Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.0
Konten Media Partner
Kesaksian Warga Myanmar yang Nekad Jual-beli Ginjal di India demi Menyambung Hidup – 'Saya hanya Ingin Punya Rumah dan Melunasi Utang'
27 Februari 2025 12:40 WIB
Kesaksian Warga Myanmar yang Nekad Jual-beli Ginjal di India demi Menyambung Hidup – 'Saya hanya Ingin Punya Rumah dan Melunasi Utang'

Perdagangan ginjal ilegal marak terjadi di berbagai negara, termasuk di India. BBC berbicara dengan orang-orang yang terlibat dalam prosesnya, termasuk pendonor, penerima, dan perantaranya, untuk mendapatkan gambaran soal bagaimana ini semua terjadi.
"Saya hanya ingin punya rumah dan melunasi utang saya. Itulah mengapa saya memutuskan menjual ginjal saya," kata Zeya, seorang buruh tani di Myanmar.
Harga berbagai barang melonjak setelah terjadi perang saudara yang dipicu kudeta militer pada 2021. Karena itu, Zeya—bukan nama sebenarnya—hampir tak lagi mampu menafkahi keluarga mudanya dan terlilit banyak utang.
Zeya dan keluarga tinggal di rumah ibu mertuanya, di sebuah desa dengan rumah-rumah beratap jerami yang berjejer di sepanjang jalan tanah. Butuh beberapa jam untuk mencapai desa ini dengan kendaraan bermotor dari Yangon, kota terbesar di Myanmar.
BBC News Indonesia hadir di WhatsApp .
Jadilah yang pertama mendapatkan berita, investigasi dan liputan mendalam dari BBC News Indonesia, langsung di WhatsApp Anda.
Satu hari, Zeya mendengar ada orang-orang di desanya yang telah menjual salah satu ginjal mereka.
"Saya lihat mereka tampak sehat," kata Zeya.
Maka, Zeya pun mulai menggali informasi lebih lanjut soal ini.
Zeya adalah satu dari delapan orang di daerah itu yang mengatakan pada BBC Burma bahwa mereka telah menjual ginjal mereka di India.
Perdagangan organ ilegal dapat ditemukan di seluruh Asia, dan kisah Zeya memberikan gambaran lebih soal bagaimana ini terjadi.
Mengatur transaksi
Membeli atau menjual organ tubuh manusia adalah tindakan ilegal di Myanmar dan India, tetapi Zeya mengatakan ia berhasil menemukan seorang pria yang ia sebut sebagai "perantara".
Menurut Zeya, pria itu mulanya membantu mengatur tes medis. Selang beberapa pekan, si pria bilang ada seorang perempuan Myanmar yang berpotensi jadi penerima ginjal Zeya, dan keduanya dapat melakukan operasi di India.
Di India, jika pendonor dan penerima organ bukan kerabat dekat, mereka harus menunjukkan bahwa tindakan itu dilakukan sukarela untuk menolong tanpa mengharapkan imbalan. Mereka pun mesti menjelaskan hubungan mereka.
Untuk itu, si perantara disebut memalsukan dokumen yang mirip Kartu Keluarga di Indonesia.
"Si perantara itu mencantumkan nama saya di silsilah keluarga penerima," kata Zeya.
Mudahnya, perantara itu membuat Zeya seolah mendonorkan organ kepada "seseorang yang bukan kerabat sedarah, tetapi kerabat jauh".
Kemudian, imbuhnya, perantara itu membawanya untuk bertemu dengan penerima di Yangon.
Di sana, seorang pria yang memperkenalkan diri sebagai dokter mengurus dokumen-dokumen lain dan memperingatkan Zeya bahwa dia harus membayar biaya yang cukup besar jika batal mendonorkan ginjalnya.
BBC lantas menghubungi pria ini, yang bilang ia berperan memeriksa apakah pasien layak menjalani prosedur tersebut, bukan mengecek hubungan antara pendonor dan penerima.
Zeya mengatakan dia diberi tahu bahwa dia akan menerima 7,5 juta kyat Myanmar. Ini setara antara Rp27,8 juta dan Rp44,2 juta selama beberapa tahun terakhir—nilai tukarnya berfluktuasi sejak terjadi kudeta militer.
Dia lalu terbang ke India utara untuk menjalani operasi di sebuah rumah sakit besar.
Semua transplantasi yang melibatkan warga negara asing di India harus disetujui oleh panel yang disebut komite otorisasi, yang dibentuk rumah sakit atau pemerintah setempat.
Zeya mengatakan dia diwawancara sekitar empat orang dengan bantuan seorang penerjemah.
"Mereka bertanya kepada saya, apakah saya dengan sukarela menyumbangkan ginjal saya kepadanya, bukan dengan paksa," kata Zeya.
Ia menjelaskan bahwa penerima ginjalnya adalah seorang kerabat dan, kemudian, rencana transplantasinya disetujui.
Zeya ingat dokter memberikan obat bius, lalu ia kehilangan kesadaran.
"Tidak ada masalah besar setelah operasi, hanya saya selalu merasakan sakit setiap kali bergerak," katanya, seraya menambahkan bahwa ia tetap dirawat di rumah sakit itu selama seminggu setelah operasi.
'Ibu palsu'
Pendonor lain, Myo Win—yang juga bukan nama sebenarnya, mengatakan kepada BBC bahwa ia juga berpura-pura berkerabat dengan orang asing.
"Si perantara memberi saya selembar kertas, dan saya harus menghafal apa yang tertulis di kertas itu," katanya.
Ia juga diminta mengatakan bahwa penerimanya menikah dengan salah satu kerabatnya.
"Orang yang menilai kasus saya juga bermaksud menelepon ibu saya, tetapi pihak perantara mengatur agar ada ibu palsu yang menerima telepon itu," katanya.
Lalu, imbuhnya, si "ibu palsu" mengonfirmasi bahwa Myo Win mendonorkan ginjalnya kepada seorang kerabat dengan restunya.
Myo Win mengatakan ia ditawari uang berjumlah sama dengan Zeya, tetapi uang itu disebut sebagai "sumbangan amal", dan 10% di antaranya mesti disisihkan untuk membayar si perantara.
Menurut Myo Win dan Zeya, keduanya mendapat sepertiga dari uang yang dijanjikan di depan.
Sebelum memasuki ruang operasi, Myo Win berpikir, "Saya memutuskan saya harus melakukannya karena saya telah mengambil uang mereka."
Ia menambahkan, ia "memilih cara nekat ini" karena ia bergelut dengan utang dan tagihan medis istrinya.
Tingkat pengangguran meningkat di Myanmar sejak kudeta militer. Perang menghancurkan ekonomi dan membuat investor asing melarikan diri.
Pada 2017, seperempat dari populasi Myanmar hidup dalam kemiskinan dan, pada 2023, jumlahnya telah mencapai setengahnya, menurut badan pembangunan PBB, UNDP.
Myo Win mengatakan perantara itu tidak memberi tahu bahwa dia menjual ginjalnya secara ilegal.
"Saya tidak akan melakukannya jika dia memberi tahu [tindakan itu ilegal]. Saya takut berakhir di penjara," katanya.
BBC sengaja tidak menyebutkan nama organisasi atau individu mana pun yang terlibat di operasi ilegal ini untuk melindungi anonimitas dan keselamatan orang yang diwawancarai.
Namun, seorang pria lain di Myanmar, yang juga berbicara secara anonim, mengatakan kepada BBC bahwa ia telah membantu sekitar 10 orang untuk membeli atau menjual ginjal via operasi di India.
Ia bilang biasanya ia merujuk orang-orang ke sebuah "agensi" di Mandalay, Myanmar tengah, yang bakal membantu mengurus hal ini.
"Jangan khawatir soal para pendonor," katanya. "Kami punya daftar pendonor yang mengantre untuk memberikan ginjal mereka."
Ia juga mengatakan bahwa sejumlah dokumen memang dipalsukan agar orang-orang yang tak saling kenal tampak berkerabat.
Ketika ditanya apakah ia menerima uang untuk bantuan yang ia berikan, ia tidak menjawab.
Penangkapan di India
Transplantasi organ meningkat lebih dari 50% di seluruh dunia sejak 2010, dan sekitar 150.000 tindakan dilakukan setiap tahunnya, menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Namun, WHO menyatakan bahwa pasokan organ yang ada hanya cukup untuk memenuhi sekitar 10% kebutuhan global.
Perdagangan organ tubuh manusia tercatat ilegal di hampir semua negara dan sulit diukur. Pada 2007, WHO memperkirakan bahwa 5-10% organ yang ditransplantasikan berasal dari pasar gelap, tetapi angkanya bisa jadi lebih tinggi.
Penjualan ginjal ilegal karena kemiskinan ditemukan dalam beberapa tahun terakhir di seluruh Asia, termasuk di Nepal, Pakistan, Indonesia, Afganistan, India, dan Bangladesh.
India telah lama menjadi pusat wisata medis dan kekhawatiran tentang penjualan ginjal di sana tengah meningkat, terutama menyusul berbagai laporan media massa dan investigasi polisi belakangan.
Juli lalu, kepolisian India mengatakan mereka telah menangkap tujuh orang terkait dugaan pemaksaan penjualan ginjal, termasuk seorang dokter India dan asistennya.
Polisi menduga kelompok itu mengatur agar orang-orang Bangladesh miskin menjual ginjal mereka, termasuk menggunakan dokumen palsu untuk mendapatkan persetujuan transplantasi.
Vijaya Rajakumari, dokter di RS Indraprastha Apollo yang bergengsi di Delhi, diduga telah melakukan operasi tersebut sebagai konsultan atau dokter tamu di RS Yatharth, yang terpisah hanya beberapa kilometer.
Kuasa hukum Rajakumari mengatakan tuduhan tersebut "sama sekali tidak berdasar dan tanpa bukti".
Rajakumari disebut hanya melakukan operasi yang telah disetujui komite otorisasi dan selalu bertindak sesuai dengan hukum.
Menurut perintah pengadilan terkait pembebasan bersyaratnya, ia tidak dituduh menyiapkan dokumen palsu.
RS Yatharth mengatakan kepada BBC bahwa semua kasus medis yang ditangani, termasuk oleh dokter tamu, "tunduk pada protokol kami yang kuat untuk memastikan kepatuhan terhadap standar hukum dan etika".
"Kami telah meningkatkan lebih jauh proses yang ada untuk mencegah kejadian seperti itu di masa mendatang," kata RS Yatharth.
Setelah penangkapan Rajakumari, RS Apollo mengatakan si dokter adalah konsultan yang bekerja secara lepas, dan seluruh keterlibatan klinisnya di rumah sakit tersebut telah dihentikan.
Hingga kini, Rajakumari belum didakwa di pengadilan.
'Tidak ada penyesalan'
April lalu, seorang pejabat senior Kementerian Kesehatan India menulis surat kepada seluruh negara bagian untuk memperingatkan tentang "peningkatan" transplantasi yang melibatkan orang asing dan menyerukan pemantauan yang lebih baik.
Berdasarkan hukum India, warga negara asing yang ingin menyumbangkan atau menerima organ harus memiliki sejumlah dokumen, termasuk yang menunjukkan hubungan antara donor dan penerima, yang diverifikasi oleh kedutaan negara mereka sendiri di India.
BBC telah menghubungi Kementerian Kesehatan India dan Organisasi Transplantasi Organ dan Jaringan Nasional, serta pemerintah militer Myanmar untuk meminta komentar mereka, tetapi hingga kini belum mendapat tanggapan.
Seorang dokter sekaligus juru kampanye kesehatan masyarakat di Myanmar, Thurein Hlaing Win, mengatakan, "Penegakan hukum tidak berjalan efektif."
Ia menambahkan bahwa calon pendonor perlu menyadari risikonya, termasuk pendarahan selama operasi dan kerusakan organ lain, seraya menambahkan mereka memerlukan perawatan lanjutan yang memadai.
BBC terakhir kali mendengar kabar dari Zeya beberapa bulan setelah operasinya.
"Saya mampu melunasi utang saya dan membeli sebidang tanah," katanya.
Namun, Zeya mengatakan tidak mampu membayar orang untuk membangun rumahnya atau mengerjakan sendiri pembangunannya di tengah masa pemulihan pascaoperasi. Ia bilang ia menderita sakit punggung.
"Saya harus segera kembali bekerja. Jika efek sampingnya muncul lagi, saya harus menghadapinya. Saya tidak menyesalinya," imbuhnya.
Ia mengatakan sempat berhubungan dengan penerima ginjalnya selama beberapa waktu, dan si penerima bilang ginjalnya dalam kondisi baik.
Berbicara secara anonim, penerima ginjal itu mengatakan kepada BBC bahwa ia membayar total 100 juta kyat Myanmar, kira-kira setara Rp360,1 juta hingga Rp572,9 juta dalam beberapa tahun terakhir.
Namun, ia membantah bahwa dokumennya dipalsukan, dan menyatakan bahwa Zeya adalah kerabatnya.
Enam bulan setelah operasinya, Myo Win mengatakan kepada BBC bahwa ia telah melunasi sebagian besar utangnya, tetapi tidak semuanya.
"Saya sekarang tidak punya pekerjaan dan bahkan tidak punya sepeser pun uang," katanya, seraya menambahkan bahwa ia mengalami beberapa masalah perut sejak operasi.
Ia tidak menyesal, tapi juga mengatakan, "Saya bilang ke orang-orang lainnya untuk tidak melakukan ini. Ini tidak baik."