berbicara dengan media asing seperti BBC tanpa izin. Satu-satunya pilihan BBC adalah melakukan penyelidikan secara diam-diam.
BBC mengatur jadwal konsultasi melalui telepon dengan dokter-dokter yang bekerja di empat rumah sakit berbeda. Berdasarkan temuan BBC, empat rumah sakit itu terlibat dalam rawat inap paksa.
BBC menggunakan cerita fiktif tentang seorang kerabat yang dirawat di rumah sakit karena mengunggah komentar anti-pemerintah secara online.
Kepada lima orang dokter, BBC bertanya apakah mereka pernah menemukan kasus pasien yang dikirim oleh polisi.
Empat dari lima dokter mengonfirmasi bahwa mereka pernah mengalaminya.
"Poliklinik Kesehatan Jiwa memiliki jenis penerimaan kasus psikiatri yang disebut 'pembuat onar'," kata salah seorang dokter.
Seorang dokter yang bekerja di rumah sakit tempat Junjie ditahan tampaknya mengonfirmasi kesaksiannya bahwa polisi terus mengawasi pasien setelah keluar dari rumah sakit.
"Polisi akan memeriksa pasien di rumah untuk memastikan pasien meminum obat. Jika pasien tidak meminumnya, maka si pasien berpotensi kembali melanggar hukum," ujarnya.
BBC menghubungi rumah sakit tersebut untuk meminta tanggapan tetapi tidak mendapat respons.
Di sisi lain, BBC mendapatkan akses ke catatan medis aktivis demokrasi bernama Song Zaimin.
Tahun lalu, Zaimin untuk kelima kalinya dirawat di rumah sakit. Frekuensi rawat inap Zaiman menggambarkan betapa pandangan politik yang berbeda tampak terkait erat dengan diagnosis psikiatris.
"Hari ini, pasien… berbicara banyak, berbicara tidak jelas, dan mengkritik Partai Komunis. Oleh karena itu, pasien dikirim ke rumah sakit kami untuk perawatan rawat inap oleh polisi, dokter, dan komite penduduk setempatnya. Ini adalah rawat inap tanpa persetujuan," tulis catatan tersebut.
BBC meminta Profesor Thomas G Schulze, presiden terpilih dari World Psychiatric Association, untuk meninjau rekam medis Zaiman.
"Dari apa yang dijelaskan dalam dokumen ini… semestinya tidak ada seorang pun menjalani rawat inap dan dirawat tanpa persetujuannya. Ini namanya penyalahgunaan kekuasaan," jawab beliau.
Dari tahun 2013 hingga 2017, lebih dari 200 orang melaporkan telah dirawat di rumah sakit secara tidak sah oleh pihak berwenang.
Jumlah ini adalah temuan sekelompok jurnalis warga di China yang mendokumentasikan penyalahgunaan Undang-Undang Kesehatan Mental.
Pada tahun 2017, laporan kelompok berakhir karena pendiri mereka ditangkap lalu dipenjara.
Bagi para korban yang mencari keadilan, sistem hukum sepertinya berpihak pada pihak lawan.
Li, yang meminta agar cukup nama keluarganya saja yang disebut, mengaku dirawat di rumah sakit pada tahun 2023 setelah memprotes polisi setempat.
Dia tengah berupaya menempuh jalur hukum terhadap pihak berwenang atas penahanannya.
Berbeda dengan kasus Junjie, dokter-dokter justru memberitahu Li bahwa dia tidak mengalami gangguan apa pun.
Akan tetapi, polisi mengatur seorang psikiater dari luar rumah sakit untuk melakukan penilaian terhadap Li. Dia kemudian didiagnosis dengan gangguan bipolar dan ditahan selama 45 hari.
Setelah dibebaskan, Li memutuskan untuk mengajukan banding atas diagnosis tersebut.
"Jika saya tidak melakukan penuntutan, itu sama saja seperti menerima bahwa saya ini sakit jiwa. Ini akan berdampak besar bagi masa depan dan kebebasan saya," ujarnya.
"Polisi bisa saja sewaktu-waktu menggunakan asalan ini untuk menahan saya."
Baca juga:
Di China, rekam medis siapa saja yang pernah didiagnosis dengan gangguan kesehatan mental serius dapat dibagikan kepada polisi dan komite penduduk setempat.
Namun, upaya Li kandas karena pengadilan menolak bandingnya.
"Para pemimpin kami berbicara tentang supremasi hukum," ujarnya.
"Kami tidak pernah membayangkan dikurung di rumah sakit jiwa."
BBC menemukan 112 orang yang berupaya menempuh jalur hukum atas terhadap polisi, pemerintah daerah, atau rumah sakit antara tahun 2013 dan 2024
Berdasarkan situs web resmi untuk keputusan pengadilan China, sekitar 40% dari para penggugat terlibat dalam pengaduan terhadap pihak berwenang.
Hanya dua yang memenangkan kasus mereka.
Situs tersebut tampaknya disensor karena lima kasus lain yang diselidiki BBC hilang dari database.
Nicola MacBean dari The Rights Practice, organisasi hak asasi manusia yang berbasis di London, menyebut polisi menikmati "keleluasaan dalam menindak" para "pembuat onar".
"Sangat mudah bagi mereka untuk mengirim seseorang ke rumah sakit jiwa dan melangkahi prosedur yang berlaku," ujar MacBean.
Saat ini, mata dunia tertuju ke vlogger Li Yixue yang menuduh seorang polisi melakukan pelecehan seksual.
Baru-baru ini, Yixue dikabarkan dirawat di rumah sakit untuk kedua kalinya setelah unggahan media sosialnya yang membahas pengalaman tersebut menjadi viral.
Dia dilaporkan tengah berada di bawah pengawasan di sebuah hotel.
BBC menyampaikan temuan investigasi ini kepada Kedutaan Besar China di Inggris.
Dalam tanggapannya, Kedubes China di Inggris mengatakan Partai Komunis China tahun lalu "menegaskan kembali" bahwa mereka harus "meningkatkan mekanisme" seputar hukum yang menurut mereka "secara tegas melarang penahanan ilegal dan metode lain yang secara ilegal merampas atau membatasi kebebasan pribadi warga negara".
Georgina Lam dan Betty Knight turut berkontribusi untuk artikel ini.